Lompat ke isi

Hukum perdata internasional

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hukum perdata internasional adalah keseluruhan peraturan dan putusan hukum yang menentukan hukum mana yang berlaku dalam hal terjadinya sengketa antara dua atau lebih orang dengan kewarganegaraan yang berbeda-beda. Hukum perdata internasional mempertanyakan di yurisdiksi mana sengketa harus diselesaikan, hukum mana yang dipakai dalam menyelesaikan sengketa tersebut, dan bagaimana penegakan terhadap hukum asing.[1] Sengketa-sengketa yang dimaksud di antaranya perihal perkawinan, perceraian, hak asuh anak, kontrak dagang dengan pihak asing. Di Indonesia, pengaturan terkait hukum perdata internasional masih mengandalkan pasal 16, 17, dan 18 Algemene Bepalingen yang merupakan peraturan dari masa kolonial dengan upaya kodifikasi dalam hukum nasional masih sebatas rancangan undang-undang di DPR.[2]

Hukum Perdata Internasional atau dalam bahasa Belanda disebut (Internationale Privaat Recht) yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan Internasional Privat Law. Menurut Mochtar Kusumaatmadja HPI adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas-batas negara-negara. Menurut Bayu Seto, bahwa HPI adalah seperangkat kaidah-kaidah hukum nasional yang yang mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur asing. Menurut C. F. G. Sunaryati Hartono, HPI mengatur setiap peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik peristiwa itu termasuk bidang hukum publik (Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Pajak, Hukum Pidana), maupun yang termasuk bidang hukum perdata (Hukum Perkawinan, Hukum Waris, Hukum Dagang).

Beberapa pengertian dari pakar atau ahli hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa HPI adalah suatu peraturan hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang lainnya yang mempunyai kewarganegaraan berbeda yang sifatnya perdata. Contoh sederhana dari HPI ini adalah pernikahan beda negara, perjanjian jual beli antara satu negara dengan negara lain, dan masih banyak lahi selama hubungan tersebut terjadi dengan unsur perbedaan kewarganegaraan.

Masa Kekaisaran Romawi (Abad ke-2 hingga abad ke-6 Masehi)

[sunting | sunting sumber]

Pada masa ini pola hubungan internasional masih berwujud sederhana tetapi sudah mulai tampak dengan adanya hubungan-hubungan antara (i) warga Romawi dengan penduduk provinsi-provinsi yang menjadi bagian dari wilayah kekaisaran karena pendudukan di mana penduduk asli provinsi-provinsi tersebut dianggap sebagai orang asing dan ditundukkan pada hukum mereka sendiri dan (ii) penduduk provinsi yang berhubungan satu sama lain di dalam wilayah kekaisaran Romawi, sehingga masing-masing pihak dapat dianggap sebagai subjek hukum dari beberapa yurisdiksi yang berbeda.[3]

Masalah-masalah hukum yang timbul diselesaikan melalui sebuah peradilan khusus bernama Praetor Peregirinis dengan Ius Civile yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pergaulan antarabangsa sebagai dasar hukumnya. Ius Civile tersebut kemudian berkembang menjadi Ius Gentium dan terdiri atas hukum privat dan hukum publik. Ius Gentium inilah cikal bakal baik hukum perdata internasional maupun hukum internasional publik.[3]

Terdapat tiga asas hukum perdata internasional yang lahir pada masa ini yakni (i) asas lex rei sitae atau lex situs, mengatur tentang benda-benda tidak bergerak di tempat benda tersebut berada; (ii) asas lex domicili, mengatur tentang hak dan kewajiban subjek hukum berdasarkan tempat tinggalnya; dan (iii) asas lex loci contractus, mengatur tentang perjanjian-perjanjian mengikuti hukum di mana tempat pembuatannya.[3]

Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abad ke-6 hingga abad ke-10)

[sunting | sunting sumber]

Jatuhnya Kekaisaran Romawi membuat hukum Romawi menjadi tidak lagi berlaku dan digantikan dengan hukum adat, hukum personal, hukum keluarga, dan hukum agama yang berbeda-beda. Persoalan hukum perdata internasional lambat laun muncul tetapi tidak memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas layaknya pada masa Kekaisaran Romawi dulu.[3]

Namun prinsip-prinsip hukum perdata internasional tumbuh berdasarkan asas genealogis yang dapat dijelaskan sebagai (i) asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian sengketa hukum, hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat; (ii) penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak; (iii) proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris; (iv) peralihan hak milik atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dari pihak transferor; (v) penyelesaian perkara tentang perbuatan melawan hukum harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum; dan (vi) pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak suami.[3]

Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad ke-11 dan ke-12)

[sunting | sunting sumber]

Asas genealogis semakin sulit untuk dipertahankan akibat perubahan struktur masyarakat yang semakin condong ke arah masyarakat teritorialistik di seluruh wilayah Eropa di mana terdapat dua kubu dalam transformasi tersebut. Di Eropa Utara, feodalisme berkembang dan hal tersebut berdampak pada hukumnya yakni hukum tuan tanah yang bersifat eksklusif terhadap siapapun yang berada di dalam wilayah mereka. Hak-hak asing tidak diakui, termasuk hak-hak yang sebetulnya diatur dalam hukum internasional publik. Sementara itu di Eropa Selatan, pertumbuhan kota-kota perdagangan di Italia membuat hukum perdata internasional berperan penting dalam penyelesaian sengketa di antara para pihak. Di sinilah lahir asas pemberlakuan hukum berdasarkan tempat kediaman di kota yang sama atau kerap disebut sebagai teori statuta. Tokoh pengembang teori statuta adalah Accursius.[3]

Pertumbuhan Teori Statuta (Abad ke-13 hingga abad ke-15)

[sunting | sunting sumber]

Bartolus de Sassoferato kemudian mengkaji lebih lanjut teori yang dikemukakan Accursius dan mengklasifikasikannya ke dalam tiga kelompok yakni (i) statuta personalia, yang objek pengaturannya bersifat pribadi dan keluarga dan bersifat ekstrateritorial; (ii) statuta realia, yang objek pengaturannya adalah benda dan statuta hukum dari benda dan berprinsip teritorial; dan (iii) statuta mixta, yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan hukum berdasarkan prinsip teritorial.[3]

Perkembangan Teori Statuta di Prancis (Abad ke-16)

[sunting | sunting sumber]

Meningkatnya aktivitas perdagangan antarprovinsi di Prancis membuat hukum perdata internasional perlu dipelajari dalam menyelesaikan sengketa-sengketa hukum yang timbul mengingat masing-masing provinsi memiliki hukum atau coutume-nya masing-masing. Charles Dumoulin berpandangan bahwa subjek hukum dalam perjanjian memiliki kebebasan berkontrak yang bermakna para pihak juga dapat menentukan hukum apa yang hendak mereka gunakan dalam kontrak mereka. Dapat dikatakan bahwa Dumoulin memperluas ruang lingkup statuta personalia yang dikembangkan Bartolus dan memasukkan unsur perjanjian ke dalamnya.[3]

Manakala Dumoulin memperluas statuta personalia, Bertrand d’Argentré justru memperluas statuta realia dengan memasukkan unsur perjanjian dan perbuatan hukum ke dalamnya. Dia berpandangan bahwa suatu statuta yang berkaitan erat dengan wilayah provinsi dari penguasa yang memberlakukannya harus dikategorikan sebagai statuta realia sehingga otonomi provinsi-provinsi harus diutamakan, dan bukan otonomi subjek hukum.[3]

Perkembangan Teori Statuta di Belanda (Abad ke-17)

[sunting | sunting sumber]

Perkembangan teori statuta di Belanda menekankan pada kedaulatan eksklusif negara. Ulrik Huber memiliki tiga prinsip dalam melihat perkara hukum perdata internasional yakni (i) hukum suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial negara itu; (ii) semua subjek hukum secara tetap atau sementara di dalam wilayah suatu negara berdaulat merupakan subjek hukum dari negara tersebut dan tunduk serta terikat pada hukum negara tersebut; tetapi (iii) hukum yang berlaku di negara asal dapat memiliki kekuatan berlaku di mana-mana (comitas gentium) selama tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara pemberi pengakuan. Ketiga prinsip tersebut harus ditafsirkan dengan melihat dua prinsip lain yakni (iv) suatu perbuatan hukum yang sah menurut hukum setempat harus dianggap sah di negara lain sekalipun hukum negara lain menganggap perbuatan semacam itu batal; dan (v) perbuatan hukum yang batal menurut hukum setempat dianggap batal pula di manapun juga.[3]

Johannes Voet berpandangan bahwa pemberlakuan hukum asing di suatu negara bukan merupakan kewajiban hukum internasional publik atau karena sifat hubungan perdatanya. Negara asing tidak dapat menuntut pengakuan atau pemberlakuan kaidah hukumnya di wilayah hukum negara lain dan oleh karena itu pengakuan atau berlakunya suatu hukum asing hanya dilakukan demi sopan santun pergaulan antarnegara (comitas gentium). Namun asas comitas gentium harus ditaati oleh setiap negara dan harus dianggap sebagai bagian dari sistem hukum nasional negara tersebut.[3]

Teori Universal (Abad ke-19)

[sunting | sunting sumber]

Ahli hukum Jerman C. G. von Wächter menilai teori statuta Italia menimbulkan ketidakpastian hukum oleh karena sifat ekstrateritorialnya yang mengakibatkan timbulnya kewajiban hukum di negara asing. Titik tolak penentuan hukum yang seharusnya diberlakukan dalam suatu perkara hukum perdata internasional adalah hukum dari tempat yang merupakan tempat kedudukan dari dimulainya suatu hubungan hukum tertentu. Dengan demikian lex fori (hukum di mana pengadilan berada) yang seharusnya diberlakukan sebagai hukum yang berwenang dalam perkara hukum perdata internasional.[3]

F. C. von Savigny kemudian mengembangkan gagasan von Wächter dengan mengasumsikan bahwa setiap jenis hubungan hukum dapat ditentukan tempat kedudukan hukumnya dengan melihat pada hakikat dari hubungan hukum tersebut. Bila seseorang hendak menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara dalam suatu hubungan hukum, hakim berkewajiban untuk menentukan tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu dengan bantuan titik-titik taut. Inilah awal mula pengembangan teori lex causae.[3]

Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional

[sunting | sunting sumber]
  • Hukum Perdata Internasional sama dengan Rechtstoepassingrecht

Hukum Perdata Internasional yang terbatas pada masalah hukum yang diberlakukan (rechtstoepassing). Disini yang dibahas hanyalah masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum yang harus diberlakukan. Hal lain yang berkenaan dengan kompetensi pengadilan, status orang asing, dan kewarganegaraan (nasionalitas) tidak termasuk bidang Hukum Perdata Internasional.

  • Hukum Perdata Internasional sama dengan Choice of Law dan Choice of Jurisdiction

Berdasarkan konsep ini Hukum Perdata Internasional tidak hanya terbatas pada persoalan, conflict of law (tepatnya choice of law), tetapi termasuk juga conflict of jurisdiction (tepatnya choice of jurisdiction), yakni permasalahan yang berkaitan dengan kompetensi pengadilan, jadi Hukum Perdata Internasional tidak hanya mencakup masalah hukum yang harus diberlakukan, tetapi juga menyangkut pengadilan mana yang berwenang. Konsep semacam ini dianut Inggris, Amerika, dan negara-negara common law lainnya.

  • Hukum Perdata Internasional sama dengan Choice of Law ditambah Choice of

Jurisdiction dan Condition des Etrangers

Dalam konsep ini, Hukum Perdata Internasional tidak hanya menyangkut persoalan pilihan hukum, pilihan yurisdiksi, tetapi juga status orang asing (Condition des Etrangers). Konsep semacam itu dianut Italia, Spanyol, dan negara-negara Amerika Selatan.

  • Hukum Perdata Internasional sama dengan Choice of Law ditambah dengan Choice of Jurisdiction, Condition des Etrangers, dan Nationalite.

Menurut konsep ini, Hukum Perdata Internasional menyangkut persoalan pilihan hukum, pilihan yurisdiksi, status orang asing, kewarganegaraan (nasionalitas). Masalah kewarganegaraan (nasionalitas) ini menyangkut persoalan cara memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan. Konsep Hukum Perdata Internasional yang paling luas ini dianut oleh Hukum Perdata Internasional Perancis.

Peraturan Hukum Perdata Internasional

[sunting | sunting sumber]

Peraturan-peraturan hukum perdata internasional dapat dibagi atas 2 (dua) golongan, yaitu (1) peraturan-peraturan petunjuk (verwijsings regels, “hukum mana”), (2) peraturan-peraturan asli atau peraturan-peraturan sendiri (eigen regels, hukum apa).

Peraturan petunjuk, yakni peraturan yang dikehendaki hukum nasional mana yang akan mengatur hubungan yang bersangkutan. Dalam peraturan atau perundang-undangan Indonesia, maka peraturan penunjuknya sebagian diatur dalam Pasal 16 AB, Pasal 17 AB, dan Pasal 18 AB (Algemeene Bepalingen van Wetgeving atau undang-undang yang memuat penentuan-penentuan umum perihal perundang-undangan), mula-mula diumumkan pada tanggal 30 April 1847 termuat dalam Staatsblad 1847-23, pasal-pasal mana sampai sekarang masih berlaku.

Tiga pasal tersebut di atas merupakan penting berdasarkan teori statuta dan menjadi sumber Hukum Perdata Internasional, yaitu:

  1. Pasal 16 AB tentang statuta personalia, adalah ketentuan perundangundangan yang mengenai status dan kekuasaan subjek hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri. Asas Lex Originis, walaupun dalam Pasal 16 AB itu hanya disebut “warga negara Indonesia”, namun menurut jurisprudensi dan doktrin, hukum Indonesia dapat menghalalkan asas lex originis ini dalam menyelesaikan perkara mengenai status dan kekuasaan orang asing (di Indonesia). Di Inggris dan Amerika dikenal asas domisili, yaitu suatu asas yang memperlakukan hukum tempat di mana suatu orang asing tinggal.
  2. Pasal 17 AB tentang statuta realea, bahwa benda-benda tetap (tidak bergerak) berlaku perundang-undangan negara atau tempat di mana benda-benda itu terletak. Jadi tempat/letak suatu benda tidak bergerak merupakan titik taut yang nenentukan hukum yang harus diberlakukan menurut asas lex rei sitae atau statuta riil.
  3. Pasal 18 AB ini merupakan peraturan yang sesuai dengan statuta mixta. Dengan statuta mixta terutama dimaksudkan peraturan-peraturan yang mengenai segi formal daripada perbuatan-perbuatan hukum (vorm derrechtshandeling). Perbuatan-perbuatan tentang “vorm” sesuatu perbuatan hukum yang diperlakukan ialah hukum dari tempat di mana terjadinya perbuatan hukum tersebut (lex loci actus). Contoh: Seseorang warga negara Indonesia yang menjual benda bergerak kepada seorang warga negara Indonesia lain di kota New York. Yang menentukan cara mengadakan perjanjian jual beli tersebut ialah hukum Amerika Serikat, tetapi yang menentukan perjanjian jual beli ini adalah hukum Indonesia.

Sedangkan peraturan asli adalah peraturan yang memberikan penyelesaian sendiri. Peraturan sendiri ini tidak menunjuk pada hukum nasional mana yang akan mengaturnya, tetapi mengatur sendiri. Seperti traktat Warsawa 12 Oktober 1929 tentang pengangkutan udara, traktat Genewa 7 Juni 1930 tentang wessel, dan traktat Genewa 19 Maret 1931 tentang cheque.

Selain menggunakan peraturan petunjuk dan peraturan asli, bisa juga kedua belah pihak mengadakan pilihan hukum (rechts kueze), yakni kedua belah pihak setuju, bahwa hubungannya akan diatur oleh hukum yang dipilihnya sendiri. Seperti seorang pedagang warga negara Belgia dan seorang pedagang warganegara Jerman mengadakan persetujuan jual beli, yang atas pilihannya memilih diatur oleh hukum Belanda.

Berdasarkan sumber lain di bawah adalah peraturan-peraturan dalam HPI.

  • Instrumen Hukum Nasional
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 26, Pasal 28 A, Pasal 28 B, Pasal 28 D.
  2. Algemeene Bepalingen van Wetegeving (AB) Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18.
  3. BW (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) Pasal 83, Pasal 84, Pasal 945.
  4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 56 sampai dengan pasal 62 e. Undang-Undang Kewarganegaraan Pasal 2 sampai dengan pasal 6
  • Instrumen Hukum Internasional
  1. General Priciples of Private Internasional Law.
  2. Convention on Conflict of Laws related to the Form of Testamentary Dispositions, Tahun 1961.
  3. Convention on the Law Applicable to Surnames and Given names, 1980 (Art 27).
  4. Convention on Celebration and Recognition of the Validity of Marriage 1978 (Art 27); 10.
  5. Hague Convention on Matrimonial Property, 1978.
  6. Convention on the Protection of Children and Cooperation in Respecs of Intercountry Adoptions 1933.
  7. International Instrumens on Child Abduction (Article 114).
  8. Convention on the Law Appllicable to Maintenance Obligations 1973 (Article 116).
  9. Convention on the Law Applicable to Agency 1978 (Article 125).

Contoh Kasus Hukum Perdata Internasional

[sunting | sunting sumber]

Kasus Mobil Nasional Timor dengan Jepang dan Uni Eropa

[sunting | sunting sumber]

Pada Juli 1996, pemerintah resmi meluncurkan proyek mobil nasional bernama Timor melalui kerja sama dengan Kia Motors, produsen mobil asa Korea Selatan. Karena berlabel mobil nasional, bea masuk dan pajak barang mewah pada penjualan mobil ini dipangkas sehingga harganya menjadi separuh harga rata-rata mobil saat itu.

Kebijakan Indonesia ini diprotes negara produsen mobil seperti Jepang dan Uni Eropa. Mereka menyeret Indonesia ke badan penyelesaian sengketa WTO. Indonesia kalah dan WTO memutuskan agar Indonesia mencabut kebijakan diskriminatif tersebut. Selanjutnya, nasib mobil nasional Timor bagai hilang ditelan bumi.

Kasus Biodiesel dengan Uni Eropa

[sunting | sunting sumber]

Pada Januari 2018, Indonesia menang melawan Uni Eropa dalam kasus pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) produk biodiesel. WTO memenangkan enam gugatan Indonesia atas Uni Eropa. Beberapa tahun sebelumnya, Uni Eropa memang menerapkan BMAD di angka 8,8 persen sampai 23,3 persen pada produk biodiesel asal Indonesia. Kebijakan ini membuat nilai ekspor biodiesel ke Uni Eropa bertekuk lutut dan terus mengalami penurunan sejak 2013.

Kasus kemasan rokok polos dengan Australia

[sunting | sunting sumber]

Pada Juni 2018, Indonesia kembali menelan kekalahan di WTO dalam kasus kemasan rokok berdesain polos. Indonesia beserta negara produsen rokok lainnya, Kuba, Honduras, dan Republik Dominika, menggugat kebijakan kemasan rokok yang diterapkan di Australia tersebut. Australia memang menerapkan kebijakan itu untuk pengendalian konsumsi rokok di negara mereka. Tapi Indonesia dan tiga negara penggugat lainnya menilai kebijakan ini melanggar hak atas kekayaan intelektual dari produsen. Gugatan ditolak oleh WTO dan Australia menang.

Conflict of laws

[sunting | sunting sumber]

Dalam konsepsi hukum umum dikenal istilah conflict of laws atau konflik hukum. Meskipun sekilas conflict of laws mirip dengan hukum perdata internasional, patut diperhatikan bahwa pengertian conflict of laws lebih luas daripada hukum perdata internasional di mana pertentangan-pertentangan hukum dapat terjadi di dalam negara yang sama seperti di Amerika Serikat yang menganut sistem federal dengan banyaknya pertentangan hukum antara negara bagian satu dengan lainnya terkait suatu objek yang sama.[4]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ McClelland, Lynn. "LibGuides: Private International Law: Introduction". libguides.law.ucla.edu (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-08. Diakses tanggal 2019-07-08. 
  2. ^ "Indonesia Butuh Kodifikasi Hukum Perdata Internasional". hukumonline.com (dalam bahasa Indonesia). 2012-09-13. Diakses tanggal 2019-07-08. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m Gautama, Sudargo (1987). Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: Bina Cipta. 
  4. ^ "Hukum Perdata Internasional (HPI): Pendahuluan". 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-06.