ASP02 Pengaruh Faktor-Faktor Rasional, Politik, Dan Kultur Organisasi Terhadap Pemanfaatan Informasi Kinerja Instansi Pemerintah Daerah

Unduh sebagai pdf
Unduh sebagai pdf
Anda di halaman 1dari 17

SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR RASIONAL,POLITIK DAN KULTUR


ORGANISASI TERHADAP PEMANFAATAN INFORMASI KINERJA
INSTANSI PEMERINTAH DAERAH

FERRY LAURENSIUS SIHALOHO


Universitas KatolikSanto Thomas Sumatera Utara

ABDUL HALIM
Universitas Gajah Mada

ABSTRACT
Performance measurement is a process and a tool by which public transparency, public
accountability, and public servant behavior can be promoted. Despite its appeal for
improving government, performance measurement information rarely used to improve
decision-making. This study will examine utilization of performance measure in local
government and state (province) government in Daerah Istimewa Yogyakarta. Utilization
process of performance measure consists of two phase, i.e. adoption phase and
implementation phase. Each phase was affected by rational factors, political and
organizational culture factors. The research finds that all rational factors, except internal
requirement, have significant effect on adoption phase, whereas part of political and
cultural factors that have significant effect to adoption phase are internal interest groups
and attitudes. Rational factors and political and organizational culture factors that have
significant effect to implementation phase are information, goal orientation, internal
interest groups, and attitudes.
Keyword: Performance measure, utilization, adoption and implementation, rational
factors, political and organizational culture factors

LATAR BELAKANG PENELITIAN


Pengukuran kinerja instansi pemerintah dimaksudkan untuk meningkatkan
akuntabilitas, transparansi, pengelolaan organisasi dan peningkatan pelayanan kepada
masyarakat. Informasi kinerja yang dihasilkan oleh suatu sistem pengukuran kinerja
ditujukan untuk keperluan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap organisasi, yaitu
stakeholder internal maupun eksternal. Namun, tujuan utama pengukuran kinerja instansi
adalah untuk memperbaiki pengambilan keputusan internal serta alokasi sumber daya.
Sistem pengukuran kinerja menjadi tidak berguna sama sekali apabila informasi kinerja
yang dihasilkan tidak dimanfaatkan dalam memperbaiki pengambilan keputusan.
Pemanfaatan (utilization) informasi kinerja untuk keperluan internal tidak
terlepas dari tahap adopsi ukuran kinerja dan tahap menerapkan (implementasi) informasi
kinerja untuk pelaporan, alokasi anggaran dan membantu pengambilan keputusan (Julnes
dan Holzer, 2001). Pengakuan terhadap kedua tahap ini diperlukan karena kesalahan
mengadopsi suatu ukuran kinerja akan membuat informasi kinerja menjadi tidak valid
dan tidak dapat diandalkan. Jika tidak mencerminkan kinerja sebenarnya maka informasi
kinerja tidak dapat diimplementasikan dalam proses pengambilan keputusan, pemantauan
dan evaluasi, serta pengalokasian anggaran.
Keputusan mengadopsi suatu ukuran kinerja memerlukan perencanaan yang
matang berkaitan dengan kesiapan organisasi dan personel-personel pelaksana program
untuk merencanakan ukuran kinerja, melaksanakan kegiatan dan mengumpulkan data
kinerja. Tahap adopsi merupakan tahap pengembangan kapasitas organisasi dalam
mengembangkan ukuran kinerja dan pengambilan keputusan tentang ukuran kinerja yang
akan dipakai atau diadopsi. Sedangkan tahap implementasi, hasil pengukuran dan
pengumpulan data atau informasi kinerja dievaluasi dan diterapkan dalam alokasi
anggaran, perencanaan kinerja dan perencanaan strategis, pemantauan dan evaluasi serta
pelaporan.

774
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

Pada kedua tahap pemanfaatan informasi kinerja, organisasi tidak boleh hanya
mempertimbangkan faktor-faktor rasional, yaitu ketentuan eksternal dan internal,
ketersediaan sumberdaya, orientasi pada tujuan, informasi yang dapat meningkatkan
keahlian, namun juga mempertimbangkan pengaruh lingkungan politik, baik kelompok
internal organisasi maupun kelompok eksternal serta pengaruh kultur organisasi. Dengan
mengakui pengaruh faktor-faktor politik dan kultur organisasi disamping faktor-faktor
rasional, maka ukuran kinerja yang dirancang dan diadopsi akan dapat dimanfaatkan
dalam memperbaiki pengambilan keputusan.
Beberapa penelitian mengemukakan fakta bahwa ukuran-ukuran kinerja tidak
dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan, alokasi anggaran, atau pemantauan program
(Julnes danHolzer,2001). Swindell dan Kelly (2002) mengemukakan bahwa hampir 75 %
organisasi yang mengumpulkan data kinerja di Amerika Serikat tidak menggunakannya
dalam pengambilan keputusan.
Penelitian ini berusaha mengetahui praktik-praktik pengukuran kinerja di instansi
pemerintah dan meneliti pengaruh faktor-faktor rasional,politik dan kultur organisasi
terhadap pengadopsian dan pengimplementasian suatu ukuran kinerja. Penelitian ini
menggunakan kerangka berpikir dari penelitian yang dilakukan oleh Julnes dan Holzer
(2001) dan menyesuaikannya untuk kondisi yang ada dalam praktik-praktik pengukuran
kinerja di instansi pemerintah Indonesia. Penelitian ini berfokus pada pejabat-pejabat
instansi pemerintah (eselon 2,3 dan 4) untuk mengetahui keberadaan ukuran-ukuran
kinerja, sikap dan persepsi mereka terhadap ukuran kinerja, dan faktor-faktor kontekstual
yang mempengaruhi penggunaan ukuran-ukuran kinerja.

TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS


Topik tentang pengukuran kinerja di sektor publik mendapat perhatian yang
cukup besar dari peneliti-peneliti terutama di negara-negara maju. Peneliti- peneliti
tersebut mendiskusikan mulai dari manfaat pengukuran kinerja (Wang,2002; Propper dan
Wilson;2003), desain pengukuran kinerja yang efektif (Kravchuk dan Schak,1996), resiko
pengukuran kinerja (Bruijn,2002) sampai kepada hambatan psikologis terhadap
pengukuran dan manajemen kinerja (Behn,2002). Perhatian yang besar terhadap
pengukuran kinerja disebabkan oleh opini bahwa pengukuran kinerja dapat meningkatkan
efisiensi, keefektifan, penghematan dan produktifitas pada organisasi-organisasi sektor
publik.
Meskipun literatur tentang pengukuran kinerja telah lama ada, namun di
organisasi publik, pemanfaatan ukuran-ukuran kinerja masih menjadi sesuatu yang
problematik. Terdapat beberapa kesulitan bawaan dalam melakukan pengukuran kinerja
dikarenakan karakteristik organisasi publik dan beragamnya stakeholder yang
berpengaruh. Kesulitan-kesulitan itu mempengaruhi setiap tahap pengembangan ukuran
kinerja dan dalam pemanfaatan informasi ukuran kinerja. Beberapa kesulitan tersebut
diantaranya adalah (Wholey,1999;de Bruijn, 2002; Hatry,1999; Kravchuk dan
Schack,1996;Rainey,1999)
1. Kesepakatan dalam menentukan indikator kinerja organisasi yang akan diukur.
Karena luasnya dimensi dari ukuran kinerja, maka terdapat kesulitan dalam
menentukan dimensi dari kinerja yang akan menjadi fokus pengukuran, apakah
berfokus pada input, proses, output atau outcome. Fokus pada salah satu aspek
pengukuran kinerja akan menimbulkan efek yang berbeda-beda. Misalnya, apabila
fokus pada input, maka organisasi menghargai ambisi namun mengabaikan hasil yang
akan dicapai. Demikian pula apabila organisasi fokus pada proses, maka organisasi
akan meningkatkan beban kerja tanpa menghiraukan kualitas layanan. Organisasi
yang berfokus pada hasil (output) dan outcome juga akan menimbulkan efek negatif,
dikatakan oleh de Bruijn (2002) sebagai perilaku strategik, yaitu meningkatkan
output agar sesuai dengan kriteria yang ada dan dapat menimbulkan game playing.
2. Kesepakatan atas apa yang menjadi misi, tujuan dan strategi organisasi.
Kesepakatan harus dicapai dengan melibatkan stakeholder yang beragam, padahal
stakeholder memiliki pilihan dan kepentingan yang berbeda-beda.

775
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

3. Kesiapan organisasi, baik dari sumberdaya, kapasitas organisasi, dalam


melaksanakan dan mengevaluasi infromasi kinerja. Pengukuran kinerja di sektor
publik mengukur output atau outcome yang sulit diukur karena tidak ada pasar
menentukan nilai output atau outcome. Dalam proses menetapkan indikator kinerja,
organisasi harus memiliki kemampuan melakukan forecasting untuk menyesuaikan
sumberdaya organisasi dengan output dan outcome yang akan dicapai. Untuk
melakukan hal itu, diperlukan sumberdaya manusia atau personel yang terlatih dalam
merencanakan indikator dan target kinerja, sehingga dapat diukur. Indikator kinerja
juga tidak hanya menunjukkan ambisi namun hal yang realistis dapat dicapai
organisasi. Keahlian dan sistem informasi yang baik diperlukan dalam
mengumpulkan data kinerja. Data kinerja dapat berasal dari catatan organisasi
(objective measure) atau yang dilakukan melalui survey (subjective measure). Untuk
menghasilkan data kinerja yang valid dan dapat diandalkan maka diperlukan keahlian
staf program dan sistem informasi yang memadai.
4. Permasalahan kultur dan komitmen. Pengukuran kinerja tentunya membawa
perubahan ke dalam organisasi. Perubahan ini tentunya akan ditanggapi atau
dipersepsikan secara berbeda oleh individu-individu dalam organisasi dan akan
membawa perubahan dalam kultur organisasi. Sistem pengukuran kinerja akan
membawa hasil apabila pengukuran kinerja dipersepsikan akan membawa dampak
baik terhadap perosonil organisasi dan akan mendorong komitmen kepada sistem
pengukuran kinerja. Namun pengukuran kinerja akan menimbulkan konflik, terutama
apabila kinerja atau tujuan yang diinginkan tidak dapat dicapai. Hal ini akan
menimbulkan komitmen yang rendah terhadap pengukuran kinerja.
5. Dukungan politik. Organisasi sektor publik tidak bisa melepaskan diri dari interaksi
dengan stakeholder dan menutup diri dari masa jabatan pemerintah dan legislatif
yang terbatas. Konsistensi kebijakan dalam pelaksanaan program dan sistem
pengukuran kinerja serta kepentingan politik merupakan sumber ketidakpastian yang
mempengaruhi pengukuran kinerja di sektor publik. Para pimpinan dan anggota
organisasi sektor publik akan mengalami kebingungan apabila terjadi
ketidakkonsistenan antara kebijakan sebelumnya dengan kebijakan pemerintahan
baru, sementara outcome dari pemerintahan sebelumnya belum dapat dirasakan.
Fenomena ini menimbulkan keraguan untuk mengadopsi dan mengimplementasikan
ukuran kinerja apabila tidak ada aturan tentang konsistensi kebijakan publik.

PEMANFAATAN INFORMASI KINERJA


Proses pemanfaatan (Utilization process) merupakan suatu proses perubahan dan
proses keperilakuan dalam pengambilan keputusan yang meliputi tahap-tahap adopsi dan
implementasi (Beyer dan Trice,1982; Cronbach,dkk,1980; Stehr,1992; Julnes dan
Holzer,2001). Pemanfaatan informasi kinerja juga dapat dibagi dalam dua tahap tersebut,
yaitu tahap adopsi dan tahap implementasi hasil pengukuran kinerja (Julnes dan Holzer,
2001). Tahap adopsi ukuran kinerja merupakan tahap pengembangan ukuran-ukuran
kinerja, yaitu pengembangan ukuran- ukuran kinerja input,output,outcome dan efisiensi
dengan mempertimbangkan kapasitas dan sumberdaya yang ada di organisasi. Tahap
implementasi merupakan tahap menggunakan ukuran kinerja untuk perencanaan strategis,
perencanaan kinerja alokasi anggaran, pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Pembagian proses pemanfaatan informasi kinerja menjadi dua tahap disebabkan
oleh pengguna dan kepentingan yang berbeda dalam kedua tahap tersebut. Selain itu,
proses pengambilan keputusan pada kedua tahap pemanfaatan informasi kinerja ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor rasional dan politik serta kultur organisasi (Julnes dan
holzer,2001; Morrow dan Hint,2000; Behn,2002) yang memiliki pengaruh-pengaruh yang
berbeda pada kedua tahap. Pengakuan terhadap kedua tahap ini memungkinkan organisasi
mengatasi hambatan-hambatan pengukuran kinerja.
1 Adopsi ukuran kinerja
Proses pengadopsian suatu ukuran kinerja merupakan suatu keputusan yang
didasarkan pada faktor-faktor rasional (Julnes dan Holzer,2001), dimana organisasi

776
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

menilai kemampuannya untuk melaksanakan suatu ukuran kinerja. Faktor-faktor rasional


itu adalah informasi, sumberdaya, orientasi tujuan (goal), dan ketentuan eksternal dan
internal (Julnes dan Holzer, 2001). Informasi tentang ukuran kinerja dapat diperoleh
melalui media, peraturan-peraturan, buku manual, internet, pelatihan, workshop, seminar.
Informasi ini dapat meningkatkan kemampuan teknis pelaksana program atau kegiatan.
Semakin banyak informasi yang diperoleh tentang pengukuran kinerja yang benar, maka
organisasi semakin memiliki kemampuan teknis untuk mengadopsi sistem pengukuran
kinerja.
Faktor rasional lainnya adalah ketersediaan sumberdaya yang dikhususkan untuk
pengukuran kinerja. Apabila terdapat sumberdaya, yaitu staf dan dana, yang dikhususkan
untuk mengembangkan, mengumpulkan dan mengevaluasi kinerja maka akan berdampak
pada pengadopsian suatu ukuran kinerja. Staf yang kapable dan tersedianya sumberdaya
keuangan sangat penting dalam mengembangkan dan memantau ukuran kinerja (Wang,
2002).
Orientasi tujuan (goal), yaitu konsensus terhadap tujuan dari setiap program.
Kesepakatan terhadap tujuan dari setiap program dan kegiatan yang akan dilaksanakan
akan membawa pada tujuan kinerja (Performance goal). Orientasi tujuan ini
memungkinkan organisasi untuk mengadopsi suatu ukuran kinerja. Ketentuan eksternal
dan internal merupakan peraturan yang mengharuskan instansi mengadopsi ukuran
kinerja. Peraturan itu bisa berasal dari luar (mandat dari UU, Peraturan Pemerintah,
PERDA atau BAWASDA dan LAN/ BPKP) maupun kebijakan manajemen atau
pimpinan instansi.
Keseluruhan Faktor-faktor rasional itu diprediksi mempengaruhi organisasi
dalam mengadopsi suatu ukuran kinerja. Penelitian Julnes dan Holzer (2001) menemukan
bahwa faktor-faktor rasional mempengaruhi organisasi Pemerintah dalam keputusan
mengadopsi ukuran kinerja. Penelitian Wang (2002) juga mengindikasikan bahwa
ketersediaan sumberdaya, dan kesepakatan akan tujuan memungkinkan organisasi untuk
mengembangkan ukuran kinerja dan memantau kinerja.
Meskipun faktor rasional merupakan hal yang pertama dipertimbangkan dalam
membuat keputusan, namun perlu disadari bahwa organisasi, terutama organisasi sektor
publik beroperasi dan berinteraksi dalam lingkungan dimana banyak pihak yang terlibat.
Pembuatan keputusan dalam organisasi tidak terlepas dari pengaruh politik organisasi
(Morrow dan Hitt, 2000) yang berasal dari luar dan dalam organisasi. Selanjutnya, Fisher
(1986 dalam Julnes dan Holzer,2001) menyatakan bahwa kerangka rasional harus juga
ditempatkan juga dalam kerangka politik.
Politik dalam organisasi muncul dari tidak tercapainya kesepakatan dari unsur-
unsur yang ada dalam organisasi yang berpotensi menimbulkan konflik (Morrow dan
Hitt,2000). Konflik ini biasanya diselesaikan dengan proses politik internal seperti koalisi
dan bargaining dan memberikan insentif dan penghargaan. Pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan (power) dalam organisasi, seperti pimpinan organisasi dan manajemen lainnya,
berkesempatan mengumpulkan simpati untuk mempertahankan keyakinannya. Dalam
konteks pengukuran kinerja, peran pimpinan dan level manajemen sangat penting dalam
meraih kesepakatan internal organisasi untuk mengadopsi suatu ukuran kinerja.
Pengadopsian suatu ukuran kinerja merupakan suatu proses internal dalam
organisasi. Meskipun stakeholder eksternal juga berpengaruh terhadap instansi
pemerintah, namun dalam mengadopsi suatu ukuran kinerja stakeholder eksternal kurang
berperan. Penelitian Wang (2002) menunjukkan bahwa komunikasi dengan stakeholder
eksternal, yaitu legislatif dan warga negara, terjadi ketika proses dengar pendapat dalam
proses penetapan anggaran, perencanaan strategis dan lainnya dimana instansi pemerintah
mengkomunikasikan informasi hasil pengukuran kinerja. Penelitian Julnes dan Holzer
(2001) juga menemukan bahwa pengaruh kelompok eksternal tidak signifikan dalam
pengadopsian suatu ukuran kinerja.
Kultur organisasi merupakan sekumpulan nilai yang melekat dalam organisasi
dan menjadi dasar bagi personil organisasi dalam menghadapi permasalahan yang timbul.
Beberapa asersi menyatakan bahwa kultur organisasi dalam birokrasi pemerintah

777
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

cenderung resisten terhadap perubahan (resistance to change) dan lambat menerima


inovasi (Rainey,1999). Persepsi personil terhadap suatu ukuran kinerja akan
mempengaruhi apakah ukuran tersebut akan diadopsi. Sikap menolak terhadap suatu
ukuran kinerja cenderung menghambat pengadopsian sedangkan sikap yang tidak resisten
cenderung membuat pengadopsian suatu ukuran kinerja terlaksana.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diduga bahwa pengadopsian suatu
ukuran kinerja oleh organisasi publik dipengaruhi oleh faktor-faktor rasional
(sumberdaya, informasi, orientasi tujuan, Ketentuan eksternal dan internal) dan beberapa
faktor-faktor politik (kelompok internal dan sikap).Untuk itu, dapat dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H1a: Faktor-faktor rasional berpengaruh signifikan terhadap adopsi ukuran kinerja di
instansi Pemerintah Daerah.
H1b: Kelompok internal dan sikap berpengaruh signifikan terhadap adopsi ukuran
kinerja
2. Implementasi informasi kinerja
Pengukuran kinerja tidaklah berhenti hanya ketika organisasi telah mengadopsi
ukuran kinerja. Pengukuran kinerja tidak memiliki manfaat apabila informasi kinerja
yang dihasilkan tidak dimanfaatkan atau diimplementasikan. Tahap berikutnya setelah
ukuran kinerja diadopsi adalah memanfaatkan ukuran kinerja untuk perencanaan
strategis, perencanaan kinerja tahunan, alokasi anggaran, monitoring, evaluasi dan
pemantauan serta melaporkan informasi tersebut kepada pihak-pihak baik secara vertikal
(kepada atasan) maupun secara horisontal (parlemen).
Implementasi ukuran kinerja dipengaruhi oleh faktor politik dan kultur
organisasi (Julnes dan Holzer,2001; Wang, 2002; Behn,2002;Rainey,1999). Faktor politik
dalam organisasi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, berpengaruh
terhadap implementasi informasi pengukuran kinerja. Dukungan dari stakeholder
internal dan pihak legislatif dan masyarakat agar informasi kinerja dimanfaatkan untuk
perencanaan strategis, alokasi anggaran, pengendalian dan pemantauan serta pelaporan
akan semakin meningkatkan pemanfaatan informasi pengukuran kinerja.
Pemanfaatan ukuran kinerja juga dipengaruhi oleh sikap pelaksana program
terhadap ukuran kinerja. Pemanfaatan informasi kinerja akan dapat berjalan dengan baik
apabila pelaksana program atau personil program merasa bahwa informasi kinerja
tersebut dapat memperbaiki kinerja organisasi dan tidak dimaksudkan untuk
“menyingkirkan” mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa personil organisasi
akan mendukung implementasi ukuran kinerja apabila tidak berdampak buruk terhadap
karir mereka, misalnya pemberian hukuman atau sanksi, dan sebaliknya apabila berakibat
buruk terhadap karirnya (Behn,2002).
Dalam tahap implementasi, penelitian Julnes dan Holzer (2001) menemukan
bahwa tidak semua faktor rasional berpengaruh dalam implementasi kinerja. Faktor
sumberdaya dan informasi merupakan dua faktor yang berpengaruh dalam tahap
implementasi. Hal ini dikarenakan organisasi masih memerlukan informasi dan
sumberdaya untuk mengevaluasi dan menganalisa kinerja agar dapat dimanfaatkan
dalam pengambilan keputusan. Selain faktor-faktor rasional tersebut, tujuan yang telah
disepakati merupakan prasyarat utama untuk menggunakan informasi kinerja (Wholey,
1999). Pendapat ini didukung penelitian Wang (2002) bahwa performance goal
berdampak pada proses perencanaan strategik dan proses manajemen dan proses evaluasi
kinerja karyawan. Dengan demikian, selain faktor informasi dan faktor sumberdaya,
orientasi tujuan juga berpengaruh terhadap implementasi informasi kinerja.
Dari uraian diatas dapat diduga bahwa faktor-faktor politik dan kultur organisasi
berpengaruh dalam implementasi informasi pengukuran kinerja. Demikian juga faktor-
faktor rasional, yaitu sumberdaya, informasi, dan orientasi tujuan, juga diduga
berpengaruh signifikan terhadap tahap implementasi. Untuk itu, dapat dirumuskan
hipotesis berikut:

778
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

H2a: Faktor-faktor Politik dan Kultur berpengaruh signifikan terhadap implementasi


informasi kinerja
H2b: Ketersediaan sumberdaya, informasi,dan orientasi tujuan berpengaruh signifikan
terhadap implementasi kinerja di Instansi Pemerintah

METODE PENELITIAN
Pemilihan sampel dan pengumpulan data
Penelitian dilakukan di Pemerintah Provinsi DIY Yogyakarta, Pemerintah Kota
Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Sleman, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan
Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu pada Instansi Pemerintah Daerah (Dinas dan
Badan). Instansi Pemerintah Daerah tersebut dipilih secara acak (simple random
sampling) agar dapat mencerminkan keadaan tingkat adopsi dan implementasi ukuran
kinerja di instansi daerah.
Untuk menanyakan praktik pengukuran kinerja di instansi maka peneliti
mengirimkan kuisioner kepada pejabat eselon 2, 3 dan 4 di masing-masing instansi yang
dipilih. Kuisioner dikembangkan dari penelitian Julnes dan Holzer (2001) dan Rainey
(1999). Dari 810 eksemplar kuisoner yang dibagikan kepada para responden, yang
kembali sebanyak 515 eksemplar atau sejumlah 63,5 %. Tingkat pengembalian yang
tinggi disebabkan peneliti mengantar dan menjemput kuisioner pada tanggal yang
dijanjikan. Kuisioner sebanyak 515 eksemplar tidak semuanya dapat dianalisis karena
beberapa kuisioner tidak lengkap diisi atau dikembalikan dengan keadaan kosong. Selain
itu terdapat kuisioner yang diisi dengan mengisi kotak yang sama mulai dari lembar
pertama dan lembar terakhir. Dari 515 kuisioner yang dikembalikan hanya 457 kuisioner
yang dapat diolah lebih lanjut.
Metode analisis data
Masing-masing hipotesis akan diuji dengan alat analisis regresi berganda
(multiple regresion) yaitu dengan persamaan:
ADPT= a0+ aX1+bX2+cX3+dX4+ eX5+fX6 +gX7+ e…………(1)
Dimana:
ADPT= Tahap adopsi
Variabel rasional
X1 = Sumberdaya
X2= Informasi
X3= Orientasi tujuan
X4= ketentuan eksternal
X5= Ketentuan internal, suatu variabel dummy: 0 = tidak ada aturan manajemen,1= ada
Variabel Politik dan kultur organisasi
X6= Kelompok internal
X7= Sikap
IMPL= a0+aX1+bX2+cX3+dX4+ eX5+ fX6 + e…………….(2)
Dimana:
IMPL= Tahap Implementasi
Variabel Politik dan kultur organisasi
X1= Kelompok internal
X2= Kelompok eksternal
X3= Sikap
Variabel rasional/
X4 = Sumberdaya
X5= Informasi
X6= Orientasi tujuan

779
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

Model Penelitian
H1a
• Informasi
adopsi
• Sumberdaya
• Orientasi tujuan
• Ketentuan internal
H1b
• Ketentuan eksternal

• Kelompok internal
• Sikap

• Kelompok eksternal
• Kelompok internal H2a
Implementasi
• Sikap

H2b


ANALISIS HASIL PENELITIAN


Statistik deskriptif

Untuk variabel dependen adopsi, hampir seluruh responden mengatakan bahwa


ukuran input, output dan outcome telah dikembangkan di instansi tempatnya bekerja.
Namun, untuk ukuran efisiensi, 55,58% dari 457 responden mengatakan bahwa ukuran
efisiensi tidak dikembangkan untuk program dan kegiatan dan hanya 11 % dan 9%
responden yang mengatakan ukuran efisiensi digunakan untuk banyak dan seluruh
program di instansimya.
Ketika ditanyakan ukuran kinerja yang paling sering digunakan atau
dimanfaatkan untuk perencanaan kinerja, alokasi anggaran, dan monitoring dan evaluasi,
maka deskripsi jawaban responden dapat diiktisarkan pada tabel dan grafik berikut ini:

Tabel 1:
Ukuran kinerja yang paling sering digunakan
Monitoring
dan
%
Perencanaan alokasi evaluasi
kinerja % anggaran % program
INPUT 177 39% 109 24% 55 12%
OUTPUT 170 37% 205 45% 206 45%
OUTCOME 170 37% 156 34% 105 23%
EFISIENSI 56 12% 19 4% 59 13%

Grafik 1:

780
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

UKURAN KINERJA YANG SELALU DUGUNAKAN

250,00

200,00

150,00

100,00

50,00

0,00
Perencanaan kinerja alokasi ang g aran Monitoring dan
evaluasi prog ram

INPUT OUTPUT OUTCOME EFISIENSI

Hasil tersebut menunjukkan bukti bahwa sebagian besar instansi Pemerintah


secara konsisten mengikuti sistem pengukuran kinerja yang dirumuskan oleh BPKP dan
Lembaga Administrasi Negara, dimana dalam petunjuk tersebut efisiensi bukanlah suatu
ukuran kinerja yang harus dikembangkan.
Untuk mengetahui apakah terdapat ketentuan eksternal dan internal yang
mendorong organisasi untuk mengadopsi suatu ukuran kinerja, maka sebanyak 21% dari
responden mengatakan tidak ada aturan internal dari pimpinan organisasi yang
mengharuskan pengembangan dan pemanfaatan indikator kinerja untuk setiap program
dan 79% menyatakan terdapat kebijakan pimpinan instansi. Sedangkan Ketentuan
eksternal yang mengharuskan instansi menggunakan indikator kinerja dapat ditabulasi
sebagai berikut:
Tabel 2
Ketentuan eksternal yang mengharuskan instansi menggunakan ukuran kinerja
INPRES PERDA BPKP BAWASDA
Ya 414 411 324 271
Tidak 43 46 133 186
Persen 90 89 71 60

Data tersebut menunjukkan ketentuan yang paling dominan yang mengharuskan


instansi Pemerintah mengadopsi suatu ukuran kinerja adalah INPRES dan Peraturan
Daerah. Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pengawasan
Daerah (BAWASDA) sebagai aparat pengawas juga berperan dalam mendorong instansi
Pemerintah mengadopsi ukuran kinerja.
Statistik deskriptif keseluruhan variabel dependen dan independen adalah sebagai
berikut:
Tabel 3
Statistik Deskriptif
Statistics Dukungan dukungan Orientasi KETENTUAN
Adopsi implementasi eksternal internal sikap tujuan Informasi Sumberdaya EKSTERNAL
N Valid 457 457 457 457 457 457 457 457 457
Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mean 3,08 3,17 2,98 3,32 3,43 3,25 2,46 3,04 2,56
Median 3,00 3,08 3,00 3,33 3,50 3,20 2,40 3,00 2,00
Mode 3,00 3,00 3,00 3,67 3,00 4,00 2,40 3,00 2,00
Std. Deviation 0,55 0,56 0,59 0,50 0,43 0,58 0,57 0,51 1,02
Variance 0,30 0,31 0,34 0,25 0,19 0,34 0,33 0,26 1,04
Skewness -0,02 -0,14 -0,58 -0,55 -0,09 -0,40 0,08 -0,58 0,05
Std. Error of Skewness 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11
Kurtosis -0,16 -0,82 0,86 -0,18 -0,90 -0,52 -0,05 0,60 -0,90
Std. Error of Kurtosis 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23

Uji validitas dan reabilitas


Validitas yang diuji dengan metode statistik adalah validitas skala atau validitas
konstruk. Dari hasil pengujian validitas konstruk yang dilakukan dengan analisis faktor
menunjukkan factor loading diatas 0,50.
Uji reabilitas dilakukan untuk melihat tingkat konsistensi suatu pengukur dari
suatu variabel. Suatu pengukur dikatakan dapat diandalkan apabila memiliki koefisien

781
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

cronbach’s alpha (Rule of Thumb) sama atau lebih dari 0,70. Pengujian yang dilakukan
terhadap data penelitian menemukan koefisien cronbach’s alpha lebih dari 0,70.

Pengujian asumsi klasik


1. Normalitas data
Pengujian normalitas data mengikuti rule of Thumb dengan melihat statistik
deskriptif untuk koefisien skewness dan Kurtosis dari masing-masing variabel. Menurut
Schwab (2004) suatu data telah dapat dianggap normal apabila memenuhi rule of Thumb
nilai skewness dan kurtosis antara -1 dan 1. Hasilnya diiktisarkan sebagai berikut:

Tabel 4
PengujianNormalitas
Variabel Skewness Kurtosis Kesimpulan
Adopsi -0.02 -0.16 Normal
Implementasi -0.14 -0.82 Normal
Dukungan internal -0.55 0-0.18 Normal
Dukungan eksternal -0.58 0.86 Normal
Sikap -0.09 -0.90 Normal
Informasi 0.07 -0.05 Normal
Orientasi Tujuan -0.40 -0.52 Normal
Ketentuan eksternal 0.027 -0.96 Normal
Sumberdaya -0.58 0.6 Normal

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan rule of thumb tentang
normalitas maka data penelitian dapat dianggap normal. Disamping itu dalil central limit
theorem mengatakan data dianggap normal apabila ukuran sampel cukup besar (Neter
dkk, 2001). Dengan data mencapai 457, maka data penelitian telah memenuhi asumsi
distribusi normal.
Hasil pengujian normalitas residual untuk variabel dependen adopsi dan
implementasi dapat dilihat pada grafik berikut:

Grafik 2:
Normalitas distribusi residual
Normal P-P Plot of Regression StandardizedNormal P-P Plot of Regression Standardized Residua
Residual
Dependent Variable: implementasi Dependent Variable: Adopsi
1,0
1,0

,8 ,8

,5
Expected Cum Prob
Expected Cum Prob

,5

,3 ,3

0,0 0,0
0,0 ,3 ,5 ,8 1,0 0,0 ,3 ,5 ,8 1,0

Observed Cum Prob Observed Cum Prob

2. Linearitas data
Pengujian linearitas dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat grafik
(inspeksi visual) terhadap grafik scatter plot antara masing-masing variable dependen dan
variable independent (Hair,dkk,1998). Dari grafik (lampiran 2) terlihat terdapat hubungan
linear antara variable dependen dan independent. Dengan demikian asumsi linearitas
dapat dipenuhi.

782
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

3. Homoscedastisitas
Pengujian homoscedastisitas dapat dilakukan dengan melakukan levene test
Hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dapat dikatakan
homoscedastisitas apabila signifikansi statistik Levene lebih besar dari tingkat
signifikansi yang diinginkan (5%)

Tabel 5:
Test of Homogeneity of Variances
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
dukungan eksternal ,222 2 454 ,801
dukungan internal 1,490 2 454 ,226
sikap 1,279 2 454 ,279
Orientasi tujuan ,296 2 454 ,744
Informasi 9,970 2 454 ,075
Sumberdaya 1,454 2 454 ,235
KETENTUAN
1,273 2 454 ,281
EKSTERNAL

Dari tabel jelas terlihat bahwa tingkat signifikansi statitik Levene melebihi level
signifikansi yang ditetapkan (5%). Hal ini menunjukkan varians variabel dependen
tersebar merata di variabel independen atau menunjukkan keadaan homoscedastisitas.

4 Multikolinearitas
Terdapat dua ukuran yang biasa digunakan untuk mengukur multikolinearitas
yaitu nilai toleransi (tolerance value) dan nilai VIF serta condition indices. Indikasi
terjadinya multikolinearitas apabila tolerance value mendekati 0 dan VIF melebihi 2.
Nilai tolerance value dan VIF untuk masing- masing regresi adalah sebagai berikut:
Tabel 6
Pengujian Multikolinearitas
Variabel Regresi I RegresiII
Tolerance value VIF Tolerance value VIF
dukungan 0,877 1,140
eksternal
dukungan internal 0,808 1,237 0,802 1,247
sikap 0,860 1,162 0,873 1,146
Orientasi tujuan 0,746 1,341 0,748 1,337
Informasi 0,815 1,227 0,794 1,259
Sumberdaya 0,694 1,441 0,693 1,443
KETENTUAN 0,968 1,033
INTERNAL
KETENTUAN 0,950 1,052
EKSTERNAL

PENGUJIAN HIPOTESIS
Hipotesis 1a dan 1b
Pengujian hipotesis dilakukan dengan metode regresi linear berganda (OLS
Multiple Regression). Masing-masing variabel secara bersama-sama diregresikan
terhadap adopsi. Hasil regresi dapat dilihat di tabel 7.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa hampir seluruh variabel independen
berpengaruh signifikan pada level 0.05 dan 0.01 terhadap variabel dependen kecuali
variabel ketentuan internal. Hasil ini menunjukkan bahwa hampir seluruh variabel-
variabel faktor-faktor rasional secara signifikan mempengaruhi pengadopsian ukuran

783
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

kinerja. Dengan demikian hipotesis 1a yang menyatakan faktor-faktor rasional secara


signifikan mempengaruhi adopsi ukuran kinerja tidak dapat ditolak kecuali untuk variabel
ketentuan internal.
Untuk hipotesis 1b yang menyatakan sikap dan kelompok internal berpengaruh
secara signifikan terhadap pengadopsian ukuran kinerja juga tidak dapat ditolak. Hasil
regresi menunjukkan masing-masing variabel mempengaruhi adopsi ukuran kinerja
dengan signifikansi lebih kecil dari 5%.

Tabel 7
Hasil regresi dengan variabel dependen adopsi
Variabel dependen: Koefisien t Sig Hasil
adopsi
Konstanta 0.398 2.432 0.015
Dukungan internal 0.241 7.037 0.000 Signifikan
Sikap 0.249 6.579 0.000 Signifikan
Orientasi Tujuan 0.117 4.017 0.000 Signifikan
Informasi 0.092 3.042 0.002 Signifikan
Sumberdaya 0.145 4.050 0.000 Signifikan
Ketentuan internal 0.011 0.278 0.781 Tidak signifikan
Ketentuan eksternal -0.039 -2.605 0.009 Signifikan
2
R =0.427 , F=47,871 sig=0.00
Adjusted R2 =0.418

Hipotesis 2a dan 2b
Kedua hipotesis ini diukur dengan melakukan regresi berganda satu kali dengan
memasukkan seluruh variabel independen dan melihat pengaruhnya terhadap
implementasi ukuran kinerja. Hasil regresi linear berganda dapat disarikan sebagai
berikut:
Tabel 8
Hasil regresi dengan variabel dependen Implementasi
Variabel Koefisien T Sig Hasil
dependen: adopsi
Konstanta 0.225 0.997 0.319
Dukungan eksternal 0.061 1.579 0.115 Tidak signifikan
Dukungan internal 0.208 4.324 0.000 Signifikan
Sikap 0.249 4.706 0.000 Signifikan
Orientasi Tujuan 0.280 6.871 0.000 Signifikan
Informasi 0.098 2.272 0.024 Signifikan
Sumberdaya 0.015 0.298 0.766 Tidak signifikan
R2=0,322 , F=35.619 sig=0.00
Adjusted R2 =0,313

Dari hasil pengujian regresi tampak variabel-variabel kelompok internal, sikap,


orientasi tujuan dan informasi berpengaruh signifikan terhadap pengimplementasian
informasi kinerja di instansi Pemerintah. Namun variabel kelompok eksternal dan
sumberdaya tidak signifikan berpengaruh terhadap variabel implementasi. Hasil ini
sekaligus menunjukkan hipotesis 2a yang mengatakan faktor-faktor politik dan kultur
mempengaruhi secara signifikan terhadap implementasi informasi ukuran kinerja tidak
dapat ditolak kecuali variabel kelompok eksternal. Sedangkan untuk variabel 2b yang
mengatakan sumberdaya, informasi dan orientasi tujuan mempengaruhi implementasi
informasi ukuran kinerja tidak dapat ditolak untuk variabel informasi dan orientasi tujuan
namun ditolak untuk variabel sumberdaya.

784
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

Simpulan Penelitian
Penelitian ini berhasil membuktikan beberapa faktor-faktor rasional, yaitu
ketentuan eksternal, sumberdaya, informasi dan orientasi tujuan, berpengaruh secara
signifikan terhadap adopsi ukuran kinerja di Instansi Pemerintah. Namun, penelitian ini
tidak berhasil membuktikan pengaruh ketentuan internal terhadap pengadopsian suatu
ukuran kinerja. Kebijakan mengadopsi suatu ukuran kinerja di instansi Pemerintah lebih
dipengaruhi oleh mandat atau ketentuan dari luar instansi (misalnya Peraturan
Pemerintah, Instruksi Presiden, PERDA) daripada kebijakan pimpinan instansi (ketentuan
internal).
Penelitian ini juga menemukan variabel-variabel kelompok internal dan sikap
memiliki pengaruh signifikan terhadap proses pengadopsian suatu ukuran kinerja.
Kelompok internal berupa keterlibatan dan kesepakatan personil program terhadap
ukuran kinerja yang dikembangkan dan inisiatif pimpinan dalam mengatasi konflik dalam
pengembangan ukuran kinerja sangat berpengaruh dalam pengadopsian ukuran kinerja.
Signifikansi variabel sikap, sebagai pengukur kultur, terhadap adopsi ukuran kinerja
menunjukkan pandangan dan kesiapan personil terhadap perubahan dan konsekwensi
yang disebabkan pengadopsian suatu ukuran kinerja.
Dalam implementasi atau pemanfaatan ukuran kinerja, penelitian ini berhasil
membuktikan faktor kelompok internal dan kultur organisasi berpengaruh signifikan
terhadap implementasi hasil pengukuran kinerja. Namun, penelitian tidak berhasil
membuktikan pengaruh kelompok eksternal terhadap implementasi informasi kinerja.
Dukungan kelompok eksternal diperlukan agar instansi memanfaatkan hasil pengukuran
kinerja untuk perencanaan strategis dan perencanaan kinerja, evaluasi dan pemantauan
serta alokasi anggaran. Hasil ini menunjukkan minimnya dorongan dari masyarakat dan
anggota DPRD kepada instansi Pemerintah untuk memanfaatkan informasi kinerja.
Signifikansi kelompok internal terhadap implementasi ukuran kinerja boleh jadi
disebabkan ukuran kinerja belum dimanfaatkan dalam mengukur kinerja karyawan,
terutama kinerja pimpinan dan kepala bagian serta kepala seksi/sub bagian. Signifikansi
variabel sikap menunjukkan bahwa keterbukaan personil terhadap perubahan yang
ditimbulkan dari pemanfaatan hasil pengukuran kinerja, walaupun pemanfaatan informasi
kinerja dapat berpengaruh negatif terhadap jabatannya.
Beberapa faktor rasional yang diprediksi berpengaruh signifikan terhadap
implementasi informasi kinerja adalah faktor informasi, sumberdaya dan orientasi tujuan.
Hasil penelitian menunjukkan hanya faktor informasi dan orientasi tujuan yang signifikan
mempengaruhi implementasi informasi kinerja, sedangkan faktor sumberdaya tidak
berhasil dibuktikan berpengaruh signifikan terhadap implementasi informasi kinerja.
Pengaruh variabel sumberdaya yang tidak signifikan terhadap implementasi informasi
pengukuran kinerja menunjukkan pemanfaatan informasi kinerja dilakukan tanpa
memperhatikan kesiapan sumberdaya organisasi.

Saran
Agar pemanfaatan informasi kinerja dapat meningkatkan akuntabilitas,
trasparansi, perubahan perilaku dan peningkatan kinerja instansi maka peneliti
menyarankan:
1. Agar informasi kinerja dapat bermanfaat bagi perencanaan strategis dan kinerja,
alokasi sumberdaya, pemantauan dan evaluasi serta pelaporan, maka dalam
pengembangan suatu ukuran kinerja sebaiknya Pimpinan instansi secara aktif
mengeluarkan kebijakan internal tentang prosedur pengembangan ukuran kinerja
yang sesuai dengan sifat kegiatan dan program serta kemampuan organisasi.
Organisasi tidak boleh hanya mengandalkan ketentuan yang berasal dari luar
organisasi.
2. Dukungan dari stakeholder eksternal sangat dibutuhkan untuk mendorong instansi
mengembangkan ukuran kinerja yang baik dan memanfaatkan hasil pengukuran
kinerja untuk meningkatkan kualitas layanan dan menciptakan efisiensi. Dukungan
dapat berupa pemanfaatan informasi kinerja oleh DPRD untuk pengambilan

785
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

keputusan maupun mengevaluasi kinerja instansi. Instansi juga dapat mengundang


partisipasi masyarakat dalam mengembangkan indikator kinerja dan pemanfaatannya.
3. Sebelum instansi menggunakan suatu sistem pengukuran kinerja, hendaknya
dilakukan penilaian akan kesiapan sumberdaya organisasi dalam memanfaatkan
informasi hasil pengukuran kinerja. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari
informasi hasil pengukuran kinerja menjadi “tumpukan” indikator yang tidak
termanfaatkan (Swindell dan Kelly,2002).
4. Informasi hasil pengukuran kinerja sebaiknya digunakan juga untuk menilai kinerja
personil-personil program atau instansi dan dikaitkan dengan sistem penghargaan dan
hukuman.

Keterbatasan Penelitian dan riset selanjutnya


Keterbatasan penelitian ini adalah:
1. Hanya dilakukan dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga
kurang mampu mengeneralisasi praktik-praktik pengukuran kinerja di Indonesia.
2. Penelitian ini kurang mengekplorasi faktor-faktor lainnya yang mungkin
berpengaruh misalnya masa jabatan pemerintahan dan pengaruh anggaran.
3. Responden mencakup eselon dua, tiga dan empat tanpa menghiraukan masa
jabatannya. Boleh jadi masa jabatan responden mempengaruhi pengetahuan dan
persepsi mereka.
Kelemahan ini mungkin dapat diperbaiki dalam riset selanjutnya sehingga hasil
yang diperoleh dapat lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Audit Commissions,2000, On Target: The Practice of Performance Indicators,
Management Paper, United Kingdom, www.audit-commision.gov.uk
Behn, R.D, 2002, The psychological barriers to performance management, Public
performance and management review, Vol.26 No.1, hal.5-24
Beyer, Janice M., and Harrison M. Trice., 1982, The Utilization Process: A Conceptual
Framework and Synthesis of Empirical Findings, Administrative Science
Quarterly 27(4): 591– 622.
Bititci, Umit S. dan Turner,Trevor,2000, Dynamics of Performance measurement
systems,International Journal of Operation and Production Management, Vol.20,
No.6,hal.692-704
BPKP,2003, Diskusi tentang Akuntabilitas, www.BPKP.go.id
Cronbach, Lee J., 1980, Toward Reform of Program Evaluation. San Francisco, CA:
Jossey-Bass.
De Bruijn, Hans, 2002,Performance Measurement in The Public Sector: Strategies to
Cope With The Risk of Performance measuremen, The International Journal of
Public Sector Management, Vol.15 No.7, hal.578-594
Gibson, J.L, dan Ivancevich, J.M, dan Donelly,J.H, dan Konopaske, R.,2003,
Organization: Behavior,structure, processes, Mc.Graw-Hill Irwin, 11th edition,
New York
Hair,Joseph H.,Anderson, Ralph E., Tatham Ronald L., dan Black William C., 1998,
Multivariate Data Analysis, Prentice Hall International,Inc, 5th edition, New
Jersey
Hatry, P. Harry , 1999, Performance Measurement: Getting Results,The Urban Institute
Pers, Washington DC
Hyndman,Noel S dan Anderson,Robert, 1997, AStudy of TheUseof Targetsin
thePlanning Documents of Executive Agencies, Financial Accountability &
Management,Blackwell Publishing,UK,hal.139-164
Julnes,P.deL., dan Holzer,M.,2001, Promoting the utilization of performance measures
in public organization: An emprirical tudy of factors affecting adoption and
implementation, Public Administration Rivew, 61(6), hal.693-708

786
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

Jones, G.R.,2001, Organizational Theory: Text and Cases, Prentice Hall


International,Inc, 3rd edition,New Jersey
Kravcuk,Robert S dan Schack,Ronal W,juli/august 1996, Designing effective
performance meaurement system under the Government Performance and
Result Act of 1993,Public administration Review, Vol.56 No.4, hal.348-358
LAN, BPKP,2001, Pengukuran kinerja instansi pemerintah, Modul Sosialisasi Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), Lembaga Administrasi
Negara, Jakarta
Lembaga Adminstrasi Negara,2003,Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah
Mahmudi,2003, Pengukuran Kinerja diInstansi Pemerintah Daerah, tesis Msi
UGM,tidak dipublikasikan
Mayston, David, J.,1985, Non-Profit Performance Indicator in The Public Sector,
Financial Accountability and Management, hal.51-74
Morrow,J.L.dan Hitt, Michael.A.,2000, rationaland PoliticalModelsof Strategic
Decision Making: Understanding the Role of Firm Performanmce and
Stakeholder Political Pressure, Handbook of Strategic Managemen, 2th
edition,Marcel Dekker,Inc,hal.165-179
Mwita, Isaac John, 2000, Performance Management model, The international Journal of
Public sector Management, MCB University Press, Vol.13 No.1, Hal.19-37
Propper, Carol dan Wilson, Deborah, summer 2003, The use and Usefulness of
Performance Measures in The Public sector, Oxford Review of Economic
Policy, Vol.19 no.2,hal.250-267
Rainey,Hal G, 1999, Using Comparisons of Public andPrivate Organization to Assess
Innovative Attitudes Among Members of Organizations, Public Productivity and
Management Review,Vol.23,No.2,Sage Publications,Inc, hal.130-147
Riandi Putra,2003, Faktor-faktor penghambat Implementasi SAKIP diLingkungan
ProvinsiKalimantan Timur, www.BPKP.go.id
Stehr, Nico,1992, Practical Knowledge. Applying the Social Sciences. London: Sage
Publications
Swindel, David dan Kelly, Janet M.,2000, Linking citizen satisfaction data to
performance measures: a preliminary evaluation, Public performance and
Management Riview, Vol.24 no.1, hal.30-52
Wang, Xiahou,2002, Assesing Performance Measurement Impact: A study of US Local
Government, Public performance and Management Review, Vol.26, Sage
Publications, hal.26-43
Wang, Xiahou dan Gianakis, G.A,2002, Public Officials’ Attitudes Toward Subjective
Performance Measures, Public Productivity and Management
Review,Vol.22,No.4,Sage Publications,Inc,Hal.537-553
Wholey,Josep S.,1999, Performance-Based Management: Responding to The
Challenges, Public Productivity and Management Review,Vol.22,No.3,Sage
Publications,Inc,Hal.288-307

787
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

LAMPIRAN
1. Defenisi Operasional dan pengukuran Variabel-variabel penelitian
Variabel dependen
1. Adopsi: Tahap adopsi adalah suatu tahap dimana organisasi mengembangkan
suatu ukuran kinerja. Faktor ini dibentuk dari jawaban empat pertanyaan
mengukur seberapa sering ukuran input (ekonomi), output, outcome, dan efisiensi
dikembangkan untuk program-program di organisasi. Diukur dalam empat skala
Likert.
1. Implementasi: Suatu faktor dependen mengukur frekwensi penggunaan ukuran
kinerja. Masing-masing pertanyaan ditanyakan untuk sembilan kategori
penggunaan, termasuk perencanaan kinerja, alokasi sumberdaya (penganggaran),
manajemen program, pemantauan, evaluasi. Diukur dengan pertanyaan dengan
menggunakan skala Likert (empat skala).
Variabel Independen
Faktor-faktor rasional, terdiri dari:
1. Sumber daya: Organisasi publik yang menerapkan pengukuran kinerja memberi
perhatian terhadap tersedianya sumberdaya, memiliki staf yang dikhususkan
untuk mengevaluasi kinerja, dan mengumpulkan data yang memadai. Variabel ini
diukur dengan pertanyaan tingkat sumberdaya yang dimiliki, tingkat staf yang
digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja dan pengumpulan data,
tingkat keterlibatan staf dan instansi lain dalam penggunaan kinerja, tingkat
pengumpulan data dan tingkat benchmarking yang dilakukan instansi. Masing-
masing pertanyaan diukur dengan skala Likert mulai dari 1, tidak ada sampai 4,
tinggi..
2. Informasi: Dalam mengadopsi dan mengimplementasikan pengukuran kinerja,
karyawan staf atau non staf harus memiliki kemampuan teknis tentang
bagaimana melakukan dan mengimplementasikan pengukuran kinerja. Variabel
informasi memiliki tiga dimensi, yaitu akses kepada informasi atau publikasi,
asistensi atau bantuan konsultan/ahli, pelatihan, dan seminar. Masing-masing
dimensi diukur dengan menggunakan skala Likert (4 skala).
3. Orientasi tujuan (goal): Konsensus terhadap tujuan dari setiap program. Apabila
setiap program memiliki tujuan, adopsi dan implementasi ukuran kinerja semakin
mungkin terlaksana. Variabel ini memiliki dimensi diarahkan oleh tujuan dan
sasaran, strategi-strategi dikomunikasikan, perumusan misi yang mendorong
efisiensi, kejelasan tujuan dan sasaran. Masing-masing diukur dengan skala
Likert (4 skala).
4. Ketentuan eksternal: Variabel ini mengukur berapa banyak Ketentuan eksternal
yang mengharuskan organisasi menggunakan ukuran kinerja. Ketentuan eksternal
yang digunakan di penelitian ini diambil dari Mahmudi (2003) yaitu Peraturan
Pemerintah,Peraturan Daerah, Keputusan Bawasda dan BPKP.
5. Ketentuan internal: yaitu adanya kebijakan manajemen organisasi agar
organisasi mengadopsi suatu ukuran kinerja. Variabel ini merupakan variabel
Dummi dimana 1 apabila ada ketentuan internal dan 0 apabila tidak ada.
Faktor-faktor politik dan kultur,terdiri dari:
6. Kelompok internal: Variabel ini mengukur tingkat dukungan pimpinan dan
karyawan terhadap ukuran kinerja.Variabel ini digunakan sebagai proksi politik
internal dalam organisasi. Variabel ini diukur dengan pertanyaan tingkat inisiatif
pimpinan dan tingkat dukungan karyawan manajemen dan non manajemen
terhadap ukuran kinerja. Di ukur dengan Skala Likert (4 skala).
7. Kelompok eksternal: Variabel ini mengukur dukungan anggota legislatif dan
masyarakat (publik) terhadap ukuran kinerja. Variabel ini digunakan sebagai
proksi politik eksternal yang mempengaruhi pengukuran kinerja. Variabel diukur
dengan mengajukan pertanyaan tentang keterlibatan masyarakat dan konsultan
ahli dalam mendorong pengukuran kinerja, tingkat penggunaan informasi kinerja
oleh DPRD dan inisiatif anggota DPRD dalam membentuk komisi untuk

788
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

mendorong penggunaan ukuran kinerja. Pertanyaan diukur dengan skala Likert (4


skala).
8. Sikap: Variabel ini merupakan pengukur Kultur organisasi, dipakai untuk
menggambarkan tingkat persepsi anggota organisasi terhadap ukuran kinerja.
Variabel ini diukur dengan kesepakatan terhadap pertanyaan tentang inovasi dan
perubahan, ukuran kinerja merupakan aspek penting pembuatan keputusan,
penghargaan dan insentif untuk mendorong peningkatan kinerja dan perlunya ada
penghargaan dan insentif untuk menghargai inovasi. Pertanyaan diukur dengan 4
skala Likert.
Variabel penelitian diukur dengan pertanyaan-pertanyaan dari instrumen yang
dikembangkan Julnes dan Holzer (2001) dan Rainey (1999).

2. PENGUJIAN LINEARITAS
4,5 4,5

4,0 4,0

3,5 3,5

3,0 3,0

2,5 2,5

2,0 2,0
Adopsi

Adopsi

1,5 1,5
1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

sikap dukungan internal

4,5 4,5

4,0 4,0

3,5 3,5

3,0 3,0

2,5 2,5

2,0 2,0
Adopsi

Adopsi

1,5 1,5
1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 ,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

Orientasi tujuan Informasi

4,5

4,5

4,0
4,0

3,5
3,5

3,0
3,0

2,5
2,5

2,0
2,0
Adopsi
Adopsi

1,5
1,5
-1 0 1 2 3 4 5
1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

KETENTUAN EKSTERNAL
Sumberdaya

789
SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005

4,5

4,5
4,0

4,0

3,5

3,5

3,0
3,0

2,5
2,5

implementasi
implementasi

2,0
2,0

1,5
1,5
,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

dukungan eksternal dukungan internal

4,5
4,5

4,0
4,0

3,5 3,5

3,0 3,0

2,5 2,5
implementasi
implementasi

2,0 2,0

1,5 1,5
1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

sikap Orientasi tujuan

4,5
4,5

4,0
4,0

3,5
3,5

3,0
3,0

2,5
2,5
implementasi

implementasi

2,0 2,0

1,5 1,5
,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

Informasi Sumberdaya

790

Anda mungkin juga menyukai