Lompat ke isi

Autisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Autisme
Salah satu kebiasaan khas seorang penyandang autis: menumpuk-numpuk benda (dalam foto ini yang ditumpuk adalah kaleng makanan).
Informasi umum
SpesialisasiPsikiatri, psikologi, Neuropsikologi, pedagogi, behavioral analysis, Psikologi perkembangan Sunting ini di Wikidata

Autisme adalah kelainan perkembangan saraf yang menyebabkan gangguan perilaku dan interaksi sosial. Gejala penyakit ini lebih sering terdeteksi pada masa kanak-kanak, tetapi juga dapat ditemukan ketika dewasa.[1]

Autisme saat ini disebut sebagai gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorder (ASD). Hal ini karena gejala dan tingkat keparahannya bervariasi pada tiap penderita.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh WHO, autisme terjadi pada 1 dari 160 anak di seluruh dunia. Sedangkan, di Indonesia, hingga saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah penderita autisme.[2]


Sejarah Autisme. Autism berasal dari Bahasa Yunani, yaitu 'autos' yang artinya "self" atau 'diri sendiri". istilah Autisme menggambarkan ciri seorang yang tidak berinteraksi dengan orang lain, menarik diri dari lingkungannya, terfokus pada diri sendiri dan seolah hidup di dunianya sendiri. Autisme pada anak diperkenalkan oleh Dr. Leo Kanner tahun 1943 seorang psikiater anak dari Universitas John Hopkins Amerika Serikat[3]

Menurut National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS), autisme disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan.[4]

Meski penyebab autisme belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terserang autisme, yaitu:[5]

  • Berjenis kelamin laki-laki
  • Memiliki keluarga dengan riwayat autisme
  • Terlahir secara prematur
  • Memiliki kelainan genetik atau kromosom tertentu, seperti sindrom fragile X dan tuberous sclerosis
  • Dilahirkan dari kedua orang tua yang berusia lebih dari 40 tahun
  • Dilahirkan dari ibu yang mengonsumsi minuman beralkohol atau obat-obatan tertentu, terutama obat epilepsi, selama masa kehamilan

Gejala pada anak autisme biasanya sudah terlihat sebelum anak berusia 3 tahun. Beberapa gejala yang bisa diperhatikan antara lain tidak adanya kontak mata dan tidak adanya respons terhadap lingkungan.[6]

Beberapa pakar mengungkapkan 3 gejala pada penderita autisme klasik, yaitu:

  • Gangguan interaksi sosial
  • Hambatan dalam komunikasi ucapan dan bukan ucapan (bahasa tubuh dan isyarat)
  • Kegiatan dan minat yang aneh atau sangat terbatas.

Diagnosis

[sunting | sunting sumber]

Diagnosis autisme dilakukan dengan melakukan tanya jawab mengenai gejala yang dialami pasien dan riwayat kesehatan keluarga pasien.[7][8]

Dokter dapat memastikan diagnosis autisme pada pasien yang memiliki kriteria di bawah ini:

  • Komunikasi dan interaksi sosial yang kurang, seperti pada respon sosial dan emosional, bahasa tubuh dalam berinteraksi, serta kemampuan dalam membangun dan mempertahankan hubungan
  • Pola perilaku, aktivitas, atau ketertarikan yang terbatas, seperti perilaku atau ucapan yang memperlihatkan rutinitas yang sama, reaksi yang berlebihan atau sebaliknya
  • Gejala muncul pada periode perkembangan awal dan makin terlihat seiring berjalannya waktu
  • Gejala sampai menimbulkan gangguan pada pekerjaan, aktivitas sosial, dan lingkup kehidupan lainnya
  • Gejala yang dialami tidak disebabkan oleh gangguan perkembangan lainnya

Pengobatan

[sunting | sunting sumber]

Autisme tidak bisa disembuhkan. Meski demikian, ada beberapa pilihan terapi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan pasien. Melalui terapi, pasien diharapkan dapat mandiri dalam menjalani aktivitas sehari-hari.[9]

Beberapa metode terapi yang dapat diberikan oleh dokter adalah:

Terapi Perilaku dan Komunikasi

Terapi ini memberikan sejumlah pengajaran pada pasien yang mencakup kemampuan dasar sehari-hari, baik verbal maupun nonverbal, yaitu:

1. Applied behaviour analysis (ABA)

Terapi analisis perilaku terapan membantu penderita agar berperilaku positif pada segala situasi. Terapi ini juga membantu pasien mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi dan meninggalkan perilaku negatif.[10]

2. Developmental, individual differences, relationship-based approach (DIR)

DIR atau yang biasa disebut floortime, bertujuan untuk mengembangkan hubungan emosional antara pasien dan keluarga.

3. Occupational therapy

Terapi okupasi mendorong penderita untuk hidup mandiri dengan mengajarkan kemampuan dasar, seperti berpakaian, makan, mandi, dan berinteraksi dengan orang lain.

4. Speech therapy

Terapi wicara membantu pasien untuk belajar mengembangkan kemampuan berkomunikasi.

5. Treatment and education of autistic and related communication-handicapped children (TEACCH)

Terapi ini menggunakan petunjuk visual seperti gambar yang menunjukkan tahapan dalam melakukan sesuatu. TEACCH akan membantu pasien untuk memahami bagaimana melakukan aktivitas sehari-hari, seperti berganti pakaian.[11]

6. The picture exchange communication system (PECS)

Terapi ini juga menggunakan petunjuk visual seperti TEACCH. Namun, PECS menggunakan simbol, untuk membantu pasien berkomunikasi dan belajar mengajukan pertanyaan.

Terapi untuk Keluarga

Terapi keluarga bertujuan agar orang tua dan keluarga dapat membantu pasien beraktivitas. Keluarga akan belajar cara berinteraksi dengan pasien agar dapat mengajarkan cara berkomunikasi dan berperilaku.

Obat-obatan

Obat-obatan juga dapat diberikan guna mengendalikan gejala. Beberapa obat-obatan yang dapat diberikan oleh dokter adalah:

Pasien juga perlu mengonsumsi makanan bergizi seimbang. Hal ini karena ada dugaan konsumsi gluten dan produk susu dapat memperparah gejala autisme. Meski begitu, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa pantangan terhadap produk tersebut bermanfaat untuk penderita autisme.

Komplikasi

[sunting | sunting sumber]

Autisme dapat menimbulkan beberapa komplikasi jika penderitanya tidak menjalani pengobatan. Akibatnya, aktivitas sehari-hari penderita dapat terganggu.[12]

Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat autisme adalah:

  • Gangguan sensorik, seperti merasa sensitif dan marah pada lampu yang terang dan suara berisik, atau tidak dapat merespons sensasi sensorik seperti panas, dingin, atau nyeri
  • Kejang pada penderita autisme dengan epilepsi, yang dapat memicu penurunan kemampuan dalam aktivitas sehari-hari dan peningkatan perasaan marah dan sensitif
  • Masalah pada pencernaan
  • Gangguan tidur

Gejala pada penderita autisme yang berkaitan dengan gangguan interaksi dan aktivitas sosial juga dapat berdampak pada kualitas hidupnya.[13] Penderita dapat mengalami masalah seperti:

  • Ketidakmampuan untuk hidup mandiri
  • Gangguan mental, seperti stres, depresi, cemas, gangguan mood, dan perilaku impulsif
  • Ketidakmampuan untuk mengikuti pelajaran

Pencegahan

[sunting | sunting sumber]

Autisme sulit untuk dicegah, karena penyebabnya belum diketahui. Namun, dokter dapat menganjurkan beberapa hal untuk dilakukan oleh ibu hamil sebagai upaya mengurangi risiko anak terlahir dengan autisme, yaitu:

  • Menjalani pola hidup sehat, misalnya dengan menjalani pemeriksaan kehamilan secara berkala, mengonsumsi makanan bergizi seimbang, dan berolahraga secara rutin
  • Menghindari konsumsi minuman beralkohol selama masa kehamilan
  • Berkonsultasi dengan dokter jika perlu mengonsumsi obat-obatan tertentu selama masa kehamilan
  • Memastikan sudah mendapatkan vaksin sebelum hamil, terutama vaksin rubella
  • Melakukan pemeriksaan dan mengikuti saran dokter jika terkena penyakit, terutama jika didiagnosis menderita penyakit celiac atau fenilketonuria (PKU)[14][15]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Pengertian Autisme". Alodokter.com. 
  2. ^ "Autism". World Health Organization. 
  3. ^ Handayani, Eko (20160101). "Ruang Baca Virtual V.2" (PDF). PAUD4208 – Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. Diakses tanggal 2023-12-12. 
  4. ^ "Autism Spectrum Disorder Fact Sheet". National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Diakses tanggal 26 Agustus 2022. 
  5. ^ "Penyebab Autisme". Alodokter.com. Diakses tanggal 26 Agustus 2022. 
  6. ^ "Penyakit Masalah Mental Autisme". Klikdokter.com. Diakses tanggal 26 Agustus 2022. 
  7. ^ MD, Renee A. Alli. "How Do Doctors Diagnose Autism?". Webmd.com. 
  8. ^ "Diagnosis Autisme". Alodokter.com. Diakses tanggal 26 Agustus 2022. 
  9. ^ "Pengobatan Autisme". Alodokter.com. Diakses tanggal 26 Agustus 2022. 
  10. ^ Keller, Amélie; Rimestad, Marie Louise; Friis Rohde, Jeanett; Holm Petersen, Birgitte; Bruun Korfitsen, Christoffer; Tarp, Simon; Briciet Lauritsen, Marlene; Händel, Mina Nicole (2021-01-30). "The Effect of a Combined Gluten- and Casein-Free Diet on Children and Adolescents with Autism Spectrum Disorders: A Systematic Review and Meta-Analysis". Nutrients. 13 (2): 470. doi:10.3390/nu13020470. ISSN 2072-6643. 
  11. ^ Panerai, S.; Ferrante, L.; Zingale, M. (2002-05). "Benefits of the Treatment and Education of Autistic and Communication Handicapped Children (TEACCH) programme as compared with a non-specific approach". Journal of Intellectual Disability Research. 46 (4): 318–327. doi:10.1046/j.1365-2788.2002.00388.x. ISSN 0964-2633. 
  12. ^ Capal, Jamie K.; Macklin, Eric A.; Lu, Frances; Barnes, Gregory (2020-04-01). "Factors Associated With Seizure Onset in Children With Autism Spectrum Disorder". Pediatrics. 145 (Supplement_1): S117–S125. doi:10.1542/peds.2019-1895o. ISSN 0031-4005. 
  13. ^ "Autism Complications". Healthline.com. Diakses tanggal 26 Agustus 2022. 
  14. ^ "Autism Spectrum Disorder". Mayoclinic.org. Diakses tanggal 26 Agustus 2022. 
  15. ^ MD, Smitha Bhandari. "Can You Prevent Autism?". Diakses tanggal 26 Agustus 2022.