PPDS - AR - 22 16 - Agu - P Ilovepdf Compressed Ilovepdf C PDF
PPDS - AR - 22 16 - Agu - P Ilovepdf Compressed Ilovepdf C PDF
PPDS - AR - 22 16 - Agu - P Ilovepdf Compressed Ilovepdf C PDF
Pembimbing:
Dr. dr. Elizeus Hanindito Sp. An. KIC KAP
Dr. dr. Arie Utariani Sp. An. KAP
ABSTRACT
Methods: After obtaining approval from ethics committee, 122 patients were the
subjects, aged 0-18 years, undergoing elective surgery in Dr. Soetomo Hospital
Surabaya. Observation started at premedication room which preoperative anxiety and
pain scale measured. Patients were given analgetic postoperatively and observed at 30
minutes, 1 hour, 2 hours, 1 day and 2 days postoperative. Observations included pain
scale, sedation scale and hemodynamic (respiration rate, pulse, blood pressure and
saturation). The results were analysed statistically using t Test, Mann-Whitney and
Chi square test.
Results: NSAID was the most used analgetic in general (54 patients) and the most
used analgetic in group with 0 pain scale (no pain) in all times of pain scale
evaluation. Combined analgetics had bigger pain scale compare to single analgetic in
almost all times of pain scale evaluation except 2 days postoperative. However,
statistically there was no difference between giving single and combined analgetics in
almost all times of pain scale evaluation except 2 days postoperative. While
preoperative anxiety statistically correlates with postoperative pain at 2 hours
postoperative.
Conclusion: There was difference between giving single and combined analgetics at
2 days postoperative evaluation (p 0.035). Preoperative anxiety correlate with
postoperative pain at 2 hours postoperative evaluation (p 0.046).
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, segala puji syukur ke Hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya,
saya dapat menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) I
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
serta dapat menyusun dan menyelesaikan penelitian “Profil Analgetik Pasca Operasi
pada Pasien Pediatri yang Menjalani Operasi Elektif di RSUD Dr. Soetomo” sebagai
salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan keahlian di bidang
Anestesiologi.
Karya akhir ini disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan karya akhir ini. Saya
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak, pribadi dan
institusi yang telah merelakan hati, pikiran serta materi; mendukung dan mendorong
saya dalam meniti hari demi hari perjalanan yang indah penuh warna ini dan sekarang
telah berlalu. Semoga perjalanan tersebut akan selalu mewarnai perjalanan
selanjutnya yang lebih indah. Tiada lain hanya ucapan terima kasih dan rasa hormat
yang dapat saya sampaikan.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Direktur BLUD RSUD Dr.
Soetomo dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga atas kesempatan
yang diberikan sehingga saya dapat menjalani pendidikan dokter spesialis di bidang
Anestesiologi dan Reanimasi.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya dan juga rasa hormat saya sampaikan
kepada seluruh guru dan panutan saya di Departemen/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi atas segala bimbingan, bantuan, arahan dan nasihat kepada saya selama
menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada
pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dalam menyusun karya akhir ini yaitu:
1. Dr. dr. Hamzah Sp.An. KNA sebagai Kepala Departemen Anestesiologi dan
Reanimasi yang telah memberi kesempatan untuk menjadi peserta PPDS I
Anestesiologi dan Reanimasi.
2. Dr. dr. Arie Utariani Sp.An. KAP sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi
dan Reanimasi yang layaknya seperti orang tua saya di Departemen
Anestesiologi dan Reanimasi yang dengan sabar dan penuh kasih mendidik
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya kepada
kita semua. Amin.
DAFTAR ISI
Transduksi ……………………………………………... 11
Modulasi ……………………………………………….. 13
2.8.1. Nyeri akut pada anak akibat trauma pembedahan yang luas
sedang – NRS atau VAS pasca operasi 4-6 dan durasi nyeri
– NRS atau VAS pasca operasi > 7 dan durasi nyeri pasca
Preoperatif ……………………………………………... 87
5.6.2. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca
Operasi ………………………………………………… 96
5.6.3. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca
Operasi ………………………………………………… 98
5.6.4. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca
Operasi ………………………………………………… 99
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Skala FLACC (face, legs, activity, cry dan consolability) ……….. 24
Tabel 2.4. Skala pengukuran CRIES (Crying, Requires O2 for SaO2 < 95%,
Tabel 2.6. Tren Relevan Terkait Umur Terhadap Kerja Obat ……………….. 32
Tabel 5.16. Karakteristik Skala Nyeri Untuk Usia > 12 tahun …………………75
Tabel 5.23. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Preoperatif … 88
Tabel 5.24. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca
Operasi ………………………...………………………...………... 89
Tabel 5.25. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca
Operasi ………………………...………………………...………... 91
Tabel 5.26. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca
Operasi ………………………...………………………...………... 92
Tabel 5.27. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Pertama
Tabel 5.28. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Kedua Pasca
Operasi ………………………...………………………...………... 95
Tabel 5.30. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca Operasi
………………………...………………………...……………….… 97
Tabel 5.31. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi
………………………...………………………...……………….… 98
Tabel 5.32. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi
………………………...………………………...……………….… 100
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.2. Pengukuran Skala Nyeri: Visual Analogue Scale (VAS), Numerical
Gambar 5.13. Karakteristik Usia dan Berat Badan Terhadap Jumlah Analgetik 71
Gambar 5.14. Karakteristik Jenis Kelamin, PS ASA dan Usia Terhadap Jumlah
Analgetik ………………………………………………………… 71
Gambar 5.26. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Preoperatif 88
Gambar 5.27. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca
Operasi ………………………………………………………….. 90
Gambar 5.28. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca
Operasi ………………………………………………………….. 91
Gambar 5.29. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca
Operasi ………………………………………………………….. 92
Gambar 5.30. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Pertama
Gambar 5.31. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Kedua
Gambar 5.33. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca Operasi
……………………………………………………………………. 97
Gambar 5.34. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi
……………………………………………………………………. 99
Gambar 5.35. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi
……………………………………………………………………. 100
BAB 1
PENDAHULUAN
fisiologi dan psikologi nyeri yang merugikan tetap tidak teratasi dengan baik.
Manajemen nyeri yang tidak efektif pada anak dapat berakibat negatif terhadap
hasil klinis dan psikologis serta kualitas hidup pasien. Manajemen nyeri pasca
keluar rumah sakit, hingga tidak terantisipasinya pasien rawat jalan masuk rumah
(1)
sakit pasca operasi. Sebuah studi oleh Power dkk menyebutkan bahwa terjadi
gangguan pola makan pada pasien pediatri yang tidak mendapat penanganan nyeri
yang baik pada 2 hari pertama pasca operasi, diikuti dengan kecemasan saat
berpisah dengan orang tua dan apatis. (2) Manajemen nyeri akut yang efektif akan
meningkatkan hasil luaran dan juga kepuasan pasien. Penelitian dan penerapan
terhadap tatalaksana nyeri akut dan nyeri pasca operasi, namun kesadaran untuk
meningkatkan sikap dan persepsi pasien terhadap nyeri. Penanganan nyeri secara
operasi. Penanganan nyeri yang efektif dengan efek samping sedikit akan
pasien merupakan salah satu hal penting sehingga analgetik yang adekuat sangat
perilaku, karena itu The American Academy of Pediatrics and The American Pain
Society mengatakan bahwa nyeri harus dikenali dan dirawat lebih agresif terutama
prosedur yang menyakitkan karena adanya stigma yang salah bahwa mereka tidak
menyenangkan seperti halnya pada dewasa. Patofisiologi nyeri pada anak juga
terdiri dari 4 proses yaitu transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi. Proses
modulasi pada neonatus tidak berlangsung dengan baik karena jalur descending
(4)
yang imatur. Kurangnya keamanan dan efektivitas analgetik disertai
lebih banyak alasan sehingga penanganan nyeri pada anak tidak adekuat. Sebuah
dogma yang terkenal menyebutkan bahwa anak-anak tidak merasakan nyeri dan
pada bayi dan anak akan merangsang respon stres biokimia dan fisiologis serta
(6)
imunologi dan fungsi metabolik. Finely dkk telah melaporkan bahwa berbagai
jenis pembedahan “minor” dapat menyebabkan nyeri yang signifikan pada anak,
dan terdapat kesalahpahaman pada orang tua tentang penanganan nyeri pada anak.
(7)
Manajemen nyeri pada anak tidak adekuat karena adanya morbiditas dan
juga mortalitas. Swaford dan Allen telah menyatakan bahwa “Paediatric patients
seldom need medication for relief of pain. They tolerate discomfort well…”
(pasien pediatri terkadang membutuhkan terapi untuk nyeri, karena mereka dapat
(8)
menahan rasa nyeri dengan baik). Eland menemukan perbedaan signifikan
(9)
dalam manajemen nyeri pada anak dan dewasa. Laporan insiden nyeri dan
dkk menggambarkan efek dari nyeri pada bayi karena anestesi minimal pada
(10)
artikelnya. Artikel serupa juga diterbitkan pada jurnal medis utama. Setelah
bahwa bebas dari rasa nyeri merupakan hak asasi manusia, terlepas dari usia,
(11)
kondisi medis, pengobatan, ataupun lembaga medis yang menangani.
Langlade dkk menyebutkan bahwa penanganan nyeri pasca operasi harus meliputi
integral dari praktik anestesi pada anak di seluruh rumah sakit besar.
kerusakan jaringan dan inflamasi, yang bisa disebabkan oleh pembedahan, luka
bakar, atau trauma. Dalam studi Ganter dkk di sebuah rumah sakit di Zurich,
Switzerland menyebutkan bahwa pasien dengan nyeri pasca operasi yang tiba di
PACU (Post Anesthesia Care Unit) akan membutuhkan waktu lebih lama di
(11, 13)
PACU sebelum pasien layak kembali ke ruang rawat inap. Friedrichsdorf
dkk mengatakan dalam studinya bahwa intensitas nyeri yang paling besar yang
didapatkan seorang anak saat berada di rumah sakit adalah karena trauma/cedera
diikuti dengan pembedahan. (14) Penelitian yang dilakukan oleh Kozlowski dkk di
sebuah rumah sakit anak tersier di Mid Atlantic juga menyebutkan bahwa sumber
nyeri paling banyak diakibatkan oleh prosedur pembedahan mayor seperti fusi
(15)
spinal, craniectomy dan colostomy. Yang ironis adalah dari survei skala besar
nyeri pasca operasi sedang hingga berat dan 75% tidak mendapat analgetik yang
cukup. (16)
Hambatan yang terjadi terhadap penanganan nyeri pasca operasi yang baik
pada pasien pediatri dikarenakan penilaian nyeri terhadap anak sulit dilakukan
(17)
karena belum ada teknik penilaian nyeri yang ideal. Metode yang dapat
digunakan untuk menilai nyeri pada anak antara lain self-report ataupun
pengamatan perilaku. Namun hal ini juga dihambat oleh adanya beberapa faktor
anak.
diberikan mulai dari per oral, intravena, rectal maupun regional. Sebuah studi
yang dilakukan oleh Menezes menyebutkan bahwa efek analgetik obat per rectal
(18)
dan epidural caudal yang diberikan setelah induksi tidak jauh berbeda.
menyebutkan bahwa efek analgetik preemtif antara obat analgetik intravena dan
anestesi lokal, paracetamol dan obat antiinflamasi pada anak matur pada usia 2
tahun. Dan belum terdapat bukti kuat tentang efek analgetik dari paracetamol
waktu paruh, volume of distribution dan clearance plasma total sangat bervariasi
(21)
pada beberapa kelompok umur, meskipun berat badan hampir sama. Hal ini
juga didukung oleh analisa populasi di berbagai rentang usia yang menyebutkan
nyeri, penilaian nyeri di awal dan pasca operasi hingga komplikasi yang timbul
bila nyeri tidak diatasi dengan baik seperti bertambahnya waktu rawat di PACU.
Hal inilah yang mendasari saya membuat penelitian mengenai profil analgetik
pasca operasi pada pasien pediatri. Hambatan dari penelitian ini adalah sulitnya
menilai nyeri pada pediatri yang seringkali rancu dengan kecemasan. Oleh karena
pediatri saat ini sesuai pedoman, maka diharapkan manajemen nyeri pada
menurun
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nyeri
Nyeri menurut The International for the study of Pain (IASP) adalah suatu
kondisi aktual atau potensial terjadinya kerusakan jaringan. Nyeri terdiri dari 2
Berdasarkan tipe, nyeri terdiri dari nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh aktivasi
nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai respon terhadap stimuli berbahaya dan nyeri
neuropatik yang disebabkan oleh proses sinyal di sistem saraf perifer atau pusat yang
terhadap stres meliputi perubahan fisiologis di mana pada fase awal berguna sebagai
life saving. Adaptasi perifer melibatkan perpindahan energi dari tempat penyimpanan
menuju aliran darah untuk mengatasi stresor. Ini juga mencakup respon analgetik,
respon reflek menghilang dan berbagai perubahan fisiologis yang diperantarai oleh
sistem nervus simpatis. Namun, jika respon stres dibiarkan berlanjut, berbagai efek
berbahaya mungkin terjadi dengan melibatkan beberapa sistem tubuh dan berpotensi
1. Transduksi
spinal.
2. Transmisi
tahap: dari serat nosiseptor ke saraf spinal, dari saraf spinal ke batang otak
dan thalamus, dan terakhir dari thalamus ke cortex. Agar stimulus nyeri
dapat diubah menjadi impuls dan berpindah dari perifer ke saraf spinal,
maka potensial aksi harus terjadi, yaitu berpindahnya ion natrium dan
sinaps.
3. Persepsi
sakit. Ini merupakan hasil dari aktivitas saraf dan di mana nyeri menjadi
4. Modulasi
sensasi melalui saraf spinal, batang otak dan nukleus relay di thalamus menuju cortex
cerebri. Neuron nosisepsi sensitif terhadap suhu, mekanik ataupun rangsangan kimia
neurogenik (misal vasodilatasi dan leakage vaskular) dan regulasi neuroimun. Neuron
nosisepsi juga mempengaruhi kontraksi otot polos dan sekresi glandular ke dalam
saluran gastrointestinal dan urinari. Fisiologi nyeri pada neonatus ini dibagi menjadi 3
bagian yaitu:
Sistem saraf perifer lokal memproses atau proses transduksi terjadi saat
perifer.
2.2.1. Maturasi dari Respon Lokal Sistem Saraf Perifer atau Transduksi
Sistem saraf perifer, sebagai bagian dari sistem somatosensoris, terdiri dari 3
dari saraf spinal mulai terjadi. Pada saat usia kehamilan 7 minggu, reseptor
lengan dan kaki; dan pada usia kehamilan 20 minggu berkembang ke seluruh
permukaan kulit dan mukosa. Pada usia kehamilan 24 minggu, sistem saraf
neonatus mempunyai densitas ambang nyeri Aδ yang lebih tinggi dan Aβ yang
berbahaya yang diartikan sebagai aktivitas elektrik di ujung perifer dari serat
saraf spinal. Kerusakan sel dan pembuluh darah akibat cedera disertai dengan
proses inflamasi dan nyeri terkait dapat meluas ke jaringan di sekitar luka
terminal. Dibanding dengan bayi yang lebih besar, perkembangan terjadi lebih
prominen jika kerusakan jaringan terjadi saat lahir atau beberapa saat
ambang mekanik dan hiperinervasi dari area luka yang menetap hingga
dewasa.
sistem saraf pada bayi prematur adalah imatur sehingga bayi tidak mampu
lebih pendek yang dilalui oleh impuls saraf. Jalur saraf nosisepsi sistem saraf
pusat dan saraf spinal bermielinisasi pada usia kehamilan trimester kedua dan
2.2.2. Maturasi dari Proses di Saraf Spinal atau Transmisi dan Modulasi
Di awal kehidupan, sistem saraf spinal neonatus yang imatur berfungsi sebagai
unit independen. Karena jalur descenden imatur, cortex neonatus hanya dapat
Saraf spinal mempunyai 3 level fungsi penting nosisepsi: (1) respon lokal,
yang seringkali bersifat reflek protektif; (2) transmisi nyeri ascenden dan (3)
modulasi dari impus nosispsi melalui jalur descenden. Namun deskripsi lebih
jelas dari anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat tidak tersedia.
nyeri. Semua lamina di cornu dorsalis pada neonatus merupakan NMDA yang
sensitif terhadap glutamat hingga usia 10-12 hari, di mana densitas tertinggi
sekunder pada jaringan normal di sekitar luka. Selain itu, input nosisepsi dari
Reseptor NMDA dari cornu dorsalis pada neonatus lebih besar dari dewasa
ukuran dewasa pada usia kehamilan 43-44 minggu. Hal ini meningkatkan
rendahnya ambang nyeri pada bayi prematur dan diduga berhubungan dengan
peningkatan kerentanan kerusakan eksitotoksis pada otak bayi yang baru lahir
yang menimbulkan nyeri yang lebih hebat dan lebih lama pada bayi. NMDA
“wind up” sel pada stimulasi berulang serabut C telah terbukti pada usia muda
saraf spinal in vitro (8-14 hari) dan diobservasi pada neonatus prematur dan
mana terdapat konsentrasi klorida intrasel. GABA lebih sensitif pada bayi
hingga usia 44 minggu. Reseptor NMDA yang besar dan level sinyal GABA
Respon saraf spinal memiliki efek besar terhadap respon bioperilaku neonatus
dewasa, bayi prematur mempunyai ambang nyeri lebih rendah dan mempunyai
sentuhan di sekitar area luka yang dapat menimbulkan nyeri selama beberapa
nyeri bahkan menurun lebih rendah akibat pengaruh NMDA dan GABA pada
eksitabilitas dari neuron sensoris saraf spinal. Variabilits signifikan dri respon
terhadap nyeri diamati pada neonatus untuk melihat penurunan nilai ambang
nyeri secara kontinyu dan peningkatan kepekaan neuron. Implikasi klinis pada
neonatus dibanding dewasa yaitu respon perilaku pada perawatan rutin akan
tikus pada minggu pertama postnatal kemudan menurun hingga sama seperti
dewasa pada usia 6-8 minggu postnatal. Jumlah reseptor NMDA yang imatur
lebih besar pada neonatus dibanding dewasa dan menurun seiring dengan usia
dan aktivitas sinaps. Hal ini disebabkan oleh perubahan komposisi subunit
yang didapatkan.
Terdapat sejumlah studi besar yang menunjukkan bahwa bayi kecil mampu
ascenden akan matang pada usia kehamilan 20 minggu. Dan pada saat usia
dengan dewasa.
bukti merupakan variabel perilaku yang menunjukkan nyeri pada bayi. Alis
menonjol, gerakan bola mata, dan gerakan sudut bibir telah ada sejak usia
kehamilan 26 minggu dan terbukti sebagai respon nyeri. Ekspresi yang sama
pada dewasa, meskipun pada bayi dengan usia kehamilan kurang dari 30
minggu respon tidak sekuat pada dewasa. Denyut jantung, variabilitas denyut
fisiologis yang berhubungan dengan nyeri akut pada bayi. Respon autonom
protektif dan respon wajah tersebut dipicu oleh serabut nyeri ascenden yang
Kontrol inhibisi descenden belum matang saat lahir. Jalur inhibisi descenden
berkembang mulai dari batang otak melalui funikulus dorsolateral saraf spinal
hingga cornu dorsalis pada masa fetus. Sekali transmisi dan persepsi nyeri
jalur inhibisi ini terkadang tidak mempunyai kolateral di cornu dorsalis dan
pada periode postnatal dan merupakan hal penting dalam proses modulasi.
Karena sistem analgesik endogen yang belum matang tidak dapat mengurangi
input berbahaya saat rangsangan memasuki sistem saraf pusat, sehingga input
dewasa dan neonatus. Transmisi nyeri orang dewasa dan neonatus terjadi pada
Modulasi dari transmisi nyeri terjadi saat rilis opioid endogen, enkephalin atau
eksitatori glutamat. Pada sara spinal orang dewasa, GABA merupakan asam
aktivasi reseptor GABAA dan GABAB post sinaps dan menekan aksi rilis
neuron embrio cornu dorsalis yang dikultur hingga lebih dari 1 minggu, baik
GABA dan glisin merangsang peningkatan kalsium dan depolarisasi sel. Efek
ini menurun seiring dengan lamanya kultur sehingga pada hari ke-30 efek
dalam eksitatori pada otak yang belum matang juga terjadi pada area
serabut inhibisi yang berkembang dari area PAG dan area lainnya di batang
otak tidak memicu rilis serotonin hingga sekitar 6-8 minggu setelah lahir.
Karena neurotransmiter aferen eksitatori nyeri cukup banyak saat lahir, dan
dasar eksitatori sehingga bayi baru lahir tidak mencapai respon puncak dari
rangsangan nyeri. Respon ini tidak selalu dapat diprediksi. Kurangnya inhibisi
berperan terhadap respon dasar dan respon berlebih terhadap input sensoris
dengan nilai ambang rendah maupun tinggi, di mana respon nyeri tertentu
sehingga menjadi jelas secara klinis. Onset proses inhibisi merupakan penentu
penting aktivitas neuron dan merupakan sinyal darurat matangnya respon nyeri
pada bayi.
Pada usia kehamilan 8 minggu, neocortex fetus mulai berkembang dan pada
minggu, namun, pada usia kehamilan 40 minggu, pola menjadi rumit. Cortex
Migrasi sel cortex dari lapisan germinal ventrikel di mana mereka berasal ke
pembuluh darah setelah migrasi sel selesai hingga usia kehamilan 28 minggu,
menghilangkan neuron dalam jumlah besar dari area cortex cerebri yang
berkala muncul di kedua hemisfer otak. Mereka menetap pada usia kehamilan
22 minggu dan menjadi sinkron bilateral pada usia kehamilan 26-27 minggu.
Seperti halnya pada dewasa, pembedahan pada pediatri juga dibagi menjadi 2
1. Operasi mayor
atau beberapa hari di rumah sakit. Terdapat risiko lebih tinggi untuk
lain:
Eksisi tumor
intestinal
atau anus
2. Operasi minor
pendek dan anak dapat segera kembali pada aktivitas biasa. Sebagian besar
operasi ini merupakan operasi poliklinis, dan anak dapat pulang ke rumah
Repair hernia
Biopsi
dan kritis. Menilai nyeri pada anak-anak adalah hal yang menantang serta merupakan
tugas yang sulit, karena tidak ada metode yang dapat diandalkan untuk mengukur
nyeri pada anak. Self report anak merupakan indikator yang dapat dipercaya dalam
mengukur skala nyeri pada anak. Aspek kognitif dan emosional ditambah dengan
mekanisme pertahanan psikologis adalah variabel penting dalam menilai nyeri pada
anak. (24) Sayangnya hal ini hanya berlaku pada anak dengan kemampuan kognitif dan
komunikasi yang baik. Pada bayi atau anak dengan kemampuan kognitif dan
komunikasi yang kurang, self report anak tidak selalu memungkinkan dilakukan dan
penilaian nyeri berdasarkan pengamatan terhadap tingkah laku dan biologis adalah
satu-satunya cara. Salah satu cara menilai nyeri adalah QUESTT yaitu:
Pernyataan verbal anak dan deskripsi nyeri adalah faktor penting dalam
menilai nyeri. Anak usia < 2 tahun dapat melaporkan dan melokalisir nyeri, meskipun
pada usia ini anak belum mampu menggambarkan kuantitas dari intensitas nyeri.
Bertanya pada anak harus sabar dan gunakan kata-kata yang familiar pada anak.
Berbicara dengan orang tua sebelum bertanya pada anak adalah cara pendekatan
terbaik dan kata-kata yang biasa digunakan dalam percakapan dengan keluarga harus
digunakan. Anak pada usia berapapun dapat menyangkal rasa nyeri jika penanya
adalah orang asing, atau karena mereka takut menerima sejumlah injeksi untuk
mengatasi nyeri.
Pada anak usia < 4-5 tahun dapat digunakan pengukuran skala nyeri standar
dalam menilai nyeri. Penilai harus terlebih dulu memperkenalkan dan berdiskusi
tentang pengukuran skala nyeri tersebut pada orang tua dan pasien. Beberapa metode
pelaporan diri yang dapat digunakan antara lain Hester’s poker chip tool, Eland’s
colour scale, Visual Analog Scale (VAS), Smiley Analog Scale, Oucher Scale of
Beyer and Wells, dan Work Graphic Scale of Tesler dkk. Idealnya, tidak ada satu
Pada anak usia > 7-8 tahun dapat digunakan pengukuran skala nyeri dengan
angka (Numeric Rating Scale – NRS) ataupun skala VAS. Dengan menggunakan
skala tersebut, nyeri dapat dinilai untuk menentukan rencana terapi dan juga menilai
Gambar 2.2. Pengukuran Skala Nyeri: Visual Analogue Scale (VAS), Numerical
dan gerakan badan lainnya seringkali berhubungan dengan nyeri dan dapat digunakan
Namun, sangat sulit untuk untuk membedakan perilaku tersebut disebabkan oleh nyeri
Observed Children’s Hospital of Eastern Ontario Pain Scale (CHEOPS); Face, Legs,
Cry, Activity Concolability scale (FLACC); Toddler Preschool Post Operative Pain
Scale; Ten Item Post Operative Pain Score; CRIES scale; facial expression scale of
Skala FLACC awalnya digunakan untuk menilai nyeri postoperatif anak usia 2
bulan hingga > 12 tahun. Skala FLACC dibuat sebagai metode sederhana yang
pada anak yang tidak mampu menyatakan nyeri dan intensintas nyeri secara verbal.
Skala ini meliputi penilaian face, legs, activity, cry dan consolability. Setiap
komponen tersebut diberi nilai 0-2, sehingga nilai total 0-10. Skala FLACC telah
digunakan dalam berbagai populasi dan usia termasuk perawatan di NICU, anak yang
belum bisa bicara, anak dengan gangguan kognitif dan juga sebagai penilaian nyeri
postoperatif. (26)
Tabel 2.1. Skala FLACC (face, legs, activity, cry dan consolability) (26)
dibedakan antara respon fisik terhadap nyeri ataupun bentuk stres lainnya.
Kebanyakan studi pengukuran fisiologis dipakai untuk mengukur nyeri akut, namun
merupakan indikator yang tidak dapat diandalkan untuk mengukur nyeri yang
persisten. Misal perubahan fisiologis terhadap nyeri adalah denyut jantung meningkat,
laju nafas dan tekanan darah meningkat, menangis, berkeringat, saturasi oksigen
menurun, pupil dilatasi, wajah kemerahan, mual dan otot menegang. Denyut jantung
adalah tanda yang paling sederhana dan cocok. Rangsang vagal dan variabilitas
denyut jantung seperti saat bernafas telah digunakan untuk mengindikasikan nyeri dan
distres. Denyut jantung akan menurun dan kemudian naik sebagai respon terhadap
laboratoris dan penelitian lebih lanjut, pengukuran tersebut tidak berguna secara klinis
mengevaluasi nyeri yang dapat digunakan untuk pasien neonatus prematur maupun
aterm. Skala ini merupakan adaptasi dari skala CHEOPS dan indikasi adanya nyeri
ataupun distres. Skala ini terdiri dari 6 indikator yaitu: ekspresi wajah, tangisan, pola
nafas, postur tangan, postur kaki, dan kesadaran. Tiap indikator mempunyai nilai 0
selama 1 menit untuk setiap indikator. Nilai nyeri total antara 0-7.
Intervensi terhadap nilai nyeri berbeda untuk setiap nilai nyeri. Keterbatasan
penilaian nyeri yang bukan merupakan self report adalah hambatan membedakan
menit
Tabel 2.4. Skala pengukuran CRIES (Crying, Requires O2 for SaO2 < 95%, Increased
perilaku anak akibat nyeri. Mereka juga harus didorong untuk berpartisipasi secara
aktif dalam menilai nyeri, kemajuan dan juga strategi pengobatan nyeri anak mereka.
Etilogi dan jenis preosedur dapat memberikan gambaran intensitas dan jenis
Temukan tingkat nyeri yang dapat ditolerir anak dan gunakan metode yang
infus ataupun memasuki ruang operasi. Sebuah penelitian oleh Fortier dkk
menyebutkan bahwa tingkat kenyamanan anak yang rendah dan kecemasan orang tua
postoperatif seperti mimpi buruk, cemas saat perpisahan, dan ketakutan saat bertemu
TUGAS AKHIR PROFIL ANALGETIK PASCA …..….. DR. REGINA AGUSTANTINA
27
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
(28)
dokter. Kecemasan preoperatif ditandai dengan perasaan tegang, ketakutan,
preoperatif antara lain: mood anak sebelum operasi, kenyamanan yang kurang,
sebelumnya, pengalaman rawat inap sebelumnya, perlakuan tidak baik dari staf dokter
anak, maupun adanya kecemasan anggota keluarga. (29) Saat mengevaluasi kecemasan
pada anak, sangatlah penting untuk menggunakan metode yang dikembangkan secara
evaluasi klinis, evaluasi diri atau skala observasional dan evaluasi anggota keluarga.
Berbagai skala yang didisain untuk digunakan oleh klinisi, orang tua, guru ataupun
anak telah dikembangkan untuk mengevaluasi adanya kecemasan pada anak. Namun,
sebagian besar tidak cocok digunakan untuk mengevaluasi kecemasan pada anak
prasekolah di masa preoperatif. Untuk anak usia < 5 tahun, Kain dkk menyebutkan
bahwa skala YPAS, yang kemudian dimodifikasi menjadi mYPAS digunakan untuk
anak saat preanestetik dan induksi. mYPAS meliputi observasi 5 komponen yang
State-Trait Anxiety Inventory (STAI). STAI merupakan self report yang meliputi 2-20
komponen, skala penilaian meninjau ciri khas dan kondisi cemas. Ibu merespon pada
skala bernilai 4 dan skor total dari setiap kuisioner berkisar antara 20 hingga 80 di
mana nilai yang lebih besar menggambarkan kondisi cemas yang lebih besar. Korelasi
tes-tes ulang dari STAI adalah tinggi yaitu 0.73 hingga 0.86. Validitas instrumen
diperiksa dalam 2 studi di mana STAI dinilai dengan memberikan kondisi stres
rendah dan tinggi pada sampel murid yang cukup besar. Nilai r berkisar antara 0.83
Sayangnya STAI pada anak hanya dapat digunakan untuk menilai kecemasan
anak usia 9-12 tahun. Skala ini terdiri dari 2 bagian yaitu anxiety state (A state) dan
trait state (T state). Meski disusun untuk anak usia 9-12 tahun, namun penilaian ini
juga dapat dilakukan pada anak lebih muda dengan kemampuan membaca rata-rata
ataupun di atas rata-rata dan anak lebih tua dengan kemampuan membaca di bawah
rata-rata. A state terdiri dari 20 pertanyaan yang menanyakan perasaan mereka pada
saat tertentu. Hal tersebut mengukur keadaan cemas sementara, yang secara subyektif
merupakan perasaan takut, tegang atau khawatir dengan intensitas yang bervariasi dan
berfluktuasi dari waktu ke waktu. Sedangkan A trait terdiri dari 20 pertanyaan yang
individu relatif dalam kecemasan rawan, yaitu perbedaan anak yang mempunyai
anestesi umum akan mengalami stres dan ketakutan yang dapat menyebabkan
kurangnya kooperasi. Momen perpisahan anak dari orang tua saat memasuki kamar
operasi dapat menjadi momen yang paling sulit. Beberapa anak yang cemas akan
menunjukkan kecemasan dan ketakutan mereka baik secara verbal maupun nonverbal.
situasi ini. Metode nonfarmakologi lebih sering digunakan untuk mengurangi tingkat
kecemasan dan meningkatkan kerja sama. Sebagian anak mempunyai respon yang
baik saat menonton film kartun, bermain video games ataupun dihipnotis. Dokter
dengan kostum badut, stimulasi sensorik yang sedikit, ataupun terapi musik telah
dilakukan untuk membuat lingkungan lebih nyaman bagi anak. Meskipun metode
lain pemberian sedasi, anticemas, analgetik, dan anestesi. Pemberian sedasi secara
2.6.1. Midazolam
tingkat stres yang lebih kecil dalam berbagai pengukuran. Sedikit efek
pada sebagian kecil anak. Reaksi ini telah ditunjukkan dalam laporan kasus
maupun dewasa. Ketamin, obat anestesi disosiatif, telah terbukti lebih efektif
plasebo.
perbedaan signifikan efek amnesia pada pemberian oral (0,45 mf/kg) dengan
amnesia total atau parsial pada 90% anak yang menjalani aspirasi sumsum
terdapat sedikit laporan tentang depresi nafas pada anak. Depresi nafas
Dua studi mengevaluasi nitrous oxide dengan pemberian kontinyu 50% dan
70%. Pada studi yang dilakukan Keidan dkk dengan membandingkan 50%
nitrous oxide dengan 0,5 mg/kg midazolam oral menunjukkan bahwa tidak
Pada sebuah studi yang membandingkan hidrat koral dosis 25 mg/kg dengan
statistik dalam mengurangi stres. Hal ini mungkin disebabkan karena dosis
obat terangkum dalam Tabel 3. Perbedaan sistem enzim hepar yang memetabolisir
obat pada tingkat usia tertentu menjadi faktor utama yang menentukan perubahan
Neonatus mempunyai clearance obat yang lebih rendah dibanding bayi, anak
dan dewasa. Hal ini disebabkan oleh sistem enzim hepar yang belum matang secara
yang lebih besar dibanding dewasa pada beberapa jenis obat. Besarnya laju
metabolisme obat oleh sitokrom P-450 pada anak dibanding dewasa lebih
mencerminkan massa hepar per kilogram berat badan yang lebih besar dibanding
perubahan terkait usia dari enzim katalisator intrinsik. Clearance obat yang lebih
lebih sering.
mempengaruhi konversi dan modulasi nyeri. Aktivitas nosiseptif dari saraf spinal
ditransmisikan ke pusat yaitu otak di mana nyeri dimodulasi oleh opioid endogen,
TUGAS AKHIR PROFIL ANALGETIK PASCA …..….. DR. REGINA AGUSTANTINA
34
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
multimodal harus diberikan di berbagai level di mana nyeri dapat timbul (perifer,
saraf spinal, pusat meduler) dan hal ini lebih efektif daripada metode manajemen
Manajemen nyeri pasca operasi adalah salah satu faktor penting dalam
analgetik berikut meliputi prinsip berdasarkan evaliasi kondisi pasien termasuk jenis
dan lama operasi. Membuat manajemen nyeri terpadu pada anak sangat sulit karena
rentang usia pasien anak beragam dan berpotensi menjadi masalah terlepas dari
adanya penyakit penyerta dan tingkat kesulitan operasi. Pedoman ini dibuat
(EBM). Data-data tersebut meliputi data literatur, termasuk pedoman Australian &
New Zealand College of Anaesthetists (ANZCA) tahun 2010 dan the American
Unsur vital nosiseptif pada bayi baru lahir merupakan dampak dari rangsangan
nyeri jangka panjang pada periode awal kehidupan sebagai bentuk pengendalian nyeri
yang tidak tertangani. Rangsangan nyeri jangka panjang pada bayi baru lahir tidak
untuk persepsi nyeri, tetapi juga merubah alur timbulnya hipoalgesia dan hiperalgesia
anggapan bahwa anak tidak merasakan nyeri dan tidak dapat mengingat pengalaman
yang berhubungan dengan nyeri diterapkan oleh tenaga medis di berbagai kasus.
Bahkan, pengetahuan tentang manajemen nyeri yang kurang, ketakutan akan efek
samping opioid dan kurangnya manajemen analgetik menghasilkan terapi nyeri yang
Reseptor sensoris pertama pada anak telah ada sejak minggu ke-7 kehidupan
fetal. Pada usia kehamilan 20 minggu, reseptor ada di seluruh kulit dan permukaan
mukosa. Secara simultan, struktur sinaptik berkembang di cornu posterior saraf spinal
dan menjadi matang pada usia kehamilan 37 minggu. Perkembangan hemisfer cerebri
bermula pada usia kehamilan 8 minggu, dan pada usia 20 minggu fetus telah memiliki
sel saraf yang lengkap. Terlepas dari proses pematangan struktur dan fungsi jalur
konduksi, peran penting dimainkan oleh neurotransmiter yang dilepaskan oleh sistem
opioid endogen. Konsentrasi substansi P di dalam sel saraf dan jumlah reseptor sistem
saraf pusat (SSP) yang spesifik terhadap nyeri lebih banyak pada anak dibanding pada
dewasa. Saat usia kehamilan 20 minggu, sel pituitari mulai memproduksi endorfin.
Setelah bayi lahir, bayi memiliki konsentrasi endorfin hingga 5x lebih banyak
2.8.1. Nyeri akut pada anak akibat trauma pembedahan yang luas (disertai
dengan kerusakan jaringan ringan) – NRS atau VAS pasca operasi < 4
Krim EMLA digunakan untuk anak usia > 2 tahun di mana vena tempat akan
ditentukan. Krim ini tidak dapat digunakan pada anak yang belum dapat
berkomunikasi; sudah mempunyai jalur infus atau kateter vaskular; dan yang
venanya sulit diidentifikasi. Dosis: 2 gram per 20 cm2 kulit, ditutup dengan
Sebelum operasi, dilakukan injeksi pada garis insisi dengan lidocaine 1% atau
dilakukan blok anestesi. Setelah operasi selesai, injeksi ulang luka operasi
mcg.
2.8.2. Prosedur operasi pada anak dengan kerusakan jaringan sedang – NRS
atau VAS pasca operasi 4-6 dan durasi nyeri pasca operasi < 3 hari
Farmakoterapi preoperatif
Farmakoterapi postoperatif
0.25-0.5% dan/atau opioid: morfin 1-2 mg atau fentanyl 20-25 mcg. Pada hari
kedua hingga ketiga, analgetik dapat diberikan dalam pembagian dosis per
Jika nyeri masih timbul, sesuai permintaan pasien, opioid dosis kecil dapat
tanda vital seperti denyut nadi, rate pernafasan, intensitas nyeri, kedalaman
Obat anti-emetik:
2.8.3. Prosedur operasi pada anak dengan kerusakan jaringan hebat – NRS
atau VAS pasca operasi > 7 dan durasi nyeri pasca operasi > 3 hari
Farmakoterapi preoperatif
Farmakoterapi postoperatif
dilakukan di ruang rawat intensif. Jika tersedia, PCA dengan obat opioid dapat
Obat anti-emetik:
Body weight (kg) Administration Dose Interval between Max. daily dose
route dose (h)
< 5 (newborn) i.v. 7.5 mg/kg 4-6 30 mg/kg
5-10 i.v. 10 mg/kg 4-6 40 mg/kg
10-50 i.v. 15 mg/kg 4-6 60 mg/kg
> 50 i.v. 1g 4-6 4-5 g
Indikasi pemberian opioid antara lain nyeri postoperatif, nyeri akibat penyakit
sickle cell, dan nyeri kanker. Pada anak, risiko ketergantungan obat lebih kecil
dibanding dewasa. Clearance berdasarkan berat dari beberapa opioid berkurang pada
neonatus dan mencapai nilai matur pada 6 -12 bulan. Waktu paruh eliminasi morfin
dalam analisis yang dikumpulkan, rata-rata 9 jam pada neonatus prematur, 6,5 jam
pada neonatus aterm, dan 2 jam pada bayi dan anak. Metabolit aktif morfin
diekskresikan lewat ginjal dan dapat terakumulasi pada neonatus karena fungsi ginjal
yang belum matur. Clearane metabolit morfin di ginjal yang lambat dapat
menimbulkan efek analgetik, depresi nafas, dan kejang pada neonatus. Clearance
fentanyl dapat terganggu saat dan setelah operasi abdomen pada neonatus.
hipoksemia belum sempurna pada awal kehidupan dan mencapai sempurna secara
bertahap dalam 2-3 bulan kehidupan baik pada neonatus prematur ataupun aterm.
Neonatus dan bayi dengan penyakit paru kronik mempunyai reflek ventilasi yang
terganggu, yang dapat meningkatkan risiko depresi nafas akibat opioid. Serial kasus
dari anak yang tidak diintubasi menunjukkan bahwa frekuensi depresi nafas akibat
opioid lebih besar pada neonatus dibanding bayi usia > 6 bulan. Namun, pemberian
morfin dalam masa postoperatif pada neonatus yang diintubasi berhubungan dengan
Pada bayi usia 3-6 bulan, efek analgetik morfin ataupun fentanyl mirip dan
efek depresi nafas tidak lebih besar dibanding dewasa dengan nilai konsentrasi plasma
dari morfin atau fentanyl yang sama. Pemberian infus morfin secara kontinyu pada
masa postoperatif telah digunakan secara luas pada bayi dan anak, dengan efektivitas
dan kemanan yang baik meskipun terdapat insiden efek samping kecil. Infus morfin
dimulai dari 0,01 mg/kg/jam pada bayi usia < 6 bulan hingga 0,025-0,04 mg/kg/jam
pada bayi usia > 12 bulan. Pada neonatus, laju infus morfin berdasarkan berat badan
harus lebih kecil, dan dosis pengulangan intermiten harus lebih kecil, lebih jarang
Neonatus yang mendapat opioid harus dipantau secara ketat, bisa dengan pulse
oximetry dan harus dilakukan secara rutin sebagai bagian dari manajemen jalan nafas,
karena pemantauan rate nafas sendiri merupakan prediktor inadekuat dari impending
apnea. Penelitian belum dapat membuktikan opioid yang cocok untuk neonatus atau
bayi.
peningkatan cardiac output, dan juga peningkatan aliran darah di otot lurik yang
berdampak penurunan aliran darah pada kulit, ginjal, dan daerah splanknik. Sebagai
dalam sirkulasi bersama dengan perubahan metabolik yang lain. Dalam penelitian
eksperimantal, stimulasi nyeri saraf sural telah digunakan untuk menginduksi respon
pertahanan saraf spinal post sinap yang ditandai dengan peningkatan nadi dan
akut. Namun, tidak diketahui apakah stres akut sebelumnya mengubah respon
variabilitas nadi terhadap stresor akut kedua seperti nyeri. Pertanyaan ini berkorelasi
karena subyek nyeri akut sering kali simultan dalam situasi stres yang tinggi. (34)
peningkatan kebutuhan oksigen dan nutrisi organ vital lainnya. Perubahan fisiologis
yang terjadi juga dapat merangsang muntah dan kondisi sakit kronis lainnya. Efek
Sistem kardiovaskular merespon stres yang terjadi akibat nyeri yang tidak
Jika konsumsi oksigen lebih besar dari suplai oksigen, miokard akan
miokard dapat terganggu lebih lanjut jika terdapay penyakit jantung atau paru
Aktivitas ini meningkatkan risiko terjadinya deep vein thrombosis (DVT) dan
edema paru.
Nyeri yang tidak tertangani dapat mengakibatkan pasien membatasi gerak otot
dada dan perut untuk mengurangi nyeri. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi
pernafasan akibat retensi dan retensi sputum akibat keengganan untuk batuk.
akibat nyeri menyebar di otot diafragma pada dinding otot, yang juga
Nyeri yang tidak tertangani dapat meningkatkan pelepasan hormon dan enzim
sama halnya volume dan tekanan darah. Hal ini menyebabkan retensi natrium
dan air, sehingga retensi urine terjadi. Ekskresi kalium meningkat akibat
spasme otot di tempat kerusakan jaringan. Fungsi otot yang rusak dan
kelelahan otot dapat menyebabkan imobilitas, sehingga terjadi statis dari vena,
DVT.
Nyeri dapat menyebabkan gerkan otot dada dan perut terbatas sebagai usaha
Sistem imun dapat terganggu akibat nyeri yang tidak tertangani. Hal ini dapat
tingkat kecemasan yang tinggi cenderung mengalami insiden stres yang lebih
fisiologi kecemasan yang sesuai. Sehingga, efek dari stresor nyeri yang tidak
aktivitas santai serta mengganggu pola tidur yang berujung pada insomnia.
Saat reseptor nyeri di sistem saraf pusat dirangsang, pusat muntah di otak juga
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
Insisi Sedasi
Kerusakan Jaringan
Asam Arakidonat
Cyclooxygenase NSAID
Mediator Inflamasi: Prostaglandin,
Bradikinin, Sitokin, Histamin,
Substansi P, Leukotrien, Serotonin
Jenis Operasi
Impuls Nyeri Nosiseptor Perifer
NRS
Self
Report
Wong Baker
Faces Pain Scale
Persepsi Nyeri
NIPS
Behavioral
Physiological
Response
Response FLACC
Perifer
Jalur inhibisi
Jalur aktivasi
Jalur korelasi
Yang diteliti
Analgetik sentral
Analgetik perifer
Proses nyeri yang terjadi saat pembedahan berawal dari kerusakan jaringan
yang terjadi saat insisi menyebabkan asam arakidonat yang dibantu oleh enzim
(menyebabkan impuls) secara langsung atau tidak langsung melalui sel inflamator
nosiseptor, serta memiliki efek sinergistik. Impuls nyeri yang diterima oleh
persepsi nyeri.
fisiologis ini juga dapat terjadi pada masa preoperatif yang disebabkan oleh rasa
cemas yang dapat menjadi faktor perancu dalam menilai nyeri. Oleh karena itu
menggunakan mYPAS.
Penilaian nyeri pada pasien pediatri dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
penilaian self report dan behavioral response. Respon verbal dan motorik pada
anak yang lebih tua dapat dinilai dengan self report berupa NRS dan Wong Baker
Faces Pain Scale, sedangkan pada anak yang lebih muda dapat dinilai dengan
behavioral response berupa FLACC dan NIPS. Pada penelitian ini akan dinilai
dari kedua jenis penilaian tersebut yaitu menggunakan NRS, NIPS, dan FLACC.
dapat bekerja pada sentral maupun perifer. Analgetik yang bekerja secara sentral
yaitu golongan opioid dengan cara menghambat transmisi nyeri di cornu dorsalis
yang bekerja di perifer antara lain anestesi lokal dan NSAID. NSAID bekerja
analgetik dengan menghambat kanal Na+ sehingga tidak terjadi depolarisasi dan
somatik maupun autonom. Mekanisme kerja paracetamol hingga saat ini belum
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
SEDASI
ANALGETIK INDUKSI
INDUKSI
INSISI
Infiltrasi anestesi
lokal
ANALGETIK Paracetamol
POSTOPERATIF NSAID
Opioid
Anestesi regional
NRS
NIPS/FLACC
Hemodinamik
POSTOPERATIF o Nadi
o Tekanan darah
o Frekuensi nafas
o SpO2
4. Skala NIPS
5. Lembar pengumpulan data
4.6.2. Cara Kerja
1. Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai subyek
penelitian.
2. Pasien yang menjadi subyek penelitian akan dievaluasi nilai kecemasan
preoperatif menggunakan mYPAS.
3. Kemudian pasien akan menjalani operasi elektif. Pemberian analgetik
postoperatif akan dicatat.
4. Pasca operasi, nilai nyeri akan dinilai menggunakan skala NIPS, FLACC
dan NRS. Hemodinamik juga akan dicatat.
penyerahan hasil
penelitian
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan terhadap 157 pasien anak yang menjalani operasi elektif
pada bulan Oktober 2016 di GBPT RSUD Dr. Soetomo. Sebanyak 35 pasien anak
dieksklusi sehingga pasien anak yang menjadi obyek penelitian berjumlah 122 pasien.
Karakteristik demografi pasien pada penelitian meliputi usia, berat badan dan jenis
kelamin. Hasil selengkapnya dari data yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
49
73
Laki-laki Perempuan
Karakteristik usia pada sampling penelitian ini dibagi menjadi usia remaja dan
usia anak kurang dari 12 tahun. Pasien anak usia kurang dari 12 tahun
berjumlah lebih besar yaitu 77 pasien (63,1%) sedangkan pasien usia remaja
45
77
pasien (71,3%) diikuti dengan pasien PS ASA 1 sejumlah 22 pasien (18%) dan
13 22
87
PS 1 PS 2 PS 3
Operasi bedah anak menjadi jenis operasi yang paling banyak dilakukan yaitu
lainnya terbagi rata yaitu THT 11 pasien (9%), bedah kepala-leher dan bedah
Bedah TKV menjadi jenis operasi dengan jumlah pasien paling sedikit yaitu 1
pasien (0,8%).
Orthopedi 22 18 %
Mata 15 12,3 %
Urologi 14 11,5 %
THT 11 9%
Bedah KL 10 8,2 %
Bedah saraf 10 8,2 %
Bedah plastik 9 7,4 %
Bedah TKV 1 0,8 %
11
30
15
14 10
9
22 10
Operasi minor menjadi operasi terbanyak yang dilakukan yaitu pada sejumlah
38
84
Mayor Minor
Pasien anak yang menjalani operasi sebagian besar tidak merasakan nyeri
pada saat preoperatif. Hal ini ditandai dengan penilaian skala nyeri FLACC
(Face, Leg, Activity, Cry, dan Consolability) ataupun NRS (Numerical Rating
3 1
43
75
59
63
Jika dilihat dari segi teknik anestesi maka GA (General Anesthesia) intubasi
21 1
1
8
12
3
3
12
79
Pada penelitian ini, jenis analgetik pasca operasi yang digunakan digolongkan
menjadi analgetik yang paling banyak digunakan yaitu pada 103 pasien.
Opioid menjadi jenis analgetik pasca operasi yang paling banyak digunakan
pada 1 pasien.
Anestesi regional 18
Infiltrasi anestesi lokal 1
120
100
80
Jumlah
60
40
20
0
Infiltrasi
Anestesi
NSAID Paracetamol Opioid Anestesi
Regional
Lokal
Jumlah 103 22 33 18 1
54
68
Tunggal Kombinasi
Jenis analgetik tunggal yang diberikan pasca operasi dibagi menjadi 3 jenis
yaitu NSAID, paracetamol dan opioid. NSAID menjadi jenis analgetik tunggal
yang paling banyak diberikan pasca operasi yaitu pada sejumlah 54 pasien,
60
50
40
Jumlah
30
20
10
0
NSAID Paracetamol Opioid
Jumlah 54 13 1
yang lain tidak banyak diberikan yaitu NSAID + paracetamol pada 4 pasien,
pasien, NSAID + infiltrasi anestesi lokal pada 1 pasien, dan NSAID + opioid
30
25
20
Jumlah
15
10
5
0
NSAID + NSAID + Paraceta Paraceta
NSAID + NSAID + NSAID +
paraceta opioid + mol + mol +
opioid regional infiltrasi
mol regional opioid regional
Jumlah 4 28 15 1 1 3 2
Karakteristik usia terhadap jumlah analgetik yaitu dengan nilai rata-rata 6.1863
kombinasi. Uji beda dilakukan dengan T-test dan secara statistik menunjukkan
nilai p 0.000 (p < 0.05). Sedangkan berat badan rata-rata pada pemberian
analgetik tunggal pasca operasi adalah 22.42 dan pada pemberian analgetik
kombinasi adalah 40.70. Uji beda dilakukan dengan T-test dan secara statistik
pasien dengan jenis kelamin laki-laki, analgetik tunggal diberikan pada 39 pasien
pada pasien dengan jenis kelamin perempuan, analgetik tunggal diberikan pada
Uji beda dilakukan dengan Chi-Square dan secara statistik menunjukkan tidak
diberikan pada 6 pasien (46,2%) dan analgetik kombinasi diberikan pada 7 pasien
Karakteristik usia terhadap jumlah analgetik didapatkan pada anak usia kurang
analgetik kombinasi diberikan pada 19 pasien (24,7%). Pada anak usia remaja (>
kombinasi diberikan pada 35 pasien (77,8%). Uji beda dilakukan dengan Chi-
kepala leher (KL), analgetik tunggal diberikan pada 1 pasien (10,0%) dan
analgetik kombinasi diberikan pada 9 pasien (90,0%). Pada operasi bedah plastik,
diberikan pada 4 pasien (44,4%). Pada operasi bedah saraf seluruh pasien
(100%) yang menjadi obyek penelitian diberikan analgetik tunggal. Pada operasi
mata hampir seluruh pasien diberikan analgetik tunggal yaitu pada sejumlah 14
diberikan analgetik kombinasi uaitu pada sejumlah 17 pasien (73,9%) dan hanya
6 pasien (26,1%) diberikan analgetik tunggal. Pada operasi Telinga, Hidung dan
tunggal juga mendominasi pada operasi urologi yaitu pada sejumlah 11 pasien
perbedaan signifikan antara analgetik tunggal dan kombinasi dengan nilai p 0.000
(p < 0.05).
klasifikasi operasi di mana pada operasi mayor analgetik kombinasi lebih banyak
analgetik tunggal lebih banyak diberikan yaitu pada sejumlah 51 pasien (60,7%)
dan analgetik kombinasi diberikan pada 33 pasien (39,3%). Namun pada uji beda
perbedaan signifikan antara analgetik tunggal dan kombinasi dengan nilai p 0.100
(p > 0.05).
tunggal lebih banyak diberikan pada pasien dengan kecemasan preoperatif yaitu
pasien (61,0%) dan analgetik tunggal diberikan pada sejumlah 23 pasien (39,0%).
Uji beda dilakukan dengan Chi-Square dan secara statistik menunjukkan terdapat
perbedaan signifikan antara analgetik tunggal dan kombinasi dengan nilai p 0.000
(p < 0.05).
Analgetik
p
Tunggal Kombinasi
(<0.05)
Mean SD Mean SD
Usia 6.16863 5.06275 11.9599 5.66231 0.000
BB 22.42 15.726 40.70 20.165 0.000
Analgetik
p
Tunggal Kombinasi
(<0.05)
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Jenis Laki-laki 39 53,4 % 34 46,6 % 0.580
Kelamin Perempuan 29 59,2 % 20 40,8 %
PS 1 10 45,5 % 12 54,5% 0.368
PS ASA PS 2 52 59,8 % 35 40,2 %
PS 3 6 46,2 % 7 53,8 %
≤ 12 tahun 58 75,3 % 19 24,7 % 0.000
Usia
> 12 tahun 10 22,2 % 35 77,8 %
B. Anak 14 46,7 % 16 53,3 % 0.000
B. KL 1 10,0 % 9 90,0 %
B. Plastik 5 55,6 % 4 44,4 %
B. Saraf 9 100 % 0 0%
Jenis
B. TKV 0 0% 1 100 %
Operasi
Mata 14 93,3 % 1 6,7 %
Orthopedi 6 26,1 % 17 73,9 %
THT 8 72,7 % 3 27,3 %
Urologi 11 78,6 % 3 21,4 %
Mayor 17 44,7 % 21 55,3 % 0.100
Operasi
Minor 51 60,7 % 33 39,3 %
Kece- Cemas 45 71,4 % 18 28,6 % 0.000
masan Tdk cemas 23 39,0 % 36 61,0 %
50
40
Mean
30
20
10
0
Usia BB
Tunggal 6.1863 22.42
Kombinasi 11.9599 40.7
Gambar 5.13. Karakteristik Usia dan Berat Badan Terhadap Jumlah Analgetik
70
60
50
Jumlah
40
30
20
10
0
Laki- Perem ≤ > 12
PS 1 PS 2 PS 3
laki puan tahun tahun
Jenis Kelamin PS ASA Usia
Analgetik Tunggal 39 29 10 52 6 58 10
Analgetik Kombinasi 34 20 12 35 7 19 35
Gambar 5.14. Karakteristik Jenis Kelamin, PS ASA dan Usia Terhadap Jumlah
Analgetik
18
16
14
12
Jumlah
10
8
6
4
2
0
B. Orthop
B. Anak B. KL B. Saraf B. TKV Mata THT Urologi
Plastik edi
Jenis Operasi
Analgetik Tunggal 14 1 5 9 0 14 6 8 11
Analgetik Kombinasi 16 9 4 0 1 1 17 3 3
60
50
40
Jumlah
30
20
10
0
Mayor Minor Cemas Tdk cemas
Operasi Kecemasan
Analgetik Tunggal 17 51 45 23
Analgetik Kombinasi 21 33 18 36
Jumlah Analgetik
Evaluasi skala nyeri pasca operasi dibagi menjadi 4 kategori yaitu tidak nyeri
(skala FLACC/NRS 0), nyeri ringan (skala FLACC/NRS 1-3), nyeri sedang
(skala FLACC/NRS 4-6), dan nyeri berat (skala FLACC/NRS 7-10). Penilaian
skala nyeri dilakukan pada 5 waktu pasca operasi yaitu 30 menit, 1 jam, 2 jam,
1 hari, dan 2 hari pasca operasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar tidak mengalami nyeri pada 30 menit pasca operasi yaitu sejumlah 80
Pasien yang mengalami nyeri sedang dan berat sejumlah masing-masing 8 dan
3 pasien. Pada evaluasi 1 jam pasca operasi nyeri ringan mendominasi yaitu
terjadi pada 59 pasien, diikuti dengan pasien yang tidak merasakan nyeri yaitu
mengalami penurunan jumlah pada evaluai 1 jam pasca operasi yaitu 7 dan 2
pasien. Pada evaluasi 2 jam pasca operasi nyeri ringan mengalami peningkatan
jumlah yaitu terjadi pada 71 pasien sedangkan pasien yang tidak mengalami
nyeri terjadi pada 42 pasien. Pasien yang mengalami nyeri sedang dan berat
pada 2 jam pasca operasi sejumlah 8 dan 1 pasien. Pada evaluasi hari pertama
pasca operasi tidak terdapat pasien yang mengalami nyeri sedang maupun
nyeri berat. Namun nyeri ringan tetap mendominasi yaitu terjadi pada 74
pasien sedangkan pasien yang tidak mengalami nyeri pada hari pertama pasca
operasi terjadi pada 48 pasien. Pada evaluasi hari kedua pasca operasi juga
tidak terdapat pasien yang mengalami nyeri sedang maupun nyeri berat.
Pasien yang tidak mengalami nyeri juga mendominasi yaitu terjadi pada 79
pasien sedangkan nyeri ringan dialami pada 43 pasien 2 hari pasca operasi.
90
80
70
60
Jumlah
50
40
30
20
10
0
’ Post 1 Jam 2 Jam H+1 Post H+2 Post
Op Post Op Post Op Op Op
Tidak nyeri 80 54 42 48 79
Nyeri ringan 31 59 71 74 43
Nyeri sedang 8 7 8 0 0
Nyeri berat 3 2 1 0 0
`
Kombinasi
Evaluasi skala nyeri pada anak usia kurang dari 12 tahun yang diberikan
analgetik tunggal pasca operasi baik pada saat preoperatif; 30 menit, 1 jam, 2
jam, 1 hari, dan 2 hari pasca operasi cukup rendah yaitu dengan nilai FLACC
rata-rata masing-masing 0.36, 0.55, 1.05, 1.34, 0.52 dan 0.22. Sedangkan pada
pasien anak usia kurang dari 12 tahun yang diberikan analgetik kombinasi
pasca operasi skala nyeri yang didapatkan pada saat preoperatif; 30 menit, 1
jam, 2 jam, 1 hari, dan 2 hari lebih tinggi yaitu dengan nilai FLACC rata-rata
Evaluasi skala nyeri pada anak usia remaja (> 12 tahun) yang diberikan
analgetik tunggal pasca operasi baik pada saat preoperatif; 30 menit, 1 jam, 2
jam, 1 hari, dan 2 hari pasca operasi cukup rendah yaitu dengan nilai NRS
rata-rata masing-masing 0.20, 0.90, 0.90, 0.70, 0.70 dan 0.94. Sedangkan pada
pasien usia remaja yang diberikan analgetik kombinasi pasca operasi skala
nyeri yang didapatkan pada saat preoperatif; 30 menit, 1 jam, 2 jam, 1 hari,
dan 2 hari rata-rata lebih tinggi (kecuali pada 2 hari pasca operasi) yaitu
dengan nilai NRS rata-rata masing-masing 0.84, 1.13, 0.91, 0.78, 0.94 dan
0.51.
Tunggal Kombinasi
Jumlah Mean SD Jumlah Mean SD
FLACC Preop 0.36 0.583 1.53 2.294
FLACC 30’ 58 0.55 1.300 19 1.26 2.491
FLACC 1 Jam 1.05 1.395 2.16 2.363
2.5
2
Mean
1.5
1
0.5
0
Tunggal Kombinasi
FLACC Preop 0.36 1.53
’ FLACC 0.55 1.26
1 jam FLACC 1.05 2.16
2 jam FLACC 1.34 1.95
H+1 FLACC 0.52 1.05
H+2 FLACC 0.22 0.74
Tunggal Kombinasi
Jumlah Mean SD Jumlah Mean SD
NRS Preop 0.20 0.632 0.84 1.021
NRS 30’ 0.90 1.449 1.13 1.673
NRS 1 Jam 0.90 0.876 0.91 0.900
10 35
NRS 2 Jam 0.70 0.675 0.78 0.850
NRS H+1 0.70 0.483 0.94 0.765
NRS H+2 0.94 0.765 0.51 0.658
1.2
1
0.8
Mean
0.6
0.4
0.2
0
Tunggal Kombinasi
NRS Preop 0.2 0.84
’ NRS 0.9 1.13
1 jam NRS 0.9 0.91
2 jam NRS 0.7 0.78
H+1 NRS 0.7 0.94
H+2 NRS 0.94 0.51
Pada evaluasi 30 menit pasca operasi didapatkan pasien sebagian besar tidak
yang paling banyak diberikan adalah kombinasi NSAID + opioid yaitu pada
Nyeri ringan terjadi pada 31 pasien pada 30 menit pasca operasi di mana
yaitu pada sejumlah 11 pasien. NSAID berada di urutan kedua yaitu diberikan
Nyeri sedang dan berat terjadi pada sebagian kecil pasien pada 30 menit pasca
tunggal yang diberikan adalah NSAID pada 3 pasien dan analgetik kombinasi
NSAID + opioid pada 3 pasien, NSAID + anestesi regional pada 1 pasien dan
tunggal yang diberikan adalah NSAID pada 1 pasien dan analgetik kombinasi
kombinasi yang diberikan pada 30 menit pasca operasi dengan nilai p 0.205 (p
> 0.05).
54
51
48
45
42 Paracetamol + regional
39
36 Paracetamol + opioid
33
30 NSAID + opioid + regional
Jumlah
27
24 NSAID + infiltrasi
21
18 NSAID + paracetamol
15
12 NSAID + regional
9
6 NSAID + opioid
3
0 Opioid
Tunggal
Tunggal
Kombinasi
Tunggal
Tunggal
Kombinasi
Kombinasi
Kombinasi
Paracetamol
NSAID
Pada evaluasi 1 jam pasca operasi didapatkan pasien yang tidak mengalami
Analgetik tunggal lain yaitu paracetamol dan opioid diberikan pada masing-
2, dan 1 pasien.
Nyeri ringan terjadi pada sebagian besar pasien pada 1 jam pasca operasi
Nyeri sedang dan berat terjadi pada sebagian kecil pasien pada 1 jam pasca
tunggal yang diberikan adalah NSAID pada 2 pasien dan analgetik kombinasi
1 pasien. Sedangkan pada nyeri berat analgetik tunggal yang diberikan adalah
pada 1 pasien.
kombinasi yang diberikan pada 1 jam pasca operasi dengan nilai p 0.519 (p >
0.05).
Opioid 1 0 0 0
Kombinasi 23 25 5 1
NSAID + opioid 11 15 2 0
NSAID + regional 7 6 1 1
NSAID + paracetamol 1 2 1 0
NSAID + infiltrasi 1 0 0 0
NSAID + opioid + regional 0 1 0 0
Paracetamol + opioid 2 1 0 0
Paracetamol + regional 1 0 1 0
40
35 Paracetamol + regional
30 Paracetamol + opioid
25
Jumlah
Tunggal
Tunggal
Kombinasi
Kombinasi
Kombinasi
Kombinasi
Opioid
Paracetamol
NSAID
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat
Pada evaluasi 2 jam pasca operasi didapatkan pasien yang tidak mengalami
Analgetik tunggal lain yaitu paracetamol dan opioid diberikan pada masing-
1, dan 1 pasien.
Nyeri ringan juga terjadi pada sebagian besar pasien pada 2 jam pasca operasi
pasien.
Nyeri sedang dan berat terjadi pada sebagian kecil pasien pada 2 jam pasca
tunggal yang diberikan adalah NSAID pada 3 pasien dan paracetamol pada 2
anestesi regional pada 1 pasien. Pada nyeri berat analgetik yang diberikan
kombinasi yang diberikan pada 2 jam pasca operasi dengan nilai p 0.633 (p >
0.05).
45
40 Paracetamol + regional
35
Paracetamol + opioid
30
NSAID + opioid + regional
Jumlah
25
20 NSAID + infiltrasi
15
10 NSAID + paracetamol
5 NSAID + regional
0
NSAID + opioid
Tunggal
Tunggal
Kombinasi
Tunggal
Tunggal
Kombinasi
Kombinasi
Kombinasi
Opioid
Paracetamol
NSAID
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat
Pada 1 hari pasca operasi evaluasi skala nyeri yang didapatkan adalah skala
nyeri ringan dan tidak nyeri. Tidak didapatkan pasien dengan skala nyeri
sedang maupun berat. Pasien yang tidak mengalami nyeri sejumlah 48 pasien
Nyeri ringan juga terjadi pada sebagian besar pasien pada 1 hari pasca operasi
kombinasi yang diberikan pada 2 jam pasca operasi dengan nilai p 0.63 (p >
0.05).
40
Paracetamol + regional
35
Paracetamol + opioid
30
NSAID + opioid + regional
25
NSAID + infiltrasi
Jumlah
20
NSAID + paracetamol
15
NSAID + regional
10 NSAID + opioid
5 Opioid
0 Paracetamol
Tunggal Kombinasi Tunggal Kombinasi
NSAID
Tidak nyeri Nyeri ringan
Pada hari kedua pasca operasi evaluasi skala nyeri yang didapatkan sama
seperti hari pertama yaitu skala nyeri ringan dan tidak nyeri. Tidak didapatkan
pasien dengan skala nyeri sedang maupun berat. Pasien yang tidak mengalami
nyeri terjadi pada sebagian besar pasien yaitu pada sejumlah 79 pasien di
1 pasien.
Nyeri ringan terjadi pada sejumlah 43 pasien pada hari kedua pasca operasi di
2, dan 1 pasien.
yang diberikan pada 2 jam pasca operasi dengan nilai p 0.035 (p < 0.05).
60
Paracetamol + regional
50
Paracetamol + opioid
30
NSAID + paracetamol
20 NSAID + regional
NSAID + opioid
10
Opioid
0 Paracetamol
Tunggal Kombinasi Tunggal Kombinasi
NSAID
Tidak nyeri Nyeri ringan
dan Kombinasi
cukup tinggi yaitu dengan nilai mYPAS rata-rata 50.66. Sedangkan pada
Tunggal Kombinasi
Jumlah Mean SD Jumlah Mean SD
mYPAS 68 50.66 26.424 54 34.9 19.607
60
50
40
Mean
30
20
10
0
mYPAS
Analgetik Tunggal 50.66
Analgetik Kombinasi 34.9
Pada uji beda tingkat kecemasan terhadap skala nyeri preoperatif didapatkan
Sedangkan pasien yang tidak merasakan cemas dan juga tidak merasakan
merasakan cemas dan pasien yang tidak merasakan cemas preoperatif dengan
Tabel 5.23. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Preoperatif
40
35
30
Jumlah
25
20
15
10
5
0
Tidak Nyeri Nyeri Nyeri
Nyeri Ringan Sedang Berat
Cemas 37 22 3 1
Tidak Cemas 38 21 0 0
Gambar 5.26. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Preoperatif
5.5.3. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca
Operasi
Pada uji beda tingkat kecemasan terhadap skala nyeri 30 menit pasca operasi
pasien (22,2%). Pasien dengan nyeri preoperatif sedang dan besar didapatkan
Sedangkan pasien yang tidak merasakan cemas dan juga tidak merasakan
merasakan cemas dan pasien yang tidak merasakan cemas preoperatif dengan
Tabel 5.24. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 30 Menit
Pasca Operasi
45
40
35
30
Jumlah
25
20
15
10
5
0
Tidak Nyeri Nyeri Nyeri
Nyeri Ringan Sedang Berat
Cemas 41 14 5 3
Tidak Cemas 39 17 3 0
Gambar 5.27. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 30 Menit
Pasca Operasi
5.5.4. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi
Pada uji beda tingkat kecemasan terhadap skala nyeri 1 jam pasca operasi
pasien (49,2%). Pasien dengan nyeri preoperatif sedang dan besar didapatkan
Sedangkan pasien yang tidak merasakan cemas dan juga tidak merasakan
merasakan cemas dan pasien yang tidak merasakan cemas preoperatif dengan
Tabel 5.25. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca
Operasi
35
30
25
Jumlah
20
15
10
5
0
Tidak Nyeri Nyeri Nyeri
Nyeri Ringan Sedang Berat
Cemas 24 31 6 2
Tidak Cemas 30 28 1 0
Gambar 5.28. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 1 Jam
Pasca Operasi
5.5.5. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi
Pada uji beda tingkat kecemasan terhadap skala nyeri 2 jam pasca operasi
pasien (65,1%). Pasien dengan nyeri preoperatif sedang dan besar didapatkan
Sedangkan pasien yang tidak merasakan cemas dan juga tidak merasakan
merasakan cemas dan pasien yang tidak merasakan cemas preoperatif dengan
Tabel 5.26. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca
Operasi
45
40
35
30
Jumlah
25
20
15
10
5
0
Tidak Nyeri Nyeri Nyeri
Nyeri Ringan Sedang Berat
Cemas 15 41 6 1
Tidak Cemas 27 30 2 0
Gambar 5.29. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri 2 Jam
Pasca Operasi
5.5.6. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Pertama Pasca
Operasi
Pada uji beda tingkat kecemasan terhadap skala nyeri hari pertama pasca
maupun berat.
Sedangkan pasien yang tidak merasakan cemas dan juga tidak merasakan
merasakan cemas dan pasien yang tidak merasakan cemas preoperatif dengan
Tabel 5.27. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Pertama
Pasca Operasi
45
40
35
30
Jumlah
25
20
15
10
5
0
Tidak Nyeri Nyeri Ringan
Cemas 24 39
Tidak Cemas 24 35
Gambar 5.30. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari
5.5.7. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Kedua Pasca
Operasi
Pada uji beda tingkat kecemasan terhadap skala nyeri hari kedua pasca operasi
berat.
Sedangkan pasien yang tidak merasakan cemas dan juga tidak merasakan
merasakan cemas dan pasien yang tidak merasakan cemas preoperatif dengan
Tabel 5.28. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari Kedua
Pasca Operasi
45
40
35
30
Jumlah
25
20
15
10
5
0
Tidak Nyeri Nyeri Ringan
Cemas 39 24
Tidak Cemas 40 19
Gambar 5.31. Uji Beda Tingkat Kecemasan Terhadap Skala Nyeri Hari
besar masih dalam pengaruh sedasi (nilai Ramsay Sedation Scale-RSS 3-6)
yaitu sejumlah 111 pasien sedangkan pasien alert (nilai RSS 2) sejumlah 11
pasien. Pada evaluasi 1 jam pasca operasi sebagian besar pasien masih dalam
sedangkan pasien cemas (nilai RSS 1) sejumlah 1 pasien. Jumlah pasien alert
meningkat pada evaluasi 1 jam pasca operasi yaitu sejumlah 113 pasien,
sedangkan pasien cemas dan dalam pengaruh sedasi menurun yaitu sejumlah 1
dan 8 pasien. Pada evaluasi hari pertama dan kedua pasca operasi seluruh
140
120
100
Jumlah
80
60
40
20
0
’ Post 1 Jam 2 Jam H+1 H+2
Op Post Op Post Op Post Op Post Op
Cemas 0 1 1 0 0
Alert 11 51 113 122 122
Dalam sedasi 111 70 8 0 0
5.6.2. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca Operasi
Pada evaluasi 30 menit pasca operasi sebagian besar pasien masih dalam
pengaruh sedasi yaitu sejumlah 111 pasien. Dari jumlah tersebut sejumlah 73
merasakan nyeri ringan, 8 pasien (7,2%) merasakan nyeri sedang dan 3 pasien
berada dalam kondisi sadar baik (alert) pada evaluasi 30 menit pasca operasi.
Dari jumlah tersebut sejumlah 7 pasien (63,6%) tidak merasakan nyeri pasca
operasi, 4 pasien (36,4%) merasakan nyeri ringan dan tidak ada pasien yang
merasakan nyeri sedang maupun berat. Pada evaluasi 30 menit pasca operasi
juga tidak didapatkan pasien dalam kondisi cemas (nilai RSS 1).
masih berada dalam pengaruh sedasi dan pasien yang sudah sadar baik dengan
Tabel 5.30. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca
Operasi
80
70
60
Jumlah
50
40
30
20
10
0
Tidak Nyeri Nyeri Nyeri
Nyeri Ringan Sedang Berat
Cemas 0 0 0 0
Alert 7 4 0 0
Dalam Sedasi 73 27 8 3
Gambar 5.33. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 30 Menit Pasca Operasi
TUGAS AKHIR PROFIL ANALGETIK PASCA …..….. DR. REGINA AGUSTANTINA
97
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5.6.3. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi
Pada evaluasi 1 jam pasca operasi sebagian besar pasien juga masih dalam
merasakan nyeri ringan, 3 pasien (4,3%) merasakan nyeri sedang dan 1 pasien
dalam kondisi sadar baik (alert) pada evaluasi 1 jam pasca operasi. Dari
merasakan nyeri sedang dan 1 pasien (2,0%) merasakan nyeri berat. Pada
evaluasi 1 jam pasca operasi didapatkan 1 pasien dalam kondisi cemas (nilai
masih berada dalam pengaruh sedasi, pasien yang sudah sadar baik (alert) dan
Tabel 5.31. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi
40
35
30
Jumlah
25
20
15
10
5
0
Tidak Nyeri Nyeri Nyeri
Nyeri Ringan Sedang Berat
Cemas 0 0 1 0
Alert 25 22 3 1
Dalam Sedasi 29 37 3 1
Gambar 5.34. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 1 Jam Pasca Operasi
5.6.4. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi
Pada evaluasi 2 jam pasca operasi hanya 8 pasien masih dalam pengaruh
sedasi. Dari jumlah tersebut sejumlah 2 pasien (25,0%) tidak merasakan nyeri
merasakan nyeri sedang dan tidak ada pasien yang merasakan nyeri berat.
Sedangkan hampir seluruh pasien (113 pasien) sudah berada dalam kondisi
sadar baik (alert) pada evaluasi 2 jam pasca operasi. Dari jumlah tersebut
(58,4%) merasakan nyeri ringan, 7 pasien (6,2%) merasakan nyeri sedang dan
tidak ada pasien yang merasakan nyeri berat. Pada evaluasi 2 jam pasca
masih berada dalam pengaruh sedasi, pasien yang sudah sadar baik (alert) dan
Tabel 5.32. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi
70
60
50
Jumlah
40
30
20
10
0
Tidak Nyeri Nyeri Nyeri
Nyeri Ringan Sedang Berat
Cemas 0 0 0 1
Alert 40 66 7 0
Dalam Sedasi 2 5 1 0
Gambar 5.35. Uji Beda Skala Sedasi Terhadap Skala Nyeri 2 Jam Pasca Operasi
BAB 6
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 122 pasien anak menjadi obyek
penelitian. Analgetik yang diberikan pasca operasi dibagi menjadi 2 yaitu analgetik
tunggal dan kombinasi. Secara keseluruhan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
2. Analgetik tunggal yang paling banyak diberikan pasca operasi adalah NSAID
(54 pasien).
4. Analgetik tunggal lebih banyak diberikan pada pasien dengan usia lebih muda
(mean 6.16863 ± 5.06275) dan berat badan lebih rendah (mean 22.42 ±
dengan usia lebih tua (mean 11.9599 ± 5.66231) dan berat badan lebih besar
5. Pada jenis operasi tertentu, analgetik tunggal dominan diberikan seperti pada
orthopedi (73,9%).
6. Evaluasi skala nyeri pasca operasi menunjukkan bahwa pasien mayoritas tidak
merasakan nyeri pada 30 menit (80 pasien) dan hari kedua pasca operasi (79
pasien). Sedangkan pada evaluasi 1 jam (59 pasien), 2 jam (71 pasien) dan
hari pertama (74 pasien) pasca operasi mayoritas pasien merasakan nyeri
ringan.
7. Evaluasi skala nyeri pada hari pertama dan kedua pasca operasi menunjukkan
8. Pada pasien usia ≤ 12 tahun, skala nyeri pada pemberian analgetik kombinasi
lebih tinggi dibanding analgetik tunggal pada kelima waktu evaluasi pasca
operasi. Hasil yang hampir serupa pada pasien usia > 12 tahun, di mana skala
tunggal pada evaluasi 30 menit, 1 jam, 2 jam dan hari pertama pasca operasi.
9. NSAID adalah analgetik yang paling banyak diberikan pada kelompok pasien
yang tidak merasakan nyeri pada kelima waktu evaluasi skala nyeri pasca
operasi (40 pasien pada 30 menit, 23 pasien pada 1 jam, 16 pasien pada 2 jam,
10. Tingkat kecemasan tidak berhubungan dengan skala nyeri baik pada saat
preoperatif maupun pada evaluasi 30 menit, 1 jam, hari pertama dan hari
analgetik kombinasi (Tabel 5.10.). Analgetik tunggal yang paling banyak diberikan
adalah NSAID (54 pasien). NSAID merupakan obat analgetik yang diberikan untuk
(3)
mengatasi nyeri ringan hingga sedang. Sebuah penelitian oleh Vetter dan Heiner
yang merumuskan manajemen nyeri pasca operasi pada tahun 2014, pilihan analgetik
pasca operasi pada pasien pediatri dengan nyeri sedang adalah paracetamol
(26)
dikombinasi dengan NSAID. Pada penelitian ini analgetik kombinasi paracetamol
analgetik tunggal pada 13 pasien. Paracetamol merupakan obat yang mempunyai efek
ringan hingga sedang dan dapat dikombinasi dengan opioid untuk mengatasi nyeri
(3)
berat. Paracetamol kurang begitu populer di kalangan residen sebagai analgetik
yang diberikan pada pasien yang dirawat di ruang intensif yang juga memerlukan
Pada penelitian ini jenis analgetik kombinasi yang paling banyak (28 pasien)
diberikan pasca operasi adalah kombinasi NSAID + opioid (Tabel 5.12.). Hal ini
sesuai dengan pedoman yang dirumuskan Misiolek dkk tentang manajemen nyeri
pasca operasi bahwa pilihan analgetik pasca operasi pada pasien pediatri dengan
Profil analgetik tunggal dan kombinasi dilihat dari usia dan berat badan (Tabel
5.13.) menunjukkan bahwa pasien dengan usia lebih muda dan berat badan lebih kecil
lebih banyak mendapat analgetik tunggal (mean usia 6.16863 dan mean berat badan
22.42). Sedangkan pasien dengan usia lebih tua dan berat badan lebih besar mendapat
analgetik kombinasi (mean usia 11.9599 dan mean berat badan 40.70). Hal ini
pasien anak dengan usia muda. Penyebabnya adalah pilihan analgetik kombinasi yang
dianjurkan yaitu opioid (morfin) sebagai analgetik tambahan memiliki efek samping
yang cukup berbahaya pada pasien anak usia muda terutama neonatus. Seperti yang
ditulis yang diterbitkan oleh American Medical Association tahun 2012 yang
menyebutkan bahwa bayi usia 3-6 bulan mempunyai respon ventilasi yang inadekuat
dan terkadang paradoksal terhadap kondisi hipoksia dan hiperkarbia sehingga opioid
dosis kecil saja dapat berakibat apnea atau nafas periodik. (3)
Profil analgetik tunggal dan kombinasi dilihat dari jenis operasi (Tabel 5.13.)
analgetik kombinasi yang mendominasi (17 pasien ~ 73,9%). Seperti yang diketahui
(39, 40)
bahwa operasi orthopedi menghasilkan intensitas nyeri yang berat. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Barbosa dkk pada tahun 2014 menunjukkan bahwa
menghasilkan pasien dengan skala nyeri ringan atau bahkan tidak merasakan nyeri
(39)
hingga 72 jam pasca operasi. Pilihan yang berbeda didapatkan pada jenis operasi
urologi. Pada operasi urologi analgetik tunggal lebih banyak digunakan (11 pasien ~
78,6%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Heid dan Jage pada
tahun 2002 yang menyebutkan bahwa sebagian besar prosedur operasi urologi
(40, 41)
menghasilkan intensitas nyeri ringan yang dapat diatasi dengan NSAID. Sama
halnya dengan operasi urologi, pada operasi mata analgetik tunggal juga lebih banyak
digunakan (14 pasien ~ 93,3%). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Paik dan Ahn
pada tahun 2002 menyebutkan bahwa intensitas nyeri pada anak pasca operasi mata
adalah nyeri ringan hingga sedang yang menurun seiring dengan berjalannya waktu
(40, 42)
pasca operasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, NSAID merupakan
analgetik yang tepat diberikan untuk mengatasi nyeri ringan hingga sedang. (3)
Profil analgetik tunggal dan kombinasi dilihat dari klasifikasi operasi (Tabel
5.13.) menunjukkan bahwa pada operasi minor analgetik tunggal lebih banyak
digunakan pada operasi mayor (21 pasien ~ 55,3%). Namun secara statistik
Pada evaluasi skala nyeri pasca operasi (Tabel 5.14.) didapatkan pada 30
menit pertama mayoritas pasien tidak merasakan nyeri (80 pasien), sedangkan pada 1
jam pasca operasi mayoritas pasien merasakan nyeri ringan (59 pasien). Nyeri ringan
tetap mendominasi skala nyeri yang dirasakan pasien pada 2 jam dan hari pertama
pasca operasi yaitu masing-masing 71 dan 74 pasien. Sedangkan pada evaluasi skala
nyeri hari kedua pasca operasi didapatkan mayoritas pasien tidak merasakan nyeri (79
pasien). Pada evaluasi hari pertama dan kedua pasca operasi tidak didapatkan pasien
dengan skala nyeri sedang maupun berat. Faktor sedasi tampak dapat dihubungkan
dengan penilaian nyeri pasca operasi. Evaluasi skala nyeri pada 2 jam pasca operasi
diharapkan menunjukkan penilaian skala nyeri yang sesungguhnya karena pada saat
itulah hampir seluruh pasien sudah dalam keadaan sadar baik (alert) yaitu sejumlah
113 pasien. Namun secara statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
signifikan antara pasien yang masih berada dalam pengaruh sedasi dan pasien yang
sudah sadar baik (Tabel 5.30., Tabel 5.31., Tabel 5.32.). Pada evaluasi hari pertama
dan kedua pasca operasi tidak didapatkan pasien yang masih berada dalam pengaruh
sedasi maupun cemas, seluruh pasien dalam keadaan sadar baik (alert) dengan nilai
RSS 2 (Tabel 5.29.). Meskipun demikian, tidak adanya variasi nilai skala sedasi
menyebabkan uji beda antara skala sedasi terhadap skala nyeri tidak dapat dilakukan.
Selain faktor sedasi, pada pasien yang tidak merasakan nyeri pada evaluasi 30
menit pasca operasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal lain seperti pemberian
Pada evaluasi skala nyeri 30 menit, 1 jam dan 2 jam pasca operasi didapatkan
1-2 pasien yang merasakan nyeri berat. Pada evaluasi 30 menit didapatkan 2 pasien
dengan skala nyeri berat di mana 1 pasien diberi analgetik tunggal dan 1 pasien diberi
analgetik kombinasi. Pasien yang mendapat analgetik tunggal adalah pasien yang
menjalani operasi aff DJ stent. Operasi ini adalah operasi minor dengan intensitas
(40, 41)
nyeri ringan. Salah satu hal yang dapat menyebabkan skala nyeri pasca operasi
yang tinggi pada pasien ini adalah tingkat kecemasan preoperatif di mana nilai
mYPAS adalah 70. Fortier dkk menyebutkan dalam penelitiannya bahwa tingkat
adalah pasien osteosarcoma yang menjalani operasi amputasi. Operasi ini adalah
(40)
operasi mayor dengan intensitas nyeri sedang hingga berat. Pasien ini mendapat
analgetik kombinasi berupa NSAID + anestesi regional. Pemilihan ini kurang tepat
sebagai analgetik pasca operasi dengan intensitas nyeri sedang hingga berat, namun
jenis nyeri pada pasien ini adalah nyeri kanker dengan nyeri kronik dan berpotensi
terjadi phantom limb pasca operasi. Seperti halnya yang dikatakan Katz dalam
penelitiannya yang menyebutkan bahwa anestesi regional merupakan salah satu cara
(44)
mencegah terjadinya phantom limb. Pada pasien ini diduga obat anestesi regional
yang diberikan belum bekerja pada saat evaluasi 30 menit pasca operasi. Hal ini
dilihat dari skala nyeri yang menurun drastis pada evaluasi 1 jam pasca operasi (NRS
2-3). Pada evaluasi skala nyeri 1 jam pasca operasi juga didapatkan 2 pasien dengan
skala nyeri berat di mana 1 pasien diberi analgetik tunggal dan 1 pasien diberi
analgetik kombinasi. Pasien yang mendapat analgetik tunggal adalah pasien yang
kombinasi adalah pasien dengan abses paru yang menjalani operasi lobectomy. Pada
kedua pasien tersebut, evaluasi skala nyeri di waktu selain 1 jam menunjukkan skala
nyeri ringan-sedang. Skala nyeri berat pada evaluasi 1 jam pasca operasi dapat
diakibatkan beberapa hal lain yang mempengaruhi penilaian nyeri pasca operasi.
Seperti yang dikemukakan Hamers dkk dalam penelitiannya, beberapa hal dapat
mempengaruhi penilaian nyeri pasca operasi antara lain usia, diagnosis, ekspresi anak
dan juga kehadiran orang tua. (45) Selain itu terdapat beberapa hal yang mempengaruhi
(46)
persepsi nyeri antara lain jenis kelamin, ras dan usia. Pada evaluasi skala nyeri 2
jam pasca operasi didapatkan 1 pasien dengan skala nyeri berat yang diberi analgetik
kombinasi. Pasien ini adalah pasien dengan combustio yang menjalani operasi
debridement + Split Thickness Graft (STG). Pada pasien ini didapatkan skala nyeri
sedang pada evaluasi preoperatif dan juga tingkat kecemasan yang tinggi dengan nilai
mYPAS 76.67. Selain itu, pada pasien ini juga didapatkan gangguan penyesuaian.
(28, 45, 46)
Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi skala nyeri pasca operasi. Pasien-
pasien yang disebutkan dengan skala nyeri berat di atas adalah pasien yang berbeda-
beda, artinya tidak didapatkan pasien yang merasakan nyeri berat di dua waktu
evaluasi skala nyeri. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen nyeri sudah cukup baik
sehingga pasien dengan skala nyeri berat tidak lagi menunjukkan skala nyeri berat
menunjukkan bahwa pada pasien usia ≤ 12 tahun skala nyeri (FLACC) pada
pemberian analgetik kombinasi lebih besar daripada analgetik tunggal pada kelima
waktu evaluasi skala nyeri pasca operasi (Tabel 5.15.). Meskipun demikian nilai
simpangan deviasi (SD) pada kelompok analgetik kombinasi lebih besar dibanding
kelompok analgetik tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi data pada
kelompok analgetik kombinasi terlalu luas sehingga data menjadi tidak seragam.
Hasil ini tidak jauh berbeda pada kelompok pasien usia > 12 tahun. Skala nyeri (NRS)
pada pemberian analgetik kombinasi juga lebih besar daripada analgetik tunggal pada
evaluasi 30 menit, 1 jam, 2 jam dan hari pertama pasca operasi. Sedangkan skala
nyeri (NRS) pada hari kedua pasca operasi menunjukkan bahwa skala nyeri pada
pemberian analgetik tunggal memiliki nilai yang lebih besar dibanding analgetik
kombinasi (Tabel 5.16.). Namun, dari hasil analisa statistik menggunakan Chi-Square
analgetik tunggal dan kombinasi pada evaluasi 30 menit, 1 jam, 2 jam dan hari
pertama pasca operasi. Sedangkan pada evaluasi hari kedua pasca operasi (Tabel
Pada evaluasi jenis analgetik yang diberikan pada setiap waktu evaluasi skala
nyeri didapatkan bahwa NSAID menjadi analgetik yang paling banyak diberikan pada
kelompok pasien yang tidak merasakan nyeri pada kelima waktu evaluasi skala nyeri
pasca operasi (Tabel 5.17., Tabel 5.18., Tabel 5.19., Tabel 5.20., Tabel 5.21.).
Pada evaluasi tingkat kecemasan yang dihubungkan dengan skala nyeri pada
saat preoperatif dan kelima waktu pasca operasi (Tabel 5.23., Tabel 5.24., Tabel 5.25.,
Tabel 5.27., Tabel 5.28.) didapatkan bahwa tingkat kecemasan tidak berhubungan
dengan skala nyeri dengan nilai p > 0.05 (tidak terdapat perbedaan) kecuali pada
evaluasi 2 jam pasca operasi (Tabel 5.26.) di mana nilai p 0.046 (p < 0.05). Penelitian
yang dilakukan oleh Al-Jundi dan Mahmood menyebutkan bahwa tingkat kecemasan
preoperatif dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain usia, riwayat anestesi umum
sebelumnya, riwayat anestesi umum pada usia sangat muda dan juga kecemasan
BAB 7
7.1. Kesimpulan
Analgetik pasca operasi yang paling banyak digunakan pada pasien pediatri
yang menjalani operasi elektif di RSUD Dr. Soetomo pada bulan Oktober 2016
adalah NSAID. NSAID juga menjadi analgetik yang paling banyak digunakan pada
kelompok pasien yang tidak merasakan nyeri pada kelima waktu evaluasi pasca
operasi. Manajemen nyeri cukup baik karena tidak didapatkan pasien dengan skala
nyeri sedang maupun berat pada evaluasi hari pertama dan kedua pasca operasi.
7.2. Saran
yang cukup besar pada kelompok analgetik kombinasi. Maka diharapkan penelitian
dengan jumlah sample lebih besar dapat dilakukan agar distribusi data menjadi lebih
Evaluasi tentang intensitasi nyeri pasca operasi pada tiap jenis operasi perlu
dilakukan dalam skala lebih besar agar penentuan analgetik pasca operasi lebih tepat
mengenai hemodinamik pasien selama di ruang pulih sadar tidak lengkap yang
menyebabkan uji korelasi antara skala nyeri dengan perubahan hemodinamik tidak
dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Pain Relief: Barriers to Optimal Pain Management. Plast Reconstr Surg. 2014
Oct;134(4):15-21.
2. Power NM, Howard RF, Wade AM, Franck LS. Pain and behaviour changes
3. Fine PG, Lessage P, Lippe PM, Lipman AG, Portenoy RK, dkk. Pediatric
4. Hatfield LA. Neonatal pain: What’s age got to do with it? Surg Neurol Int.
2014;5(13):479-89.
5. Green A. Pain and stress in infancy and childhood--- where to now? Pediatr
Anaesth. 1996;6(3):167-72.
87.
8. Swafford L, Allen D. Pain relief in pediatric patient. Med Clin North Am.
9. Eland JM, Anderson JE. The experience of pain in children. In: Jacox A., ed.
Pain: a source book for nurses and other health professionals. Boston: Little,
Brown 1977.
10. Anand KJS, Phil MBBS, Hickey PR. Pain and Its Effects in The Human
11. Frank HK. The Society of Pediatric Anesthesia: 15th Annual meeting, New
anaesthesia care unit correlates with pain intensivity, nausea and vomiting on
16. Lönnqvist PA, Morton NS. Postoperative analgesia in infants and children.
17. Lee JY, Jo YY. Attention to postoperative pain control in children. Korean J
2012 June;3(2):202-8.
20. Berde CB, Walco GA, Krane EJ, Anand KJS, Phil D, dkk. Pediatric
21. Sumpter A, Anderson BJ. Pediatric pharmacology in the first year of life.
23. Butterworth JF. Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
24. Rice LJ. Pain management in children. Can J Anaesth 1996; 43: R155-R158.
27. Wong DL, Hess CS, Kasprisin CA. Wong and Whaley’s clinical manual of
28. Fortier MA, Del Rosario AM, Martin SR, Kain ZN. Perioperative anxiety in
29. Guaratini AA, Marcolino JAM, Teixeira AB, Bernardis RC, Passarelli MLB,
30. MacLaren JE, Thompson C, Weinberg M, Fortier MA, Morrison DE, dkk.
31. Kim JE, Jo BY, Oh HM, Choi HS, Lee Y. High Anxiety, Young Age and
Long Waits Increase the Need for Preoperative Sedatives in Children. J Int
32. Kupietzky A, Houpt MI. Midazolam:a review of its use for conscious
33. Berde CB, Sethna NF. Analgesics for the Treatment of Pain in Children. N
34. Terkelsen AJ, Mølgaard H, Hansen J, Andersen OK, Jensen TS. Acute pain
increases heart rate: Differential mechanisms during rest and mental stress.
Nasional.
Formularium Nasional.
39. Barbosa MH, dr Araujo NF, da Silva JA, Corrêa TB, Moreira TM, dkk. Pain
40. Gerbershagen HJ, Aduckathil S, van Wijck AJM, Peelen LM, Kalkman CJ,
dkk. Pain Intensity on the First Day after Surgery: A Prospective Cohort
Apr;118(4):934-44.
2002;90:481-8.
42. Paik HJ, Ahn YM. Measurement of Acute Pain after Eye Surgery in Children.
77.
44. Katz J. Prevention of phantom limb by regional anesthesia. Lancet. 1997 Feb
22;349(9051):519-20.
45. Hamers JPH, Abu-Saad HH, Schumacher JNM. Factors influencing nurses’
Nov;20(5):853-60.
46. Wandner LD, Scipio CD, Hirsh AT, Torres CA, Robinson ME. The
Perception of Pain in Others: How Gender, Race, and Age Influence Pain
47. Al-Jundi SH, Mahmood AJ. Factors affecting preoperative anxiety in children
Lampiran 1
Penelitian ini berjudul “Profil Analgetik Pasca Operasi pada Pasien Pediatri
yang Menjalani Operasi Elektif di RS Dr. Soetomo Surabaya”. Dokter peneliti adalah
dr. Regina Agustantina, PPDS-1 (Program Pendidikan Dokter Spesialis-1)
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah
Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya, dengan alamat Jl. Pemuda 108-116 Surabaya
dan nomor telepon yang dapat dihubungi adalah 081216968686.
Penelitian ini menyangkut pemberian anti nyeri yang diberikan setelah operasi
pada anak usia kurang dari 18 tahun yang menjalani operasi terencana. Nyeri
merupakan aspek penting dalam proses pembedahan karena mempunyai dampak yang
luas terhadap pasien, termasuk kesembuhan luka operasi. Banyak obat dan teknik
dapat digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri. Pedoman tentang pemberian anti
nyeri pasca operasi pada anak juga telah dikembangkan, namun pedoman ini tidak
serta merta dapat diterapkan kondisi lingkungan yang berbeda dan adanya
keterbatasan sumber daya.
Pasien sebagai sukarelawan pada penelitian ini, ditentukan berdasarkan
kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis analgetik pasca operasi pada pasien anak. Dengan mengetahui profil
analgetik pasca operasi diharapkan manajemen nyeri pasca operasi pada pasien anak
menjadi lebih baik sehingga morbiditas terhadap pasien anak akibat manajemen nyeri
yang tidak adekuat dapat berkurang.
Pasien yang turut serta sebagai sukarelawan pada penelitian akan menjalani
prosedur penelitian sebagai berikut:
1. Pasien akan diperiksa 1 hari sebelum operasi. Bila kondisi pasien cukup baik
dan memenuhi kriteria subyek penelitian, maka pasien akan diikutkan pada
penelitian ini.
2. Sebelum masuk ke dalam ruang operasi, pasien akan ditempatkan di ruang
premedikasi. Pada saat ini dilakukan penilaian tingkat kecemasan pasien.
3. Setelah masuk ke dalam ruang operasi, dokter anestesi akan melakukan
prosedur anestesi sesuai dengan jenis dan lama operasi, serta kondisi pasien.
TUGAS AKHIR PROFIL ANALGETIK PASCA …..….. DR. REGINA AGUSTANTINA
117
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4. Operasi berlangsung.
5. Setelah operasi selesai, pasien akan diberi analgetik.
6. Di ruang pemulihan (recovery room), dilakukan penilaian nilai nyeri dan
hemodinamik.
Pasien atau keluarga pasien dapat mengundurkan diri dari keikutsertaan dalam
penelitian ini setiap saat dan tidak mempengaruhi keputusan dan tindakan medis yang
akan dijalankan. Pasien dan atau keluarga pasien bebas mengajukan pertanyaan
seputar penelitian ini kepada peneliti.
Surabaya, ……………………..
Yang memberi penjelasan Yang menerima penjelasan
Lampiran 2
PERNYATAAN PERSETUJUAN
(Statement of Consent)
Surabaya, ……………………...
Dokter Peneliti Yang memberi pernyataan
Lampiran 3
SpO2
NIPS/FLACC/NRS
c. Ekspresi emosi
1. Senang, tersenyum atau berkonsentrasi pada bermain.
2. Netral, tidak ada ekspresi wajah.
3. Mulai dari khawatir hingga takut, sedih atau berkaca-kaca.
4. Tertekan, menangis, tidak terkendali, mata terbuka lebar.
d. Gairah
1. Sadar baik, terkadang melihat sekeliling, menyadari atau mengikuti
tindakan ahli anestesi (secara santai).
2. Withdrawn, tenang dan diam, mungkin mengisap jempol atau
wajahnya menyerupai wajah orang dewasa.
3. Penuh perhatian, melihat sekeliling secara cepat, mungkin terkejut
dengan suara, mata terbuka lebar, tubuh tegang.
4. Merengek panik, mungkin manangis atau menghindari orang lain,
memalingkan badan.
e. Interaksi dengan anggota keluarga
1. Berkonsentrasi saat bermain, duduk inaktif atau menunjukkan perilaku
yang sesuai dengan usia dan tidak membutuhkan pendampingan
anggota keluarga, berinteraksi dengan anggota keluarga jika pasien
yang memulai interaksi.
2. Memancing interaksi dengan anggota keluarga (mendekati anggota
keluarga yang diam), mencari dan menerima dukungan, dapat
bersandar terhadap anggota keluarga.
3. Menatap anggota keluarga, mengamati tingkah laku para dokter, tidak
mencari kontak personal atau hiburan tapi menerimanya jika
ditawarkan, menempel pada anggota keluarga
4. Menjaga anggota keluarga tetap berada dalam jarak dekat, mungkin
mengusir anggota keluarga atau menempel putus asa pada mereka,
tidak membiarkan mereka pergi
Nilai total = (A/4 + B/6 + C/4 + D/4 + E/4) x 100 : 5
Nilai total =
_____ + _____ + _____ + _____ + _____ x 100
5
4 6 4 4 4
= .........................................................................................
basal
Postur tangan Rileks Tertekuk/tegang -
Postur kaki Rileks Tertekuk/tegang -
Kesadaran Tidur/tenang Tidak nyaman -
Skala nyeri untuk bayi 2 bulan hingga usia 12 tahun – FLACC (face, legs,
activity, cry, consolability)
Kriteria Skor 0 Skor 1 Skor 2
Face (ekspresi Tidak ada ekspresi Menyeringai, Dagu gemetar
wajah) khusus, senyum mengurutkan dahi, secara berkala atau
menarik diri, konstan, rahang
sesekali mengeluh mengepal
Legs ( gerakan Posisi normal, Gelisah, khawatir, Menendang,
kaki) santai tegang menarik kaki
Activity (aktivitas) Berbaring tenang, Menggeliat, Melengkung, kaku
posisi normal, mondar-mandir, atau menyimak
bergerak dengan tegang
mudah
Cry (tangisan) Tidak menangis Mengerang atau Menangis secara
(terjaga atau merintih, sesekali terus-menerus,
tertidur) mengeluh menjerit, sering
mengeluh
Consolability Skala Santai, rileks Sesekali Sulit untuk dihibur
(konsolabilitas) diyakinkan dengan atau merasa
sentuhan, pelukan nyaman
atau diajak
berbicara,
dialihkan
Untuk pasien yang sadar: observasi selama 1-5 menit atau lebih. Observasi kaki dan badan
yang tidak tertutup. Nilai ketegangan badan dan lakukan intervensi bila diperlukan.
Untuk pasien yang tidur: observasi selama 5 menit atau lebih. Observasi kaki dan badan
yang tidak tertutup. Jika memungkinkan, reposisikan pasien. Sentuh badan untuk menilai
ketegangan.
TUGAS AKHIR PROFIL ANALGETIK PASCA …..….. DR. REGINA AGUSTANTINA
125
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
NRS
Analisa Statistik
Frequency Table
JENIS KELAMIN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Laki-laki 73 59.8 59.8 59.8
Perempuan 49 40.2 40.2 100.0
Total 122 100.0 100.0
PSASA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 22 18.0 18.0 18.0
π 2 87 71.3 71.3 89.3
3 13 10.7 10.7 100.0
Total 122 100.0 100.0
Jenis Operasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Bedah Anak 30 24.6 24.6 24.6
Bedah KL 10 8.2 8.2 32.8
Bedah Plastik 9 7.4 7.4 40.2
Bedah Saraf 9 7.4 7.4 47.5
Bedah TKV 1 .8 .8 48.4
Mata 15 12.3 12.3 60.7
Orthopedi 22 18.0 18.0 78.7
Spine 1 .8 .8 79.5
THT 11 9.0 9.0 88.5
Urologi 14 11.5 11.5 100.0
Total 122 100.0 100.0
Klasifikasi Operasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Mayor 38 31.1 31.1 31.1
Minor 84 68.9 68.9 100.0
Klasifikasi Operasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Mayor 38 31.1 31.1 31.1
Minor 84 68.9 68.9 100.0
Total 122 100.0 100.0
ANALGESIK
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tunggal 68 55.7 55.7 55.7
Kombinasi 54 44.3 44.3 100.0
Total 122 100.0 100.0
REKAM MEDIK
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid <12 th 77 63.1 63.1 63.1
12 th > 45 36.9 36.9 100.0
Total 122 100.0 100.0
T-Test
Group Statistics
ANALGESIK N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
USIA dTunggal 68 6.1863 5.06275 .61395
i Kombinasi 54 11.9599 5.66231 .77054
m
e
n
s
i
o
n
1
BB dTunggal 68 22.42 15.726 1.907
Crosstabs
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.
Value df (2-sided) sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square .394a 1 .530
b
Continuity Correction .195 1 .659
Likelihood Ratio .395 1 .530
Fisher's Exact Test .580 .330
Linear-by-Linear .391 1 .532
Association
N of Valid Cases 122
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21.69.
b. Computed only for a 2x2 table
Crosstabs
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square 2.000a 2 .368
Likelihood Ratio 1.992 2 .369
Linear-by-Linear .121 1 .728
Association
N of Valid Cases 122
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 5.75.
T-Test
Group Statistics
REKAM Std. Std. Error
MEDIK N Mean Deviation Mean
USIA di < 12 tahun 77 4.8117 3.73514 .42566
m > 12 tahun 45 15.4667 1.75292 .26131
en
si
o
n
1
BB di < 12 tahun 77 19.07 14.003 1.596
m > 12 tahun 45 50.09 11.621 1.732
en
si
o
n
1
TB di < 12 tahun 52 102.25 29.707 4.120
m > 12 tahun 42 156.50 11.160 1.722
en
si
o
n
1
Crosstabs
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.
Value df (2-sided) sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square .126a 1 .723
Continuity .027 1 .870
Correctionb
Likelihood Ratio .125 1 .723
Fisher's Exact Test .848 .434
Crosstabs
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi- 5.695a 2 .058
Square
Likelihood Ratio 5.505 2 .064
N of Valid Cases 122
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi- 5.695a 2 .058
Square
Likelihood Ratio 5.505 2 .064
N of Valid Cases 122
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 4.80.
Means
Report
ANALGESIK FLACCPRE mYPASPreo 30' 1 jam
OP p FLACC FLACC
Tunggal N 58 58 58 58
Minimum 0 20 0 0
Maximum 2 100 7 7
Mean .36 55.37 .55 1.05
Std. .583 25.829 1.300 1.395
Deviation
Kombinasi N 19 19 19 19
Minimum 0 23 0 0
Maximum 7 92 8 7
Mean 1.53 44.74 1.26 2.16
Std. 2.294 23.970 2.491 2.363
Deviation
Total N 77 77 77 77
Minimum 0 20 0 0
Maximum 7 100 8 7
Mean .65 52.75 .73 1.32
Std. 1.326 25.646 1.683 1.735
Deviation
Report
ANALGESIK 2 jam H+1 H+2
FLACC FLACC FLACC
Tunggal N 58 58 58
Minimum 0 0 0
Maximum 5 2 1
Mean 1.34 .52 .22
Std. 1.319 .538 .421
Deviation
Kombinasi N 19 19 19
Minimum 0 0 0
Maximum 9 3 2
Mean 1.95 1.05 .74
Std. 2.147 .911 .806
Deviation
Total N 77 77 77
Minimum 0 0 0
Maximum 9 3 2
Mean 1.49 .65 .35
Std. 1.570 .684 .580
Deviation
Explore
ANALGESIK
Tests of Normality
ANALGES Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
IK Statistic df Sig. Statistic df Sig.
FLACCPREO dTunggal .422 58 .000 .632 58 .000
P i Kombinasi .326 19 .000 .716 19 .000
m
e
n
s
i
o
n
1
mYPASPreop dTunggal .131 58 .015 .916 58 .001
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
ANALGES Mean Sum of
IK N Rank Ranks
FLACCPREO dTunggal 58 36.97 2144.00
P i Kombinasi 19 45.21 859.00
mTotal 77
e
n
s
i
o
n
1
mYPASPreop dTunggal 58 41.35 2398.50
i Kombinasi 19 31.82 604.50
mTotal 77
e
n
s
i
o
n
1
30' FLACC dTunggal 58 38.44 2229.50
i Kombinasi 19 40.71 773.50
mTotal 77
e
n
s
i
o
n
1
1 jam FLACC dTunggal 58 36.97 2144.50
i Kombinasi 19 45.18 858.50
mTotal 77
e
n
s
i
o
n
1
2 jam FLACC dTunggal 58 37.56 2178.50
i Kombinasi 19 43.39 824.50
mTotal 77
e
n
s
i
o
n
1
H+1 FLACC dTunggal 58 35.85 2079.50
i Kombinasi 19 48.61 923.50
TUGAS AKHIR PROFIL ANALGETIK PASCA …..….. DR. REGINA AGUSTANTINA
142
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
mTotal 77
e
n
s
i
o
n
1
H+2 FLACC dTunggal 58 35.68 2069.50
i Kombinasi 19 49.13 933.50
mTotal 77
e
n
s
i
o
n
1
Test Statisticsa
FLACCPRE mYPASPreo 30' 1 jam 2 jam
OP p FLACC FLACC FLACC
Mann-Whitney U 433.000 414.500 518.500 433.500 467.500
Wilcoxon W 2144.000 604.500 2229.500 2144.500 2178.500
Z -1.666 -1.624 -.508 -1.469 -1.019
Asymp. Sig. (2- .096 .104 .611 .142 .308
tailed)
a. Grouping Variable: ANALGESIK
Test Statisticsa
H+1 H+2
FLACC FLACC
Mann-Whitney U 368.500 358.500
Wilcoxon W 2079.500 2069.500
Z -2.393 -2.843
Asymp. Sig. (2- .017 .004
tailed)
a. Grouping Variable: ANALGESIK
Means
Report
ANALGESIK NRSPREO VAS_APre 2 jam
P op 30' NRS 1 jam NRS NRS
Tunggal N 10 10 10 10 10
Minimum 0 0 0 0 0
Maximum 2 2 4 2 2
Mean .20 .50 .90 .90 .70
Std. .632 .850 1.449 .876 .675
Deviation
Kombinasi N 35 35 35 35 35
Minimum 0 0 0 0 0
Maximum 3 7 8 3 4
Mean 1.03 1.71 1.20 .91 .80
Std. 1.043 1.903 1.746 .919 .901
Deviation
Total N 45 45 45 45 45
Minimum 0 0 0 0 0
Maximum 3 7 8 3 4
Mean .84 1.44 1.13 .91 .78
Std. 1.021 1.791 1.673 .900 .850
Deviation
Report
ANALGESIK H+1 H+2
NRS NRS
Tunggal N 10 10
Minimum 0 0
Maximum 1 1
Mean .70 .50
Std. .483 .527
Deviation
Kombinasi N 35 35
Minimum 0 0
Maximum 3 2
Mean .94 .51
Explore
ANALGESIK
Tests of Normality
ANALGES Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
IK Statistic df Sig. Statistic df Sig.
NRSPREO dTunggal .524 10 .000 .366 10 .000
P i Kombinasi .267 35 .000 .817 35 .000
m
e
n
s
i
o
n
1
VAS_APre dTunggal .422 10 .000 .628 10 .000
op i Kombinasi .275 35 .000 .786 35 .000
m
e
n
s
i
o
n
1
30' NRS dTunggal .333 10 .002 .693 10 .001
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
ANALGES Mean Sum of
IK N Rank Ranks
NRSPREO dTunggal 10 14.95 149.50
P i Kombinasi 35 25.30 885.50
mTotal 45
e
n
s
i
o
n
1
VAS_APre dTunggal 10 15.20 152.00
op i Kombinasi 35 25.23 883.00
mTotal 45
e
n
s
i
o
n
1
30' NRS dTunggal 10 20.80 208.00
i Kombinasi 35 23.63 827.00
mTotal 45
e
n
s
i
o
n
1
1 jam NRS dTunggal 10 23.05 230.50
i Kombinasi 35 22.99 804.50
mTotal 45
e
n
s
i
o
n
1
2 jam NRS dTunggal 10 22.65 226.50
i Kombinasi 35 23.10 808.50
mTotal 45
e
n
s
i
o
n
1
H+1 NRS dTunggal 10 20.30 203.00
i Kombinasi 35 23.77 832.00
mTotal 45
e
n
s
i
o
n
1
H+2 NRS dTunggal 10 23.50 235.00
Test Statisticsb
NRSPREO VAS_APre 2 jam
P op 30' NRS 1 jam NRS NRS
Mann-Whitney U 94.500 97.000 153.000 174.500 171.500
Wilcoxon W 149.500 152.000 208.000 804.500 226.500
Z -2.412 -2.221 -.646 -.015 -.104
Asymp. Sig. (2-tailed) .016 .026 .518 .988 .917
Exact Sig. [2*(1-tailed .026a .033 a
.563a .989a .925a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: ANALGESIK
Test Statisticsb
H+1 H+2
NRS NRS
Mann-Whitney U 148.000 170.000
Wilcoxon W 203.000 800.000
Z -.823 -.155
Asymp. Sig. (2-tailed) .411 .877
a
Exact Sig. [2*(1-tailed .475 .904a
Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: ANALGESIK
Crosstabs
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi- 3.910a 3 .271
Square
Likelihood Ratio 5.451 3 .142
N of Valid Cases 122
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is .48.
Crosstabs
Nyeri_30 * Cemas_PreOps
Crosstab
Cemas_PreOps
Cemas Tidak Cemas Total
Nyeri_3 Nyeri Berat Count 3 0 3
0 % within Nyeri_30 100.0% .0% 100.0%
% within 4.8% .0% 2.5%
Cemas_PreOps
% of Total 2.5% .0% 2.5%
Nyeri Ringan Count 14 17 31
% within Nyeri_30 45.2% 54.8% 100.0%
% within 22.2% 28.8% 25.4%
Cemas_PreOps
% of Total 11.5% 13.9% 25.4%
Nyeri Count 5 3 8
Sedang % within Nyeri_30 62.5% 37.5% 100.0%
% within 7.9% 5.1% 6.6%
Cemas_PreOps
% of Total 4.1% 2.5% 6.6%
Tidak Nyeri Count 41 39 80
% within Nyeri_30 51.3% 48.8% 100.0%
% within 65.1% 66.1% 65.6%
Cemas_PreOps
% of Total 33.6% 32.0% 65.6%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi- 3.713a 3 .294
Square
Likelihood Ratio 4.874 3 .181
N of Valid Cases 122
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 1.45.
Nyeri_1Jam * Cemas_PreOps
Crosstab
Cemas_PreOps
Cemas Tidak Cemas Total
Nyeri_1Ja Nyeri Berat Count 2 0 2
m % within Nyeri_1Jam 100.0% .0% 100.0%
% within 3.2% .0% 1.6%
Cemas_PreOps
% of Total 1.6% .0% 1.6%
Nyeri Ringan Count 31 28 59
% within Nyeri_1Jam 52.5% 47.5% 100.0%
% within 49.2% 47.5% 48.4%
Cemas_PreOps
% of Total 25.4% 23.0% 48.4%
Nyeri Count 6 1 7
Sedang % within Nyeri_1Jam 85.7% 14.3% 100.0%
% within 9.5% 1.7% 5.7%
Cemas_PreOps
% of Total 4.9% .8% 5.7%
Tidak Nyeri Count 24 30 54
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi- 6.266a 3 .099
Square
Likelihood Ratio 7.425 3 .060
N of Valid Cases 122
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is .97.
Nyeri_2Jam * Cemas_PreOps
Crosstab
Cemas_PreOps
Cemas Tidak Cemas Total
Nyeri_2Ja Nyeri Berat Count 1 0 1
m % within Nyeri_2Jam 100.0% .0% 100.0%
% within 1.6% .0% .8%
Cemas_PreOps
% of Total .8% .0% .8%
Nyeri Ringan Count 41 30 71
% within Nyeri_2Jam 57.7% 42.3% 100.0%
% within 65.1% 50.8% 58.2%
Cemas_PreOps
% of Total 33.6% 24.6% 58.2%
Nyeri Count 6 2 8
Sedang % within Nyeri_2Jam 75.0% 25.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi- 8.010a 3 .046
Square
Likelihood Ratio 8.536 3 .036
N of Valid Cases 122
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is .48.
Nyeri_H1 * Cemas_PreOps
Crosstab
Cemas_PreOps
Cemas Tidak Cemas Total
Nyeri_H Nyeri Count 39 35 74
1 Ringan % within Nyeri_H1 52.7% 47.3% 100.0%
% within 61.9% 59.3% 60.7%
Cemas_PreOps
% of Total 32.0% 28.7% 60.7%
Tidak Nyeri Count 24 24 48
% within Nyeri_H1 50.0% 50.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.
Value df (2-sided) sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square .085a 1 .770
Continuity .011 1 .915
b
Correction
Likelihood Ratio .085 1 .770
Fisher's Exact Test .853 .457
N of Valid Cases 122
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 23.21.
b. Computed only for a 2x2 table
Nyeri_H2 * Cemas_PreOps
Crosstab
Cemas_PreOps
Cemas Tidak Cemas Total
Nyeri_H Nyeri Count 24 19 43
2 Ringan % within Nyeri_H2 55.8% 44.2% 100.0%
% within 38.1% 32.2% 35.2%
Cemas_PreOps
% of Total 19.7% 15.6% 35.2%
Tidak Nyeri Count 39 40 79
% within Nyeri_H2 49.4% 50.6% 100.0%
% within 61.9% 67.8% 64.8%
Cemas_PreOps
% of Total 32.0% 32.8% 64.8%
Total Count 63 59 122
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.
Value df (2-sided) sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square .463a 1 .496
Continuity .241 1 .623
Correctionb
Likelihood Ratio .464 1 .496
Fisher's Exact Test .571 .312
N of Valid Cases 122
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.80.
b. Computed only for a 2x2 table
Crosstabs
Nyeri_30 * ANALGESIK
Crosstab
ANALGESIK
Tunggal Kombinasi Total
Nyeri_3 Nyeri Berat Count 1 2 3
0 % within Nyeri_30 33.3% 66.7% 100.0%
% within 1.5% 3.7% 2.5%
ANALGESIK
% of Total .8% 1.6% 2.5%
Nyeri Ringan Count 14 17 31
% within Nyeri_30 45.2% 54.8% 100.0%
% within 20.6% 31.5% 25.4%
ANALGESIK
% of Total 11.5% 13.9% 25.4%
Nyeri Count 3 5 8
Sedang % within Nyeri_30 37.5% 62.5% 100.0%
% within 4.4% 9.3% 6.6%
ANALGESIK
TUGAS AKHIR PROFIL ANALGETIK PASCA …..….. DR. REGINA AGUSTANTINA
156
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi- 4.577a 3 .205
Square
Likelihood Ratio 4.579 3 .205
N of Valid Cases 122
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 1.33.
Nyeri_1Jam * ANALGESIK
Crosstab
ANALGESIK
Tunggal Kombinasi Total
Nyeri_1Ja Nyeri Berat Count 1 1 2
m % within 50.0% 50.0% 100.0%
Nyeri_1Jam
% within 1.5% 1.9% 1.6%
ANALGESIK
% of Total .8% .8% 1.6%
Nyeri Ringan Count 34 25 59
% within 57.6% 42.4% 100.0%
Nyeri_1Jam
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi- 2.267a 3 .519
Square
Likelihood Ratio 2.286 3 .515
N of Valid Cases 122
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is .89.
Nyeri_2Jam * ANALGESIK
Crosstab
ANALGESIK
Tunggal Kombinasi Total
Nyeri_2Ja Nyeri Berat Count 0 1 1
TUGAS AKHIR PROFIL ANALGETIK PASCA …..….. DR. REGINA AGUSTANTINA
158
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi- 1.715a 3 .633
Square
Likelihood Ratio 2.088 3 .554
N of Valid Cases 122
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi- 1.715a 3 .633
Square
Likelihood Ratio 2.088 3 .554
N of Valid Cases 122
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is .44.
Nyeri_H1 * ANALGESIK
Crosstab
ANALGESIK
Tunggal Kombinasi Total
Nyeri_H Nyeri Count 36 38 74
1 Ringan % within Nyeri_H1 48.6% 51.4% 100.0%
% within 52.9% 70.4% 60.7%
ANALGESIK
% of Total 29.5% 31.1% 60.7%
Tidak Nyeri Count 32 16 48
% within Nyeri_H1 66.7% 33.3% 100.0%
% within 47.1% 29.6% 39.3%
ANALGESIK
% of Total 26.2% 13.1% 39.3%
Total Count 68 54 122
% within Nyeri_H1 55.7% 44.3% 100.0%
% within 100.0% 100.0% 100.0%
ANALGESIK
% of Total 55.7% 44.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.
Value df (2-sided) sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 3.831a 1 .050
Continuity 3.136 1 .077
Correctionb
Nyeri_H2 * ANALGESIK
Crosstab
ANALGESIK
Tunggal Kombinasi Total
Nyeri_H Nyeri Count 18 25 43
2 Ringan % within Nyeri_H2 41.9% 58.1% 100.0%
% within 26.5% 46.3% 35.2%
ANALGESIK
% of Total 14.8% 20.5% 35.2%
Tidak Nyeri Count 50 29 79
% within Nyeri_H2 63.3% 36.7% 100.0%
% within 73.5% 53.7% 64.8%
ANALGESIK
% of Total 41.0% 23.8% 64.8%
Total Count 68 54 122
% within Nyeri_H2 55.7% 44.3% 100.0%
% within 100.0% 100.0% 100.0%
ANALGESIK
% of Total 55.7% 44.3% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.
Value df (2-sided) sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 5.184a 1 .023
Continuity 4.351 1 .037
Correctionb
Likelihood Ratio 5.184 1 .023
Fisher's Exact Test .035 .019
N of Valid Cases 122
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.03.
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.
Value df (2-sided) sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 5.184a 1 .023
Continuity 4.351 1 .037
Correctionb
Likelihood Ratio 5.184 1 .023
Fisher's Exact Test .035 .019
N of Valid Cases 122
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.03.
b. Computed only for a 2x2 table
Crosstabs
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.
Value df (2-sided) sided) (1-sided)
a
Pearson Chi-Square 32.463 1 .000
Continuity Correctionb 30.346 1 .000
Likelihood Ratio 33.798 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear 32.197 1 .000
Association
N of Valid Cases 122
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.92.
b. Computed only for a 2x2 table
Crosstabs
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi- 39.211a 9 .000
Square
Likelihood Ratio 46.626 9 .000
N of Valid Cases 122
a. 8 cells (40.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is .44.
Crosstabs
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.
Value df (2-sided) sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 2.707a 1 .100
Continuity 2.098 1 .147
Correctionb
Likelihood Ratio 2.699 1 .100
Fisher's Exact Test .118 .074
N of Valid Cases 122
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.82.
b. Computed only for a 2x2 table
Crosstabs
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.
Value df (2-sided) sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square 13.000a 1 .000
Continuity 11.719 1 .001
Correctionb
Likelihood Ratio 13.233 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
N of Valid Cases 122
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 26.11.
b. Computed only for a 2x2 table
Crosstabs
Nyeri30 * Sedasi30 Crosstabulation
Sedasi30
Alert Dalam Sedasi Total
Nyeri30 Tidak Nyeri Count 7 73 80
% within 8.8% 91.3% 100.0%
Nyeri30
% within 63.6% 65.8% 65.6%
Sedasi30
% of Total 5.7% 59.8% 65.6%
Nyeri Ringan Count 4 27 31
% within 12.9% 87.1% 100.0%
Nyeri30
% within 36.4% 24.3% 25.4%
Sedasi30
% of Total 3.3% 22.1% 25.4%
Nyeri Count 0 8 8
Sedang % within .0% 100.0% 100.0%
Nyeri30
Symmetric Measures
Asymp. Std. Approx. Approx.
Value Errora Tb Sig.
Interval by Pearson's R .041 .063 .453 .651c
Interval
Ordinal by Spearman .009 .083 .096 .924c
Ordinal Correlation
N of Valid Cases 122
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Crosstabs
Nyeri1jam * Sedasi1jam Crosstabulation
Sedasi1jam
Cemas Alert Dalam Sedasi Total
Nyeri1ja Tidak Nyeri Count 0 25 29 54
m % within .0% 46.3% 53.7% 100.0%
Nyeri1jam
Symmetric Measures
Asymp. Std. Approx. Approx.
Value Errora Tb Sig.
Interval by Pearson's R -.016 .100 -.180 .858c
Interval
Ordinal by Spearman .026 .094 .280 .780c
Ordinal Correlation
N of Valid Cases 122
a. Not assuming the null hypothesis.
Crosstabs
Symmetric Measures
Asymp. Std. Approx. Approx.
Value Errora Tb Sig.
Interval by Pearson's R -.059 .144 -.645 .520c
Interval
Ordinal by Spearman .002 .106 .017 .987c
Ordinal Correlation
N of Valid Cases 122
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Crosstabs
Warnings
No measures of association are computed for the crosstabulation of
NyeriH1 * SedasiH1. At least one variable in each 2-way table upon
which measures of association are computed is a constant.
Symmetric Measures
Value
Interval by Pearson's R .a
Interval
N of Valid Cases 122
a. No statistics are computed because
SedasiH1 is a constant.
Crosstabs
Warnings
No measures of association are computed for the crosstabulation of
NyeriH2 * SedasiH2. At least one variable in each 2-way table upon
which measures of association are computed is a constant.
Symmetric Measures
Value
Interval by Pearson's R .a
Interval
N of Valid Cases 122
a. No statistics are computed because
SedasiH2 is a constant.