Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

DISHARMONISASI ANTARA MAHKAMAH KONSTITUSI DAN

MAHKAMAH AGUNG DIHUBUNGKAN DENGAN


ASAS KEPASTIAN HUKUM
(Studi Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Nomor 65
P/HUM/2018 dengan Pemohon Oesman Sapta Odang)

Angghie Permatasari1, Lusy Liany2, Amir Mahmud3


Universitas YARSI
1

e-mail: [email protected]
2 Universitas YARSI

e-mail: [email protected]
3 Universitas YARSI

e-mail: [email protected]
Diterima: 13-04--2020 Direvisi: 29-05-2020 Dipublish: 29-06-2020

Abstract: Disharmonization between the Constitutional Court's Decision and the Supreme Court's Decision
related to the case of the executive (functionary) of political parties in the nomination of DPD RI
members in the 2019 General Election. The research method used was normative juridical research,
using secondary data. The results of the discussion are: First, disharmony between the Constitutional
Court Decision Number 30 / PUU-XVI / 2018 and the Supreme Court Decision Number 65 P
/ HUM 2018 in the nomination of DPD RI members in the 2019 General Election related to the
phrase "other work" in Article 182 letter l of the Election Law. Second, as a result of the two
decisions, the Election Commission issued a KPU Regulation as the implementation of the
Constitutional Court's Decree containing a ban on the "functionary" management of political parties
not allowed to nominate as members of the DPD RI in 2019. Third, in the arguments that
contradict each other / disharmony Islamic teachings are familiar with Islamic teachings. the existence
of Ta'arud Al-Adillah by way of Al-Jam'u wa taufiq. As for the suggestions in this paper: First, it
is hoped that in the future all testing of legislation will be made as one roof in the Constitutional Court
or in the Constitutional Question. Second, the KPU is still guided by the latest PKPU in the
implementation of the coming elections as the implementation of the Constitutional Court's decision.
Kata kunci: Disharmonisasi, Pengujian, Peraturan Perundang-Undangan, Al-Jamu’ wa taufiq.

PENDAHULUAN sedangkan Mahkamah Agung sistem


peradilan yang strukturnya bertingkat
D ilihat dalam ketentuan UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah secara vertikal dan horizontal. Mahkamah
Agung pada hakikatnya “court of justice”
Agung merupakan pelaksana cabang
kekuasaan kehakiman (Judiciary). Struktur yaitu mengadili ketidakadilan untuk
kedua organ kekuasaan kehakiman ini mewujudkan keadilan sedangkan
terpisah dan berbeda sama sekali satu sama Mahkamah Konstitusi “court of law” yaitu
lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga mengadili sistem hukum dan sistem
peradilan tingkat pertama dan terakhir keadilan itu sendiri.
98 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 1, Januari-Juni 2020

Hubungan antara Mahkamah Kons- Pemilu anggota DPD bertentangan dengan


titusi dan Mahkamah Agung terkait dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
materi perkara pengujian peraturan tinggi yakni Pasal 5 huruf d dan Pasal 6 ayat
perundang-undangan. Sebagaimana diatur (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12
dalam UUD 1945, bahwa kewenangan Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A Peraturan Perundang-Undangan dan
ayat (1) yaitu mengadili pada tingkat kasasi, menyatakan ketentuan Pasal 60A Peraturan
menguji peraturan perundang-undangan di KPU tetap mempunyai kekuatan hukum
bawah undang-undang terhadap undang- mengikat dan berlaku umum sepanjang
undang sedangkan kewenangan Mahka- tidak diberlakukan surut terhadap Peserta
mah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat Pemilu anggota DPD 2019 yang telah
(1) yaitu mengadili pada tingkat pertama mengikuti Tahapan, Program dan Jadwal
dan terakhir yang putusannya bersifat final Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun
untuk menguji undang-undang terhadap 2019 berdasarkan Peraturan KPU Nomor
UUD. 14 Tahun 2018. (Putusan Mahkamah Agung
Pada tanggal 23 Juli 2018, Hakim No. 65 P/HUM/2018)
Mahkamah Kontitusi telah memutuskan Bahwa dalam hasil kedua Putusan
dalam Amar Putusan Mahkamah tersebut terjadi perbedaan baik Putusan
Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang Mahkamah Konstitusi maupun Putusan
berisi dalam Frasa “pekerjaan lain” dalam Mahkamah Agung mengakibatkan ada
Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 ketidaksamaan/disharmonisasi pada kedua
Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum putusan tersebut yang sama-sama merupa-
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak kan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan
mempunyai kekuatan hukum mengikat persoalan di atas, maka yang menjadi
secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai rumusan masalah adalah: (1) Bagaimana
mencakup pula pengurus (fungsionaris) disharmonisasi antara Putusan Mahkamah
partai politik. Awal Pemilu tahun 2019, Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan
karena proses pendaftaran calon anggota Putusan Mahkamah Agung Nomor 65
DPD telah dimulai, dalam hal ini terdapat P/HUM/2018 (2) Bagaimana akibat hukum
bakal calon anggota DPD yang juga yang ditimbulkan dari disharmonisasi
merupakan pengurus partai politik terkena antara Mahkamah Konstitusi dan
dampak oleh putusan ini, maka KPU dapat Mahkamah Agung (Studi Putusan Nomor
memberikan kesempatan kepada yang 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Nomor 65
bersangkutan untuk tetap sebagai calon P/HUM/2018 dengan Pemohon Oesman
anggota DPD sepanjang telah menyatakan Sapta Odang) (3) Bagaimana Pandangan
mengundurkan diri dari kepengurusan Islam terhadap akibat hukum yang
partai politik yang dibuktikan dengan ditimbulkan dari disharmonisasi antara
pernyataan tertulis. (Putusan Mahkamah Putusan Mahkamah Agung dan Putusan
Konstitusi No. 30/PUU-XVI/2018) Mahkamah Konstitusi.
Kemudian pada tanggal 25 Oktober
2018 Hakim Mahkamah Agung pada
METODE PENELITIAN
Putusan Nomor 65 P/HUM/2018 berisi
Pasal 60 A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun Jenis penelitian ini menggunakan
2018 Tentang Perubahan Kedua Atas yuridis normatif yaitu dilakukan dengan
Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 cara meneliti bahan-bahan pustaka dan data
tentang Pencalonan Perseorangan Peserta sekunder yang terdiri dari bahan hukum
Disharmonisasi antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum ║99

primer berisi peraturan perundang- karena telah menimbulkan ketidakpastian


undangan, bahan hukum sekunder berisi hukum, perlakuan diskriminasi, dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer bertentangan dengan asas persamaan
sebagaimana terdapat dalam buku-buku kedudukan di hadapan hukum. Isu konsti-
hukum, skripsi, artikel, jurnal hukum dan tusional tersebut, menurut Mahkamah,
bahan hukum tersier berisi kamus, dan bahwa Pemohon yang merupakan calon
ensiklopedia. anggota DPD pada Pemilu 2019 dan belum
Selanjutnya teknik pengumpulan data pernah menjadi anggota partai politik,
menggunakan studi dokumen, Studi menganggap hak konsitusionalnya atas
dokumen merupakan suatu alat pengum- kepastian hukum yang dimaksud dalam
pulan data yang dilakukan melalui data Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dapat
tertulis. Analisis data yang digunakan dirugikan oleh tidak jelasnya frasa
adalah secara kualitatif dengan mengolah “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l
dan menganalisis data-data yang ter- UU Pemilu. (Putusan Mahkamah Konsti-
kumpul menjadi sistematik, teratur, tusi, 2018: 34)
terstruktur dan mempunyai makna. Terhadap persoalan tersebut maka
hakim berpendapat bahwa perlu adanya
penegasan kembali pendirian terkait
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
dengan keanggotaan DPD RI. Sebab, Pasal
NOMOR 30/PUU-XVI/2018
182 UU Pemilu yang mengatur persyaratan
Mahkamah Konstitusi dalam salah perseorangan untuk menjadi calon anggota
satu kewenangannya sebagai penafsir final DPD tidak secara jelas menyebutkan
konstitusi (the final interpreter of the adanya larangan bagi pengurus partai
constitution) untuk menafsirkan UUD 1945. politik untuk mencalonkan diri sebagai
(Ayunita, 2017: 87) Melalui Putusan Nomor anggota DPD. Dengan tidak adanya
30/PUU-XVI/2018 yang menyatakan amar penjelasan terhadap frasa “pekerjaan lain
putusan mengabulkan permohonan yang dapat menimbulkan konflik
Pemohon untuk seluruhnya, yang mana kepentingan dengan tugas, wewenang, dan
frasa “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 hak sebagai anggota DPD sesuai dengan
huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun peraturan perundang-undangan” dalam
2017 tentang Pemilihan Umum ber- Pasal 182 huruf l UU Pemilu, timbul
tentangan dengan UUD 1945 dan tidak ketidakpastian hukum. Jika ditafsirkan
mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan bertentangan dengan hakikat
secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai DPD sebagai wujud representasi daerah
mencakup pula pengurus (fungsionaris) dan sekaligus berpotensi lahirnya
partai politik. (Putusan Mahkamah perwakilan ganda (double representation).
Konstitusi, 2018: 52) (Putusan Mahkamah Konstitusi, 2018: 49-
Permohonan Pemohon menyatakan 50)
bahwa isu konstitusionalitas dalam Pendapat penulis, Putusan Mahka-
permohonan tersebut adalah frasa mah Konstitusi yang bersifat final and
“pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l binding mengakibatkan tidak ada lagi
UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 langkah yang harus ditempuh dan putusan
100 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 1, Januari-Juni 2020

tersebut berlaku untuk seluruh masyarakat pemohon yang disimpulkan sebagai


Indonesia. Bahwa putusan tersebut adalah berikut:
pelaksanaan atas fungsi yang seharusnya (1) Bahwa pendaftaran dan verifikasi calon
dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi anggota DPD lebih dahulu di laksanakan
sebagai lembaga yang dibentuk untuk dari pada pemohonan Uji Materiil
menafsirkan konstitusi (the final interpreter of Nomor 30/PUU-XVI/2018 didaftarkan.
the constitution). (Putusan Mahkamah Agung, 2018 : 40)
(2) Bahwa sebagai tindak lanjut dari
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG termohon (KPU) mengeluarkan
NOMOR 65 P/HUM/2018
Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018
Pemohon mengajukan permohonan yang memberlakukan Peraturan tersebut
keberatan HUM terhadap pembentukan terhadap Peserta Pemilu DPD dengan
peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang kewajiban bakal calon anggota DPD
Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu yang merupakan pengurus partai politik
DPD tidak memenuhi ketentuan yang harus menyerahkan surat pernyataan
berlaku yaitu asas kelembagaan atau pengunduran diri sebagai pengurus
pejabat pembentuk yang tepat dan asas partai politik ke KPU setempat, maka
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi oleh Termohon (KPU) Pemohon
muatan sebagaimana dalam Pasal 5 huruf b (Oesman Sapta Odang) dinyatakan tidak
dan c UU No. 12 Tahun 2011 Tentang memenuhi syarat dan namanya tidak
Pembentukan Peraturan Perundang- dicantumkan dalam DCT (daftar calon
undangan. (Putusan Mahkamah Agung, tetap) anggota DPD. (Putusan
2018: 8) Mahkamah Agung, 2018 : 41)
Dalam amar putusannya Hakim Dalam permohonan Pemohon, hakim
Mahkamah Agung, “Menerima dan mempertimbangkan sebagai berikut: bahwa
mengabulkan sebagian permohonan konflik antara norma hukum berupa
pemohon, menyatakan Ketentuan Pasal Putusan Mahkamah Konstitusi yang
60A Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 kedudukannya sederajat dengan UU
bertentangan dengan peraturan perundang- dengan asas hukum berupa non retroaktive
undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 5 yaitu asas yang menekankan bahwa
huruf d dan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU No. peraturan perundang-undangan tidak
12 Tahun 2011 dan menyatakan Ketentuan boleh diberlakukan surut kebelakang.
Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun Upaya hukum yang dilakukan oleh
2018 tetap mempunyai kekuatan hukum Pemohon adalah upaya hukum untuk
mengikat dan berlaku umum sepanjang menegakkan hak-hak asasi yang dijamin
tidak diberlakukan surut terhadap Peserta oleh UUD 1945. Mahkamah Agung juga
Pemilu anggota DPD Tahun 2019 yang menimbang bahwa akibat hukum putusan
telah mengikuti Tahapan, Program dan MK yang menyatakan undang-undang
Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum (pasal atau ayat) bertentangan dengan UUD
Umum Tahun 2019. (Putusan Mahkamah 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
Agung, 2018: 46-47) hukum mengikat, terhitung sejak putusan
Dalam Putusannya Mahkamah diucapkan. Mahkamah Agung berpendapat
Agung menyatakan menerima dan menga- menganggap tidak ada dan tidak berlaku
bulkan sebagian permohonan Pemohon. lagi dan tidak melahirkan hak dan
Dengan berbagai permohonan dari kewenangan serta tidak membebankan
Disharmonisasi antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum ║101

kewajiban apapun terhadap Mahkamah Indonesia khususnya kekuasaan ke-


Agung dan Pengadilan dibawahnya untuk hakiman. Bahwa seharusnya Putusan
mengabaikan undang-undang yang di- Mahkamah Agung tersebut harus sesuai
nyatakan bertentangan dengan UUD 1945. dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
(Putusan Mahkamah Agung, 2018: 42-44) yang telah terlebih dahulu dikeluar-
Pihak Termohon (KPU) tetap kan/disahkan karena Putusan Mahkamah
memberlakukan ketentuan Pasal 60A Konstitusi setara dengan UUD 1945 sesuai
Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 dengan hierarki peraturan perundang-
secara surut (retroactive) terhadap Peserta undangan dalam UU Nomor 12 Tahun
Pemilu anggota DPD Tahun 2019 dengan 2011.
dalil pelaksanaan Putusan Mahkamah
Konstitusi. Menurut Mahkamah Agung
DISHARMONISASI PUTUSAN
peraturan tersebut tidak efektif, karena
MAHKAMAH KONSTITUSI DAN
perubahan suatu aturan disertai dengan
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
suatu kewajiban yang belum diatur pada
saat tahapan, program dan penye- The Hirarchi of Law Theory dari Hans
lenggaraan Pemilu anggota DPD Tahu 2019 Kelsen. Artinya, antara satu jenis dan
yang sedang dilaksanakan dan sedang hierarki peraturan perundang-undangan
berlangsung dapat menimbulkan persoalan yang satu dengan yang lainnya terjalin satu
hukum baru. Maka dari itu Mahkamah kesatuan nilai yang paling mendasar
Agung membatasi akibat hukum yang sampai pada suatu nilai tertinggi yang
ditimbulkan dari Putusan Hak Uji Materiil disebut dengan grundnorm (Kelsen) atau
sepanjang menyangkut kekuatan hukum staat fundamental norm (Nawiasky) yang
mengikat ketentuan Pasal 60A Peraturan telah dituangkan dalam Undang-Undang
KPU Nomor 26 Tahun 2018 yang dinyata- Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pem-
kan bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 bentukan Peraturan Perundang-Undangan,
huruf d dan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU yang selanjutnya disebut UU No. 12 Tahun
Nomor 12 Tahun 2011 sepanjang tidak 2011. Tata urutan mengandung konse-
diberlakukan surut terhadap peserta Pemilu kuensi hukum bentuk peraturan atau
anggota DPD Tahun 2019 yang telah ketetapan yang tingkatan-nya lebih rendah
mengikuti tahapan, program dan tidak boleh mengandung materi yang
penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 bertentangan dengan materi yang dimuat
berdasarkan UU Pemilu Tahun 2017. didalam suatu peraturan yang lebih tinggi.
(Putusan Mahkamah Agung, 2018: 44-45) (Safi’, 2016: 210)
Pendapat penulis, dalam Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Mahkamah Agung Nomor 65 Konstitusi memiliki kewenangan yang telah
P/HUM/2018 hakim yang memutuskan ditentukan dalam UUD 1945. (Prayoga,
berbeda dengan Putusan Mahkamah 2016: 192) Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1)
Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 UUD 1945, salah satu kewenangan yang
tersebut mengakibatkan adanya ketidak- dimiliki Mahkamah Konstitusi adalah
pastian hukum yang dihasilkan karena berwenang mengadili pada tingkat pertama
menjadi polemik dalam ketatanegaraan di dan terakhir yang putusannya bersifat final
102 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 1, Januari-Juni 2020

dan mengikat untuk menguji Undang- diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.


Undang (UU) terhadap UUD 1945. Perumusan demikian terkesan seakan
Sedangkan, terhadap pengujian peraturan kurang didasarkan atas pendalaman
perundang-undangan dibawah UU ter- konseptual berkenaan dengan konsepsi
hadap UU kewenangannya diberikan uji materi itu sendiri secara kompre-
kepada Mahkamah Agung. hensif.
Pemberian kewenangan pada 2. Pemisahan kewenangan itu masuk akal
subtansi yang sama, yakni pengujian untuk dilakukan jika sistem kekuasaan
peraturan perundang-undangan, tetapi yang dianut masih didasarkan atas
membedakan objeknya dengan organisasi prinsip pembagian kekuasaan sebagai-
yang berbeda tetapi dalam kelembagaan mana yang dianut oleh UUD 1945
negara yang sama, yakni kekuasaan sebelum mengalami perubahan pertama
kehakiman, dikemudian hari akan dan kedua, UUD 1945 setelah peru-
menimbulkan berbagai kerancuan normatif bahan telah resmi dan tegas menganut
dan kerancuan teknis. (Silalahi, 2016: 306) prinsip pemisahan kekuasaan hori-zontal
Problematika yang muncul adalah, mengutamakan prinsip checks and
jika Undang-Undang yang digunakan balances. Oleh karena itu, pemisahan
untuk menguji sedang diuji di Mahkamah antara materi undang-undang dan
Konstitusi dan ternyata diputuskan bahwa materi peraturan di bawah undang-
Undang-Undang dimaksud bertentangan undang tidak seharusnya dilakukan lagi.
dengan UUD 1945. maka menjadi tidak 3. Dalam praktik pelaksanaannya nanti,
relevan permohonan untuk menguji secara hipotetis dapat timbul
Peraturan perundangan-undangan di- pertentangan substantif antara Putusan
bawah UU, karena UU yang dijadikan Mahkamah Agung dengan Putusan
hukum pembuatan peraturan perundang- Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu,
undangan dibawah UU dalam hal ini sebaiknya sistem pengujian peraturan
peraturan KPU tidak dapat lagi berlaku. perundang-undangan di bawah kons-
(Silalahi, 2016: 306) titusi diintegrasikan saja di bawah
Menurut Jimly Asshiddiqie yang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian
dikutip oleh Taufiqurrahman Syahuri masing-masing Mahkamah dapat
(Syahuri, 2014: 39), ada empat alasan yang memfokuskan perhatian pada masalah
menyebabkan dualisme pengujian pera- yang berbeda. Mahkamah Agung
turan tersebut menjadi tidak ideal, yaitu menangani persoalan keadilan dan
sebagai berikut: ketidakadilan bagi warga negara,
1. Pemberian kewenangan pengujian sedangkan Mahkamah Konstitusi
(Judicial Review) Pemberian kewenangan menjamin konstitusionalitas keselu-
pengujian (Judicial Review) materi ruhan peraturan perundang-undangan.
undang-undang terhadap UUD kepada 4. Jika kewenangan pengujian materi
Mahkamah Konstitusi yang baru peraturan di bawah UUD 1945 sepenuh-
dibentuk mengesankan hanya sebagian nya diberikan kepada Mahkamah
tambahan perumusan terhadap materi Konstitusi, tentu beban Mahkamah
UUD 1945 secara mudah dan tambal Agung dapat dikurangi.
sulam, seakan-akan konsepsi hak uji Dualisme judicial review di Indonesia
materiil peraturan yang ada di tangan saat ini setidaknya telah menimbulkan
Mahkamah Agung tidak turut persilangan kewenangan antara Mahkamah
berpengaruh dengan hak uji yang Agung dengan Mahkamah Konstitusi.
Disharmonisasi antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum ║103

Menurut Mahfud MD, terdapat dua catatan yang diberikan kewenangan untuk
tentang bentuk ideal pengujian undang- melaksanakannya. Dengan demikian, perlu
undang di Indonesia, kedua catatan itu diakhiri pembedaan objek pengujian
adalah sebagai berikut: (Simanjuntak, 2013: peraturan perundang-undangan, yakni
317-318) seluruh peraturan perundang-undangan di
1. Idealnya Mahkamah Konstitusi ber- bawah Undang-Undang Dasar diberikan
fungsi untuk menjamin konsistensi kewenangannya kepada Mahkamah Kons-
semua peraturan perundang-undangan titusi. (Putra, 2018: 76)
sehingga lembaga ini hanya memeriksa Ide pemberlakuan satu atap
konflik peraturan perundang-undangan pengajuan judicial review di Mahkamah
mulai dari yang paling tinggi sampai Konstitusi merupakan upaya untuk
yang paling rendah derajatnya. Oleh menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi
sebab itu, kewenangan uji materil merupakan court of law, dan Mahkamah
peraturan perundang-undangan di- Agung adalah court of justice, karena judicial
bawah Undang-Undang terhadap review termasuk ke dalam ranah court of law
Undang-Undang yang lebih tinggi lebih bukan court of justice. Pengalihan wewenang
ideal jika diberikan kepada Mahkamah pengujian peraturan di bawah Undang-
Konstitusi. Dengan ide ini, konsistensi Undang dari Mahkamah Agung ke
dan singkronisasi semua peraturan Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang
perundang-undangan secara linear ada wajar. Sebagaimana disebutkan sebelum-
di satu lembaga, yakni Mahkamah nya, Mahkamah Agung adalah institusi
Konstitusi. yang sangat sibuk dengan banyaknya
2. Idealnya, Mahkamah Agung menangani perkara, sehingga pelimpahan kewenangan
semua konflik peristiwa antar-person itu akan meringankan kerja Mahkamah
dan/atau pembubaran parpol dan Agung. Sebagaimana dijelaskan Mahkamah
sebagainya dijadikan kewenangan Agung dengan jumlah SDM yang terbatas,
Mahkamah Agung, dan Mahkamah harus menangani puluhan ribu kasus tiap
Agung dibebaskan dari kewenangan tahunnya. (Al-Fatih, 2017: 253)
menguji materil peraturan perundang- Terdapat alternatif lain, dalam
undangan. pengujian peraturan perundang-undangan
Pemisahan objek dan subjek selain pemberlakuan pengujian satu atap
pengujian peraturan perundang-undangan yaitu Constitutional question. Constitutional
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24A question dalam arti khusus merujuk pada
ayat (1) dan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 suatu mekanisme pengujian konsti-
mengandung kelemahan dalam pelaksa- tusionalitas UU dimana seorang hakim
naannya. Sebab apabila terjadi perbedaan (dari pengadilan umum) yang sedang
keputusan terhadap objek yang diuji yang mengadili suatu perkara menilai atau ragu-
memiliki keterkaitan normatif secara ragu akan konstitusionalitas UU yang
vertikal, maka akan dapat menimbulkan berlaku untuk perkara itu, maka ia
kekacauan baik segi pelaksanaan putusan, mengajukan "pertanyaan konstitusional" ke
maupun segi tertib hukum. Pembedaan Mahkamah Konstitusi (mengenai
objek pengujian hanya berkaitan lembaga konstitusional tidaknya undang-undang
104 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 1, Januari-Juni 2020

ini). Kemudian Mahkamah Konstitusi tusional dapat memaksimalkan peran


hanya memutus persoalan konsti- Mahkamah Konstitusi sebagai guardian of
tusionalitas undang-undang itu dan bukan citizen’s constitutional rights, karena tidak
memutus kasus. hanya memberikan pelindungan melalui
Dalam mekanisme pelaksanaannya, pengujian abstrak saja, namun juga
Pemohon constitutional question, baik bagi pengujian konkrit agar dapat memberikan
hakim peradilan umum maupun pihak pelindungan secara holistik terhadap hak-
yang berperkara, dapat mengajukan proses hak konstitusional warga negara. (Xavier
permohonannya melalui kepaniteraan Nugraha, Ave Maria Frisa Katherina, Safira
pengadilan tersebut untuk selanjutnya Noor Ramadanty, 2019: 146)
diproses oleh Ketua Pengadilan dan Oleh karena itu, maka idealnya
diajukan ke Mahkamah Konstitusi dalam pengujian materi oleh lembaga yudikatif
bentuk serupa dengan constitutional review. (judicial review) untuk semua tingkatan
Kemudian, perlu diatur mengenai hierarki dilakukan oleh satu lembaga saja
kualifikasi pemohon constitutional question atau dilakukan dengan constitutional
apakah hanya dibatasi bagi hakim question agar konsistensi pemikiran dan isi
peradilan umum, terbatas bagi hakim dari semua peraturan perundang-
Mahkamah Agung, atau terbuka bagi pihak undangan tersebut lebih terjamin dan
yang berperkara. Terakhir, pembatasan terwujud singkronisasi dan harmonisasi
waktu penanganan perkara constitutional antar peraturan perundang-undangan
question perlu juga diatur dengan mulai yang paling tinggi sampai yang
memperhatikan batas waktu penanganan paling rendah. Karena menurut Mahfud
perkara dari setiap lembaga peradilan MD, “idealnya Mahkamah Konstitusi
umum. (Faiz, 2018: 705) menangani konflik peraturan dalam semua
Di Indonesia, persoalan constitutional tingkatan, sedangkan Mahkamah Agung
question akan muncul dalam tiga kondisi, menangani konflik orang/lembaga pada
yaitu: Pertama, jika suatu pengadilan semua tingkatan.” (Nanang Al-Hidayat,
menganggap bahwa suatu UU tidak 2018: 325)
konstitusional dengan Konstitusi Negara
bagian (Land) ataupun konstitusi Federal
AKIBAT HUKUM YANG DITIMBUL-
(Bundesgesetz). Kedua, jika suatu pengadilan
KAN DARI DISHARMONISASI
menganggap bahwa suatu UU Negara
ANTARA PUTUSAN MAHKAMAH
bagian tidak sesuai dengan UU Federal.
KONSTITUSI DAN PUTUSAN
Ketiga, suatu pengadilan selama ber-
MAHKAMAH AGUNG
langsungnya persidangan dalam suatu
kasus merasa ragu apakah suatu ketentuan Prinsip utama yang harus dipegang
hukum internasional merupakan bagian teguh di dalam setiap negara hukum ialah
dari UU Federal dan apakah ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
hukum internasional itu secara langsung rendah tidak boleh bertentangan dengan
melahirkan hak dan kewajiban pada peraturan perundang-undangan yang lebih
individu. tinggi. Peraturan perundang-undangan
Pengadopsian tersebut dapat melalui yang lebih rendah tidak boleh menyimpang
penambahan kewenangan Mahkamah atau mengesampingkan atau bertentangan
Konstitusi dengan adanya mekanisme dengan peraturan perundang-undangan
constitutional question melalui concrete review yang lebih tinggi tingkatannya. (Tabah Ikrar
sebagai bagian dari pengujian konsti- Prasetya, 2017: 99)
Disharmonisasi antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum ║105

Misalnya ketika Mahkamah Konsti- mencakup pula pengurus (fungsionaris)


tusi melakukan pengujian terhadap sebuah partai politik. Artinya, para calon anggota
UU “A” terhadap UUD 1945 dan disaat DPD harus melepas sebagai pengurus
yang sama Mahkamah Agung juga partai politik mulai dari tingkat pusat
melakukan pengujian terhadap sebuah sampai tingkat rendah. Mahkamah
peraturan perundang-undangan di bawah Konstitusi mempertimbangkan filosofis dan
undang-undang “B” yang merupakan semangat konstitusional dibentuknya DPD
derivasi dari UU “A”. Secara bersamaan sebagai representasi daerah. (Faiz, 2018: 68)
dalam pengujian tersebut Mahkamah Pada faktanya, sebanyak 70 dari 132
Konstitusi memutuskan bahwa UU “A” anggota DPD (53%) periode 2014-2019 telah
tersebut bertentangan dengan UUD 1945 menjadi anggota partai politik dengan
namun dalam putusan Mahkamah Agung sebagian di antaranya menjadi pengurus
ternyata diputuskan bahwa produk hukum aktif di tingkat pusat. Akibatnya, telah
“B” berkesesuaian dengan UU “A”. terjadi perwakilan ganda (double represent-
(Sudirman, 2016: 51) tation) dari representasi partai politik
Dengan persinggungan kewenangan (political representation) yang seharusnya
pengujian peraturan perundang-undangan telah terwakili di dalam Dewan Perwakilan
antara Mahkamah Konstitusi dan Rakyat (DPR). Sementara itu, fungsi DPD
Mahkamah Agung sebagaimana telah sebagai representasi daerah (regional
dijelaskan sebelumnya, bahwa daya berlaku representation) sesuai desain ketatanegaraan
dan daya jangkau Putusan Mahkamah pasca amendemen UUD 1945. (Faiz, 2018:
Konstitusi tersebut berhubungan erat 68)
dengan sifat Putusan Mahkamah Konstitusi Anggota MPR merupakan derivasi
adalah final. Dalam penjelasan Pasal 10 anggota DPR dan DPD, keduanya dipilih
Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang oleh rakyat secara langsung dari daerah
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah tertentu, bedanya bahwa anggota DPR
dengan UU No. 8 Tahun 2011. Sehingga dipilih melalui pemilihan umum dengan
norma yang telah dinyatakan bertentangan jumlah penduduk tertentu yang diwakili
dengan UUD 1945 tidak lagi dapat melalui partai politik, sedangkan anggota
dijadikan dasar hukum untuk mengambil DPD dipilih melalui pemilihan umum
tindakan atau putusan. (Isra, 2015: 24-25) mewakili masyarakat pada wilayah tertentu
Berdasarkan Putusan Mahkamah tidak melalui partai politik, bagi aspirasi
Agung dan Putusan Mahkamah Konstitusi, daerah dalam pembuatan kebijakan
dalam proses pencalonan DPD dalam nasional, dalam rangka mekanisme check
Pemilu 2019 mengalami persoalan konsti- and balances. Hal ini penting untuk
tusional dari sisi keabsahan hukumnya. Hal diketahui agar dapat membedakan keter-
ini dikarenakan adanya pertentangan wakilan ganda dengan mengartikan fungsi
makna antara Putusan Mahkamah parleman yang dijalankan oleh DPR dan
Konstitusi dan Putusan Mahkamah Agung. DPD. (Pasaribu, 2010: 47)
Dalam amarnya, Mahkamah Konstitusi Menindaklanjuti Putusan Mahkamah
menyatakan bahwa frasa “pekerjaan lain” Konstitusi tersebut, Komisi Pemilihan
dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan
106 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 1, Januari-Juni 2020

KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang tanggal 25 Oktober 2018 dengan amar
Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi putusannya, Mahkamah Agung menyata-
Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2018 kan bahwa ketentuan persyaratan
tentang Pencalonan Perseorangan Peserta pencalonan anggota DPD yang telah
Pemilihan Umum Anggota DPD tertanggal diubah berdasarkan Pasal 60A Peraturan
9 Agustus 2018. Peraturan ini mengubah KPU Nomor 26 Tahun 2018 tetap mem-
ketentuan dalam pencalonan perseorangan punyai kekuatan hukum mengikat dan
peserta Pemilu anggota DPD sebagaimana berlaku umum sepanjang tidak diberlaku-
Putusan Mahkamah Konstitusi. kan surut terhadap peserta Pemilu anggota
Bahwa setelah adanya Peraturan KPU DPD yang telah mengikuti tahapan,
Nomor 26 Tahun 2018, muncullah Putusan program, dan jadwal penyelenggaraan
Mahkamah Agung yang menjatuhkan Pemilu berdasarkan Peraturan KPU Nomor
Putusan Nomor 65 P/HUM/2018 ter- 7 Tahun 2017.
Kronologi Pencalonan Anggota DPD RI (Kasus Oesman Sapta odang)

19 Januari 2018 19 Juli 2018


12-18 Juli 2018

KPU membuka pendaftaran OSO masuk dalam daftar


KPU memverifikasi administrasi
calon anggota DPD RI calon sementara DPD
syarat calon anggota DPD RI
(DCS) oleh KPU

18 Agustus 2018 9 Agustus 2018 23 Juli 2018

KPU Mengumumkan KPU mengeluarkan Mahkamah Konstitusi


Verifikasi Faktual Peraturan KPU Nomor 26 mengeluarkan Putusan
Tahun 2018 Nomor 30/PUU-
XVI/2018

1 September 2018 20 September 2018 25 Oktober 2018

KPU mengeluarkan Keputusan KPU mengeluarkan keputusan Mahkamah Agung


tentang penetapan daftar tentang penetapan daftar calon mengeluarkan Putusan
calon sementara tetap (DCT) DPD Nomor 65 P/HUM/2018

Dengan melihat pada kronologis dan dan Daftar Calon tetap (DCT) keduanya
tahapan pencalonan anggota DPD di atas secara normatif dikeluarkan pasca
maka sebenarnya tidak ada asas-asas dijatuhkannya putusan Mahkamah Konsti-
pembentukan peraturan perundang- tusi dengan didasarkan pada Peraturan
undangan yang dilanggar dalam Peraturan KPU yang telah diubah demi menjalankan
KPU Nomor 26 Tahun 2018 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (Faiz, 2018:
pertimbangan hakim dalam putusan 68)
Mahkamah Agung. KPU telah tepat Oleh karena itu, menjadi tidak tepat
menerapkan asas prospektif putusan apabila ada yang menyatakan bahwa KPU
Mahkamah Konstitusi yang berlaku memberlakukan surut ketentuannya
kedepan. Sebab, keputusan KPU mengenai dengan alasan pada saat itu telah masuk
penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) tahap pendaftaran dan verifikasi adminis-
Disharmonisasi antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum ║107

trasi syarat calon anggota DPD Tahun 2019. banding, kasasi dan lainnya. Putusan
Kondisi demikian telah dipertimbangkan Mahkamah Konstitusi meniadakan satu
secara khusus di dalam Putusan keadaan hukum atau menciptakan hak atau
Mahkamah Konstitusi dengan menegaskan kewenangan tertentu akan membawa
bahwa bakal calon anggota DPD yang akibat tertentu yang mempengaruhi satu
kebetulan merupakan pengurus (fungsio- keadaan hukum atau hak dan/atau
naris) partai politik dan terkena dampak kewenangan (Prang, 2011: 87)
Putusan Mahkamah Konstitusi, maka tetap Perbedaan penafsiran antara
harus diberikan kesempatan sebagai calon Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
anggota DPD tersebut sepanjang telah Agung terjadi karena objek yang diuji
menyatakan mengundurkan diri dari berbeda, sebab bagi Mahkamah Konstitusi
kepengurusan Partai Politik. Dengan sifat UU diuji terhadap UUD 1945 sedangkan
putusannya yang erga omnes, maka Mahkamah Agung menguji peraturan
Putusan Mahkamah Konstitusi harus perundang-undangan di bawah UU
dijalankan oleh seluruh pihak dan lembaga terhadap UU. Apabila terjadi perbedaan
negara, termasuk penyelenggara Pemilu penafsiran tersebut, maka yang semestinya
dan lembaga peradilan. (Faiz, 2018: 68) diikuti adalah penafsiran yang dilakukan
Bahwa akibat dari Putusan Mah- oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab,
kamah Konstitusi sejak diucapkan di penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah
hadapan sidang terbuka untuk umum, Konstitusi didasarkan pada norma
dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu konstitusi. Sementara sumber yang menjadi
1) kekuatan mengikat, 2) kekuatan dasar penafsiran Mahkamah Agung adalah
pembuktian, dan 3) kekuatan eksekutorial. UU itu sendiri. (Isra, 2015: 27)
Kekuatan mengikat Putusan Mahkamah Akibat hukum yang ditimbulkan dari
Konstitusi, berbeda dengan putusan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dan
pengadilan biasa, tidak hanya meliputi putusan Mahkamah Agung ialah me-
pihak-pihak berpekara yaitu Pemohon, nimbulkan ketidakpastian hukum dalam
Pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak ketatanegaraan di Indonesia. Berdasarkan
terkait yang diizinkan memasuki perkara, penjelasan sebelumnya akibat dari putusan
tetapi putusan tersebut juga mengikat bagi MK adalah berdampak bagi proses
semua orang, lembaga negara dan badan pendaftaran calon anggota DPD untuk
hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Pemilu 2019 yang sedang dilaksanakan
(Prang, 2011: 86) terutama bagi calon anggota DPD yang
Hakim Mahkamah Konstitusi dikata- kebetulan merupakan pengurus partai
kan sebagai negative legislator yang politik seperti Oesman Sapta Odang sebagai
putusannya bersifat erga omnes, yang Ketua Umum Partai Hanura yang terkena
ditujukan kepada semua orang. Berbeda dampak putusan ini. (Mahkamah
dengan Putusan Mahkamah Agung bersifat Konstitusi, 2018: 18)
inter partes yang hanya mengikat para Sedangkan, akibat hukum dari
pihak bersengketa dan lingkupnya putusan Mahkamah Agung itu sendiri
merupakan peradilan umum, diperkenan- tidak memberikan efek apapun terhadap
kan melakukan upaya hukum seperti kelangsungan dari pendaftaran pencalonan
108 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 1, Januari-Juni 2020

anggota DPD pada Pemilu 2019, ukur dalam menilai materi gugatan dan
dikarenakan yang diputuskan oleh hakim pembuktian sengketa Pemilu dalam
Mahkamah Agung tidak mengikuti pelaksanaan Pemilu. (Firdaus, 2014: 211)
penafsiran yang telah dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi pada Putusan
PANDANGAN ISLAM TERHADAP
Mahkamah Konstitusi sebelumnya dan
AKIBAT HUKUM YANG DITIMBUL-
Putusan Mahkamah Agung tidak dapat
KAN DARI DISHARMONISASI
diberlakukan dikarenakan kehilangan dasar
ANTARA PUTUSAN MAHKAMAH
berpijaknya (UU No. 12 Thn. 2011).
KONSTITUSI DAN PUTUSAN
Mahkamah Agung dan Mahkamah
MAHKAMAH AGUNG.
Konstitusi sama-sama memiliki wewenang
pengujian peraturan perundang-undangan, Disharmonisasi/kontradiksi dalam
namun dengan berbedanya jenis dan pandangan Islam dikenal dengan ta’arud al-
hierarki peraturan perundang-undangan adillah. Ta’arud dalam bahasa yang artinya
yang diuji, maka penafsiran peraturan saling berlawanan antara dua hal atau lebih.
peraturan perundang-undangan yang Ta’arud al-adillah adalah kontradiksi antara
dilakukan dua lembaga tersebut mesti kandungan salah satu dari dua dalil yang
tunduk pada sistem hierarki peraturan sama derajatnya dengan dalil lainnya.
Perundang-undangan yang berlaku. (Isra, Kontradiksi yang terjadi bisa antara ayat al-
2015: 29) Qur’an dengan ayat al-Qur’an, hadis
Selain dilihat dari kedua akibat mutawatir dengan hadis mutawatir, hadis
hukum yang ditimbulkan dari masing- ahad dengan hadis ahad, dan antara kias
masing putusan baik dari Mahkamah dengan kias yang lain. (Dahliah, 2013: 31)
Konstitusi maupun Mahkamah Agung, Ada pula yang mengemukakan sebab
dapat dilihat juga melalui aspek ke- terjadinya ta’arud ialah: Pertama, ta’arud
wenangan penyelesaian sengketa Pemilu. terjadi karena adanya perbedaan bacaan;
Performa sistem penyelenggaraan Pemilu Kedua, tidak adanya pengetahuan sejarah
yang baik dilihat dari sejauh mungkin datangnya suatu dalil; Ketiga, terdapatnya
dapat mengantisipasi dan meminimalisir beberapa gabungan makna suatu lafal;
terjadinya pelanggaran dan sengketa Keempat, terjadinya pemberitaan terhadap
Pemilu. Jikapun berbagai pelanggaran dan beberap hal dan masalah yang berbeda.
keberatan hingga berakhir dengan sengketa Perbedaan bacaan suatu dalil dapat
sulit dihindari, tetapi senantiasa tersedia menyebabkan terjadi perbedaan makna.
mekanisme kelembagaan yang kapabel, (Dahliah, 2013: 46)
transparan, akuntabel, efesien, efektif, Teori penyelesaian Kontradiksi dalam
sederhana, dan kepastian hukum dalam hukum Islam menjelaskan beberapa konsep
menyelesaikan berbagai keberatan dan untuk menghilangkan kontraiksi antara
sengketa untuk memulihkan hak-hak dalil hukum sebagai berikut:
warga negara yang terlanggar dan 1. Al-Jam’u wa taufiq (kompromi)
kepercayaan terhadap Pemilu serta
pemerintah terpilih. Kesederhanaan proses Metode al-jam’u wa taufiq,
penyelesaian sengketa Pemilu tidak hanya menegaskan bahwa tidak ditemukan
terletak pada hukum acara atau dua hadis yang bertentangan kecuali ada
proseduralnya saja tetapi juga terkait jalan penyelesaiannya. Ada kemung-
dengan substansi pengaturan setiap kinan antara dua hadits yang
tahapan pemilu yang jelas sebagai tolak bertentangan itu, satu harus dipahami
Disharmonisasi antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum ║109

secara umum dan yang lain dipahami “fungsionaris” partai politik sedangkan
secara khusus. Kemungkinan kedua, Peserta yang telah mengikuti tahapan
hadits yang bertentangan terjadi karena sebelum adanya putusan itu tetap
situasi yang berbeda. Untuk memahami menggunakan peraturan perundang-
hadits-hadits seperti ini dengan baik dan undangan yang lama.
benar harus melihat dan mempertim- 2. At-Ta’wil
bangkan situasi atau kondisi yang
berbeda tersebut. (Aliyah, 2014: 8) Menurut pandangan para ulama
Pendapat Penulis, bahwa berdasar- tentang ta’wil, ta’wil dipandang sebagai
kan kasus antara Putusan Mahkamah sinonim dari kata tafsir. Menurut para
Konstitusi dan Putusan Mahkamah ulama adalah menafsirkan kata-kata dan
Agung menurut pandangan Islam jika menjelaskan artinya terlepas dari apakah
dilakukan melalui al-jam’u wa taufiq arti itu sesuai dengan apa yang tersurat
(kompromi) maka kedua putusan atau berbeda. (Supriadi, 2019: 130)
tersebut tetap bisa diterapkan dengan 3. Nasakh
analisis sebagai berikut bahwa Putusan
Secara etimologi, nasakh berarti
Mahkamah Konstitusi yang telah
menghilangkan (izalah), menyalin (naql),
diputuskan oleh hakim Mahkamah
dan mengalihkan (tahwil). Nasakh yaitu
Konstitusi dengan amar putusan yaitu
usaha penyelesaian yang apabila dapat
frasa “pekerjaan lain” ditafsirkan sebagai
diketahui pasti bahwa satu diantara dua
pengurus “fungsionaris” partai politik,
dalil yang diduga berbenturan itu lebih
maka syarat seorang anggota DPD
dahulu turun atau berlaku, sedangkan
Tahun 2019 tidak boleh dari pengurus
yang satu lagi belakangan turunnya atau
“fungsionaris” partai politik dan putusan
berlakunya, maka yang datang belaka-
ini berlaku bagi seluruh elemen
ngan itu dinyatakan berlaku untuk
masyarakat.
seterusnya dan yang datang lebih dahulu
Maka jika dilakukan penyelesaian
tidak berlaku lagi dengan sendirinya.
melalui al-jam’u wa taufiq (kompromi)
(Azhar, 2018: 393)
maka Putusan Mahkamah Konstitusi ini
Pendapat Penulis, bahwa berdasarkan
dapat diberlakukan umum sepanjang
kasus antara Putusan Mahkamah Konstitusi
tidak diberlakukan surut terhadap
dan Putusan Mahkamah Agung jika dilihat
Peserta Pemilu anggota DPD Tahun 2019
dari alur pemberlakuannya menurut
yang telah mengikuti Tahapan, Program,
pandangan Islam dalam penyelesaian
dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu
nasakh. Bahwa UU yang sebagai batu uji
Tahun 2019 seperti hasil Putusan
oleh Mahkamah Konstitusi ialah UU
Mahkamah Agung, sedangkan Peserta
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Pemilu anggota DPD Tahun 2019 yang
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
belum mengikuti Tahapan, Program dan
yang diputus tahun 2018 dengan amar
Jadwal Penyelenggaraan Pemilu dapat
putusan bahwa frasa “pekerjaan lain”
diberlakukan Putusan Mahkamah
ditafsirkan sebagai pengurus “fungsionaris”
Konstitusi yang mensyaratkan calon
partai politik yang berarti mensyaratkan
anggota DPD tidak boleh dari pengurus
110 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 1, Januari-Juni 2020

bahwa setiap Peserta Pemilu Anggota DPD tidak mengikuti persyaratan pencalonan
Tahun 2019 tidak boleh dari pengurus anggota DPD Tahun 2019 maka tidak dapat
“fungsionaris” partai politik. lanjut pada tahapan selanjutnya termasuk
Maka setelah ada nya hasil putusan Oesman Sapta Odang sebagai salah satu
Mahkamah Konstitusi ini KPU mengeluar- peserta yang telah mengikuti tahapan
kan Peraturan KPU terbaru Nomor 26 sebelumnya.
Tahun 2018 Perubahan Kedua Atas Dalam pandangan Islam akibat
Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 yang adanya kontradiksi/disharmonisasi dikenal
menambahkan syarat Peserta Pemilu DPD yaitu Ta’arud Al-Adillah yang merupakan
2019 tidak boleh dari pengurus perbedaan dalil-dalil yang dapat diselesai-
“fungsionaris” partai politik jika telah kan dengan beberapa penyelesaian yaitu
mengikuti tahapan pendaftaran maka harus Al- Jam’u wa taufiq (kompromi), At – Ta’wil
melampirkan surat pengunduran diri dari (menafsirkan apa yang berbeda), dan
partai politik. Bahwa setelah dikeluarkan Nasakh (menghilangkan diantara dua dalil
Putusan Mahkamah Konstitusi dan dengan cara menghapus peraturan
dikuatkan dengan Peraturan KPU terbaru perundangan-undangan yang telah diber-
maka yang datang belakangan itu dinyata- lakukan sebelumnya dengan memberlaku-
kan berlaku untuk seterusnya dan yang kan kembali peraturan perundang-
datang lebih dahulu tidak berlaku lagi undangan baru yang telah disahkan).
dengan sendirinya (Pasal 182 huruf L UU Bahwa penyelesaian tersebut agar
Pemilu). mendapatkan kepastian hukum dari kedua
putusan/dalil yang saling berkontradiksi.
Untuk kasus yang diteliti oleh penulis cara
KESIMPULAN
melakukan harmonisasinya dengan cara Al-
Putusan Mahkamah Agung yang jam’u wa taufiq.
berbeda dengan putusan Mahkamah
Konstitusi telah mengakibatkan terjadinya Saran
disharmonisasi dalam kekuasaan kehaki- Putusan Mahkamah Agung yang
man, dimana putusan yang berbeda tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah
tersebut mengakibatkan ketidakpastian Konstitusi menimbulkan disharmonisasi
hukum bagi instansi atau elemen pada kekuasaan kehakiman dalam
masyarakat. Seharusnya Putusan Mahka- pengujian peraturan perundang-undangan.
mah Agung yang diputus tersebut harus Terdapat dua cara agar tidak menimbulkan
berpedoman pada Putusan Mahkamah disharmonisasi: Pertama, semua pengujian
Konstitusi yang telah diputuskan terlebih peraturan perundang-undangan dijadikan
dahulu. Mengingat batu uji yang dijadikan satu atap ke Mahkamah Konstitusi. Kedua,
landasan dalam putusan masing-masing, dapat dilakukan dengan memberlakukan
dimana Putusan Mahkamah Konstitusi Constitutional Question di Indonesia dengan
berpedoman kepada UUD 1945 sedangkan mekanisme pelaksanaan bagi hakim-hakim
Putusan Mahkamah Agung berpedoman Peradilan Umum maupun pihak-pihak
kepada UU. yang berperkara dapat mengajukan
Akibat hukum dari Putusan permohonan berupa pertanyaan yang
Mahkamah Konstitusi dan Putusan dilakukan melalui Peradilan Umum dan
Mahkamah Agung yaitu Komisi Pemilihan kemudian diajukan ke Mahkamah
Umum tetap berpedoman pada Putusan Konstitusi. Kedua cara tersebut agar
Mahkamah Konstitusi maka peserta yang mendapatkan kepastian hukum yang jelas.
Disharmonisasi antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum ║111

DAFTAR PUSTAKA Pasaribu, P. (2010). Kedudukan dan


Al-Fatih, S. (2017). Model Pengujian Fungsi Dewan Perwakilan Daerah
Peraturan Perundang-Undangan (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan
Satu Atap Melalui Mahkamah Indonesia. Jurnal Yuriska, II(2).
Konstitusi. Legality Jurnal Ilmiah Prang, A. J. (2011). Implikasi Hukum
Hukum, 25(2). Putusan Mahkamah Konstitusi.
Aliyah, S. (2014). Teori Pemahaman Ilmu Jurnal Ilmu Hukum, XIII(53).
Mukhtalif Hadits. Prayoga, R. T. (2016). Penerapan Asas
Ayunita, K. (2017). Pengantar Hukum Kepastian Hukum Dalam Peraturan
Konstitusi dan Acara Mahkamah Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
Konstitusi. Jakarta: Penerbit Mitra 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan
Wacana Media. Dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005
Azhar, I. S. (2018). Kontradiksi Al-Qur’an Tentang Pedoman Beracara Dalam
dan Hadis. Jurnal Pendidikan Dan Pengujian Undang-Undang. Jurnal
Keislaman, I(2). Legislasi Indonesia, XIII(2).
Dahliah. (2013). Metode Penyelesaian Putra, A. (2018). Dualisme Pengujian
Ta’arud Al-Adillah dan Implikasinya Peraturan Perundang-Undangan.
terhadap Penetapan Hukum Islam. Jurnal Legislasi Indonesia, XV(2).
Universitas Islam Indonesia
Alauddin, Makasar. Putusan Mahkamah Agung No. 65
P/HUM/2018.
Faiz, P. M. (2018). Sengkarut Syarat Calon
Anggota DPD. Jurnal: Mahkamah Putusan Mahkamah Konstitusi No.
Konstitusi, 141. 30/PUU-XVI/2018.

Firdaus. (2014). Penyelesaian Sengketa Safi’. (2016). Urgensi Penyatuan


Pemilu sebagai upaya memulihkan Kewenangan Pengujian Peraturan
kepercayaan dan memperkuat Perundang-Undangan Oleh
Legitimasi Pemerintahan Demokrasi. Lembaga Peradilan (Judicial Review)
Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Di Indonesia. Rechtidee, XI(2).
VIII(2). Silalahi, D. (2016). Kewenangan Yudisial
Isra, S. (2015). Titik Singgung Wewenang Review Mahkamah Agung Terhadap
Mahkamah Agung Dengan Peraturan Perundang-Undangan di
Mahkamah Konstitusi. Jurnal Hukum Bawah Undang-Undang. Jurnal
Dan Peradilan, IV(1). Untan, III(3).

Nanang Al-Hidayat, M. S. (2018). Simanjuntak, E. (2013). Kewenangan Hak


Dualisme Judicial Review Peraturan Uji Materiil pada Mahkamah Agung
Perundang-Undangan di Indonesia. RI. Jurnal Hukum Dan Peradilan, II(3).
Jurnal Magister Hukum Udayana, Sudirman. (2016). Memurnikan
XVII(3). Kewenangan Mahkamah Konstitusi
112 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 19, Nomor 1, Januari-Juni 2020

Sebagai Lembaga Pengawal Tabah Ikrar Prasetya, J. H. (2017).


Konstitusi (the guardian of the Tinjauan Yuridis Tentang
constitution). Jurnal Ilmiah Pendidikan Disharmonisasi Peraturan Daerah Di
Pancasilan Dan Kewarganegaraan, I(1). Kabupaten Magelang (Studi
Terhadap Peraturan Daerah nomor 2
Supriadi. (2019). Analisis pandangan
Tahun 2013 Tentang Usaha
Ibnu Taimiyah tentang kedudukan
Peternakan). Jurnal Hukum Khaira
ta’wil dalam memahami al-Qur’an.
Ummah, XII(1).
Asy-Syukriyyah, XX(1).
Xavier Nugraha, Ave Maria Frisa
Syahuri, T. (2014). Pengkajian Konstitusi
Tentang Problematika Pengujian Katherina, Safira Noor Ramadanty,
Peraturan Perundang- Undangan. E. P. T. (2019). Constitutional
Jakarta. Question: Alternatif Baru
Pelindungan Hak Konstitusional
Warga Negara Melalui Concrete
Review di Indonesia. Jurnal Negara
Hukum, X(1).

You might also like