Lompat ke isi

Penghimpitan dan keambrukan kerumunan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tragedi jembatan Lyon, 1711

Penghimpitan kerumunan dan keambrukan kerumunan adalah insiden-insiden katastropik yang dapat terjadi ketika jumlah orang yang berada pada suatu ruang terbatas menjadi terlalu padat. Di saat kerumunan orang mencapai atau melebihi kepadatan empat hingga lima orang per meter persegi, tekanan pada masing-masing individu dapat menyebabkan kerumunan tersebut ambruk dengan sendirinya, atau menjadi begitu padat yang mengakibatkan orang-orang berhimpitan dan mengalami asfiksia.

Pada kepadatan ini, sebuah kerumunan dapat mulai bertingkah seperti cairan; di luar kehendak, mereka menyapu individu-individu di sekitar mereka. Insiden semacam ini dapat terjadi pada acara-acara besar seperti pertandingan olahraga, acara komersial, sosial, maupun acara keagamaan. Faktor kritikal dari insiden ini adalah lebih kepada kepadatan kerumunan ketimbang ukuran kerumunan.

Diperkirakan dari insiden-insiden penghimpitan kerumunan yang terjadi di dunia dari tahun 1992 hingga 2002, terdapat sekitar 66.000 orang yang cedera karenanya. Beberapa contoh dari insiden ini adalah seperti Insiden Mina 2015 ketika ibadah Haji yang diestimasi menewaskan lebih dari 2.000 orang, Insiden Zakat Pasuruan 2008, Insiden Kanjuruhan 2022, dan Tragedi Halloween Itaewon 2022.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Sebuah penelitian menghitung bahwa ada 232 kematian dan lebih dari 66.000 orang cedera diakibatkan oleh insiden-insiden penghimpitan kerumunan antara tahun 1992 dan 2002,[1] dan diyakini oleh para peneliti keramaian, bahwa insiden semacam ini sangat jarang dilaporkan meskipun frekuensinya semakin meningkat. Salah satu estimasi menyebutkan, dari sepuluh korban cedera akibat penghimpitan kerumunan yang terjadi ketika obral toko besar-besaran, hanya satu yang dilaporkan, selain itu banyak, jika bukan sebagian besar, korban cedera pada konser rock sama sekali tidak dilaporkan.[1]

Setiap orang rata-rata menempati ruang lantai oval sekitar 30 x 60 cm, atau 18 meter persegi, dan pada kepadatan 1 hingga 2 orang per meter persegi tiap-tiap individu dapat bergerak bebas tanpa bersentuhan. Bahkan jika mereka bergerak dengan cepat, pada kepadatan ini, sangat mungkin untuk menghindari rintangan dan kemungkinan terjadinya insiden yang berhubungan dengan kerumunan sangatlah kecil.[2] Namun, pada kepadatan 5 orang per meter persegi, kemungkinan untuk dapat bergerak dengan bebas menjadi terbatas, sedangkan pada kepadatan yang lebih tinggi seperti 6 hingga 7 orang per meter persegi, tiap-tiap individu menjadi saling berhimpitan dan menjadi tidak dapat bergarak atas kemauan sendiri. Pada titik ini, kerumunan dapat mulai bertindak seperti cairan. Dengan sejumlah individu digerakkan oleh tekanan dari orang-orang yang berada di sekitar mereka, gelombang kejut dapat terlintas di dalamnya seiring dengan berubahnya tekanan di dalam kerumunan tersebut.[3] Hal ini bisa sangat berbahaya, meskipun dalam beberapa kasus hal ini secara aktif dicari, seperti di konser rock[4] atau pertandingan sepak bola,[5] di mana kegembiraan, kebersamaan, dan secara harfiah 'mengikuti arus' adalah bagian yang esensial dari pengalaman tersebut, dan kegiatan seperti menari dan bernyanyi menjadi pemandangan yang umum pada kegiatan ini. Bahaya yang melekat dalam kondisi ini adalah kerumunan orang tersebut dapat ambruk dengan sendirinya, atau menjadi sangat padat sehingga individu-individu akan terhimpit dan kehabisan napas.

Keambrukan kerumunan

[sunting | sunting sumber]

Ambruknya kerumunan massa terjadi ketika suatu kerumunan menjadi sedemikian padat sehingga setiap individu bersentuhan dengan orang lain di sekelilingnya, dan sampai taraf tertentu, masing-masing orang disangga oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka. Hal ini bisa terjadi, baik di saat suatu kerumunan itu sedang bergerak atau diam. Jika seseorang kemudian terjatuh, topangan dari orang-orang di sekitarnya hilang, sementara tekanan dari orang-orang yang lebih jauh tetap berlanjut, menyebabkan orang tersebut jatuh ke dalam kehampaan. Proses ini kemudian terulang, menyebabkan kehampaan yang lebih besar, dan akan terus berlanjut sampai tekanan mereda: sementara itu, mereka yang jatuh berisiko tertindih oleh berat dari orang-orang yang ada di atas mereka, atau terinjak-injak saat kerumunan tersebut menyapu mereka.[6] Contoh dari runtuhnya kerumunan massa yang progresif adalah insiden desak-desakan Mina tahun 2015 di Makkah, Arab Saudi selama ibadah haji di mana lebih dari 2.400 orang dilaporkan tewas.[7]

Penghimpitan kerumunan

[sunting | sunting sumber]

Pada kepadatan yang lebih tinggi (hingga 9 orang per meter persegi) sebuah kerumunan dapat menjadi begitu sesak sehingga orang-orang saling terhimpit hingga mereka tidak dapat lagi bernapas, dan terjadi asfiksia. Insiden seperti ini dapat terjadi ketika sebuah kerumunan yang sedang bergerak masuk ke ruangan yang lebih kecil dan lebih kecil lagi, atau ketika mereka bertemu dengan rintangan (seperti jalan buntu, atau pintu yang terkunci), atau ketika terjadinya gelombang masuk orang-orang yang baru ke dalam sebuah kerumunan yang sudah begitu sesak menimbulkan sebuah gelombang tekanan ke arah orang-orang yang berada di depan kerumunan. Dalam situasi ini, mereka yang baru masuk bisa terus menekan masuk tanpa menyadari akan tekanan yang dialami orang-orang yang berada di depan kerumunan. Contoh dari peristiwa ini adalah seperti tragedi Hillsborough dan insiden Kanjuruhan 2022.[8]

Penyebab kematian

[sunting | sunting sumber]

Dalam insiden keambrukan dan penghimpitan kerumunan, penyebab kematian yang paling umum adalah asfiksia, yang disebabkan oleh penumpukan vertikal, ketika orang-orang jatuh di atas satu sama lain, atau oleh penumpukan horizontal, di mana orang saling berhimpitan atau berhadapan dengan penghalang yang tidak dapat dilewati. Korban juga dapat mengalami patah tulang dikarenakan tekanan,[9] atau luka-luka akibat terinjak-injak, ketika kerumunan orang menyapu mereka di tempat mereka terjatuh.[9]

Pencegahan

[sunting | sunting sumber]

Diyakini bahwa sebagian besar bencana kerumunan yang besar dapat dicegah dengan strategi manajemen keramaian yang sederhana.[10] Penumpukan dapat dicegah dengan pengorganisasian dan pengendalian lalu lintas, seperti pembatas. Di sisi lain, pembatas dalam beberapa kasus dapat menggiring kerumunan menuju area yang sudah penuh sesak, seperti dalam tragedi Hillsborough. Salah satu kendala adalah kurangnya komunikasi dari orang-orang yang terdesak, ke kerumunan yang mendesak di belakang mereka - umpan balik dapat disampaikan oleh polisi, panitia, atau petugas lainnya, terutama petugas yang berada di ketinggian, seperti di atas platform atau sedang menunggang kuda, yang dapat mensurvei kerumunan dan menggunakan pengeras suara untuk berkomunikasi dan mengarahkan mereka. Dalam beberapa kasus, dimungkinkan untuk mengambil langkah-langkah sederhana seperti mendistribusikan pergerakan kerumunan dari waktu ke waktu.[11]

Faktor yang dapat berkontribusi pada terjadinya penumpukan adalah petugas keamanan yang tidak berpengalaman yang berasumsi bahwa perilaku orang-orang dalam kerumunan padat adalah bersifat sukarela dan membahayakan, sehingga mereka mulai menerapkan kekerasan atau mencegah orang bergerak ke arah tertentu. Dalam tragedi Hillsborough 1989, beberapa polisi dan petugas keamanan merasa khawatir dengan apa yang mereka anggap sebagai aksi hooliganisme yang mungkin terjadi, sehingga mereka mengambil tindakan yang justru memperburuk keadaan.[11]

Terdapat risiko terjadinya himpitan ketika kepadatan kerumunan melebihi sekitar empat orang per meter persegi. Untuk seseorang yang berada dalam kerumunan, tanda bahaya, dan peringatan untuk segera keluar dari kerumunan jika memungkinkan, adalah ketika dirinya merasa tersentuh di keempat sisinya. Peringatan berikutnya yang lebih serius adalah ketika seseorang merasakan gelombang kejut yang menjalar ke seluruh kerumunan, disebabkan oleh orang-orang yang berada di belakang mendorong maju ke arah orang-orang yang berada di depan yang tidak memiliki ruang untuk bergerak.[12] Keith Still dari Fire Safety Engineering Group, University of Greenwich, mengatakan, "Waspadalah dengan sekeliling anda. Lihatlah ke depan. Perhatikan suara kerumunan orang. Jika anda mulai mendapati diri anda berada dalam gelombang kerumunan, tunggu sampai gelombang itu datang, ikutilah gelombang itu, dan bergeraklah ke samping. Teruslah bergerak dengannya dan ke samping, lalu bergerak dengannya lagi kemudian ke samping."[13]

Setelah insiden penghimpitan kerumunan pada tahun 1883 di Sunderland, Inggris, yang dikenal sebagai tragedi Victoria Hall, yang menewaskan 183 anak-anak, sebuah undang-undang pun disahkan di Inggris yang mengharuskan semua tempat hiburan umum dilengkapi dengan pintu yang terbuka ke arah luar, misalnya dengan menggunakan kait palang dorong yang terbuka ketika didorong.[14] Palang dorong diwajibkan pada berbagai peraturan bangunan.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Pearl 2015, hlm. 4.
  2. ^ Pearl 2015, hlm. 6.
  3. ^ Pearl 2015, hlm. 7.
  4. ^ Hill, Tia (2019-11-27). A Crowd Safety Expert Explains Why People Mosh. Genius. 
  5. ^ Sampara, Pete "Kopite". "Kop memories". LFCHistory.net. 
  6. ^ Benedictus, Leo (2015-10-03). "Hajj crush: how crowd disasters happen, and how they can be avoided". The Guardian (dalam bahasa Inggris). 
  7. ^ Moore, Jack (2015-09-24). "What Caused the Hajj Tragedy?". Newsweek (dalam bahasa Inggris). 
  8. ^ Moore, Jack (2015-09-24). "What Caused the Hajj Tragedy?". Newsweek (dalam bahasa Inggris). 
  9. ^ a b Evtushenko, Evgenii (1963). Precocious Autobiography. New York: Dutton. hlm. 88–102 , quoted in "Mourners Crushed at Stalin's Funeral". Seventeen Moments in Soviet History. Michigan State University. 
  10. ^ Fruin 2002, hlm. 5: "Virtually all crowd deaths are due to compressive asphyxia and not the 'trampling' reported by the news media."
  11. ^ a b Ro, Christine (21 March 2018). "The secret science that rules crowds". BBC Future. Diakses tanggal 14 August 2018. 
  12. ^ Ripley, Amanda (19 Jan 2009). "How Not To Get Trampled at the Inauguration". Slate. Diakses tanggal 12 May 2009.  Article acknowledges traffic engineer John J. Fruin and G. Keith Still of Crowd Dynamics Ltd.
  13. ^ Benedictus, Leo (2015-10-03). "Hajj crush: how crowd disasters happen, and how they can be avoided". The Guardian (dalam bahasa Inggris). 
  14. ^ Stoner, Sarah (13 Jun 2008). "Children's deaths that shocked the world". Sunderland Echo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 June 2008. Diakses tanggal 13 June 2008. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]