Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/344794593

Tradisi Meruang Masyarakat Tradisional Sasak Sade di Lombok Tengah

Conference Paper · November 2015

CITATIONS READS
0 30

1 author:

Ni Ketut Agusintadewi
Udayana University
44 PUBLICATIONS   19 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ni Ketut Agusintadewi on 21 October 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

TRADISI MERUANG
MASYARAKAT TRADISIONAL SASAK SADE DI LOMBOK TENGAH

Ni Ketut Agusinta Dewi


Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana
Email: [email protected]

Abstract
In the light of building patterns, spatial planning, building materials, building characteristics and its
orientations, created and developed spaces in Traditional Village of Sade obviously have a strong
connection to Hinduism in Bali. The hill which is around this village is believed as a meeting point of
microcosms and macrocosms. Meanwhile, balance cosmology is placed in their settlement. Their belief
system affects the people live in transcendental harmony, in particular, the macrocosm. Empty spaces
that are in the middle of a group of buildings, therefore, are functioned as a dialogue place with the
macrocosm. The spreading of Islamic culture in Lombok has brought a uniqueness of previous cultural
systems. This paper describes a group of phenomena above to reveal various kinds of traditional
creating spaces of Sasak Sade regarding belief system, social system, spatial pattern, and architectural
forms. These kinds of the phenomenon have collected from the field in two ways: observation and
interview to the customary leader in regards to exploring and to preserve the richness of Nusantara’s
culture.
Keywords: the tradition of creating spaces, traditional community, Sasak Sade

Abstrak
Ruang-ruang yang terbentuk dan berkembang di Dusun Sade memiliki pertalian yang erat dengan
budaya Hindu di Bali. Ini terlihat jelas pada pola massa bangunan, penataan ruang, penggunaan
bahan bangunan, bahkan pada garis besar karakter dan orientasi bangunannya. Puncak bukit
dimaknai sebagai ruang pertemuan antara alam besar (makrokosmos) dan alam kecil
(mikrokosmos). Keseimbangan dari kedua alam tersebut terletak pada permukimannya. Nilai-nilai
filosofi yang dianut menyebabkan masyarakat dusun ini memiliki kehidupan yang selaras dengan
alam atas, sehingga ruang-ruang kosong di tengah kelompok hunian difungsikan sebagai tempat
dialog dengan alam atas tersebut. Penyebaran agama Islam di Lombok telah membawa keunikan
pada tatanan budaya yang telah ada. Tulisan ini memaparkan sejumlah fenomena di atas guna
menemukenali tradisi meruang masyarakat Sasak Sade yang bertalian erat dengan sistem
kepercayaan, sistem kemasyarakatan, pola permukiman, dan perwujudan arsitekturnya. Sejumlah
fenomena tersebut dihimpun dari pengamatan langsung dan wawancara kepada tetua adat dalam
upaya menggali dan melestarikan kekayaan budaya Nusantara sebagai aset tak ternilai.
Kata kunci: tradisi meruang, masyarakat tradisional, Sasak Sade

SUKU SASAK DAN ASAL-USULNYA

Penduduk asli Pulau Lombok adalah Suku Sasak yang mayoritas beragama Islam. Suku ini
sangat dinamis dan mudah menerima hal-hal baru yang berasal dari luar. Sebagaimana
umumnya masyarakat-masyarakat tradisional di Nusantara, mereka hidup secara
kekeluargaan dan bergotong-royong dengan mengikuti pola patrilineal. Dengan demikian,
segala sesuatu dalam sistem keadatan diatur dan ditentukan oleh pihak laki-laki. Hal ini
berpengaruh pada pola hunian dan pembentukan kelompok hunian keluarganya.

Catatan lama menyebutkan bahwa Lombok adalah tanah koloni Jawa Timur. Arti Sasak sendiri
diambil dari kata sesek atau rakit bambu. Istilah ini terkait dengan karakter orang Sasak yang
sering menyeberangi selat-selat dengan menggunakan rakit bambu. Kata Lombok (di jaman

127
Majapahit) juga terdapat dalam Kitab Negarakertagama, karya Empu Prapanca. Van der Kraan
mengatakan bahwa Lombok disebut pertama kali oleh pelaut Bugis dan pelaut Portugis pada
abad XVI, sesuai dengan nama pelabuhan kecil di sebelah timur Pulau Lombok.

Lombok juga mempunyai sebutan lain, yaitu Selaparang. Pulau ini memiliki tradisi yang lebih
tua dari tradisi Bali. Ini dapat ditelusuri pada tradisi masyarakat Desa Sembalun, di sekitar
kaki Gunung Rinjani. Mereka menyatakan bahwa dirinya keturunan Hindu-Jawa yang
bermukim di sana untuk menjaga makam salah seorang raja Majapahit. Dalam perjalanan
sejarah, Bali dan Lombok yang bertetangga tersebut, sering bersentuhan, sehingga terjadi
migrasi penduduk dari Bali ke Lombok, terutama di Lombok Barat. Akibat pertemuan antar
etnis, telah terjadi akulturasi dan asimilasi selama berabad-abad. Saat ini, masyarakat
tradisional Sasak yang masih asli dan masih melakukan pelestarian tradisi dan budayanya
terdapat di Desa Bonjeruk, Desa Sengkol, Dusun Sade, dan Desa Sembalun di kaki Gunung
Rinjani.

Gambar 1. Dusun Sade dan Kawasan Wisata Pantai Kute (arah jarum jam)
(1) Suasana pintu masuk Dusun Sade dengan pola permukiman yang unik.
(2) Pajangan kain hasil tenunan masyarakat dusun ini memiliki motif dan corak yang khas.
(3) Kawasan wisata Pantai Kute di Lombok Selatan yang sejalur wisata dengan Dusun Sade.
(Sumber foto: Dewi, 2011)

Dusun Sade yang terletak di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, merupakan salah
satu dusun tradisional Sasak yang masih asli. Rumah tradisionalnya memiliki keunikan dan
kekhasan tersendiri karena konstruksi rumahnya terbuat dari bambu dan atapnya terbuat dari
alang-alang. Dusun ini dihuni oleh warga dengan mata pencaharian utama sebagai petani.

128
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

Usaha tambahan lainnya adalah menenun. Jenis industri kecil yang paling banyak tersebar di
seluruh kabupaten adalah industri kerajinan kayu, bambu, dan rotan. Potensi lain dusun ini
adalah keindahan pemandangan alam dan kepatuhan terhadap budaya setempat, terutama
kepatuhan terhadap pelaksanaan upacara ritual. Potensi tersebut dapat memacu sektor
industri dan pariwisata kabupaten, sehingga industri yang berbasis pertanian ini mampu
meningkatkan pendapatan perkapita penduduk kawasan.

Dusun Sade yang terletak pada jalur wisata kawasan Pantai Kute, memiliki posisi yang
strategis. Kawasan Pantai Kute telah memiliki master plan untuk pengembangan kawasan
pariwisata pantai yang komprehensif dan representatif. Pengembangan kawasan pantai ini
akan berimbas positif terhadap perkembangan pariwisata Dusun Sade. Kedua kawasan ini
menjadi salah satu maskot pariwisata daerah Lombok.

Kesenian yang paling terkenal dari dusun ini adalah kesenian gendang belig (gendang besar).
Disebut demikian karena grup kesenian ini terdiri atas gamelan Sasak yang diperkuat dengan
lima bahkan tujuh buah gendang besar yang dipukul bertalu-talu. Kesenian ini dipertontonkan
apabila ada penyambutan tamu atau upacara pernikahan. Selain itu, kerajinan tangan yang
terkenal dari dusun ini adalah kerajinan kain tenun. Motif kain ini sangat khas dengan corak
warna yang cenderung mencolok. Menenun dilakukan oleh para wanita setelah mereka
menyelesaikan kegiatan rumah tangganya. Kegiatan ini dilakukan di depan rumah masing-
masing. Sambil menenun, mereka dapat mengawasi rumah tinggalnya, sekalian juga menjual
hasil tenunannya kepada para wisatawan. Kedua potensi ini menjadi salah satu daya tarik
wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung ke dusun ini. Aset budaya ini
perlu dipertahankan agar dusun ini tetap menjadi daerah tujuan objek wisata daerah.

Gambar 2. Kesenian dan kerajinan masyarakat tradisional Sasak Sade


(kiri) Kesenian gendang belig dalam rangkaian acara penyambutan tamu
(kanan) Kerajinan menenun dilakukan oleh para wanita setelah menyelesaikan aktivitas rumah tangga
(Sumber foto: Dewi, 2011)

SISTEM KEPERCAYAAN

Masyarakat tradisional Sasak Sade menganut agama Islam, tetapi dalam praktek adat
istiadatnya masih terpengaruh tradisi nenek moyang di masa lampau, terutama tradisi yang
berhubungan dengan daur hidup dan berhubungan dengan peristiwa alam. Tradisi mereka
merupakan sisa-sisa tradisi lama yang tetap terpelihara baik dalam alam kepercayaan Islam,
sebagai berikut:

129
1. Kepercayaan Kuno
a. Kosmologi
Menurut kepercayaan Sasak di jaman kuno, antara zat Yang Maha Kuasa dengan arwah dan
alam semesta beserta isinya tidak terpisah. Sebagai bagian dari alam semesta, perubahan yang
terjadi di alam semesta juga akan mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia. Maka,
manusia berusaha untuk memelihara keselarasan dan keserasian dengan alam semesta agar
terjamin ketenangan, ketentraman, dan kesejahteraan di dunia, juga di alam gaib. Pandangan
hidupnya bersifat kosmis. Untuk mencapai keselarasan dengan alam, manusia berusaha untuk
tidak menguasai alam. Apabila perlu, sebelum melakukan sesuatu, mereka memohon ijin
dengan mengadakan upacara persembahan sajen (Sasak: bangaran) yang dipimpin oleh
seorang pemangku.
Dahulu Orang Sasak juga percaya bahwa benda-benda yang aneh bentuknya, seperti botol
buntu, batu kelopok (bila diguncang berbunyi), akar yang aneh bentuknya, ular yang menggigit
lalu mati, pohon kelapa yang bercabang, semuanya itu memiliki kesaktian. Selain itu,
kesaktian juga dapat menjelma dalam diri orang yang kebal atau dapat meramal, sedang
malapetaka menurut kepercayaan mereka dapat disebabkan antara lain oleh orang bero
(melakukan incest), yang wujud malapetakanya bisa berupa musim kering yang terlalu lama,
tidak ada hujan sama sekali, penyakit menular, dan lain-lain. Adanya pengaruh jelek terhadap
manusia akan menimbulkan kepercayaan tentang tabu/terlarang (maliq), bisa berupa
binatang, manusia, tanaman, tempat-tempat tertentu (seperti kuburan, mesjid, pesantren, dan
lain-lain).

b. Waktu Telu (Watu Telu)


Kepercayaan ini disebut Waktu Telu karena hanya (baru) mengenal tiga dari lima Rukun Islam.
Pada awal perkembangan agama Islam di Pulau Lombok, agama ini dipeluk oleh para raja
Lombok. Dengan demikian, apabila para raja telah memeluk agama Islam, maka seluruh
rakyatnya pun dinyatakan Islam atau harus mengakui Islam sebagai agamanya. Hal ini
berakibat diseluruh kerajaan atau desa terdapat penganut yang masih awam. Hanya
penganutnya beragama Islam, tetapi keyakinan maupun tradisinya masih dipengaruhi oleh
kepercayaan atau adat-istiadat lama. Sebelum Islam datang, rakyatnya menganut agama Siwa-
Buddha. Tentang Waktu Telu ini dapat dijelaskan:
1. Hanya mengakui tiga rukun saja dari lima rukun Islam;
2. Terdapat unsur-unsur politis dan mengandung unsur-unsur animis yang sangat
bertentangan dengan ajaran Islam;
3. Teguh memegang kebiasaan nenek moyang mereka, walaupun bertentangan dengan Al
Qur’an dan Hadits;
4. Lebih banyak mendalami lontar-lontar daripada Al Qur’an dan Hadits;
5. Cukup terpengaruh oleh tarekat;
6. Kurang menyukai pembaharuan, sehingga sifatnya statis.

2. Ibadah
Hari-hari besar Islam sangat dimuliakan dan dianggap sebagai suatu ibadah pula, seperti:
Bubur putih pada bulan Muharam, Bubur merah pada bulan Safar, Maulid Nabi pada bulan
Rabiulawal, Rowah pada bulan Sya’ban, Idul Fitri pada bulan Syawal, dan Idul Adha pada bulan
Zulhijah.

130
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

Shalat dan puasa hanya dikerjakan oleh kiai. Yang bukan kiai tidak melakukan shalat dan
puasa dan menurut keyakinan mereka, dosa mereka ditanggung oleh kiai. Tugas mereka yang
utama adalah melaksanakan apa yang ditentukan oleh kiai-kiai, seperti selamatan orang mati,
merayakan hari-hari besar Islam, dan lain-lain.

SISTEM KEMASYARAKATAN

Sistem kekerabatan masyarakat tradisional ini masih berdasarkan pada hubungan patrilineal
dengan pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting. Yang lebih besar besar
dari keluarga batih (kuren) disebut kadang, yaitu kelompok yang semuanya beranggotakan
laki-laki yang telah menikah. Sebuah rumah tangga biasanya terdiri atas satu keluarga batih
yang bersifat monogami, ditambah dengan anak-anak yang menumpang atau yang masih
kerabat. Kalau anak laki-laki telah menikah, maka ia membuat rumah di sekitar rumah orang
tuanya (patrilokal).
Keluarga batih merupakan kesatuan ekonomi dalam arti menata laksana kehidupan rumah
tangga dan sebagai kesatuan dalam mata pencaharian. Juga keluarga batih merupakan
kesatuan yang melakukan pengasuhan dan mendidik angkatan yang berikutnya, di samping
menguasai sejumlah hak milik dan kesatuan dalam melaksanakan upacara adat dan agama
tertentu.
Masyarakat dusun ini mempunyai sistem susunan keluarga patrilineal, hanya memperhatikan
keturunan melalui bapak saja. Yang berhak menerima warisan benda tetap (sebelum Islam
masuk dan meresap ke dalam masyarakat) hanyalah anak laki-laki, sedangkan anak-anak
perempuan hanya memperoleh barang-barang perabot rumah tangga dan perhiasan yang
sejak masih gadis menjadi miliknya. Kadang-kadang perempuan dapat juga memperoleh
ternak. Setelah agama Islam meresap ke dalam masyarakat, maka dusun ini sudah
memperhatikan hukum Islam dalam pembagian warisan. Anak laki-laki mendapat dua kali
bagian anak perempuan.
Menurut hukum adat Lombok yang sampai saat ini masih dianut mereka, kalau seorang anak
laki-laki menikah, segera membuat rumah baru (neolokal) di sekitar orang tuanya. Kalau
tempat itu sudah tidak memenuhi persyaratan, ia bisa membuat rumah di tempat lain, keluar
dari lingkungan orang tuanya. Di sana kemungkinan akan berkembang menjadi
perkampungan baru. Kepada anak laki-laki yang demikian biasanya diberikan sawah ladang
dan kebun serta ternak sebagai bekal dalam menempuh hidup baru.

POLA PERKAMPUNGAN

Awalnya, Dusun Sade terbentuk dari dusun kecil yang tumbuh semakin sempurna. Mula-mula
sebagian kecil keluarga datang dan menetap di sana. Rumah mereka merupakan tempat
tinggal darurat yang disebut repoq, dan repoq ini kemudian berkembang menjadi dasan (dusun
atau kampung). Satu dasan terdiri atas sejumlah deretan rumah yang disebut suteran. Antara
beberapa suteran terdapat pengorong (lorong atau koridor). Kumpulan suteran disebut gubuk,
dan di dalam gubuk ada keliang. Tiap suteran diketuai oleh seorang kuteran. Maka, di samping
desa sebagai kesatuan administratif, dusun juga merupakan kesatuan administratif setingkat
di bawah desa. Jika dusun memiliki penduduk yang banyak, maka status administratif
wilayahnya dapat ditingkatkan menjadi desa.

131
Gambar 2. Salah satu repog, rumah tinggal masyarakat tradisional Sasak Sade
(Sumber foto: Dewi, 2011)

Empat rumah atau lebih yang karena ikatan keluarga dibatasi oleh rumah dari keluarga
lainnya. Dalam satu gubuk terdiri atas beberapa keluarga. Di depan rumah keluarga terdapat
alang (lumbung padi), tempat menyimpan hasil pertanian. Penempatan di depan rumah ini
disebabkan adanya rasa hormat terhadap makanan yang dikonotasikan dengan roh atau
nyawa. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan membangun alang di luar pekarangan
dusun/kampung demi keamanan, terutama dari bahaya kebakaran. Selain juga tidak lepas dari
keadaan mereka sendiri yang sulit dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Rasa
hormat dan kewaspadaan terhadap bahaya kebakaran ini menyebabkan dahulu lumbung padi
tidak boleh ditempati sebagai tempat tinggal dengan cara menempelkan dinding pada keempat
tiangnya. Sekarang, lumbung padi sudah ditempati sebagai tempat tinggal dan ada pula
dipakai sebagai tempat masak. Perubahan fungsi ini disebabkan karena makin bertambahnya
jumlah penduduk yang tidak disertai dengan penambahan jumlah pekarangan dan perumahan.
Mereka cenderung tetap tinggal dan hidup dekat keluarga dalam satu pekarangan yang
dibatasi oleh keluarga lain. Anak-anak yang meningkat dewasa segera dibuatkan rumah. Hal
ini dapat dipahami karena situasi ruang dalam mereka yang tidak dibatasi dengan dinding,
tetapi tergelar dalam satu ruangan. Situasi seperti ini tentu saja akan dipandang tidak sesuai
begitu anak meningkat dewasa.

Pola kehidupan penduduk dipengaruhi oleh kondisi alam yang gersang dan pola pertanian
tadah hujan. Kondisi alam yang berbukit-bukit membentuk pola permukiman yang
mengelompok pada lereng-lereng bukit. Pada pusat permukiman terdapat masjid. Dahulu

132
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

masjid hanya digunakan untuk beribadah para kiai dan beberapa muridnya, sedangkan
masyarakat tidak menggunakan masjid karena semua permasalahan ibadah diwakilkan oleh
kiai. Masyarakat hanya melakukan upacara-upacara adat. Bangunan masjid tersebut telah
dipugar, bentuk dan konstruksi masih seperti bangunan masjid yang lama, hanya bahan
bangunan yang diperbarui.

B
A
D
C

A. Pintu masuk
B. Bruga (tempat musyawarah)
C. Alang (lumbung padi)
D. Masjid beratap tumpang tiga
E. Permukiman masyarakat
tradisional

Gambar 3. Pola perkampungan Dusun Tradisional Sasak Sade


(Sumber: Dirjen Perkim, 2007:67)

133
Pembagian penggunaan lahan didasarkan atas ketinggian permukaan lahan. Dataran rendah
yang akan menampung air hujan diperuntukkan sebagai lahan pertanian, sedangkan
dataran/lereng yang kurang menampung air hujan diperuntukkan sebagai lahan permukiman.
Dengan bentuk pola permukiman mengelompok, interaksi antar penduduk di Dusun Sade
sangatlah erat, dimana seorang anggota kelompok mengenali anggota kelompok lain dengan
baik. Hal ini ditunjang dengan sistem kekuasaan yang ada, dimana untuk setiap kelompok
biasanya merupakan satu kesatuan dusun dipimpin oleh seorang kepala dusun.

Secara umum tidak terdapat adat-istiadat yang mengikat, demikian pula dengan pola-pola
aturan tata letak perumahan. Adapun arsitektural perumahan yang ada pada dasarnya
merupakan cerminan dari pola hidup penduduk yang bermatapencaharian pertanian tadah
hujan dan pemanfaatan lahan perumahan di lereng-lereng perbukitan.

POLA PELETAKAN UNIT HUNIAN

Suku Sasak umumnya mudah menerima hal-hal baru yang berasal dari luar dan mereka hidup
secara kekeluargaan serta bergotong royong. Hubungan kekeluargaan yang patrilineal,
menyebabkan apabila seorang anak laki-laki menikah, maka ia dapat membangun rumah di
pekarangan orang tuanya. Hal ini berpengaruh pada pola hunian dan pembentukan kelompok
hunian keluarganya.

Ditinjau dari sejarah dan letak geografis Pulau Lombok, dapat dimengerti bahwa bentuk
arsitektur tradisional Lombok banyak kesamaannya dengan arsitektur Bali, baik menurut pola
penataan pekarangan, tata ruang, sistem struktur, penggunaan bahan bangunan, bahkan pada
garis besar karakter dan orientasi bangunannya.

Bangunan berarsitektur Sasak mempunyai garis karakter Hindu yang kuat. Hal ini disebabkan
pada masa lalu Lombok pernah menjadi pusat kerajaan Hindu yang sangat berpengaruh.
Bangunan yang mempunyai nilai tinggi pada dasarnya mempunyai orientasi Gunung Rinjani
dan arah laut. Untuk bangunan masjid mempunyai arah orientasi ke arah kiblat. Arah orientasi
ke gunung-laut ini dipengaruhi oleh arsitektur Hindu, yaitu semakin tinggi suatu tempat
semakin tinggi nilai kesuciannya.

Berangkat dari filosofi bahwa manusia sebagai makhluk dari alam bawah dalam menciptakan
ruang kehidupannya harus menyelaraskan diri dengan alam atas dengan cara berdialog, maka
dibutuhkan tempat untuk berdialog tersebut. Tempat tersebut diletakkan di tengah-tengah,
merupakan ruang tersendiri. Pola ruang tengah ini diterapkan pada penataan pekarangan
kelompok hunian. Ruang tengah (halaman tengah) pada permukiman ini berfungsi untuk
komunikasi sosial, disebut natar.

Perkampungan tradisional selalu memilih lokasi dan berkelompok pada daerah yang lebih
tinggi dari sekitarnya, biasanya di bukit. Hal ini didasarkan pada pertimbangan spiritual,
permukiman merupakan gambaran dunia kecil (mikrokosmos), cenderung berorientasi ke
alam besar (makrokosmos) yang terletak di alam atas. Dengan demikian puncak bukit adalah
tempat menghubungkan kedua dunia lebih dekat. Dari segi keamanan fisik, puncak bukit
merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan. Dari segi kesehatan, relatif
lebih baik, lahan lebih cepat kering, drainase lebih lancar, dan aliran udara dapat bersirkulasi.
Sebagai penghubung permukiman dibuat jalan setapak dari batu pecah.

134
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

Pola perletakan massa bangunan Suku Sasak di Dusun Sade hampir sama dengan di Bali.
Perbedaan yang utama terletak pada tempat untuk beribadah. Pola permukimannya
dilengkapi dengan masjid karena mereka beragama Islam. Namun, arsitektur Hindu masih
berpengaruh pada penampilan masjid ini. Atap masjid berbentuk limasan yang bersusun (atap
tumpang), merupakan salah satu ciri-ciri arsitektur Hindu. Hal ini disebabkan pada masa lalu
Lombok pernah menjadi pusat kerajaan Hindu.

Gambar 4. Jalan setapak sebagai penghubung antar kelompok rumah


(Sumber foto: Dewi, 2011)

TIPOLOGI BANGUNAN TRADISIONAL SASAK SADE

Sebagaimana dijelaskan di atas, kampung tradisional Sasak Sade memiliki tata letak massa
bangunan yang unik. Selain kelompok bangunan rumah tinggal, dusun ini juga memiliki
bangunan fasilitas lingkungan: masjid dan bruga untuk tempat musyawarah.

1. Bangunan Fasilitas Lingkungan


a. Masjid
Dusun Sade hanya memiliki satu buah rumah ibadah berupa masjid. Masjid ini merupakan
salah satu masjid lama yang masih dipengaruhi oleh Hindu. Bentuk atapnya tumpang tiga. Pintu
terletak di bagian samping kiri dan kanan, serta bagian belakang. Dinding terbuat dari bedek
(anyaman bambu) yang bagian atasnya digunakan sebagai ventilasi/ bukaan untuk
memasukkan cahaya matahari. Masjid ini tidak memiliki menara, hanya bentuk atap bertingkat
tiga (atap tumpang tiga), pengaruh dari arsitektur Hindu.

135
b. Bangunan Tempat Musyawarah (Bruga)
Bangunan untuk tempat musyawarah (rembug warga) berupa bale sakenem (balai bertiang
enam) yang terletak di halaman depan. Bangunan berupa balai-balai tanpa dinding, memiliki
tiang enam buah. Atapnya terbuat dari alang-alang. Balai-balai ini digunakan pada waktu
rapat/musyawarah yang melibatkan warga dusun, untuk menerima tamu, atau upacara tradisi
lainnya.

Gambar 5. Bangunan fasilitas lingkungan di Dusun Sade (arah jarum jam)


(1) Masjid sebagai tempat ibadah yang penampilannya sangat dipengaruhi oleh arsitektur Hindu.
(2) Atap masjid memiliki konstruksi atap bertumpang tiga.
(3) Bruga sebagai bangunan komunal yang digunakan secara bersama-sama oleh warga.
(Sumber foto: Dewi, 2011)

2. Bangunan Rumah Tinggal (Bale Tani/Bale Gunung Rate)


Bangunan rumah tinggal Suku Sasak disebut juga bale tani atau bale gunung rate. Bentuk
denah bangunan ini segi empat. Lantai dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau
dan air. Bagian lantai yang akan ditinggikan digali sebatas tanah keras, kemudian diisikan (dan
ditinggikan) dengan tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan air, kemudian
diratakan dan dihaluskan. Setelah kering akan terjadi permukaan yang licin, seperti plesteran
semen. Bale tani terdiri atas beberapa bagian sebagai berikut:

136
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

1. Bale Dalem
Tempat yang paling utama dan bersifat privat karena berfungsi sebagai tempat wanita
melahirkan dan tempat menyimpan harta pusaka. Tempat ini letaknya di sebelah kiri pintu
masuk. Di bagian atas dibuat semacam lantai untuk tempat menyimpan sesuatu, disebut
amben.

Gambar 6. Ilustrasi bale tani atau bale gunung rate (arah jarum jam)
(1) Gambar potongan bale memperlihatkan bagian lantai yang ditinggikan.
(2) Ilustrasi tampak depan bale yang didominasi dengan bentuk atap yang tinggi.
(3) Ilustrasi denah bale menunjukkan pembagian ruang dengan fungsi-fungsi tertentu.
(Sumber: Miksic and Tjahjono, 2003:124)

2. Dalem Bale
Pada bagian ini terdapat jangkih (tungku) berfungsi untuk memasak dan menyimpan alat
dapur (geguluk), dan tempat menumbuk padi, menyimpan tikar (sempare). Dalem bale dan
bale dalem adalah bagian yang utama dari rumah tinggal Suku Sasak. Bagian ini memiliki
lantai yang ditinggikan karena mempunyai nilai utama.

3. Serambi (Sesangkok/Sasando)
Merupakan serambi dari rumah bagian depan yang terbagi menjadi serambi kiri dan
serambi kanan. Serambi kiri berfungsi untuk tempat menerima tamu yang kurang
penting atau untuk bersantai-santai, sedangkan serambi kanan berfungsi untuk
menerima tamu adat atau tamu penting lainnya. Walaupun sempit, tempat ini sangat
fungsional. Pada bagian belakang juga terdapat serambi yang digunakan untuk
menyimpan kayu bakar dan kandang ternak.
Bagi masyarakat tradisional Sasak Sade, serambi juga difungsikan untuk persemayaman
mayat sebelum dikubur. Pada perkembangan selanjutnya, serambi ini ditutup dinding

137
dari anyaman bambu (bedek) dan berfungsi sebagai kamar. Mereka memiliki aturan
bahwa kaum laki-laki tinggal di luar rumah. Rumah diutamakan untuk anak-anak dan
wanita, sedangkan pada malam hari laki-laki tidur di serambi atau bruga.

4. Tangga (Undag)
Tangga terdiri atas tiga anak tangga, dan difungsikan untuk menghubungkan dari
sesangkok ke dalem bale. Di atas anak tangga ada pintu masuk ke bale dalem. Pintu
tersebut setinggi istri tuan rumah dikurangi 20 cm, sehingga untuk masuk ke dalam bale
harus menundukkan kepala terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar untuk memasuki
ruang utama penghuni atau tamu harus menghormat dulu karena ruang ini memiliki nilai
yang paling utama.

Gambar 7. Ilustrasi bale tani atau bale gunung rate (arah jarum jam)
(1) Tiga anak tangga yang menghubungkan dari sesangkok ke dalem bale.
(2) Dalem bale yang difungsikan sebagai tempat memasak (dapur)
(3) Pintu masuk ke dalem bale dengan mengikuti ukuran istri pemilik rumah.
(Sumber foto: Dewi, 2011)

Ukuran rumah tinggal mereka berdasarkan pada ukuran kegiatan manusia (skala manusia).
Karena yang sering di dalam rumah adalah wanita, maka ukuran yang digunakan adalah istri
tuan rumah. Misalnya tinggi pintu masuk sesuai tinggi badan sang istri tuan rumah.
Terpenting adalah jarak antara usuk bambu rangka atap tidak lebih lebar dari kepala sang
istri. Untuk penempatan ukuran lainnya harus memudahkan pencapaian istri yang akan
bekerja di rumah.

138
Seminar Perencanaan dan Pelestarian Lingkungan Terbangun - Bali, 22 Desember 2015

Posisi rumah tinggal tradisional Sasak Sade secara horisontal mempunyai tiga tingkatan dari
yang profan ke sakral. Dari luar ke sesangkok, kemudian ke dalem bale yang terletak paling
tinggi. Bentuk atap pelana dan terbuat dari alang-alang yang disusun sedemikian rupa
sehingga tahan sampai 8–10 tahun, sedang dinding terbuat dari anyaman bambu.

Gambar 8. Bangunan-bangunan pelengkap di setiap unit hunian (arah jarum jam)


(1) Lumbung (tempat menyimpan padi) sebagai lambang kemakmuran.
(2) Bong (gentong air) yang diletakkan di depan setiap unit hunian.
(3) Ilustrasi alang (lumbung padi) dengan konstruksi atapnya yang khas
(Sumber: Miksic and Tjahjono, 2003:127)
(4) Salah satu alang tertua dan terbesar di Dusun Sade.
(Sumber foto: Dewi, 2011)

139
Di depan setiap unit hunian memiliki gentong air (bong) yang difungsikan untuk mengambil
air wudhu sebelum sembahyang, mencuci kaki dan tangan sebelum memasuki rumah, dan
mencuci perabot dapur. Dalam perkembangan selanjutnya, bong ini difungsikan juga sebagai
tempat mandi. Air dalam bong diambil dari sumur atau sumber air lainnya yang letaknya
cukup jauh dari rumah mereka, dan oleh penduduk dibawa dengan periuk atau ember yang
dijunjung di atas kepala mereka.

Selain itu, rumah tinggal mereka juga dilengkapi dengan kandang dan bangunan tempat
menyimpan padi (alang atau lumbung). Bangunan penyimpanan padi ini melambangkan
kemakmuran, dan diletakkan pada sebelah kiri rumah tinggal. Alang memiliki derajat yang
lebih tinggi dibandingkan dengan lumbung. Bentuk bangunan ini diadopsi menjadi ciri khas
arsitektural bangunan-bangunan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

SIMPULAN

Sejarah dan letak geografis Dusun Sade menunjukkan bahwa bentuk-bentuk arsitektural yang
berkembang di dusun ini memiliki pertalian erat dengan arsitektur Hindu di Bali. Pemaknaan
dalam meruang yang dicirikan dalam tradisi yang kuat tercermin pada pola massa bangunan,
pola permukiman, penggunaan bahan, bahkan pada cerminan karakter dan orientasi
bangunannya. Keseimbangan kosmologi antara alam besar (makrokosmos) dan alam kecil
(mikrokosmos) memposisikan puncak bukit sebagai tempat pertemuan kedekatan hubungan
antara kedua alam tersebut. Nilai-nilai filosofi yang diterapkan menciptakan ruang kehidupan
masyarakat dusun ini menjadi selaras dengan alam atas, sehingga disediakanlah ruang-ruang
kosong di tengah kelompok hunian yang berfungsi sebagai tempat dialog dengan alam atas
tersebut. Kemudian budaya Islam datang, berakulturasi dan berasimiliasi dengan budaya yang
telah ada, membawa kedinamisan pada sistem kemasyarakatan dan tradisi meruang,
membentuk pola ruang dan bentukan arsitektural yang khas. Karakter ini menjadi salah satu
daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung dan menggali lebih
jauh lagi pemaknaan di balik bentukan yang terjadi. Aset budaya ini perlu dilestarikan agar
dusun ini tetap menjadi daerah tujuan wisata daerah dan menjadi aset tak ternilai dalam
memperkaya budaya Nusantara.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada ketua adat, Bapak Amaq Yusrin, dan keluarga yang sudah
berkenan diwawancarai dan mengijinkan saya untuk menelusuri perkampungan untuk
mengambil sejumlah foto dan mewawancarai penduduk Dusun Sade.

DAFTAR BACAAN

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah RI (2007) Perencanaan Rencana Tindak


Revitalisasi Permukiman (RTRP) Kabupaten Lombok Tengah. Jakarta: Direktorat
Jenderal Perumahan dan Permukiman.
Krisna, R., Antariksa, Dwi Ari, I.R. (2005) Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun
Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Plannit. 3 (2):124-133.
Miksic, J. and Tjahjono, G. (Eds). (2003) Architecture (Indonesian Heritage, Vol. 6). Singapore:
Archipelago Press.
Saptaningtyas. R. S. (2009) Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Tradisional Sasak di Pulau Lombok.
Unpublished paper.

140

View publication stats

You might also like