Kode Etik Psikologi
Kode Etik Psikologi
Kode Etik Psikologi
Disusun oleh:
Kelas : D 2016
2020
1. Hasil Wawancara dengan Psikolog
a. Latar Belakang Psikolog
Sri Cahya V. M.Psi, Psikolog adalah seorang Psikolog yang pernah menempuh
pendidikan serta memperoleh gelar S1 dan S2 di Universitas Persada Indonesia (YAI)
untuk mengambil program Magister Psikologi Terapan pada bidang Psikologi Klinis.
Selain itu, ia juga menjelaskan kegiatan yang dilakukan sebelum dirinya menjadi seorang
Psikolog yaitu: kuliah dan aktif mengikuti kegiatan relawan, mengajar, dan menjadi tester
di Biro Psikologi. Hingga pada akhirnya, ia juga menjelaskan hal yang mendasari dirinya
untuk menjadi seorang Psikolog adalah ingin membantu orang banyak yang memiliki
masalah Psikologis. Adapun, aktivitas saat ini yang dijalani oleh Ibu Sri Cahya V. M.Psi,
Psikolog adalah sebagai seorang Psikolog di salah satu Biro Psikologi di Jakarta Timur
(Namira Consulting) dan Dosen Fakultas Psikologi (S1) Universitas Tama Jagakarsa.
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan Ibu Sri Cahya selaku Psikolog menyatakan
bahwa tentu saja terdapat perbedaan hak, wewenang, & tanggungjawab profesi antara
seorang psikolog dengan ilmuwan psikologi. Dimana, seorang ilmuwan psikologi hanya
dapat mengajar dan meneliti. Sedangkan, seorang Psikolog dapat melakukan praktik tes
psikologi dan melakukan intervensi (dalam bentuk penanganan untuk klien: terapi),
mengajar dan meneliti sehingga profesi tersebut (psikolog) terlihat lebih leluasa dan
fleksibel. Sehingga, ia menyimpulkan bahwa hak, wewenang, dan tanggungjawab sebagai
seorang psikolog memberikan pengaruh yang cukup besar karena berhubungan dengan
perbaikan atau penanganan perilaku manusia.
Ditinjau dari hasil wawancara tersebut dapat dikatakan bahwa seorang Psikolog adalah
seseorang yang telah lulus S2 Psikologi Profesi dan memiliki surat izin praktik psikologi
(SIPP). Sehingga, dapat dikatakan bahwa hal ini berkaitan erat pada buku Kode Etik
Psikologi Himpsi Bab I mengenai Pedoman Umum yaitu: Pasal 1 – Pengertian dalam ayat (3)
dan (5), yang menyatakan bahwa:
Ayat (3): Psikolog adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan
praktik psikologi dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan
program pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikulum lama atau yang
mengikuti Pendidikan Psikologi Strata Satu (S1) dan lulus dari Pendidikan Profesi
Berdasarkan hasil wawancara yang kami lakukan kepada Ibu Sri Cahya V. selaku
Psikolog mengenai beberapa pertanyaan seputar pelaksanaan kode etik di Indonesia bahwa
ia mengetahui apa itu kode etik psikologi karena hal tersebut dipelajari dan wajib diketahui.
Selanjutnya, ia juga menjelaskan bahwa kode etik memberikan pengaruh sangat besar
dalam karirnya sebagai seorang psikolog untuk dapat bersikap professional dikarenakan ia
sudah disumpah profesi. Kemudian, ia juga menjelaskan mengenai pelaksanaan kode etik di
Indonesia itu kurang berjalan dengan baik dikarenakan sanksi yang diberlakukan tidak tegas
untuk individu yang melanggar dikarenakan sulit mendeteksi pelanggaran kode etik
psikologi dengan banyaknya psikolog disemua daerah di Indonesia. Lalu, Psikolog tersebut
juga menjelaskan bahwa ia mengetahui sanksi yang terdapat dalam kode etik psikologi,
salah satu yang terbesar ialah pencabutan surat izin praktik psikologi (SIP).
Berdasarkan hasil wawancara yang kami ajukan kepada Ibu Sri Cahya V. selaku
Psikolog mengenai beberapa pertanyaan seputar pengalaman yang diketahuinya mengenai
pelanggaran kode etik bahwa ia menyatakan tidak pernah melakukan pelanggaran kode
etik dalam bentuk apapun selama menjalani profesinya sebagai seorang psikolog
terhitung sejak tahun 2012 (kurang lebih 8 tahun hingga saat ini). Namun, psikolog
tersebut juga menjelaskan kepada kami bahwa pernah menemukan kasus mengenai
pelanggaran kode etik yang terjadi oleh salah satu rekannya sesama Psikolog, yaitu: dia
(rekannya) mengalamikasus pembocoran tes Psikologi yang dibungkus dengan
mengadakan pelatihan alat tes Psikologi yang seharusnya hanya diikuti oleh orang
Psikologi namun juga diikuti oleh orang diluar Psikologi. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan rekan dari psikolog tersebut tidak menerapakan prinsip, aturan, dan sumpah
sebagai seorang Psikolog yang professional.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa pelanggaran kode etik dari penemuan kasus
pelanggaran kode etik yang dialami oleh rekan dari psikolog yang kami wawancarai terlihat
jelas melanggar aturan tertulis yang terdapat pada buku Kode Etik Psikologi Himpsi Bab IV
yaitu: mengenai Hubungan Antar Manusia yaitu: Pasal 13 – Sikap Professional yang
berbunyi: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan psikologi, baik
yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga, atau organisasi/ institusi harus sesuai dengan
keahlian dan kewenangannya serta berkewajiban untuk: (a) mengutamakan dasar-dasar
professional, (b) memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya, (c)
Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai dampak layanan
psikologi yang diterimanya, (d) Mengutamakan ketidakberpihakan dalam kepentingan
pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian layanan tersebut.
(e) Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena dampak
negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan Psikologi yang dilakukan oleh
Psikolog/dan atau Ilmuwan Psikologi maka pemakai layanan Psikologi tersebut harus
diberitahu.
1) Berusaha melakukan pekerjaan sesuai SOP yang berlaku. (Hal ini sesuai dengan
penerapan aturan pada buku Kode Etik Psikologi Himpsi Bab I – Pedoman Umum
dalam pasal 1 ayat (1) mengenai Pengertian yang berbunyi: Kode Etik Psikologi
adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan sebaik-baiknya
dalam melaksanakan kegiatan sebagai Psikolog dan Ilmuwan Psikologi di Indonesia.
2) Menasihati mahasiswa psikologi selaku ilmuwan psikologi untuk tidak membocorkan
alat tes yang sudah dipelajari kepada khalayak umum. (Hal ini sesuai dengan
penerapan aturan pada buku Kode Etik Psikologi Himpsi Bab IV – Hubungan Antar
Manusia dalam pasal 1 ayat (1) mengenai Hubungan Profesional antar Profesi poin
(a) dan (c) yang berbunyi:
(a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati, dan
menjaga hak-hak serta nama baik rekan profesinya, yaitu: sejawat akademisi
Psikolog atau Ilmuwan Psikologi.
(c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengingatkan rekan profesinya dalam
rangka mencegah terjadinya pelanggaran kode etik psikologi.
Berdasarkan hasil wawancara yang kami lakukan terhadap Ibu Sri Cahya V. M.Psi,
Psikolog diketahui bahwa profesi yang dijalaninya sebagai seorang Psikolog membutuhkan
komitmen yang tinggi dilakukan secara jujur dan professional. Selanjutnya, ia juga
menjelaskan bagaimana kesan dan pesan selama menjalani profesi sebagai seorang Psikolog
itu enjoy dan menyenangkan dikarenakan profesi tersebut memang di jiwai dan di cintai.
Kemudian, ia juga menjelaskan kepada kami bahwa memiliki syarat tersendiri dalam
menjalani tugas profesinya sebagai seorang Psikolog, terdiri atas tiga macam, yaitu: (1) klien
harus merasa bahwa dia membutuhkan pertolongan. (2) Keluarga / Orang terdekat klien harus
mau diajak bekerja sama dalam menangani klien. (3) Seluruh lingkungan sekitarnya harus
mau bekerja sama menangani klien. Dalam mewujudkan hal tersebut cara yang akan
dilakukan oleh Psikolog tersebut dalam menangani perilaku klien yang tidak sesuai dengan
lingkungan sekitar, yaitu: membuat intervensi (sistem kontrol). Selain itu, Psikolog ini juga
menjelaskan bahwa ia secara pasti melakukan evaluasi setelah sesi penanganan kasus.
Ayat (2): Metode yang digunakan dalam intervensi dapat berbentuk psikoedukasi,
konseling dan terapi.
Adapun, diketahui bahwa narasumber tersebut juga memberikan penjelasan kepada kami
mengenai estimasi biaya yang ia dapatkan sebagai seorang Psikolog bahwa penghasilannya
sangat relatif namun mencukupinya dimana setiap kali konsultasi yang memiliki durasi per
sesi kurang lebih selama satu jam ia bisa memperoleh penghasilan sebesar 250-350 ribu
rupiah. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa jumlah estimasi biaya tersebut bisa menjadi
lebih tinggi ketika ia sedang melakukan praktik tes psikologi (sebagai tester) di Biro
Psikologi bisa memperoleh penghasilan lebih dari 500 ribu untuk sekali pelaksanaan tes.
Ahmad Gifari Afriyanda, S.Psi adalah seorang ilmuwan psikologi yang lahir pada
20 April 1997 (22 tahun). Ia menempuh bidang studi S1 Psikologi di Universitas
Mercu Buana Jakarta selama 4 tahun dari kurun waktu 2015-2019. Sebagai fresh
graduate dia kemudian melanjutkan karirnya dengan bekerja di salah satu perusahaan
maskapai penerbangan di Indonesia (Sriwijaya Air) pada bagian Internship yang
terdiri atas bagian Human Resources Development, Assesment, dan Organizational
Development.
b. Perbedaan hak, wewenang dan tanggung jawab profesi antara Psikolog dan
Ilmuwan Psikolog
Ditinjau dari hasil wawancara tersebut dapat dikaitkan dengan beberapa pasal
sesuai dengan pasal perbedaan psikolog dan ilmuwan psikolog bahwa Ahmad Gifari
Afriyanda adalah seseorang yang telah lulus S1 Psikologi dan belum memiliki surat
izin praktik psikologi (SIPP). Makah hal ini dapat dikaitkan dengan pasal pada buku
Kode Etik Psikologi Himpsi Bab I mengenai Pedoman Umum yaitu: Pasal 1 –
Pengertian dalam ayat (4) dan (5), yang berbunyi:
Ayat (4) Ilmuwan Psikologi adalah ahli dalam bidang psikologi dengan latar
belakang pendidikan strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3 dalam bidang
psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan
layanan psikologi yang meliputi: bidang-bidang penelitian, pengajaran,
supervisi dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan
intervensi sosial, pengembangan instrumen assesmen psikologi,
pengadministrasian assesmen, konseling sederhana, konsultasi organisasi,
perancangan dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam
kelompok ilmu murni (sains) dan terapan.
Ayat (5): Layanan Psikologi adalah segala aktifitas pemberian jasa dan
praktik psikologi dalam rangka menolong individu dan/atau kelompok yang
dimaksudkan untuk pencegahan, pengembangan dan penyelesaian masalah-
masalah psikologis. Layanan psikologi dapat berupa praktik konseling dan
psikoterapi, penelitian, pengajaran, supervisi dalam pelatihan, layanan
masyarakat, pengembangan kebijakan, intervensi sosial dan klini,
pengembangan instrumen assesmen psikologi, penyelenggaraan assesmen,
konseling karir dan pendidikan, konsultasi organisasi, aktifitas-aktifitas dalam
bidang forensik, perancangan dan evaluasi program, dan administrasi.
Setelah saya melakukan wawancara terhadap psikolog dan Ilmuwan psikologi, saya
berpendapat bahwa sangat pentingnya penerapan kode etik psikologi di Indonesia.
Dimana yg saya lihat bahwa kode etik psikologi menjadi dasar aturan yg mesti di patuhi.
Tapi pada kenyataan nya pelanggaran kode etik di Indonesia masih banyak terjadi seperti
bocor nya teknik menjalankan tes yg di berikan kepada orang yg tidak memiliki
latarbelakang di ilmu psikologi.
3. Seandainya anda seorang Psikolog atau Ilmuwa Psikologi dimasa yang akan datang,
bagaimana komitmen anda dalam menjalani Kode Etik Psikologi Indonesia!
Setelah saya mempelajari tentang kode etik Psikologi di Indonesia, saya sebisa
mungkin untuk menjauhi pelanggaran kode etik psikologi dan saya akan mematuhi kode
etik psikologi yang berada di Indonesia. Sebagai contoh saya tidak akan menerima uang
ataupun barang untuk meluluskan orang dari tes psikologi karena itu adalah tindakan suap
yang melanggar kode etik psikologi yang berlaku di Indonesia. Saya juga akan menjaga
kerahasiaan klien saya.