Diskusi mengenai praktik joki tugas memanas di jagat media sosial X dalam beberapa waktu terakhir. Pembahasan ini mencuat ke permukaan setelah influencer pendidikan, Abigail Muria, mengangkat isu ini ke…
Tradisi menanggalkan penyematan gelar dalam pergaulan akademis bukanlah praktik baru, tapi sedang ramai digalakkan sebagai upaya desakralisasi gelar di Indonesia.
Alih-alih terjebak pada kesejaluran, penilaian untuk kenaikan jabatan profesor seharusnya mempertimbangkan konsistensi dalam berkarya dan dampak dari penelitian dosen. Mengapa?
Kebijakan publikasi ilmiah yang ada saat ini cenderung menjebak dosen dalam tirani matriks. Apa yang harus dilakukan untuk keluar dari jebakan tersebut?
Upaya-upaya menuju ‘World Class University’ masih terjebak ranking sehingga gagal menawarkan solusi bagi persoalan bangsa yang lebih substansial. Benarkah demikian?
Salah satu solusi untuk mengatasi pelanggaran akademis adalah dengan mengubah cara pandang dalam melihat kampus sebagai tempat ‘transmisi’ pengetahuan menjadi ‘produksi’ pengetahuan.
Pemeringkatan kampus telah terbukti menciptakan masalah baru. Terutama terkait cara kerjanya yang fokus pada jumlah sehingga menciptakan tekanan untuk terus-menerus mempublikasi.
Kumba Digdowiseiso, salah satu guru besar termuda di Indonesia, menarik perhatian komunitas akademisi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Nama Kumba jadi perbincangan karena kasus yang melibatkan…
Guru besar adalah pencapaian jabatan akademik tertinggi yang bisa diraih dosen. Namun, syarat menjadi guru besar tidaklah mudah, sehingga banyak oknum yang kemudian memilih jalan pintas.
Pelanggaran akademik semakin marak di Indonesia dan telah melahirkan reputasi buruk di mata internasional. Dampaknya pun tak main-main. Tapi mengapa praktik-praktik ini masih marak terjadi?
Dr.Gigih Saputra, S.Kom.I, M.Ag (Dosen dan Sekretaris LPPM di STIAMAK Barunawati), Sekolah TInggi Ilmu Administrasi dan Manajemen Kepelabuhan (STIAMAK) Barunawati Surabaya