Kemkes No.364
Kemkes No.364
616.995.24
Ind.
P.
PEDOMAN NASIONAL
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
TIM PENYUSUN
Kontributor :
Dr.Abdul Manaf, SKM Dr.Firdosi Mehta; Dr.Purwantyastuti,MSc,Ph.D;
Prof. DR.Dr.Agung Pranoto,MKes,SpPD(K); Dr.Franky Loprang; Dr.Ratih Pahlesia;
Dr.Agung P.Sutiyoso,SpOT ; Fx.Budiono,SKM, MKes; Dr.Reviono,SpP;
Dr.Ahmad Hudoyo,SpP(K); Prof.DR.Dr.Gulardi Wiknjosastro,SpOG(K); Dr.Rosmini Day, MPH;
Prof.Dr.Agus Sjahrurrahman,SpMK,PhD; Prof.DR.Dr.Hadiarto Mangunnegoro,SpP(K); Rudi Hutagalung,BSc
Dr. Arto Yuwono,SpPD(K); Dr.Haikin Rahmat,MSc; Prof.DR.Dr.Samsu Rizal Jauzi, SpPD(K);
Prof.Dr.Anwar Jusuf,SpP(K); Dr. Harini A.Janiar,Sp.PK Dr.Servas Pareira, MPH;
Dr.Arifin Nawas,SpP(K); Prof.Dr.Hood Assegaf,SpP(K); dr. Setiawan Jati Laksono
Prof.DR,Dr.Armen Muchtar,SpFK; Prof.Dr.Ismid D.I.Busroh,SpBT(K) Dr. Siti Nadia Wiweko;
Dr.Asik Surya,MPPM; Dr.Jan Voskens,MPH; Dr.Sri Prihatini,SpP;
Dr.Bambang Supriatno,SpA(K); Dra.Linda Sitanggang,Ph.D; Sudarman,SKM,MM;
Dr.Bangun Trapsilo,SpOG(K); Mikyal Faralina, SKM Dr.Sudarsono,SpP(K);
Dr.Benson Hausman,MPH; Dr.Menaldi Rasmin,SpP(K); Dr.Sudijanto Kamso,MPH,PhD;
Prof.Dr.Biran Affandi,SpOG(K), Drg.Merry Lengkong, MPH Sulistiyo,SKM,MEpid;
Dr.Broto Wasisto,MPH; Dr.Mukhtar Ikhsan,SpP(K); Suprijadi,SKM;
Prof.DR.Dr.Buchari Lapau,MPH; Munziarti,SKM,MM; Surjana,SKM;
Budhi Yahmono, SH; Dr.Nastiti Rahayu,SpA(K); Prof.Dr.Tjandra Yoga Aditama,SpP(K);
Dr.Carmelia Basri,MEpid; Nenden Siti Aminah, SKM Prof.Dr.Tony Sadjimin,SpA(K),MSc,PhD;
Dr.Darmawan BS,SpA(K); DR.Dr.Ni Made Mertaniasih,SpMK,MS; Dr.Triya Novita Dinihari;
Dr.Davide Manissero; Dra.Ning Rintiswati,MKes; Dr.Vanda Siagian;
Drg. Devi Yuliastanti Dr.Noroyono,SpOG(K); Yoana Anandhita,SKM
Dr.Endang Lukitosari; Dr.Omo Madjid,SpOG(K); Dr.Yudanaso Dawud,SpP,MHA;
Dr.Erlina Burhan,SpP; Petra Heitkam,MPH; Yusuf Said,SH;
Drg. Erwinas Dr.Priyanti,SpP(K); Prof.DR.Dr.Zubairi Jurban,SpPD(K);
DR.Dr.Zulfikli Amin,SpPD(K),FCC;
i
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
DAFTAR ISI
ii
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
iii
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
iv
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
TENTANG
v
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
vi
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Mei 2009
MENTERI KESEHATAN,
TE
KE SE
R I H
N A
T
M E A
N
R
E
P
UB
Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp. JP(K)
I A
S
L I IN D O N E
vii
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
KATA PENGANTAR
EDISI 2 CETAKAN TAHUN 2011
viii
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
DAFTAR SINGKATAN
AIDS = Acquired Immune Deficiency Syndrome
AKMS = Advokasi Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
APBN/D = Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara/Daerah
AP = Akhir Pengobatan
ARTI = Annual Risk of TB Infection
ART = Anti Retroviral Therapy
ARV = Anti RetroViral (obat)
Balitbangkes = Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Bapelkes = Balai Pelatihan Kesehatan
B/BKPM = Balai/Balai Besar Kesehatan Para Masyarakat
BCG = Bacillus Calmette et Guerin
BLK = Balai Laboratorium Kesehatan
BLN = Bantuan Luar Negeri
BTA = Basil Tahan Asam
BP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru
BUMN = Badan Usaha Milik Negara
CDR = Case Detection Rate
Cm = Capreomycin
CNR = Case Notification Rate
Cs = Cycloserine
Ditjen PP& PL = Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan
Ditjen Binkesmas = Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat (Bina Gizi PKIA)
Ditjen Binfar & Alkes = Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Ditjen Binyanmed = Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medis (Bina Upaya Kesehatan)
DIP = Daftar Isian Proyek
DOTS = Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy
DPR (D) = Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah)
DPS = Prakter Dokter Swasta (Dokter Praktek Swasta)
DST = Drug Sensitivity Testing
E = Etambutol
EQAS = External Quality Assurance System
Eto = Ethionamide
EFV = Efavirenz
Fasyankes = Fasilitas Pelayanan Kesehatan
FDC = Fixed Dose Combination
FEFO = First Expired First Out
Gerdunas -TB = Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
GFK = Gudang Farmasi Kabupaten/ Kota
H = Isoniasid (INH = Iso Niacid Hydrazide)
HIV = Human Immunodeficiency Virus
IAKMI = Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
IBI = Ikatan Bidan Indonesia
IDAI = Ikatan Dokter Anak Indonesia
IDI = Ikatan Dokter Indonesia
IUATLD = International Union Against TB and Lung Diseases
KBNP = Kesalahan besar negatif palsu
KBPP = Kesalahan besar positif palsu
KDT = Kombinasi Dosis Tetap
KG = Kesalahan Gradasi
KKNP = Kesalahan kecil negatif palsu
KKPP = Kesalahan kecil positif palsu
ix
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Km = Kanamycin
KPP = Kelompok Puskesmas Pelaksana
Lapas = Lembaga Pemasyarakatan
Lfx = Levofloxacin
LP = Lapang Pandang
LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat
LPLPO = Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
MDG = Millenium Development Goals
MDR / XDR = Multi Drugs Resistance / extensively Drugs Resistance
Mfx = Moxifloxacin
MOTT = Mycobactrium Other Than Tuberculosis
NRTI = Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors
NTM = Non Tuberculosis Mycobacterium
NVP = Nevirapin
OAT = Obat Anti Tuberkulosis
Ofl = Ofloxacin
PAPDI = Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia
PCR = Poly Chain Reaction
PDPI = Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
PME = Pemantapan Mutu Eksternal
PMI = Pemantapan Mutu Internal
PMO = Pengawasan Minum Obat
POA = Plan of Action
POGI = Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
POM = Pengawasan Obat dan Makanan
PPM = Puskesmas Pelaksana Mandiri
PPM = Public Private Mix
PPNI = Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia
PPTI = Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
PRM = Puskesmas Rujukan Mikroskopis
PS = Puskesmas Satelit
PSDM = Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pto = Prothionamide
Puskesmas = Pusat Kesehatan Masyarakat
Pustu = Puskesmas Pembantu
R = Rifampisin
RSP = Rumah Sakit Paru
RTL = Rencana Tindak Lanjut
RUS 1 dan 2 = Rujukan uji silang tingkat pertama dan kedua
Rutan = Rumah tahanan
S = Streptomisin
SDM = Sumber Daya Manusia
SGOT = Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
SGPT = Serum Pyruric Oxaloacetic Transaminase
SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga
SPS = Sewaktu-Pagi-Sewaktu
TB = Tuberkulosis
TNA = Training Need Assessment
WHO = World Health Organization
Z = Pirazinamid
ZN = Ziehl Neelsen
x
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 1
EPIDEMIOLOGI DAN PENGENDALIAN TB
Pembahasan pada bab ini akan mencakup Tuberkulosis (TB) dan riwayat
alamiahnya, besaran masalah TB dan upaya pengendalian TB yang dilakukan.
Pembahasan disini menggunakan konsep epidemiologi praktis dan ringkas sebagai
dasar pandangan untuk pengendalian TB. Fokus pembahasan lebih di titik beratkan
pada perkembangan global, sementara pembahasan yang menyangkut
perkembangan di Indonesia dibahas dalam bab lain.
1
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:
PAJANAN INFEKSI TB
10% MATI
Konsentrasi Kuman Keterlambatan diagnosis
Lama kontak dan pengobatan
Malnutrisi Tatalaksana tak memadai
Penyakit DM, Kondisi kesehatan
immuno-supresan
2
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis
(15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata
waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB,
maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat. Pada tahun 1990-an, situasi TB didunia semakin
memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan
masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993,
WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).
3
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan
meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, resistensi
ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi
masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.
3. Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan
IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri
dari 5 komponen kunci, yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
4
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
5
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 2
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
Pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang
kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-
4). Sejak tahun 1969 pengendalian dilakukan secara nasional melalui Puskesmas.
Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan
Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Asam Para Amino Salisilat (PAS)
kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT
jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol selama
6 bulan.
6
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Visi
“Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”
Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat
madani dalam pengendalian TB.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu, dan
berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian
tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
Sasaran
Sasaran strategi nasional pengendalian TB ini mengacu pada rencana strategis
kementerian kesehatan dari 2009 sampai dengan tahun 2014 yaitu menurunkan
prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000
penduduk.
Sasaran keluaran adalah: (1) meningkatkan prosentase kasus baru TB paru (BTA
positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90%; (2) meningkatkan prosentase
keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru (BTA positif) mencapai 88%; (3)
meningkatkan prosentase provinsi dengan CDR di atas 70% mencapai 50%; (4)
meningkatkan prosentase provinsi dengan
keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80% menjadi 88%.
8
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
5. KEGIATAN
a. Tatalaksana dan Pencegahan TB
· Penemuan Kasus Tuberkulosis
· Pengobatan Tuberkulosis
· Pemantauan dan Hasil Pengobatan Tuberkulosis
· Pengendalian Infeksi pada sarana layanan
· Pencegahan Tuberkulosis
b. Manajemen Program TB
· Perencanaan program Tuberkulosis
· Monitoring dan Evaluasi Program Tuberkulosis
· Manajemen Logistik Program Tuberkulosis
· Pengembangan Ketenagaan Program Tuberkulosis
· Promosi program Tuberkulosis
c. Pengendalian TB komprehensif
· Penguatan Layanan Laboratorium Tuberkulosis
· Public - Private Mix (Pelibatan Semua Fasilitas Pelayanan Kesehatan)
· Kolaborasi TB-HIV
· Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB
· Pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru
· Manajemen TB Resist Obat
· Penelitian tuberkulosis
6. ORGANISASI PELAKSANAAN
Aspek manajemen program
a. Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional
Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan
lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I.
sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB.
Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq.
Sub Direktorat Tuberkulosis.
b. Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim
Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan
dengan kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas
Kesehatan Propinsi.
9
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang
terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi
disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota. Dalam pelaksanaan
program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
b. Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum, Balai/Baiali Besar Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM),
dan klinik lannya dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB.
10
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 3
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
Pada bab ini dibahas tentang strategi penemuan kasus Tuberkulosis,diagnosis,
pengobatan, pemantauan dan hasil pengobatan.
Strategi penemuan
· Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi
aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan
tersangka pasien TB. Pelibatan semua layanan dimaksudkan untuk
mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan.
Penemuan secara aktif pada masyarakat umum, dinilai tidak cost efektif.
· Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap
a. kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada
pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS),
b. kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga
pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah
kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang
dengan TB BTA positif.
c. pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus
dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan
TB atau pegobatan pencegahan.
d. Kontak dengan pasien TB resistan obat
· Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan
tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis
11
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),
· S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
12
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
b. Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB adalah
untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu :
- Pasien TB Ekstra Paru
- Pasien Tb Anak
- Pasien TB BTA Negatif
Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia
laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan.
2. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS
Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti
foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
13
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif.
2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran
klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif.
3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang
terkena.
14
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
1)
Suspek TB Paru
TB BUKAN TB
Keterangan:
· Suspek TB Paru: Seseorang dengan batuk berdahak selama 2 - 3 minggu
atau lebih disertai dengan atau tanpa gejala lain.
· Antibiotik non OAT : Antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki efek anti TB
(jangan gunakan fluorokuinolon)
15
15
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Gambar 3.1: Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA yang Rawat Jalan
a
Pasien rawat jalan dengan batuk 2-3 minggu dan tanpa tanda-tanda bahaya
KUNJUNGAN 1
d d
BTA Positif BTA Negatif
KUNJUNGAN 2
Sebaiknya pada hari
kedua
Pengobatan TB g
e Mendukung TB Foto Toraks
Pemberian PPK
g
Penentuan stadium Sputum BTA dan kultur
f g
klinis HIV Pemeriksaan klinis
Tidak mendukung TB
KUNJUNGAN 3
i h
Pengobatan PCP Pengobatan infeksi bakterial
Penentuan stadium klinis HIV Penentuan stadium klinis HIV
PPK
j j
Perbaikan Tidak ada perbaikan atau Perbaikan
perbaikan sebagian
KUNJUNGAN 4
Pemeriksaan ulang untuk TB
Keterangan:
a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan
> 30 kali/menit, demam > 390 C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu.
b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1% atau prevalensi HIV diantara
pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan
untuk tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi
dilakukan tes HIV.
c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien menolak
utk diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung kecurigaan HIV positif.
d. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 3 sediaan hasilnya
negatif.
e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol.
f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan CD4 (bila tersedia fasilitas) dan
rujukan untuk layanan HIV.
g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila
memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan sehingga mempercepat penegakkan
diagnosis.
h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolones) untuk mengatasi typical & atypical bacteria.
i. PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga Pneumonia Pneumocystis jirovecii
j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
16
16
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Catatan :
· Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
17
17
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
· kejang, kaku kuduk
· penurunan kesadaran
· kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis
Diagnosis TB MDR
Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan M.tuberkulosis. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali,
salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji kepekaan M.tuberculosis harus
dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan.
Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap
meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TB Nasional.
18
18
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
19
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Catatan:
· Pasien TB paru tanpa hasil pemeriksaan dahak tidak dapat
diklasifikasikan sebagai BTA negative, lebih baik dicatat sebagai
“pemeriksaaan dahak tidak dilakukan”.
· Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB
paru.
· Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
20
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik.
4. PENGOBATAN TUBERKULOSIS
21
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Jenis , sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang
tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada
tabel dibawah ini:
Tabel 3.2 Pengelompokan OAT
Golongan dan Jenis Obat
Golongan-1 Obat Lini ■ Isoniazid (H) ■ Pyrazinamide(Z)
Pertama ■ Ethambutol (E) ■ Rifampicin (R)
■ Streptomycin (S)
Golongan-2 / Obat ■ Kanamycin (Km) ■ Amikacin (Am)
suntik/ Suntikan lini kedua ■ Capreomycin (Cm)
Golongan-3 / Golongan ■ Ofloxacin (Ofx) ■ Moxifloxacin (Mfx)
Floroquinolone ■ Levofloxacin (Lfx)
Golongan-4 / Obat ■ Ethionamide(Eto) ■ Para amino salisilat
bakteriostatik lini kedua ■ Prothionamide(Pto) (PAS)
■ Cycloserine (Cs) ■ Terizidone (Trd)
Golongan-5 / Obat yang ■ Clofazimine (Cfz) ■ Thioacetazone(Thz)
belum terbukti efikasinya ■ Linezolid(Lzd) ■ Clarithromycin(Clr)
dan tidak ■ Amoxilin- ■ Imipenem(Ipm).
direkomendasikan Clavulanate (Amx-
oleh WHO Clv)
22
22
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. o Sebagian
besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
· Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
o Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin,
Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and
etambutol.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
23
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien
dalam satu (1) masa pengobatan.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
24
24
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Catatan:
· Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
· Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
· Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml =
250mg).
25
25
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Skor 6
Beri OAT
selama 2 bulan dan dievaluasi
26
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan
anak.
Keterangan:
· Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
· Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
· Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
· Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
· OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.
27
27
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai pengobatan TB.
Pemberian ARV dilakukan dengan prinsip :
· Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai
pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4 turun
dibawah 200/mm3.
· Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan CD4 <
3
350/mm harus dimulai pengobatan ARV.
· Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa
memandang nilai CD4.
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak
dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke
RS rujukan pengobatan ARV.
Tabel 3.11. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB
Obat ARV Paduan pengobatan
lini pertama / ARV pada waktu TB Pilihan obat ARV
lini kedua didiagnosis
Lini Pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP* Ganti dengan 2 NRTI + EFV atau
Ganti dengan 2 NRTI + LPV/r
Lini Kedua 2 NRTI + PI Ganti ke atau teruskan (bila
sementara menggunakan) paduan
mengandung LPV/r
Keterangan:
*) Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur
dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin), yang perlu dimulai ART bila
tidak ada alternatif lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan
(risiko kelainan janin).
Setelah pengobatan dengan rifampisin selesai dapat dipikirkan untuk memberikan
kembali NVP. Waktu mengganti kembali dari EFV ke NVP tidak diperlukan lead-in
dose. Jika seorang ibu hamil trimester ke 2 atau ke 3 menderita TB, paduan ART
yang mengandung EFV dapat dipertimbangkan untuk diberikan. Alternatif lain, pada
ibu hamil trimester pertama dengan CD4 > 250/mm3 atau jika CD4 tidak diketahui,
berikan paduan pengobatan ARV yang mengandung NVP disertai pemantauan yang
teliti. Bila terjadi gangguan fungsi hati, rujuk ke rumah sakit.
28
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah paduan
standar (standardized treatment). yaitu :
Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara
laboratoris dan dapat disesuaikan bila :
a. Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan
sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap
etambutol.
b. Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
- Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian
hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.
- Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya
sehingga dicurigai telah ada resistensi.
- Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat
diidentifikasi penyebabnya.
- Terjadi perburukan klinis.
29
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
30
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
i. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1) Untuk TB paru:
· Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif.
· Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif.
· Pasien TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
32
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Tindak lanjut hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
33
33
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama
pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan:
lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum
akhir pengobatan harus diperiksa dahak.
34
34
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan
pada satu pemeriksaan sebelumnya
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
tetapi tidak tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan
pada satu pemeriksaan sebelumnya.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
35
35
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”: Jika
seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin,
sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut
pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi
suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu
sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini
bertambah berat, pasien perlu dirujuk
36
36
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
· Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat
diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut
dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal
ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
· Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)
terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT
yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam
pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas
terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat
dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien
TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang
berat.
37
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 4
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode
baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih
lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS)
dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur
atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling
efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya dapat dilaksanakan di
semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB, diperlukan
ketersediaan laboratorium TB dengan manajemen yang baik agar terjamin mutu
laboratorium tersebut.
38
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
39
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
LABORATORIUM RUJUKAN TB
REGIONAL
LABORATORIUM RUJUKAN TB
PROVINSI / UJI SILANG KEDUA
LABORATORIUM RUJUKAN
UJI SILANG PERTAMA
FASYANKES / PUSAT
MIKROSKOPIS TB
❑ PRM, PPM ❑
Rumah Sakit
❑ Laboratorium Swasta
FASYANKES / FIKSASI
SEDIAAN
40
40
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Tujuan PMI
· Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan,
penyimpanan, pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh
uji, pencatatan dan pelaporan hasil dilakukan dengan benar.
· Mendeteksi kesalahan, mengetahui sumber / penyebab dan mengoreksi
dengan cepat dan tepat.
· Membantu peningkatan pelayanan pasien.
Kegiatan ini harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap
pra-analisis, analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.
41
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Kegiatan PME
Kegiatan PME mikroskopis TB dilakukan melalui :
· Uji silang sediaan dahak.
Yaitu pemeriksaan ulang sediaan dahak dari laboratorium mikroskopis TB
di Fasyankes. Pengambilan sediaan untuk uji silang dilakukan dengan
metode lot sampling. Untuk daerah yang belum menerapkan metode ini,
masih tetap menerapkan metode pengambilan sebelumnya, yaitu 10%
sediaan BTA negatif dan seluruh sediaan BTA positif.
· Bimbingan teknis Laboratorium TB.
Kegiatan ini dilaksanakan secara khusus untuk menjamin kualitas
pemeriksaan laboratorium mikroskopis.
· Uji profisiensi/panel testing, kegiatan ini bertujuan untuk menilai kinerja
petugas laboratorium TB tetapi hanya dilaksanakan apabila uji silang dan
supervisi belum berjalan dengan memadai.
Kegiatan ini dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari program PMI dan PME,
dengan membuat tolak ukur dan perencanaan peningkatan mutu, meliputi :
· Tenaga : Pelatihan, Penyegaran, Mutasi
· Sarana dan prasarana : Pemeliharaan, Pengadaan, uji fungsi
· Metode Pemeriksaan : Revisi prosedur tetap, pengembangan metode
pemeriksaan
42
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 5
MANAJEMEN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
Perencanaan
Penggunaan Pengadaan
Manajemen Pendukung
Organisasi
SDM
Pembiayaan
Manajemen Informasi
Mutu
Distribusi Penyimpanan
Kebija hukum
kan d a a
n spe
k
43
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
a. Perencanaan
Perencanaan adalah langkah pertama dalam siklus pengelolaan logistik.
Kegiatan ini meliputi proses penilaian kebutuhan, menentukan sasaran,
menetapkan tujuan dan target, menentukan strategi dan sumber daya yang
akan digunakan. Langkah-langkah perencanaan adalah:
· Persiapan
- Membentuk tim perencanaan terpadu atau menggunakan tim
perencanaan terpadu yang sudah ada.
- Menyiapkan data yang dibutuhkan antara lain data pasien TB yang
diobati dan jumlah logistik yang digunakan tahun sebelumnya, data
unit-unit pelayanan kesehatan,stok logistik yang masih bisa dipakai,
sumber dana.
44
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
· Pelaksanaan
- Menentukan jenis logistik yang dibutuhkan sesuai dengan spesifikasi
yang ditetapkan..
- Menghitung kebutuhan, khusus OAT menggunakan dua pendekatan
yaitu menggunakan metode konsumsi dan metode morbiditas atau
gabungan keduanya. Metode konsumsi adalah penghitungan
berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya. Metode morbiditas
adalah penghitungan berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan
diobati (insidensi). Perencanaan kebutuhan setiap kategori OAT
didasarkan pada jumlah pasien yang telah diobati tahun lalu, jumlah
stok yang ada sekarang, lead time, target penemuan kasus tahun
depan.
- Siklus perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal
penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan baik APBD
Kab/Kota, Provinsi dan APBN.
2010
Pengadaan Pengadaan
Juli Agt Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Agt Sept Okt Nov Des
Keterangan :
Kb = Konsumsi OAT perbulan (dalam satuan paket)
Pp = Periode perencanaan dan pengadaan (dalam satuan bulan)
Bs = Bufer stok ( dalam satuan paket) = ...% x (Kb x Pp)
45
45
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
b. Pengadaan
Pengadaan OAT menjadi tanggungjawab pemerintah, baik pusat maupun
daerah. OAT merupakan obat yang sangat-sangat esensial (SSE) yang harus
terjamin ketersediaannya secara nasional.
Kabupaten/Kota maupun Propinsi yang akan mengadakan OAT perlu
berkoordinasi dengan pusat sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan termasuk memelihara yang
mencakup aspek tempat penyimpanan (Instalasi Farmasi atau gudang),
barang dan administrasinya. Dengan dilaksanakannya
penyimpanan yang baik dan benar, maka akan terpelihara mutu barang,
menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga
kelangsungan persediaan, memudahkan pencarian dan pengawasan.
Penyimpanan harus memenuhi standar yang ditetapkan, seperti :
- tersedia ruangan yang cukup untuk penyimpanan, tersedia cukup
ventilasi, sirkulasi udara, pengaturan suhu, penerangan,
- aman dari pencurian, kebakaran atau bencana alam,
- keadaan bersih, rak tidak berdebu, lantai disapu dan tembok dalam
keadaan bersih.
- Setiap penerimaan dan pengeluaran barang harus tercatat.
- Penyimpanan obat harus disusun berdasarkan FEFO (First Expired First
Out), artinya, obat yang kadaluarsanya lebih awal harus diletakkan
didepan agar dapat didistribusikan lebih awal.
46
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
d. Distribusi
Distribusi adalah pengeluaran dan pengiriman logistik dari satu tempat ke
tempat lainnya dengan memenuhi persyaratan baik administratif maupun
teknis untuk memenuhi ketersediaan jenis dan jumlah logistik agar sampai di
tempat tujuan. Proses distribusi ini harus memperhatikan aspek keamanan,
mutu dan manfaat.
- Distribusi logistik khususnya obat mengacu pada prinsip FEFO (yang
lebih dahulu akan kadaluwarsa, yang lebih dahulu dikirim)
- Sistem distribusi dapat dilakukan secara tarik dan dorong (push and pull
distribution). Fasilitas layanan biasanya melakukan permintaan ke
gudang (pull). Pusat ke gudang kab/kota/provinsi melakukan pengiriman
sesuai dengan perencanaan tahunan (push) dan khusus buffer stock
dilakukan dengan permintaan (pull).
- Jika diperlukan dapat dilakukan relokasi (antar Fasyankes, antar
kabupaten/kota, antar provinsi) melalui mekanisme yang disepakati dan
dipertanggungjawabkan.
- Periode distribusi tergantung dari situasi dan kondisi geografis
(spesifisitas) daerah tersebut
GUDANG
Pengiriman • Buffer stock
• Relokasi
Dinas
Kesehatan •TB13 Pengiriman
Provinsi • Permintaan
• Pengiriman
GUDANG GUDANG IFK
• Buffer stock
Supervisi • Buffer stock
• Relokasi Money • Relokasi
Dinas
LPLPO Kesehatan LPLPO
Permintaan Kabupaten
Permintaan
Pengiriman Pengiriman
Penjelasan:
- Permintaan kebutuhan OAT dari fasyankes menggunakan LPLPO
(Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat).
47
47
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
e. Penggunaan
Penggunaan logistik, terutama OAT harus dilaksanakan secara rasional,
mengacu pada prosedur standar yang terdokumentasi agar mudah diaudit.
Lihat bab 4 Tatalaksana pasien TB
f. Dukungan Manajemen
Dukungan manajemen yang meliputi organisasi, pendanaan, sistem informasi
sumber daya manusia dan jaga mutu
Pengorganisasian
Secara umum tugas dan fungsi pengelolaan logistik TB adalah:
- Membuat kebijakan dan pedoman pengelolaan logistik program TB
- Merekapitulasi kebutuhan logistik disusun secaraìbottom upî.
- Menyediakan logistik program TB sesuai kebutuhan, termasuk buffer
stock.
- Melatih petugas pengelola logistik di Pusat, Provinsi maupun
Kabupaten/Kota.
- Melakukan pelatihan dan Bimbingan Teknis,
- Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan dan mutu logistik. Pada tingkat
pusat mitra terkait : subdit TB, Direktorat Oblik dan Alkes, Badan POM,
komite ahli, mitra terkait lainnya.
Pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota, mitra terkait adalah program
TB, instalasi farmasi, balai POM, tim logistik, mitra terkait lainnya
· Sumber daya manusia
Tenaga/Petugas yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan Logistik
Program TB adalah tenaga kefarmasian (kualifikasinya apoteker dan atau
tenaga teknis kefarmasian) dan pengelola program TB yang berlatar
belakang pendidikan kesehatan.
· Sistem informasi
Sistem informasi antara lain meliputi kegiatan monitoring dan evaluasi.
Untuk pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan Laporan
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang berfungsi
ganda, untuk menggambarkan dinamika logistik dan merupakan alat
pencatatan / pelaporan.
Dinas Kesehatan kabupaten/kota bersama IFK mencatat persediaan OAT
yang ada dan melaporkannya ke propinsi setiap triwulan dengan
48
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
49
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 6
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS (PSDM-TB
Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam program TB betujuan untuk
menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan, pengetahuan
dan sikap (dengan kata lain kompetensi) yang diperlukan dalam pelaksanaan
program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada
waktu yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB
nasional. Didalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian
yang lebih luas, tidak hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan
manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan
jangka panjang pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan
profesional dalam penanggulangan TB.
Bab ini akan membahas 3 hal pokok yang sangat penting dalam pengembangan
sumber daya manusia yaitu standar ketenagaan program, pelatihan dan supervisi.
1. STANDAR KETENAGAAN
Ketenagaan dalam program penanggulangan TB memiliki standar-standar yang
menyangkut kebutuhan minimal (jumlah dan jenis tenaga) untuk
terselenggaranya kegiatan program TB.
50
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Tingkat Kabupaten/Kota
1) Supervisor terlatih pada Dinas Kesehatan, jumlah tergantung beban kerja
yang secara umum ditentukan jumlah puskesmas, RS dan Fasyankes lain
diwilayah kerjanya serta tingkat kesulitan wilayahnya. Secara umum seorang
supervisor membawahi 10 - 20 Fasyankes. Bagi wilayah yang memiliki lebih
dari 20 Fasyankes dapat memiliki lebih dari seorang supervisor.
2) Gerdunas-TB/Tim DOTS/Tim TB, dan lain-lainnya, jumlah tergantung
kebutuhan.
Tingkat Provinsi
1) Supervisor/Supervisor terlatih pada Dinas Kesehatan, jumlah tergantung
beban kerja yang secara umum ditentukan jumlah Kab/Kota diwilayah
kerjanya serta tingkat kesulitan wilayahnya. Secara
umum seorang supervisor membawahi 10-20 kabupaten/kota. Bagi wilayah
yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari seorang
supervisor.
2) Koordinator DOTS RS yang bertugas mengkoordinir dan membantu tugas
supervisi program pada RS dapat ditunjuk sesuai dengan kebutuhan.
3) Gerdunas-TB/Tim DOTS/Tim TB, dan lain-lainnya, jumlah tergantung
kebutuhan.
4) Tim Pelatihan: 1 koordinator pelatihan, 5 fasilitator pelatihan.
2. PELATIHAN
Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan
keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja petugas.
Konsep pelatihan
Konsep pelatihan dalam program TB, terdiri dari:
a. Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training)
Dengan memasukkan materi program penanggulangan tuberkulosis strategi
DOTS`dalam pembelajaran/kurikulum Institusi pendidikan tenaga kesehatan.
(Fakultas Kedokteran, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Farmasi dan lain-lain)
51
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pengembangan Pelatihan
Secara umum ada 3 tahap pengembangan pelatihan sebagaimana
tergambar pada gambar berikut:
Gambar 7.1. Tahap Pengembangan Pelatihan
52
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Evaluasi Pelatihan
Evaluasi pelatihan adalah proses :
· Penilaian secara sistematis untuk menentukan apakah tujuan pelatihan telah
tercapai atau tidak.
· Menentukan mutu pelatihan yang dilaksanakan dan untuk meningkatkan
mutu pelatihan yang akan mendatang.
Demikian pentingnya evaluasi pelatihan maka pelaksanaannya harus
terintegrasi dengan proses pelatihan.
53
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
3. SUPERVISI
Supervisi adalah kegiatan yang sistematis untuk meningkatkan kinerja petugas
dengan mempertahankan kompetensi dan motivasi petugas yang dilakukan
secara langsung.
Kegiatan yang dilakukan selama supervisi adalah :
· Observasi,
· Diskusi,
· Bantuan teknis,
· Bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan,
· Mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, dan
· Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi
dan saran perbaikan.
Tujuan supervisi untuk meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses yang
sistematis dengan :
· Peningkatan pengetahuan petugas.
· Peningkatan ketrampilan petugas.
· Perbaikan sikap petugas dalam bekerja.
· Peningkatan motivasi petugas.
Perencanaan Supervisi
Agar supervisi efektif dan mencapai tujuannya, maka supervisi harus baik.
direncanakan dengan Hal-hal berikut penting diperhatikan dalam
perencanaan supervisi:
1) Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat.
· Supervisi ke Fasyankes harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
bulan sekali.
· Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
bulan sekali, dan
· Supervisi ke propinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
sekali.
2) Pada keadaan tertentu frekuensi supervisi perlu ditingkatkan, yaitu:
· Pelatihan baru selesai dilaksanakan.
· Pada tahap awal pelaksanaan program.
· Bila kinerja dari suatu unit kurang baik, misalnya angka konversi rendah,
angka kesembuhan rendah, atau jumlah suspek yang diperiksa dan
jumlah pasien TB yang diobati terlalu sedikit dari yang diharapkan.
Persiapan supervisi
Agar pelaksanaan supervisi mencapai tujuannya secara efektif dan efisien, maka
perlu dilakukan persiapan, sebagai berikut:
1) Penyusunan jadual kegiatan supervisi, biasanya dilakukan setiap triwulan
atau semester.
2) Pengumpulan informasi pendukung, misalnya laporan, pemetaan wilayah,
hasil temuan pada supervisi sebelumnya serta rencana perbaikan yang
diputuskan.
3) Pemberitahuan atau perjanjian dengan instansi/daerah/Fasyankes yang akan
disupervisi.
4) Penyiapan atau pengembangan daftar tilik supervisi.
Pelaksanaan supervisi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan supervisi :
1) Kepribadian supervisor.
· Mempunyai kepribadian yang menyenangkan dan bersahabat.
· Mampu membina hubungan baik dengan petugas di unit yang dikunjungi.
· Menjadi pendengar yang baik, penuh perhatian, empati, tanggap
terhadap masalah yang disampaikan, dan bersama-sama petugas
mencari pemecahan.
· Melakukan pendekatan fasilitatif, partisipatif dan tidak instruktif.
2) Kegiatan penting selama supervisi di Fasyankes.
· Melakukan review TB.01 dan TB.06
55
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
4) Bila masih ada masalah yang belum terpecahkan bersama petugas, maka
Pengelola program TB bersama petugas dapat mendiskusikan masalah
tersebut dengan pimpinan unit kerja untuk selanjutnya menyusun rencana
tindak lanjut perbaikan.
5) Kesimpulan dan saran pemecahan masalah harus ditulis dalam laporan
supervisi sebagai dokumen untuk disampaikan kepada pimpinan unit kerja
yang dikunjungi dan pimpinan unit kerja terkait. Dalam laporan juga harus
disampaikan hal-hal yang positif.
58
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 7
ADVOKASI, KOMUNIKASI DAN MOBILISASI SOSIAL (AKMS)
DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BATASAN
AKMS adalah suatu konsep sekaligus kerangka kerja terpadu untuk mempengaruhi
dan mengubah kebijakan publik, perilaku dan memberdayakan masyarakat dalam
pelaksanaan pengendalian TB. AKMS TB merupakan suatu rangkaian kegiatan
advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial yang dirancang secara sistematis dan
dinamis.
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari seluruh pemangku kebijakan.
Komunikasi, merupakan upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial
yang mendorong masyarakat umum, dan petugas kesehatan agar bersedia
bersama-sama menanggulangi penularan TB. Mobilisasi Sosial, adalah proses
pemberian informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti
perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran, agar sasaran memiliki
pengetahuan, sikap dan mempraktikkan perilaku yang diharapkan.
59
Gambar 9.1.
Kerangka Pola Pikir
dan Strategi AKMS
60
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
60
2. KERANGKA POLA PIKIR DAN STRATEGI AKMS
TUBERKULOSIS
S Adanya dukungan
➢ Masalah berbagai pihak
tuberkulosis dan ADVOKASI dalam penerapan
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN
Promosi Kesehatan
T strategi DOTS
R Masyarakat
➢ Tenaga Penyuluh
mampu dan Angka
A Adanya opini public mandiri dalam
kesembuhan
➢ Buku Pedoman yang mendukung
KOMUNIKASI penang- tuberkulosis
T penerapan strategi gulangan tidak menjadi
DOTS
tuberkulosis Angka masalah
➢ Media Promosi E cakupan kesehatan
penemuan
G Adanya
➢ Sumber dana
(APBN, APBD MOBILISASI peningkatan
dan BLN) I SOSIAL kegiatan
penanggulangan
tuberkulosis
Faktor-faktor
lain
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
STRATEGI AKMS
Mobilisasi Sosial sebagai ujung tombak, yang didukung oleh Komunikasi dan
Advokasi. Masing-masing strategi harus diintegrasikan semangat dan dukungan
kemitraan dengan berbagai stakeholder. Kesemuanya diarahkan agar masyarakat
agar mampu mempraktikkan perilaku pencegahan dan pengobatan TB.
a. Advokasi
Strategi advokasi yang digunakan adalah melakukan pendekatan kepada
pengambil keputusan, media massa dan sektor terkait sehingga dapat
dikeluarkan pernyataan dukungan untuk Program Pengendalian TB. Advokasi
diarahkan untuk menghasilkan kebijakan yang mendukung upaya pengendalian
TB. Kebijakan yang dimaksud disini dapat mencakup peraturan perundang-
undangan di tingkat nasional maupun kebijakan daerah seperti Peraturan Daerah
(PERDA), Surat Keputusan Gubernur, Bupati/Walikota, Peraturan Desa, dan lain
sebagainya.
Strategi ini dilakukan untuk menjawab isu startegis tentang kurangnya dukungan
dari para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait di daerah untuk
Pengendalian TB. Dalam pendanaan juga perlu dilakukan peningkatan kapasitas
pengelola program dalam menyusun perencanaan anggaran sebagai dasar
advokasi.
Dalam melakukan advokasi perlu dipersiapkan data atau informasi yang cukup
serta bahan-bahan pendukung lainnya yang sesuai agar dapat meyakinkan
mereka dalam memberikan dukungan.
Langkah yang perlu dipersiapkan untuk merencanakan kegiatan advokasi:
· Analisa situasi,
· Memilih strategi yang tepat (advokator, pelaksana, metode dsb)
· Mengembangkan bahan-bahan yang perlu disajikan kepada sasaran, dan
· Mobilisasi sumber dana
b. Komunikasi,
Strategi komunikasi yang dilakukan salah satunya adalah meningkatkan
keterampilan konseling dan komunikasi petugas maupun kader TB melalui pelatihan.
Strategi Komunikasi diharapkan dapat menciptakan dukungan dan persepsi
positif dari masyarakat terhadap TB, pengawasan menelan obat bagi pasien TB,
perilaku pencegahan penularan TB dan kampanye STOP TB.
c. Mobilisasi Sosial.
Mobilisasi sosial merupakan strategi membangkitkan keinginan masyarakat,
secara aktif meneguhkan konsensus dan komitmen sosial di antara pengambil
kebijakan untuk menanggulangi TB. Mobilisasi sosial bertujuan membangun
solidaritas agar mampu mengatasi masalah bersama, dengan kata lain
masyarakat menjadi berdaya.
61
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
62
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 8
PUBLIC PRIVATE MIX (PPM) DOTS DALAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
PPM di Indonesia dimulai dengan pelibatan rumah sakit dan B/BKPM. Hal ini
didasarkan pertimbangan bahwa fasilitas layanan tersebut memiliki potensi yang
besar dalam program pengendalian TB. Berbagai penyedia pelayanan kesehatan
lainnya (sektor swasta, LSM, masyarakat, organisasi keagamaan, tempat kerja,
praktisi swasta, lapas/rutan) telah mulai dilibatkan meskipun masih terbatas.
63
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
a. Jejaring Internal
Jejaring internal adalah jejaring yang dijalankan didalam fasyankes dengan
melibatkan seluruh unit yang menangani pasien TB. Koordinasi kegiatan
64
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
dilaksanakan oleh Tim DOTS. Tidak semua fasyankes harus memiliki tim
DOTS tergantung dari kompleksitas layanan dan manajemen yang dimilki
oleh fasyankes. Tim ini mempunyai tugas, antara lain merencanakan,
melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi kegiatan DOTS di fasyankes.
b. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara instansi/unit Dinas
Kesehatan, rumah sakit, puskesmas dan fasyankes lainnya dalam layanan
pasien TB dengan strategi DOTS dan dalam program pengendalian TB.
Dalam jejaring PPM, Dinas Kesehatan memiliki fungsi dan tugas sebagai berikut:
a. Melakukan koordinasi dan fasilitasi antar fasyankes.
b. Bersama fasyankes menyusun protap jejaring layanan pasien TB, dan
memastikan protap dijalankan.
c. Pembinaan, monitoring dan evaluasi penerapan DOTS dan kegiatan program
TB lainnya di fasyankes.
d. Memastikan sistem surveilans TB (pencatatan dan pelaporan) berjalan.
65
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Suatu sistem jejaring dapat dikatakan berfungsi secara baik apabila angka
default < 5 % pada setiap Fasyankes.
Keterangan :
di Fasyankes PPM DOTS
di Puskesmas
Semua petugas pada unit fasyankes yang menemukan suspek TB, memberikan
informasi yang jelas kepada yang bersangkutan agar dapat menentukan pilihan
fasyankes (diagnosis, pengobatan, pemantauan), dengan menawarkan pilihan
yang sesuai dengan situasi dan kondisi pasien. Beberapa faktor penting yang
perlu dipertimbangkan, adalah:
· Tingkat sosial ekonomi pasien
· Biaya Konsultasi
· Lokasi tempat tinggal (jarak dan keadaan geografis)
66
66
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
· Biaya Transportasi
· Kemampuan dan fasilitas layanan.
67
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 9
KOLABORASI TB-HIV
1. BATASAN
Kolaborasi TB-HIV adalah upaya mengintegrasikan kegiatan kedua program
secara fungsional, dalam pengendalian kedua penyakit, baik pada aspek
manajemen kegiatan program maupun penyediaan pelayanan bagi pasien,
sehingga mampu mengurangi beban kedua penyakit tersebut secara efektif dan
efisien.
Tujuan umum: mengurangi beban TB dan HIV pada masyarakat akibat kedua
penyakit ini.
Tujuan khusus dari pelaksanaan kolaborasi TB-HIV:
· Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV/AIDS
· Menurunkan beban TB pada ODHA
· Menurunkan beban HIV pada pasien TB
68
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
71
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 10
MANAJEMEN TB RESISTAN OBAT
(Programmatic Management Of Drug Resistant Tuberculosis)
Kebal obat atau resistensi terhadap obat berarti kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis) tidak dapat lagi dibunuh oleh OAT yang dipakai saat ini. Resistensi ini
dimulai dari yang sederhana yaitu mono resistan sampai dengan Multi Drug Resistan
(MDR) dan eXtensive Drug Resistan (XDR).
Saat ini menurut WHO Indonesia menduduki peringkat ke delapan dari 27 negara
dengan jumlah kasus MDR tertinggi. Survey resistensi OAT di provinsi Jawa Tengah
menunjukkan bahwa angka TB MDR pada pasien yang belum pernah mendapat
pengobatan OAT sebelumnya sekitar 2 % dan sekitar 16 % bagi yang pernah
mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya. Faktor utama penyebab terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT adalah ulah manusia, baik penyedia layanan,
pasien, maupun program/sistem layanan kesehatan yang berakibat terhadap
tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak sesuai dengan standar dan mutu yang
ditetapkan.
1. BATASAN
Manajemen Program TB resistan Obat (Programmatic Manajment Of Drug
Resistant Tuberculosis) merupakan program yang sistematis, komprehensif dan
terpadu sesuai kerangka strategi DOTS dalam mengendalikan perkembangan TB
kebal obat agar tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat, dengan kegiatan
utama :
· pencegahan terjadinya TB resistan obat,
· penemuan secara dini dan
· tatalaksana kasus TB resistan obat yang bermutu,
· pengurangan risiko penularan dan
· pencegahan timbulnya TB resistan obat ekstensif (extensively drugs resistant
/XDR) dengan tujuan agar TB resistan obat .
Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB:
· Monoresistan: Resistensi terhadap salah satu OAT, misalnya resistan
terhadap INH saja, atau rifampisin saja, dll.
Polyresistan: Resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid (H)
bersama rifampisin (R), misalnya resistensi terhadap H-E atau R-E, atau H-E-
S, dll.
Multi drug resistan (MDR) : Resistan terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid (H) dan rifampicin (R), secara bersamaan dengan atau tanpa OAT
lini pertama yang lain, misalnya : HR, HRE, HRES.
Ekstensif drug resistan (XDR):
- TB MDR
- disertai resistensi terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon,
- dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (Capreomisin, Kanamisin, dan
Amikasin).
Total drug resistan (Total DR):
Resistensi terhadap semua OAT (lini pertama dan lini kedua).
72
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
2. STRATEGI IMPLEMENTASI
Untuk melaksanakan kegiatan Program Manajemen TB Resistan Obat dalam
suatu wilayah, perlu upaya pemenuhan kondisi tertentu, yaitu:
1. Penerapan strategi DOTS telah berjalan dengan baik di wilayah tersebut
2. Mempunyai akses ke laboratorium yang telah disertifikasi untuk melaksanakan
biakan dan uji kepekaan terhadap OAT (Drugs Susceptibility Test/ DST);
3. Mempunyai akses ke rumah sakit yang telah ditunjuk sebagai pusat rujukan
penatalaksanaan TB MDR.
4. Memiliki jejaring DOTS antara rumah sakit dan Puskesmas yang berjalan
dengan baik.
5. Adanya komitmen dari pemerintah daerah, khususnya pengalokasian dana
secara bertahap untuk kelancaran & pengembangan kegiatan selanjutnya.
73
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
3. PENGORGANISASIAN
1. Tingkat Pusat
Kegiatan Manajemen TB Resistan Obat adalah bagian dari upaya
pengendalian TB yang dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis (Gerdunas TB). Dalam pelaksanaan program
TB MDR secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat Pengendalian
Penyakit Menular Langsung, cq.Sub Direktorat Tuberkulosis.
2. Tingkat Provinsi
Pelaksanaan program TB MDR merupakan bagian dari pelaksanaan program
TB ditingkat provinsi, dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi.
3. Tingkat Kabupaten/Kota
Pelaksanaan program TB MDR merupakan bagian dari pelaksanaan program
TB ditingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/kota.
a. Jejaring Internal
Jejaring internal adalah jejaring antar semua unit terkait di dalam rumah sakit
yang menangani kasus TB, termasuk TB MDR.
Untuk keberhasilan jejaring internal, perlu didukung dengan tim DOTS rumah
sakit. Tim DOTS rumah sakit mengkoordinasikan seluruh kegiatan
penanganan semua pasien tuberkulosis termasuk pasien TB MDR. Tim Ahli
Klinis merupakan bagian tim DOTS rumah sakit yang khusus menangani
pasien TB MDR.
74
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
b. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara rumah sakit dengan
semua fasyankes dan institusi lain yang terkait dalam program pengendalian
tuberkulosis, termasuk penanganan pasien TB MDR dan difasilitasi oleh
Dinas Kesehatan setempat.
75
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 11
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM
1. KONSEP PERENCANAAN
Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk
menyusun rencana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan
perkiraan keadaan yang akan muncul dimasa mendatang berdasarkan pada
fakta dan bukti. Pada dasarnya rencana adalah alat manajemen yang berfungsi
membantu organisasi atau program agar dapat berkinerja lebih baik dan
mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien.
Tujuan dari perencanaan adalah tersusunnya rencana program, tetapi proses ini
tidak berhenti disini saja karena setiap pelaksanaan program tersebut harus
dipantau agar dapat dilakukan koreksi dan dilakukan perencanaan ulang untuk
perbaikan program.
A. Pengumpulan data
Data yang diperlukan meliputi data kesehatan dan data pendukung dari berbagai
sektor terkait. Data yang diperlukan untuk tahap analisa masalah adalah:
76
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
· Data Umum
Mencakup data geografi dan demografi (penduduk, pendidikan, sosial
budaya, ekonomi) serta data lainnya (jumlah fasilitas kesehatan, organisasi
masyarakat).
Data ini diperlukan untuk menetapkan target, sasaran dan strategi
operasional lainnya yang sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat.
· Data Program
Meliputi data tentang beban TB, pencapaian program (penemuan pasien,
keberhasilan diagnosis, keberhasilan pengobatan), resistensi obat serta data
tentang kinerja institusi lainnya. Data ini diperlukan untuk dapat menilai apa
yang sedang terjadi, sampai dimana kemajuan program, masalah apa yang
dihadapi dan rencana apa yang akan dilakukan.
· Data Sumber Daya
Meliputi data tentang tenaga (man), dana (money), logistik (material), dan
metodologi yang digunakan (method). Data ini diperlukan untuk meng-
identifikasikan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi sehingga dapat
menyusun program secara rasional, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap
daerah.
Disamping untuk perencanaan, data tersebut dapat dimanfaatkan untuk
berbagai hal seperti advokasi, diseminasi informasi serta umpan balik.
B. Analisa situasi
77
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
a. Daya ungkitnya tinggi, artinya bila masalah itu dapat diatasi maka masalah
lain akan teratasi juga.
b. Kemungkinan untuk dilaksanakan (feasibility), artinya upaya ini mungkin
untuk dilakukan.
Dengan memperhatikan masalah prioritas dan tujuan yang ingin dicapai, dapat
diidentifikasi beberapa alternatif pemecahan masalah. Dalam menetapkan
pemecahan masalah, perlu ditetapkan beberapa alternatif pemecahan masalah
yang akan menjadi pertimbangan pimpinan untuk ditetapkan sebagai pemecahan
masalah yang paling baik. Pemilihan pemecahan masalah harus
mempertimbangkan pemecahan masalah tersebut memiliki daya ungkit terbesar,
sesuai dengan sumber daya yang ada dan dapat dilaksanakan sesuai dengan
waktu yang ditetapkan.
Tujuan yang akan dicapai ditetapkan berdasar kurun waktu dan kemampuan
tertentu. Tujuan dapat dibedakan antara tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum biasanya cukup satu dan tidak terlalu spesifik. Tujuan umum dapat
dipecah menjadi beberapa tujuan khusus yang lebih spesifik dan terukur.
Beberapa syarat yang diperlukan dalam menetapkan tujuan antara lain
(SMART):
· Terkait dengan masalah (Spesific)
· Terukur (Measurable)
· Dapat dicapai (Achievable)
· Relevan, rasional (Realistic)
· Memiliki target waktu (Timebound).
1. Mempertahankan Mutu
Mutu strategi DOTS mutlak harus dipertahakan sebelum meningkatkan
cakupan program. Mutu strategi DOTS mencakup segala aspek mulai dari
penemuan, diagnosis pasien, pengobatan dan penanganan pasien (case
holding), sampai pada pencatatan pelaporan. Masing-masing aspek tersebut,
perlu dinilai semua unsurnya, apakah sudah sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan.
2. Pengembangan Wilayah
Tiap kabupaten/kota diharuskan merencanakan tahapan pengembangan
sarana pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya masing-masing.
78
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
4. Pemetaan Wilayah
Untuk menyusun perencanaan yang baik, perlu dilakukan pemetaan
terhadap wilayah yang dapat meliputi:
· Unit pelaksana, misal: jumlah RS, jumlah puskesmas, poliklinik
· Sumber daya, misal; jumlah dan jenis tenaga terlatih, sumber dana,
ketersediaan OAT, jumlah sarana dan prasarana.
· Cakupan pelayanan, misal: cakupan penemuan dan pengobatan.
· Mutu pelayanan, misal: diagnosa sesuai standar, kesalahan laboratorium,
pencatatan yang baku.
· Situasi penyakit.
6. Penyusunan Anggaran
Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan
memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu.
Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran
pemerintah dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber
dana dapat dimobilisasi. Perlu diperhatikan bahwa penyusunan anggaran
didasarkan pada kebutuhan program, sedangkan pemenuhan dana harus
79
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
diusahakan dari berbagai sumber. Dengan kata lain disebut program oriented,
bukan budget oriented. Secara umum prinsip dan langkah menyusun rencana
kegiatan dan penganggaran dapat dilakukan sebagai berikut:
· Daftarlah semua kegiatan pada masing masing strategi yang akan dilakukan
untuk tercapainya tujuan program
· Tentukan pembiayaan yang paling memungkinkan untuk masing-masing
kegiatan.
· Prioritaskan dana pemerintah daerah untuk masing-masing kegiatan prioritas.
Adanya dana pemerintah daerah dapat mengindikasikan bahwa
pembiayaannya akan lebih berkesinambungan atau setidaknya menunjukkan
adanya sharing budget.
· Perhatikan adanya kesenjangan antara daftar kegiatan yang prioritas dengan
kegiatan yang didanai. Kesenjangan pendanaan ini dapat ditutupi dengan
mengajukan bantuan donor.
· Hindari kondisi ketergantungan terhadap donor. Dana pemerintah pusat
maupun daerah merupakan dana utama kegiatan program, sementara dana
donor merupakan dana pendukung atau pelengkap.
7. Perumusan Perencanaan
Setelah selesai dengan langkah penyusunan perencanaan di atas, maka tiap unit
kerja diwajibkan merumuskan perencanaan secara lengkap dengan urutan
seperti dibawah ini:
a. Pendahuluan
b. Analisis situasi dan besarnya masalah
c. Prioritas masalah
d. Tujuan
e. Sasaran dan target
f. Kegiatan:
g. Monitoring dan Evaluasi
80
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
BAB 12
INFORMASI STRATEGIS PROGRAM PENGENDALIAN TB
Bab ini menjelaskan informasi strategis dalam pengendalian TB. Informasi strategis
terdiri dari beberapa komponen, tetapi dalam bab ini hanya akan dibahas
Pemantauan dan penilaian, pencatatan dan laporan, penelitian operasional.
Secara skematis komponen, proses dan pemanfaatan data dalam kerangka kerja
informasi strategis digambarkan pada bagan dibawah ini.
Penelitian
Pencatatan ilmiah (dasar)
dan pelaporan Pengelolaan Data
TB
Analisa dan
Surveilans TB Estimasi dan
Sistesis Data
modelling
81
81
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
2. PENELITIAN TUBERKULOSIS
Penelitian tuberkulosis dibagi menjadi penelitian ilmiah dan penelitian
operasional. Pada saat ini program TB lebih menekankan pad penelitian
operasional untuk memperbaiki manajemen program. Penelitian operasional
didefinisikan sebagai penilaian atau telaah terhadap unsur-unsur yang terlibat
dalam pelaksanaan program atau kegiatan-kegiatan yang berada dalam kendali
manajemen program tuberkulosis. Hal-hal yang dapat ditelaah dalam penelitian
operasional tuberkulosis antara lain meliputi sumber daya, akses pelayanan
kesehatan, pengendalian mutu pelayanan, keluaran dan dampak yang bertujuan
untuk meningkatkan kinerja program pengendalian nasional tuberkulosis.
Penelitian operasional dapat dibagi atas dua jenis yaitu penelitian observasional
dimana tidak ada manipulasi variabel bebas dan penelitian eksperimental yang
diikuti dengan tindakan/intervensi terhadap variabel bebas.
Penelitian observasional bertujuan menentukan status atau tingkat masalah,
tindakan atau intervensi pemecahan masalah serta membuat hipotesis
peningkatan kinerja program. Penelitian eksperimental melakukan intervensi
terhadap input dan proses guna meningkatkan kinerja program.
82
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Mengarah kepada kegiatan yang bersifat berkesinambungan
· Memperkuat kapasitas manajer kesehatan dan petugas pelaksana program
untuk melaksanakan penelitian operasional guna mengatasi masalah
· Melibatkan seluruh mitra yang berkepentingan terhadap hasil penelitian
operasional, khususnya manajer atau petugas pelaksana program pada
tingkat kabupaten kota dan provinsi
· Memberikan akses kepada manajer atau petugas pelaksana program dari
daerah lain untuk menjadikan hasil penelitian sebagai bahan pembelajaran.
83
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
· Register TB fasyankes (TB.03 fasyankes)
· Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
· Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).
· Register Laboratorium TB (TB.04).
Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses,
maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan melaksanakan
menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas
pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran.
Indikator Program TB
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan pengendalian TB digunakan
beberapa indikator. Indikator pengendalian TB secara Nasional ada 2 yaitu:
· Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR)
dan
· Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional
tersebut di atas, yaitu:
· Angka Penjaringan Suspek
· Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa
dahaknya
· Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
· Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
· Angka Notifikasi Kasus (CNR)
· Angka Konversi
· Angka Kesembuhan
· Angka Kesalahan Laboratorium
Analisa dapat dilakukan dengan membandingkan data antara satu dengan yang
lain untuk melihat besarnya perbedaan dan dengan melihat kecenderungan
(trend) dari waktu ke waktu.
Untuk tiap tingkat administrasi memiliki indikator sebagaimana pada tabel
berikut:
85
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
86
86
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TB .
06)
FASYANKES yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya
rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat
dihitung.
Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % ) kemungkinan
disebabkan :
· Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi
kriteria suspek, atau
· Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( negatif palsu ). Bila
angka ini terlalu besar ( > 15 % ) kemungkinan disebabkan :
· Penjaringan terlalu ketat atau
· Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( positif palsu).
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah,
itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk
menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).
87
87
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Rumus:
88
88
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB paru BTA positif :
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg konversi
X 100%
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg diobati
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu
dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai
berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan).
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB.11.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatan ulang
dengan tujuan:
· Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap
obat terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans
kekebalan obat.
· Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan
obat baris kedua (second-line drugs).
· Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang
terjadi pada pasien dengan HIV.
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu
dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai
89
89
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari
laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka
kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari
4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh
lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
i. Angka Keberhasilan Pengobatan
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien
baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang
sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA
positif yang tercatat.
Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan
dan angka pengobatan lengkap.
Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori
1.
90
90
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Klasifikasi kesalahan
Hasil dari lab. Hasil lab uji silang
Peserta Negatif Scanty 1+ 2+ 3+
Negatif Betul NPR NPT NPT NPT
Scanty PPR Betul Betul KH KH
1+ PPT Betul Betul Betul KH
2+ PPT KH Betul Betul Betul
3+ PPT KH KH Betul Betul
Betul : Tidak ada kesalahan
KH (Kesalahan Hitung) : Kesalahan kecil
NPR (Negatif Palsu Rendah) : Kesalahan kecil
PPR (Positif Palsu Rendah) : Kesalahan kecil
NPT (Negatif Palsu Tinggi) : Kesalahan besar
PPT (Positif Palsu Tinggi) : Kesalahan besar
Selain kesalahan besar dan kesalahan kecil, kesalahan juga dapat berupa
tidak memadainya kualitas sediaan, yaitu : terlalu tebal atau tipisnya sediaan,
pewarnaan, ukuran, kerataan, kebersihan dan kualitas spesimen. Mengingat
sistem penilaian yang berlaku sekarang berbeda dengan yang terbaru,
petugas pemeriksa slide harus mengikuti cara pembacaan dan pelaporan
sesuai buku Panduan bagi petugas laboratorium mikroskopis TB
Error Rate
Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan laboratorium
yang menyatakan prosentase kesalahan pembacaan slide/ sediaan yang
dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji silang (cross
check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain.
91
91
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransi
maksimal 5%.
Apabila error rate = 5 % dan positif palsu serta negatif palsu keduanya < 5%
berarti mutu pemeriksaan baik.
Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide yang di uji silang (cross
check) relatif sedikit. Pada dasarnya error rate dihitung pada masing-masing
laboratorium pemeriksa, di tingkat kabupaten/ kota. Kabupaten / kota harus
menganalisa berapa persen laboratorium pemeriksa yang ada diwilayahnya
melaksanakan cross check, disamping menganalisa error rate per
PRM/PPM/RS/BP4, supaya dapat mengetahui kualitas pemeriksaan slide
dahak secara mikroskopis langsung.
5. SURVEILANS TUBERKULOSIS
Yang dimaksud dengan surveilans adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari
pengumpulan data penyakit secara sistematik, lalu dilakukan analisis dan
interpretasi data, kemudian hasil analisis didesiminasi untuk kepentingan
tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan
kematian serta untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Ada 3 macam
metode surveilans TB, yaitu: Surveilans berdasarkan data rutin, survei periodik /
survei khusus, survei sentinel.
92
92
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
surveilans berdasarkan data rutin ini perlu dikalibrasi dengan hasil dari survei
periodik atau survei sentinel.
Survei ini memerlukan biaya yang cukup mahal dan termasuk cukup sulit untuk
melaksanakannya. Hasil survei ini dapat digunakan untuk mengkalibrasi hasil
surveilans berdasar data rutin.
Surveilans sentinel.
Merupakan surveilans pasien TB sebagai kelompok sentinel. Survei sentinel ini
dilaksanakan pada tempat-tempat (sarana pelayanan kesehatan) tertentu yang
terpilih karena dianggap dapat memberikan gambaran populasi yang lebih besar.
Penting diperhatikan bahwa survei sentinel ini perlu dilakukan setiap tahun dengan
mematuhi prinsip-prinsip sentinel, yaitu harus dilakukan pada tempat, waktu dan
metode yang sama. Survei sentinel ini memerlukan biaya yang tidak terlalu mahal
dan relatif mudah dilaksanakan. Hasil sentinel surveilans ini dapat digunakan untuk
mengkalibrasi hasil surveilans berdasar data rutin. Disamping itu juga sangat
berguna untuk melihat kecenderungan (trend) penyakit, misalnya prevalensi HIV
pada pasien TB sebagai kewaspadaan terjadinya KLB (Kejadian Luar Biasa).
93
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Lampiran 1
Prinsip dasar ISTC tidak berubah. Penemuan kasus dan pengobatan tetap menjadi
hal utama. Selain itu juga tanggungjawab penyedia pelayanan kesehatan untuk
menjamin pengobatan sampai selesai dan sembuh. Seperti halnya pada edisi
sebelumnya, edisi 2009 ini tetap konsisten berdasarkan rekomendasi internasional
dan dimaksudkan untuk melengkapi bukan untuk menggantikan rekomendasi lokal
atau nasional.
94
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
95
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
96
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Standar 13
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis,
dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.
97
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Standar 18
Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya
memastikan bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien
tuberkulosis menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan
rekomendasi internasional. Penentuan prioritas penyelidikan kontak didasarkan
pada kecenderungan bahwa kontak: 1) menderita tuberkulosis yang tidak
terdiagnosis; 2) berisiko tinggi menderita tuberkulosis jika terinfeksi; 3) berisiko
menderita tuberkulosis berat jika penyakit berkembang; dan 4) berisiko tinggi
terinfeksi oleh pasien. Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah:
· Orang dengan gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis.
· Anak berusia <5 tahun.
· Kontak yang menderita atau diduga menderita imunokompromais,
khususnya infeksi HIV.
· Kontak dengan pasien MDR/XDR TB.
Kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah.
Standar 19
Anak berusia <5 tahun dan orang dari semua usia dengan infeksi HIV yang
memiliki kontak erat dengan pasien dan yang, setelah dievaluasi dengan
seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif, harus diobati sebagai infeksi
laten tuberkulosis dengan isoniazid.
Standar 20
Setiap fasiliti pelayanan kesehatan yang menangani pasien yang menderita
atau diduga menderita tuberkulosis harus mengembangkan dan menjalankan
rencana pengontrolan infeksi tuberkulosis yang memadai.
Standar 21
Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus
tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil
pengobatannya ke kantor Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan
peraturan hukum dan kebijaksanaan yang berlaku.
98
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
LAMPIRAN 2
99