Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 887

DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. RYNALDO |DR. REZA | DR. RESTHIE | DR.

CEMARA | DR. OKTRIAN |DR. RIFDA| DR. IRENE

OFFICE ADDRESS:

Jakarta Medan
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007 Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Kel. Tanjung Sari, Kec. Medan Selayang 20132
Tlp 021-22475872 WA/Line 082122727364
WA. 081380385694/081314412212

www.optimades.com
ILMU
KESEHATAN
ANAK
1. Pansitopenia ec Anemia Aplastik

Manifestasi klinis disebabkan


oleh sitopenia

Anemia Trombositopenia Leukopenia

Ptekiae, epistaksis,
Pucat, lemah,
perdarahan gusi, Demam, infeksi
dispnea
menoragia

Tidak ada limfadenopati atau splenomegali

Lichtman MA, Segel GB. Aplastic anemia: acquired and inherited. In: Lichtman et al, editors. William’s hematology. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2010. p.463-79
PANCYTOPENIA
• Simultaneous presence of anaemia, leukopenia,
thrombocytopenia
APLASTIC ANEMIA:
• Failure of two or more cell lines
• Anaemia, leukopenia, thrombocytopenia
(pancytopenia) + hypoplasia or aplasia of the marrow
• Pathology: Reduction in the amount of haemopoietic
tissue  inability to produce mature cells for
discharge into the bloodstream
• no hepatomegaly; no splenomegaly; no
lymphadenopathy;
• Hallmark: peripheral pancytopenia with
hypoplastic/ aplastic bone marrow
CLINICAL FEATURES

RBC (anemia)
• Blood picture:
• Progressive and persistent pallor
• Anemia related symptoms – Anemia-normocytic,
normochromic
WBC (Leucopenia/neutropenia)
• Prone to infections - Pyodermas, – Leukopenia
OM, pneumonia, UTI, GI infections, (neutropenia)
sepsis – Relative lymphocytosis
Platelets (Thrombocytopenia) – Thrombocytopenia
• Petechiae, purpura, ecchymoses – Absolute reticulocyte
• Hematemesis, hematuria, epistaxis, count low
gingival bleed – Mild to moderate
• Intracranial bleed-headache, anisopoikilocytosis
irritability, drowsiness, coma
Gold Standard

• Bone Marrow Puncture : dry aspirate,


hypocellular with fat (>70% yellow marrow)
2-3. Mumps (Parotitis Epidemica)
• Acute, self-limited, systemic
viral illness characterized by the
swelling of one or more of the
salivary glands, typically the
parotid glands.
• Highly infectious to nonimmune
individuals and is the only cause
of epidemic parotitis.
• Taksonomi:
– Species: Mumps rubulavirus
– Genus: Rubulavirus
– Family: Paramyxoviridae
– Order: Mononegavirales
Mumps
• Salah satu penyebab parotitis • Penularan terjadi sejak 6 hari
• Satu-satunya penyebab parotitis sebelum timbulnya
yang mengakibatkan “occasional pembengkakan parotis sampai 9
outbreak” hari kemudian.
• Disebabkan oleh paramyxovirus, • Bisa tanpa gejala
dengan predileksi pada kelenjar • Masa inkubasi 12-25 hari, gejala
dan jaringan syaraf. prodromal tidak spesifik ditandai
• The transmission mode is person dengan mialgia, anoreksia,
to person via respiratory droplets malaise, sakit kepala dan demam
and saliva, direct contact, or ringan  Setelah itu timbul
fomites. pembengkakan
• Insidens puncak pada usia 5-9 unilateral/bilateral kelejar parotis.
tahun. • Gejala ini akan berkurang setelah
• Imunisasi dengan live attenuated 1 minggu dan biasanya
vaccine sangat berhasil (98%) menghilang setelah 10 hari.
Mumps Treatment
• Conservative, supportive medical care is indicated for
patients with mumps.
• No antiviral agent is indicated, as mumps is a self-
limited disease.
• Encouraging oral fluid intake
• Refrain from acidic foods and liquids as they may cause
swallowing difficulty, as well as gastric irritation.
• Analgesics (acetaminophen, ibuprofen)
• Topical application of warm or cold packs to the
swollen parotid may soothe the area.
MMR
• Merupakan vaksin kombinasi untuk Measles (Campak),
Mumps (Parotitis), dan Rubella
• Vaksin kering, mengandung virus hidup, disimpan pada
temperatur 2-8⁰C, dan terlindung dari cahaya
• Pemberian dengan dosis tunggal 0.5 ml intramuskular
atau subkutan dalam
• Harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan, dan rubella
• Jadwal IDAI 2017: jika sudah imunisasi campak 9 bulan,
MMR diberikan usia 15 bulan (interval minimal 6
bulan); jika belum mendapat campak 9 bulan, MMR
bisa diberikan usia 12 bulan
Imunisasi campak
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
4. Ikterus Neonatorum
• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1
– Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh,
penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab
lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia
48 jam
– Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD.
Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh,
sferositosis.
Anemia Hemolisis Neonatus/ Hemolytic
Disease of Neonates
P E N YA K I T KETERANGAN

Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap


Inkompatibilitas aglutinogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O, memproduksi
ABO antibodi IgG Anti-A/B terhadap gol. darah anak (golongan darah A
atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama

Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh– berarti tidak


memiliki antigen D. Hemolisis terjadi karena adanya antibodi ibu
dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap antigen Rh anak
Inkompatibilitas (berati anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn antibodi ibu
Rh terhadap antigen D anak yg berhasil melewati plasenta belum
banyak.
Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + antibodi
yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis
Inkompatibilitas ABO
• Terjadi pada ibu dengan • Gejala yang timbul adalah
golongan darah O terhadap ikterik, anemia ringan, dan
janin dengan golongan peningkatan bilirubin
darah A, B, atau AB serum.
• Tidak terjadi pada ibu gol A • Lebih sering terjadi pada
dan B karena antibodi yg bayi dengan gol darah A
terbentuk adalah IgM yg tdk dibanding B, tetapi
melewati plasenta, hemolisis pada gol darah
sedangkan 1% ibu gol darah tipe B biasanya lebih berat.
O yang memiliki titer • Inkompatibilitas ABO jarang
antibody IgG terhadap sekali menimbulkan hidrops
antigen A dan B, bisa fetalis dan biasanya tidak
melewati plasenta separah inkompatibilitas Rh
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas

• Pemeriksaan penunjang yang dilakukan post natal baik


untuk inkompatibilitas ABO dan Rh
– Cek tipe ABO dan Rh, hematokrit, Hb, serum bilirubin,
apusan darah, dan direct Coombs test.
– direct Coombs test yang positif menegakkan
diagnosis antibody-induced hemolytic anemia yang
menandakan adanya inkompabilitas ABO atau Rh
• Pada inkompatibilitas ABO manifestasi yg lebih dominan
adalah hiperbilirubinemia, dibandingkan anemia, dan
apusan darah tepi memberikan gambaran banyak
spherocyte dan sedikit erythroblasts, sedangkan pada
inkompatibilitas Rh banyak ditemukan eritoblas dan
sedikit spherocyte
I N KO M PAT I B I L I TA S A B O I N KO M PAT I B I L I TA S R H

Tidak pernah terjadi pada anak pertama


dengan rhesus (+) karena antibodi ibu yg
Bisa terjadi pada anak pertama
terbentuk belum cukuop untuk
menyebabkan inkompatibilitas

Inkompatibilitas ABO jarang sekali


Gejala biasanya lebih parah jika
menimbulkan hidrops fetalis dan
dibandingkan dengan inkompatibilotas
biasanya tidak separah
ABO, bahkan hingga hidrops fetalis
inkompatibilitas Rh

Risiko dan derajat keparahan meningkat


seiring dengan kehamilan janin Rh (+)
Risiko dan derajat keparahan tidak berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan
meningkat di anak selanjutnya bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa
meninggal in utero

apusan darah tepi memberikan pada inkompatibilitas Rh banyak


gambaran banyak spherocyte dan ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
sedikit erythroblasts
5. Hipotiroid Kongenital
• Hipotiroid kongenital adalah kelainan fungsi dari kelenjar tiroid yang didapat sejak bayi
baru lahir.
• Kondisi ini dapat terjadi karena kelainan anatomi atau gangguan metabolisme
pembentukan hormon tiroid atau defisiensi iodium.
• Selama kehamilan, plasenta berperan sebagai media transportasi elemen-elemen
penting untuk perkembangan janin. Thyroid Releasing Hormone (TRH) dan iodium –
yang berguna untuk membantu pembentukan Hormon Tiroid (HT) janin – bisa bebas
melewati plasenta. Demikian juga hormon tiroksin (T4). Namun disamping itu, elemen
yang merugikan tiroid janin seperti antibodi (TSH receptor antibody) dan obat anti tiroid
yang dimakan ibu, juga dapat melewati plasenta. Sementara, TSH, yang mempunyai
peranan penting dalam pembentukan dan produksi HT, justru tidak bisa melewati
plasenta.
• Merupakan salah satu penyebab retardasi mental yang dapat dicegah. Bila terdeteksi
setelah usia 3 bulan, akan terjadi penurunan IQ bermakna.
• Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya diagnosis etiologi ditegakkan sebelum usia
2 minggu dan normalisasi hormon tiroid (levotiroksin)sebelum usia 3 minggu.

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Etiologi
Etiologi
Symptoms
• Most affected infants have few or no • This appearance usually develops as
symptoms, because their thyroid the disease gets worse. The child may
hormone level is only slightly low. also have:
However, infants with severe – Choking episodes
hypothyroidism often have a unique – Constipation
appearance, including:
– Dry, brittle hair
– Dull look
– Jaundice
– Puffy face
– Lack of muscle tone (floppy infant)
– Thick tongue that sticks out
– Low hairline
– Poor feeding
– Short height (failure to thrive)
– Sleepiness
– Sluggishness
Neeonatal hypothyroidism. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002174/
Gambaran klinis
Quebec Clinical Scoring
for Congenital Hypothyroid
Figure 3 Diagnostic algorithm for the detection of primary congenital hypothyroidism

Grüters, A. & Krude, H. (2011) Detection and treatment of congenital hypothyroidism


Nat. Rev. Endocrinol. doi:10.1038/nrendo.2011.160
Skrining
• Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah
ketika umur bayi 48 sampai 72 jam.
• Namun, pada keadaan tertentu pengambilan darah masih
bisa ditolerir antara 24–48 jam (contoh: ibu pulang paksa).
• Akan tetapi, sebaiknya darah tidak diambil dalam 24 jam
pertama setelah lahir karena pada saat itu kadar TSH
masih tinggi, sehingga akan memberikan sejumlah hasil
tinggi/positif palsu (false positive).
• Jika bayi sudah dipulangkan sebelum 24 jam, maka
spesimen perlu diambil pada saat kontrol, tepatnya saat
bayi berusia 48 sampai 72 jam
• Sampel darah diteteskan di kertas saring dan diperiksa di
laboratorium
• Hasil sudah bisa diperoleh dalam 1 minggu
Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014
Intepretasi hasil
• Kadar TSH < 20 μU/mL berarti normal
• Jika kadar TSH antara ≥ 20 μU/mL , perlu pengambilan
spesimen ulang (resample) atau dilakukan
pemeriksaan DUPLO (diperiksa dua kali dengan
spesimen yang sama, kemudian diambil nilai rata-
rata). Bila pada hasil pengambilan ulang didapatkan:
 Kadar TSH < 20 μU/mL, maka hasil tersebut
dianggap normal.
 Kadar TSH ≥ 20 μU/mL, maka harus dilakukan
pemeriksaan TSH dan FT4 serum

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


6. Hematopoiesis
Leukemia
CLL CML ALL AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte  dont die when they
should  crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This
makes it hard for normal blood cells to do their work.
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Common in Adults &
children children
Symptoms & Grows slowly  may Grows quickly  feel sick & go to
Signs asymptomatic, the disease is found their doctor.
during a routine test.
Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak,
bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss,
bone pain.
Lab Mature Mature granulocyte, Lymphoblas Myeloblast
lymphocyte, dominant myelocyte t >20% >20%, aeur rod
smudge cells & segment may (+)
Therapy Can be delayed if asymptomatic Treated right away
CDC.gov
AML VS ALL
AML ALL

Epidemiologi Lebih banyak pada dewasa Lebih banyak pada anak-anak

Sel mieloblas imatur, terdapat


Morfologi Limfoblas
auer rod
• Mieloperoksidase (+)
• Mieloperoksidase (-)
• Terminal deoxynucleotidyl
• Terminal deoxynucleotidyl
transferase (TdT) (-)
Sitokimia transferase (TdT) (+)
• LDH & serum uric acid
• LDH & serum uric acid elevated 
elevated  tumor lysis
tumor lysis syndrome
syndrome

• B-precursor ALL (70% ALL subtype in


Immuno Children)  CD10, CD19, CD20,
phenotyping, CD13, CD14, CD15, and CD33 CD22, CD24
Cytogenetics & (>90% of leukemic cells) • T-cell ALL (16% ALL Subtype in
Molecular testing children)  CD2, CD3, CD4, CD5,
CD7, CD8
CML VS CLL
CML CLL
Lansia (>65 tahun), tapi bisa juga
Epidemiologi Dewasa (50-60 tahun)
ditemukan pada usia lbh muda
• Sel mieloid • Limfosit B matur
• Basofilia, eosinofilia • Smudge cell/basket cell
Morfologi
• Anemia, • Neutropenia, anemia, and
Trombositosis/normal thrombocytopenia
• Mature granulocytes have
decreased apoptosis
Sitokimia accumulation of long-lived
cells with low or absent
alkaline phosphatase (ALP).
• Circulating clonal B-lymphocytes
expressing CD19, CD20, and CD23
Immuno
Philadelphia chromosome, the and expression of the T cell
phenotyping,
BCR-ABL1 fusion gene, or the associated antigen CD5
Cytogenetics &
BCR-ABL1 fusion mRNA • Cytogenetics: trisomy 12 (16%), and
Molecular testing
deletions of chromosomal regions
13q (55%), 11q (18%), and 17p (7%)
Sel blas dengan Auer rod pada leukemia Leukemia mielositik kronik
mieloblastik akut

Limfosit matur & smudge cell


Sel blas pada leukemia limfoblastik akut pada leukemia limfositik kronik
AML & ALL
• Jenis leukemia yang paling sering terjadi pada
anak-anak adalah Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL) dan Acute Myelogenous
Leukemia (AML)
• ALL merupakan keganasan yg paling sering
ditemui pada anak-anak (1/4 total kasus
keganasan pediatrik)
• Puncak insidens ALL usia 2-5 tahun
AML & ALL Clinical Manifestation
• More common in AML
– Leukostasis (when blas count >50.000/uL): occluded
microcirculationheadache, blurred vision, TIA, CVA, dyspnea,
hypoxia
– DIC (promyelocitic subtype)
– Leukemic infiltration of skin, gingiva (monocytic subtype)
– Chloroma: extramedullary tumor, virtually any location.
• More common in ALL
– Bone pain, lymphadenopathy, hepatosplenomegaly (also seen in
monocytic AML)
– CNS involvement: cranial neuropathies, nausea, vomiting, headache,
anterior mediastinal mass (T-cell ALL)
– Tumor lysis syndrome
Leukemia Limfoblastik Akut
• Merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada
masa anak, meliputi 25-30% dari seluruh keganasan pada
anak.
• Lebih sering pada laki-laki, usia 3-4 tahun
• Manifestasi klinis
– Penekanan sistem hemopoetik normal, anemia (pucat),
neutropenia (sering demam), trombositopenia (perdarahan)
– Infiltrasi jaringan ekstramedular, berupa pembesaran KGB, nyeri
tulang, dan pembesaran hati serta limpa
– Penurunan BB, anoreksia, kelemahan umum
• Pemeriksaan Penunjang: Gambaran darah tepi dan pungsi
sumsum tulang untuk memastikan diagnosis
• Tatalaksana : Kemoterapi dan Pengobatan suportif
ALL Classification
• In the WHO classification system for hematologic malignancies,
the lymphoblastic neoplasms (which may present as leukemia
and/or lymphoma) are divided into:
– Precursor B cell lymphoblastic leukemia/lymphoma, also called
precursor B cell acute lymphoblastic leukemia (precursor B cell ALL)
– Precursor T cell lymphoblastic leukemia/lymphoma (precursor T-LBL),
also called precursor T cell acute lymphoblastic leukemia (T cell ALL)
• These two entities are morphologically indistinguishable.
• FAB subtype is not currently used in either diagnosis or treatment
decisions
• ALL is the preferred term in the US when the bone marrow
contains more than 25% lymphoblasts, whereas lymphoma is the
preferred term when the process is confined to a mass lesion with
minimal or no blood and bone marrow involvement.
French-American-British (FAB) Classification
ALL Diagnosis
• Evaluation will include clinical examination, and bone
marrow aspiration and biopsy, which will diagnose ALL and
determine the leukemia phenotype as well as the presence
or absence of cytogenetic abnormalities.
• Bone marrow aspirations are preferred for diagnostic
accuracy and often provide better cytogenetics results.
• It is not standard in children or adolescents to diagnose
leukemia from the peripheral blood when lymphoblasts are
present.
• However, in cases where it is difficult to obtain either bone
marrow aspirate or biopsy, peripheral blood can be
substituted for bone marrow.
7. Idiopathic (Immune) Thrombocytopenic
Purpura
• Purpura trombositopenia
– penyakit autoimun yang ditandai dengan trombositopenia menetap (angka
trombosit darah tepi <150.000 ml/dl) akibat autoantibodi yang mengikat antigen
trombosit menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam sistem
retikuloendotelial terutama di limpa
• 10% ITP + anemia hemolitik autoimun  Evan’s syndrome
• Etiologi
– Primer: dx eksklusi
– Sekunder: virus (HIV, HCV, HBV, EBV), H. Pylori, ANA
– Anak: akut pasca infeksi
– Dewasa: kronik
• Manifestasi klinis: perdarahan mukokutan, petechiae, purpura.
Perdarahan spontan bila Tr <20,000/mm3
• Pemeriksaan lab
– BT, CT
– Hapus darah tepi: megakariosit
– Biopsi sumsum tulang: ↑ megakariosit
ITP
• Diawali dari adanya autoantibodi (sebagian besar
merupakan IgG) → melawan membran trombosit
glikoprotein IIb-IIIa atau Ib-IX.
• Antibodi antiplatelet berkerja sebagai opsonin yang dikenali
oleh reseptor IgG Fc pada makrofag → apabila ia melekat
pada trombosit, makrofag akan mengenali kompleks
tersebut sebagai substansi yang harus dihancurkan →
terjadi peningkatan destruksi platelet.
• ITP ringan:
– hanya trombosit yang diserang
– megakariosit mampu mengkompensasi kondisi itu dengan jalan
meningkatkan produksi trombosit.
• ITP berat:
– autoantibodi juga menyerang megakariosit, sehingga produksi
trombosit juga menurun.
ITP
• ITP akut
• umumnya ringan dan lebih dari 90% penderita sembuh
dalam 3-6 bulan karena merupakan self-limited disease
• bentuk pendarahannya  purpura pada kulit dan mukosa
(hidung, gusi, saluran cerna dan traktus urogenital).
• ITP kronik
• pendarahannya dapat berupa ekimosis, peteki, purpura;
umumnya berat
• Traktus urogenital merupakan tempat pendarahan paling
sering.
• Spleenomegali ringan tanpa limfadenopati dapat
dijumpai pada kedua ITP, namun hanya 10-20% kasus.
Manifestasi Klinis
• Trombositopenia.
• Morfologi eritrosit, leukosit, dan retikulosit biasanya
normal, kadang dapat dijumpai adanya megatrombosit
• Bleeding time memanjang.
• Pemeriksaan aspirasi sum-sum tulang
• hanya dilakukan pada dewasa tua (>40 tahun), gambaran
klinis tidak khas, atau pasien yang tidak berespon baik
terhadap terapi.
• Kecurigaan ITP sekunder → pemeriksaan laboratoris
diperlukan untuk menginvestigasi penyakit dasarnya.
Tatalaksana
• Pasien dengan angka trombosit (AT) >30.000/µL, asimptomatik atau
purpura minimal
– tidak diterapi rutin.
• Pendarahan mukosa dengan AT <20.000/µL atau pendarahan ringan
dengan AT <10.000/µl
– Pengobatan dengan kortikosteroid
– Prednison 1-2 mg/kgBB/hari, dievaluasi 1-2 minggu
– Bila responsif, dosis diturunkan perlahan hingga AT stabil atau dipertahankan
30.000-50.000/ µL
– Prednison juga dapat diberikan dosis tinggi 4 mg/kgBB/hari selama 4 hari, bila
tidak ada respon maka pengobatan yang diberikan hanya suportif.
• Pemberian suspensi trombosit dilakukan bila
– AT <20.000/µL dengan pendarahan mukosa berulang
– pendarahan retina
– pendarahan berat
– AT <50.000/µL
– kecurigaan pendarahan intrakranial
– menjalani operasi dengan AT <150.000/µL.
8. Atelectasis

• Pulmonary atelectasis is described as a state


of a given region of lung parenchyma
collapsed and nonaerated, associated with
loss of lung volume and capacity, diagnosed
from clinical and complementary tests
(SCHINDLER, 2005)

Pozzo et.al. Children with pulmonary atelectasis: clinical outcome and characterization of physical therapy. Maringá, v. 35, n. 2, p. 169-173, July-
Dec., 2013
Atelectasis
• Classification of
Ateletacsis :
– Obstructive ateletacsis
– Resorptive ateletacsis
– Compressive ateletacsis
– Relaxation atelectasis
• The right middle lobe
orrifice is the narrowest
of the lobar orifices and
because it sorounded by
lymphoid tissue  most
common lobe to become
ateletactic
AT E L E C TA S I S
Chest radiographs and CT scans may
demonstrate direct and indirect signs of
lobar collapse.
Direct signs include displacement of
fissures and opacification of the collapsed
lobe.
Indirect signs include
• displacement of the hilum,
• mediastinal shift toward the side
of collapse,
• loss of volume on ipsilateral
hemithorax,
• elevation of ipsilateral diaphragm,
• crowding of the ribs,
• compensatory hyperlucency of
the remaining lobes,
• silhouetting of the diaphragm or
the heart border.
9. Diagnosis Pertusis
• Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis
(15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis
absolut
• IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan
antibodinya (IgG terhadap toksin pertusis)
• Foto toraks: Infiltrat perihiler atau edema,
atelektasis, atau empiema
• Diagnosis pasti apabila ditemukan organisme
pada apus nasofaring (bahan media Bordet-
Gengou) dengan menggunakan media transpor
(Regan-Lowe)
Pertussis Diagnosis
• Either polymerase chain reaction (PCR) or culture
can be performed on the same specimen.
• Culture testing is the criterion standard for B
pertussis infection, owing to its high specificity
(100%) for identification.
• Culture takes longer (up to 1 wk), but its
specificity is better (PCR has variable specificity)
• For best results with PCR testing, the specimen
should be collected within the first 5 weeks of
illness.
10. Food Allergy
• Hipersensitivitas terhadap protein di dalam makanan (cth kasein & whey dari
produk sapi)
• Mekanisme pertahanan spesifik dan non-spesifik saluran cerna belum sempurna,
antigen masuk lewat saluran cerna  hipersensitivitas
• Hipersensitivitas bisa diperantarai IgE atau Tidak diperantarai IgE
• The prevalence of food allergies has been estimated to be 5-6% in infants and
children younger than 3 years and 3.7 % in adults
• Gejala:
– Anafilaktik
– Kulit: dermatitis atopik, urtikaria, angioedema
– Saluran nafas: asma, rinitis alergi
– Saluran cerna: oral allergy syndrome, esofagitis eosinofilik, gastritis eosinofilik, gastroenteritis
eosinofilik, konstipasi kronik, dll.
• Pemeriksaan: skin test, IgE serum, eliminasi diet, food challenge
• Tata laksana:
– Eliminasi makanan yang diduga mengandung alergen
– Breastfeeding, ibu ikut eliminasi produk susu sapi dalam dietnya
– Susu terhidrolisat sempurna bila susah untuk breastfeeding
Nocerino A. Protein intolerance. http://emedicine.medscape.com/article/931548-overview
PPM IDAI
Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy
INTOLERANSI LAKTOSA MILK ALLERGY
o reaksi hipersensitivitas terhadap
o Ketidakmampuan tubuh untuk
protein susu sapi. Dapat melalui 2
mencerna “gula susu/laktosa”
Definisi mekanisme : 1). Diperantarai IgE ; 2).
akibat defisiensi enzim laktase.
Non IgE (rx hipersensitivitas tipe IV)
o reaksi non – imunologis

o mual, keram perut, kembung,


Manifestasi tidak hanya pada sal. cerna,
nyeri perut, flatus dan diare
Manifestasi tetapi juga pada mukosa, kulit, hingga
o gejala muncul dalam waktu 15
klinis saluran napas
menit hingga beberapa jam
setelah mengkonsumsi laktosa
o Double blind placebo controlled food
o Analisis tinja :
challenge (DBPCFC)  gold standar
• Metode klini test
 lebih banyak untuk riset
• Kromatografi tinja
o pemeriksaan lain yang resiko lebih
Pemeriksaan • pH tinja  tinja bersifat asam
rendah namun memiliki efikasi yg
Klinis o Pemeriksaan radiologis lactosa-
sama
barium meal
• skin prick test, pengukuran
o Ekskresi galaktos pada urin
antibodi IgE spesifik terhadap
o Uji hidrogen napas
protein susu sapi, patch test
11. Tatalaksana Demam Tifoid
Tatalaksana Demam Tifoid
12. Giardiasis
Anerior membulat

Trofozoit
Kista

Trofozoit:
- Pear shaped
Flagel Inti - Sepasang
nukleusseperti mata
- Pada bagian ventral
Posterior tajam terdapat alat
isapuntuk menempel
di mukosa usus
Giardiasis
• Etiologi: Giardia interstinalisdikenal sebagai Giardia
lamblia (protozoa)
Akut: berbau, mual, distensi
• Gejala klinis: abdomen, demam, tidak ada darah
dalam tinja
 Dapat asimptomatik
 Diare bisa menjadi akut/kronik
Ekskresi lemak meningkatsteatorrhea Kronik: nyeri dan distensi
• Terapi: abdomen, tinja berlendir, dan BB
turun
DOC: metronidazole 3x250 mg atau 2x500 mg selama 5-
7hari (anak: 15 mg/kgBB/3dosis selama 5 hari)
Alternatif: Tinidazole 2 gr PO SD (anak >2thn: 50 mg/kgBB
PO SD)
13. Pediatric Bronchiectasis
• Bronchiectasis is a structural abnormality characterized by abnormal
dilation and distortion of the bronchial tree.
• This condition is typically the end result of a variety of pathophysiologic
processes that render the bronchial walls weakened, easily collapsible,
chronically inflamed, and plugged with mucus secretions.
• A systematic review (12 studies involving 989 children) found 63% had an
underlying cause. Previous pneumonia (19%), primary immunodeficiency
(17%), recurrent aspiration, including an inhaled foreign body (10%), and
primary ciliary dyskinesia (7%) were implicated most commonly.
• It has been estimated that approximately 30% of cases of bronchiectasis
are idiopathic.
• In resource-rich countries, cystic fibrosis (CF) is the most common cause of
bronchiectasis in children.
Etiology of Bronchiectasis in Children
• Infectious: • Immune deficiency:
– Severe pneumonia, viral – Immunoglobulin A (IgA) and G (IgG) deficiencies
and bacterial – Allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA)
– Mycobacterial and Fungal • Acquired disorders associated with
infections
bronchiectasis;
– Measles, tuberculosis,
pertussis, adenovirus, – Intrinsic airway luminal obstruction by a retained
Mycobacterium avium, bronchial foreign body or extrinsic compression by
and Aspergillus fumigatus mass
– Chronic aspiration, which is associated with
• Congenital/Genetic swallowing dysfunction, gastroesophageal reflux
disorders: disease, or tracheoesophageal fistula
– Cystic Fibrosis – Connective tissue disorders, including rheumatoid
– Young syndrome arthritis and systemic lupus erythematosus
– Primary Ciliary dyskinesia – Extrinsic airway narrowing (vascular ring,
– Marfan syndrome adenopathy, compressive mass)
– Alpha-1 antitrypsin
deficiency
Pathophysiology
• Bronchiectasis is the outcome of complex interaction between host, pathologic process,
and environment.
• Obstruction, inadequate mucus clearance, and infection are necessary prerequisites.
• Exposure to pathogens results in an inflammatory response characterized by neutrophil
influx and cytokine (inflammatory mediator) release results in impaired mucociliary
clearance, which in turn leads to increased bacterial colonization and infection.
• The continued cycle of infection, inflammation, and airway injury with impaired
mucociliary clearance results in loss of the airway muscular and elastic components with
dilation and distortion of the airways and increased sputum production.
• The airways become collapsible, limiting airflow, especially with forced expiration.
• The lung parenchyma is often involved, developing areas of atelectasis, emphysema, and
fibrosis.
• In addition, there is marked hypertrophy of the bronchial vasculature, which is prone to
rupture.
Bronchiectasis Classification
• The classic Reid classification
divides bronchiectasis into
three different patterns,
based on gross histological
appearance:
– Cylindrical bronchiectasis,
mildly uniform airway
dilation
– Varicose bronchiectasis,
focally dilated areas between
narrowed segments
– Saccular bronchiectasis,
balloon-like airway dilation
with more disruption of lung
parenchyma
14. Tuberkulosis pada anak
• Pada umumnya anak yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala yang khas
over/underdiagnosed
• Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB
pada anak
• Pertimbangkan tuberkulosis pada anak jika :
– BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut
tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh
– Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas
– Batuk kronik 3 ≥ minggu
– Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak
(Depkes 2016)
• Penegakan diagnosis TB anak didasarkan 4 hal :
– Konfirmasi bakteriologis TB
– Gejala klinis yang khas TB
– Adanya bukti infeksi TB(tuberculin atau kontak TB)
– Foto thorax sugestif TB
• System skoring:
– Telah digunakan untuk diagnosis TB anak
– Bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan tuberculin dan foto
thoraks, maka skoring ini akan tidak dapat terpenuhi seluruh
komponennya
– Sehingga dibuat alur diagnostik berdasarkan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis
Sistem Skoring
Sistem Skoring

• Diagnosis oleh dokter


• Perhitungan BB dinilai saat pasien datang (moment opname)
• Demam dan batuk yang tidak respons terhadap terapi baku
• Cut-of f point: ≥ 6
• Anak dgn skor 6 yg diperoleh dari kontak dgn pasien BTA + dan hasil
uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan
observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak
tersebut
• Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
• Adanya skrofuloderma langsung didiagnosis TB
• Reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
• Total nilai 4 pada anak balita atau dengan kecurigaan besar dirujuk
ke rumah sakit
ALUR DIAGNOSIS
BILA DIDAPATKAN
GEJALA KLINIS
Pengobatan Profilaksis

• Pengobatan profilaksis hanya diberikan pada


pasien dengan kontak TB dan tidak bergejala,
yaitu:
– kelompok infeksi laten TB (tuberculin positif)
– Terpajan (tuberculin negative)
• Untuk menentukan kelompok pasien tersebut
dilakukan investigasi kontak
ALUR INVESTIGASI
KONTAK
Profilaksis TB pada Anak

KETERANGAN
• ILTBInfeksi Laten TB
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari
selama 6 bulan.
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala
TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera
dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke
regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
15. Bronkiolitis
• Infection (inflammation) at
bronchioli
• Bisa disebabkan oleh
beberapa jenis virus, yang
paling sering adalah
respiratory syncytial virus
(RSV)
• Virus lainnya: influenza,
parainfluenza, dan
adenoviruses
• Predominantly < 2 years of age
(2-6 months)
• Difficult to differentiate with
pneumonia and asthma
Bronkhiolitis
Bronchiolitis
Bronchiolitis:
Management

Mild disease
• Symptomatic therapy
Moderate to Severe diseases
• Life Support Treatment : O2,
IVFD
• Etiological Treatment
– Anti viral therapy (rare)
– Antibiotic (if etiology
bacteria)
• Symptomatic Therapy
– Bronchodilator: controversial
– Corticosteroid: controversial
(not effective)
Tatalaksana Bronkiolitis
• Walaupun pemakaian nebulisasi
dengan beta2 agonis sampai saat
ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan
alasan:
– Pada bronkiolitis selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli)
– Beta agonis dapat meningkatkan
mukosilier
– Sering tidak mudah membedakan
antara bronkiolitis dengan
serangan pertama asma
– Efek samping nebulasi beta agonis
yang minimal dibandingkan
epinefrin.

Sari Pediatri
16. Diabetes Melitus Tipe 1
(Insulin-dependent diabetes mellitus)
• Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme
• glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
• Etiologi: Suatu proses autoimun yang merusak sel β
pankreas sehingga produksi insulin berkurang, bahkan
terhenti. Dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan.
• Insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun
• Komplikasi : Hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum,
retinopathy , nephropathy and hypertension, peripheral and
autonomic neuropathy, macrovascular disease
• Manifestasi Klinik:
– Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
– Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeri perut, napas cepat
• dan dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran
Kriteria Diagnosis DM pada Anak
• Kriteria diagnostik
• Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah
kapiler < 126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk
DM sehingga perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa
darah.
• Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:
– Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan
yang menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/ dL (11.1
mmol/L).
– Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari
normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari
satu kali pemeriksaan.
• Pemeriksaan Penunjang :
– Penderita baru : gula darah, urin reduksi dan keton urin, HbA1C, C-
Peptide (untuk membedakan diabetes tipe 1 dan tipe 2), pemeriksaan
autoantibodi yaitu: cytoplasmic antibodies (ICA), insulin
autoantibodies (IAA), dan glutamic acid decarboxylase (GAD).
– Penderita lama : HbA1c Setiap 3 bulan sebagai parameter kontrol
metabolik
• Tatalaksana: Insulin

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation.
2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
17. Anemia Defisiensi Besi
Etiologi
• Bayi di bawah 1 tahun • Anak umur 2-5 tahun
– Persediaan besi yang – Diet rendah heme
kurang karena BBLR, lahir – Infeksi berulang/menahun
kembarm ASI eksklusif – Perdarahan berlebihan
tanpa suplementasi, susu karena divertikulum
formula rendah besi, meckel
pertumbuhan cepat,
anemia selama kehamilan • Umur 5 tahun – remaja
• Anak umur 1-2 tahun – Poliposis
– Tidak mendapat MPASI – Kehilangan besi karena
– Kebutuhan meningkat perdarahan e.c
parasit/infeksi
karena infeksi berulang
– Malabsorbsi • Remaja dewasa
– Menstruasi berlebihan
Manifestasi Klinis
• Anamnesis • Pemeriksaan fisik
– Pucat yang berlangsung – Pucat tanpa tanda – tanda
lama (kronik) perdarahan
– Gejala komplikasi : lemas, – Limpa dapat membesar
sariawan, fagofagia, namun umumnya tidak
penurunan prestasi belajar, teraba
menurunnya daya dahan – Koilonikia, glositis. Dan
tubuh terhadap infeksi dan stomatitis angularis
gangguan perilaku
– Terdapat faktor predisposis
dan faktor penyebab
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Penatalaksanaan
• Pengobatan harus dimulai pada stadiumdini (pada stadium deplesi besi
atau kekurangan besi) untuk mencegah terjadinya ADB
• Tatalaksana etiologi dan terapi preparat zat besi atau bila perlu diberikan
transfusi PRC
• Pemberian Zat Besi :
– Preparat besi diberikan sampai kadar Hb normal dilanjutkan sampai
terpenuhi  bentuk fero lebih mudah diserap
• Pemberian parenteral diberikan bila pemberian
oral gagal, misalnya akibat malabsorbsi, atau efek
samping berat pada saluran cerna
• Evaluasi hasil pengobatan  periksa Hb,
retikulosit seminggu sekali, SI dan feritin
seminggu sekali
• Terapi diteruskan hingga 2 bulan Hb normal tanpa
pemeriksaan SI dan feritin
• Transfusi hanya diberikan bila Hb<7 g/dL atau
kadar Hb ≥7 g/dl disertai lemah, gagal jantung,
infeksi berat atau akan menjalani operasi
 transfusi PRC
18. Giardiasis
Anerior membulat

Trofozoit
Kista

Trofozoit:
- Pear shaped
Flagel Inti - Sepasang
nukleusseperti mata
- Pada bagian ventral
Posterior tajam terdapat alat
isapuntuk menempel
di mukosa usus
Giardiasis
• Etiologi: Giardia interstinalisdikenal sebagai Giardia
lamblia (protozoa)
Akut: berbau, mual, distensi
• Gejala klinis: abdomen, demam, tidak ada darah
dalam tinja
 Dapat asimptomatik
 Diare bisa menjadi akut/kronik
Ekskresi lemak meningkatsteatorrhea Kronik: nyeri dan distensi
• Terapi: abdomen, tinja berlendir, dan BB
turun
DOC: metronidazole 3x250 mg atau 2x500 mg selama 5-
7hari (anak: 15 mg/kgBB/3dosis selama 5 hari)
Alternatif: Tinidazole 2 gr PO SD (anak >2thn: 50 mg/kgBB
PO SD)
19-20. Diare Akut pada Anak
Klasifikasi diare
pada anak
Tanpa dehidrasi

Dehidrasi ringan-sedang
Dehidrasi berat

Terapi zinc
Syok hipovolemik
pada anak
• Jika diare sangat massif
sehingga volume loss
sangat tinggi, anak dapat
mengalami syok
hipovolemik
• Tatalaksana syok akibat
diare pada anak tidak
menggunakan rencana
terapi C melainkan
algoritma tatalaksana
syok hipovolemik anak
21. Pertusis
• Batuk rejan (pertusis) adalah penyakit akibat infeksi Bordetella pertussis
dan Bordetella parapertussis (basil gram -)
• Karakteristik : uncontrollable, violent coughing which often makes it hard
to breathe. After fits of many coughs needs to take deep breathes which
result in a "whooping" sound.
• Anak yang menderita pertusis bersifat infeksius selama 2 minggu sampai 3
bulan setelah terjadinya penyakit
• Stadium:
– Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea, demam subfebris. Sulit
dibedakan dari infeksi biasa. Penularan terjadi dalam stadium ini.
– Stadium paroksismal: batuk paroksismal yang lama, bisa diikuti dengan
whooping atau stadium apnea. Bisa disertai muntah.
– Stadium konvalesens: batuk kronik hingga beberapa minggu

Guinto-Ocampo H. Pediatric pertussis. http://emedicine.medscape.com/article/967268-overview


Diagnosis dan Tatalaksana Pertusis
• Diagnosis :
– Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit
diketahui terjadi lokal.
– Tanda diagnostik : Batuk paroksismal diikuti whoop saat inspirasi disertai muntah,
perdarahan subkonjungtiva, riwayat imunisasi (-), bayi muda dapat mengalami
henti napas sementara/sianosis
• Penatalaksanaan :
– Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan
– < 6 bulan, dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas, atau
sianosis dirawat di RS
• Pemeriksaan penunjang
– Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan
limfositosis absolut
– IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin
pertusis)
– Ditemukan kuman pada apusan nasofaring (kultur/PCR)
Tatalaksana
• Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)
• Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
• Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
• Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol,
dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi
pertusis.
• Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,
hipoksia dan/ atau dehidrasi.
• Terapi antibiotik: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi.
• Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
22. Tatalaksana Choking
23. Cerebral Palsy
• Cerebral palsy pada dasarnya adalah gangguan terhadap pergerakan dan
postur tubuh; yang mencakup gangguan pengontrolan gerakan akibat
adanya lesi atau kelainan terhadap perkembangan otak di awal tahap
kehidupan dengan latar belakang penyakit yang tidak progresif.
• Definisi dari cerebral palsy terdiri dari beberapa kondisi, yaitu: lokasi lesi
terdapat di otak, lesi permanen dan tidak progresif meski gambaran
kliniknya dapat berubah seiring waktu, lesi muncul di awal kehidupan dan
mengganggu perkembangan otak yang normal, gambaran kliniknya di
dominasi oleh gangguan gerak dan postur dan gangguan kemampuan
pasien untuk menggunakan ototnya secara sadar.
• Mungkin juga diiringi komplikasi lain dari gangguan neurologis dan tanda
maupun gejala mental.
• CP is caused by a broad group of developmental, genetic, metabolic,
ischemic, infectious, and other acquired etiologies that produce a
common group of neurologic phenotypes
Cerebral Palsy Risk factor
Klasifikasi palsi cerebral:
• Tipe Spastik (jenis paling banyak)
– Lokasi lesi yang menyebabkan spastisitas terutama pada traktus
kortikospinal.
– Terjadi peningkatan konstan pada tonus otot, peningkatan reflex
otot kadang di sertai klonus (reflex peregangan otot yang
meningkat) dan tanda Babinski positif.
• Tipe Diskinetik: akibat lesi pada basal ganglia atau batang
otak. Terdiri dari distonia dan koreaatetosis. Terkait dengan
gerakan involunter.
• Tipe Ataksik terdiri dari tremor, langkah yang goyah dengan
kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi dan
gerakan abnormal. lokasi lesi utama yang menyebabkan
kelainan ini adalah cerebellum.
• Tipe Campuran merupakan gabungan dari 2 jenis (biasanya
tipe spastik dan koreoatetoid)
Clinical Manifestation
• CP is generally divided into several major motor syndromes
that differ according to the pattern of neurologic involvement,
neuropathology, and etiology
24. DENGUE FEVER (DF)
& DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)
• Disebabkan oleh virus flavivirus • Rumple leede: A tourniquet test used
dengan 4 serotipe DEN-1, DEN-2, to determine the presence of vitamin
DEN-3, DEN-4 melalui nyamuk aedes C deficiency or thrombocytopenia
aegypti atau aedes albopictus • A circle 2.5 cm in diameter, the upper
• DEN-2 merupakan serotipe yang edge of which is 4 cm below the
banyak berhubungan dengan kasus crease of the elbow, is drawn on the
berat inner aspect of the forearm, pressure
• Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau midway between the systolic and
lebih gejala berikut: diastolic blood pressure is applied
– Nyeri kepala above the elbow for 15 minutes
– Nyeri retroorbita • Count petechiae within the circle is
– Myalgia/arthralgia made:
– Ruam – 10  normal
– Manifestasi perdarahan – 10-20  marginal
– Leukopenia – more than 20  abnormal.
Pediatric Vital
Signs
Heart Rate
Age
(beats/min)

Premature 120-170 *
0-3 mo 100-150 *
3-6 mo 90-120 http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf

6-12 mo 80-120
1-3 yr 70-110
3-6 yr 65-110
6-12 yr 60-95
12 > yr 55-85

Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011. 1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999). Pediatric
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital reference ranges (3rd ed.). Washington, DC: AACC Press.
Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45. http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/354/36284
† From American Heart Association ECC Guidelines, 2000. 6/London%20App.%20B.pdf
Shock
Bleeding
Pemeriksaan Penunjang
25. Gagal Ginjal Akut
• Gagal ginjal akut (GGA) ialah penurunan fungsi ginjal mendadak
yang mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk
mempertahankan homeostasis
• Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif 0,5
mg/dL per hari dan peningkatan ureum sekitar 10-20 mg/dL per
hari.
• GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik.
– Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus dan <0,8
ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
• Jenis GGA
– GGA prarenal: dehidrasi, syok, perdarahan, gagal jantung, sepsis
– GGA renal: pielonefritis, glomerulonefritis, nefrotoksisitas karena obat
atau kemoterapi, lupus nefritis, nekrosis tubular akut, SHU, HSP
– GGA pascarenal: keracunan jengkol, batu saluran kemih, obstruksi
saluran kemih, sindrom tumor lisis, buli-buli neurogenik
Klasifikasi
Patogenesis
Acute Tubular Necrosis
Tatalaksana Medikamentosa GGA
• Terapi sesuai penyakit primer • Pemberian diuretik pada GGA
• Bila terdapat infeksi, dosis renal dengan furosemid 1-2
antibiotik disesuaikan dengan mg/kgBB dua kali sehari dan
beratnya penurunan fungsi ginjal dapat dinaikkan secara
• Pemberian cairan disesuaikan bertahap sampai maksimum 10
dengan keadaan hidrasi mg/kgBB/kali. (pastikan
kecukupan sirkulasi dan bukan
• Koreksi gangguan merupakan GGA pascarenal).
ketidakseimbangan cairan
elektrolit • Bila gagal dengan
medikamentosa, maka
• Natrium bikarbonat untuk dilakukan dialisis peritoneal
mengatasi asidosis metabolik atau hemodialisis.
sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari
sesuai dengan beratnya asidosis
26. Developmental Dysplasia of the Hip
• Developmental Dysplasia of the Hip (DDH) atau yang dahulu
dikenal dengan Congenital Dysplasia of the Hip (CDH)
merupakan suatu abnormalitas hubungan antara caput femur
dengan asetabulum.
• Abnormalitas tersebut berupa dislocated, dislocatable, dan
subluxatable.
• Tiga kali lebih sering pada pinggul kiri dibandingkan kanan.
• Faktor risiko:
– presentasi bokong
– riwayat keluarga dengan DDH (khususnya orang tua atau saudara)
– bayi perempuan (4 kali lebih sering pada bayi perempuan)
– berat bayi lahir lebih dari 4kg
– kehamilan lebih dari 42 minggu, oligohidramnion, anak pertama atau
kehamilan multipel
– budaya “membedong” terlalu ketat.

http://orthoinfo.aaos.org
Clinical Manifestations
• In newborn:
• We can diagnose DDH in this period by +ve
Ortolani test.
• Asymmetry of the skin fold may help, but its not
specific.
• Shortening of the limb at this age doesn’t exist.
• We cant use X-rays because the acetabulum and
proximal femur are cartilaginous and wont be
shown on X-ray.
• Ultrasound is the best method to Dx.
• In the intermediate age (after 3 months):
• The most diagnostic sign is Ortolani’s limitation of abduction.
• Abduction less than 60 degrees is almost diagnostic.
• Shortening of the limb is more obvious now.(Galeazzi’s test)
• X-rays after the age of 3 can be helpful esp. after the
appearance of the ossific nucleus of the femoral head
• US is 100% diagnostic.

• In older children:
• Complaints of limping, waddling (bilateral DDH), lumbar
lordosis, limitation of hip abduction, toe-walking, wide
perineum
CLINICAL TESTS
• Barlow's test: the Barlow maneuver identifies
the unstable hip that is in a reduced position
that the clinician can passively dislocate.
• Ortolani ‘s test: performed following Barlow's
test to determine if the hip is actually
dislocated  clunk sound
• Klisic’s test
• Galeazzi’s test
• Limited abduction
Limited abduction
Pemeriksaan Fisik
A. Uji Ortolani

• Pemeriksaan ini dilakukan dengan jalan mengembalikan kepala femur


yang mengalami dislokasi kembali ke asetabulum.
• Pertama-tama femur dipegang dalam keadaan fleksi di daerah midline.
• Kemudian femur diabduksi secara perlahan sambil mendorong
torakanter mayor dengan jari-jari ke arah anterior.
B. Uji Barlow

• Femur difleksikan kemudian dengan hati-hati


digeser ke arah midline.
• Setelah itu femur didorong ke arah posterior secara
perlahan.
• Bila terdapat dislokasi sendi panggul maka akan
terasa kepala femur terdorong keluar asetabulum.
C. Tanda Galleazi

• Dalam keadaan berbaring dan lutut dilipat, kedua lutut


seharusnya sama tinggi.
• Bila terdapat dislokasi panggul, maka lutut pada pada tungkai
yang bersangkutan akan terlihat lebih rendah.
Asymmetric gluteal, thigh, labial folds
Klisic’s test
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
• Foto Rontgen: menentukan garis helgenreiner &
garis perkin
Sudut acetabular
• N pada bayi baru lahir <28º
• N dewasa : 33º-38º
• Intermediate : 39º-46º
• Hip Dysplasia : >47º
Tatalaksana & Komplikasi
• Tatalaksana Komplikasi dapat terjadi
bergantung: bila penangana DDH telat
• Usia saat diagnosis dilakukan seperti:
• Beratnya kelainan
• Bentuk pengobatan • Avascular necrosis
• Non Operative • Subchondral fractures
• Operative
• Osteoarthritis
Umur 0-6 bulan
- Tujuan

- Mengembalikan caput femur ke


acetabulum

- Menstabilkan posisi sendi panggul

- Tindakan

- Jangan pasang bedung

- Gendong posisi abduksi

- Pavlic Harnes

- Keberhasilan 92-95
Umur 6-15 bulan
- Sebelum berjalan

- Reposisi tertutup + Spica cast

- Kalau perlu surgical

a. Adducor tenotomy

b. Open reduction

139
Umur 15 bulan – keatas
- Kelainan sudah menetap  Reposisi
terbuka dengan tindakan pembedahan

- Post operasi spina cast sampai 4 bln

- Komplikasi operasi
a. Redislokasi

b. Gangguan vaskuler caput humeri 


mengecil dan atropi  dislokasi lagi

140
27. Tatalaksana
Infeksi Dengue
• Transfusi trombosit:
• Hanya diberikan pada
DBD dengan
perdarahan masif (4-5
ml/kgBB/jam) dengan
jumlah trombosit
<100.000/uL, dengan
atau tanpa DIC.
• Pasien DBD
trombositopenia tanpa
perdarahan masif tidak
diberikan transfusi
trombosit.
Pemantauan Rawat
28. TIC DISORDER
• Terdapat 3 jenis gangguan tic yang utama,
yaitu:
– Tourette syndrome
– Persistent motor or vocal tic disorder
– Provisional tic disorder
Tourette Syndrome (DSM 5)
Motor or Vocal Tic Disorder (DSM 5)

https://emedicine.medscape.com/article/1182258-overview
Provisional Tic Disorder

https://emedicine.medscape.com/article/1182258-overview
29. Kandidosis Oral
JENIS KLINIS GAMBARAN KLINIS
Kandidosis Pseudomembran Akut • Plak putih serupa susu pada
(Thrush) mukosa --> Diangkat --> dasar
eritema

Kandidosis Eritematosa Atrofik • Area eritematosa pada dorsum


Akut dan Kronik lidah, palatum atau mukosa
bukal
Kandidosis Hiperplasia Kronik • Plak putih yang tidak dapat
• Kandidosis Oral Kronik diangkat
(Leukoplakia Kandida)
• Sindrom Kandidosis Endokrin
• Kandidosis Mukokutaneus
Terlokalisasi Kronis
• Kandidosis Kronik Difus
Denture Related Stomatitis • Eritema dan edema kronik
pada mukosa yang berkontak
dengan denture
Kelitis Angular • Lesi pada sudut mulut
• perih, eritema dan fissura
Candida albicans
Prinsip tatalaksana

• Infeksi ringan
– < 1 tahun: Suspensi nistatin 200.000 U 4 kali
sehari. (A,1)
– > 1 tahun dan dewasa: Suspensi nistatin 400.000-
600.000 U 4 kali sehari. (A,1)
• Infeksi sedang sampai berat
– Flukonazol 1x100-200 mg/hari selama 7-14 hari.
(A,1)
30. Clinical manifestations that are suggestive of
specific congenital infections in the neonate
Uptodate. 2017

Congenital toxoplasmosis Congenital rubella


• Intracranial calcifications (diffuse) • Cataracts, congenital glaucoma,
pigmentary retinopathy
• Hydrocephalus
• Chorioretinitis • Congenital heart disease (most
commonly patent ductus arteriosus or
• Otherwise unexplained mononuclear CSF peripheral pulmonary artery stenosis)
pleocytosis or elevated CSF protein
• Radiolucent bone disease
Congenital syphilis • Sensorineural hearing loss
• Skeletal abnormalities (osteochondritis & Congenital cytomegalovirus
periostitis)
• Thrombocytopenia
• Pseudoparalysis • Periventricular intracranial calcifications
• Persistent rhinitis • Microcephaly
• Maculopapular rash (particularly on palms • Hepatosplenomegaly
and soles or in diaper area) • Sensorineural hearing loss
Clinical manifestations that are suggestive of specific
congenital infections in the neonate
Uptodate. 2017

Herpes simplex virus Congenital varicella


Perinatally acquired HSV infection • Cicatricial or vesicular skin lesions
• Mucocutaneous vesicles
• Microcephaly
• CSF pleocytosis
Congenital Zika syndrome
• Thrombocytopenia
• Elevated liver transaminases • Microcephaly

• Conjunctivitis or keratoconjuctivitis • Intracranial calcifications

Congenital (in utero) HSV infection (rare) • Arthrogryposis


• Skin vesicles, ulcerations, or scarring • Hypertonia/spasticity
• Eye abnormalities (eg, micro-ophthalmia)
• Ocular abnormalities
• Brain abnormalities (eg, hydranencephaly,
microcephaly) • Sensorineural hearing loss
Congenital Toxoplasma Clinical
Presentation
• First Trimester – often results in death
• Second Trimester – classic triad
– Hydrocephalus
– Intracranial calcifications
– Chorioretinitis
• Third Trimester – often asymptomatic at birth
• Symptoms may also include fever, IUGR, microcephaly,
seizure, hearing loss, maculopapular rash, jaundice,
hepatosplenomegaly, anemia, and lymphadenopathy
Cytomegalovirus Congenital Infection

• Majority are asymptomatic at birth


• Periventricular calcifications
• IUGR, developmental delay, microcephaly, sensorineural
hearing loss, retinitis, jaundice, hepatosplenomegaly,
thrombocytopenia, hypotonia, lethargy, poor suck
• Preterm infants may appear septic – apnea, bradycardia,
intestinal distension)
• Postnatal infections are generally asymptomatic
Cytomegalic inclusion disease (CID)
• Approximately 10% of infants with congenital
infection have clinical evidence of disease at
birth.
• The most severe form of congenital CMV
infection is referred to as CID.
• CID almost always occurs in women who have
primary CMV infection during pregnancy,
although rare cases are described in women with
preexisting immunity who presumably have
reactivation of infection during pregnancy.
Cytomegalic Inclusion Disease (CID)
• Intrauterine growth restriction,
• Hepatosplenomegaly,
• Hematological abnormalities (particularly thrombocytopenia),
• Various cutaneous manifestations, including petechiae and purpura (ie,
blueberry muffin baby).
• However, the most significant manifestations of CID involve the CNS.
– Microcephaly,
– ventriculomegaly,
– cerebral atrophy,
– chorioretinitis,
– and sensorineural hearing loss
• Intracerebral calcifications typically demonstrate a periventricular distribution
and are commonly encountered using CT scanning (see the image below).
– The finding of intracranial calcifications is predictive of cognitive and audiologic
deficits in later life and predicts a poor neurodevelopmental prognosis.
Tissue invasive disease - infected cells are identified on H & E stain
by characteristic features including a large cell nucleus with peri-
nuclear clearing, and basophilic staining cytoplasmic inclusion
bodies which are often referred to as the “owl’s eye” appearance.
31. Difteri
• Penyebab : toksin Corynebacterium diphteriae
• Organisme:
– Basil batang gram positif
– Pembesaran ireguler pada salah satu ujung (club shaped)
– Setelah pembelahan sel, membentuk formasi seperti huruf cina
atau palisade
• Gejala:
– Gejala awal nyeri tenggorok
– Bull-neck (bengkak pada leher)
– Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan di faring,
tonsil, uvula, palatum. Pseudomembran sulit dilepaskan. Jaringan
sekitarnya edema.
– Edema dapat menyebabkan stridor dan penyumbatan sal.napas

Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html


Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
http://4.bp.blogspot.com/
Prinsip diagnostik
• Pemeriksaan :
– Pemeriksaan Gram & Kultur; sediaan berasal dari swab
tenggorok, jika bisa diambil dibawah selaput pseudomembran
– Kultur bisa menggunakan medium cystine tellurite blood agar
(CTBA), medium hoyle dan medium tinsdale  medium selektif
untuk kultur Corynebacterium diphtheriae
– Untuk megisolasi Corynebacterium digunakan agar darah telurit
(Mc Leod), sebagai media selektif, setelah inkubasi selama 24 jam
koloni bakteri terlihat berwarna abu-abu tua-hitam.
– Selanjutnya untuk biakan murni Corynebacterium digunakan
media perbenihan Loeffler dalam tabung

Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html


Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
Tellurite Blood (Hoyle’s) Agar
• A selective medium for
isolation of Corynebacterium
diphtheriae.
• Tellurite inhibits the growth of
most secondary bacteria
without an inhibitory effect on
diphtheria bacilli.
• It is also an indicator medium
as the diphtheria bacilli
produce black colonies.
• Tellurite metabolized to
tellbrism, which has black
colour.
32. Ketoasidosis Diabetikum
Diagnostic Criteria and Typical Total Body Deficits of
Water and Electrolytes in Diabetic Ketoacidosis
• Diagnostic criteria* • Typical deficits
– Blood glucose: > 250 mg per dL – Water: 6 L, or 100 mL per kg
(13.9 mmol per L) body weight
– pH: <7.3 – Sodium: 7 to 10 mEq per kg body
– Serum bicarbonate: < 15 mEq/L weight
– Urinary ketone: ≥3+ – Potassium: 3 to 5 mEq per kg
body weight
– Serum ketone: positive at 1:2
dilutions† – Phosphate: ~1.0 mmol per kg
body weight
– Serum osmolality: variable

*Not all patients will meet all diagnostic criteria,


depending on hydration status, previous
administration of diabetes treatment and other
factors.
Adapted with permission from Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA. Diabetic
ketoacidosis. In: Porte D Jr, Sherwin RS, eds. Ellenberg and Rifkin's Diabetes
mellitus. 5th ed. Stamford, Conn.: Appleton & Lange, 1997;827–44.

CLASSIC TRIAD OF DKA


33. Overview Vitamin D
• Vitamin larut lemak
• Penamaan:
– Vitamin D secara umum: calciferol
– Vitamin D2: Ergocalciferol (in plant dietary sources)
– Vitamin D3: Cholecalciferol (in animal products and dermal synthesis)
– Calcidiol: (25-hydroxyvitamin D or 25[OH]D), is the storage form of
vitamin D, formed in the liver.
– Calcitriol (1,25-hydroxyvitamin D or 1,25[OH]2D), is the active form
of vitamin D. It is formed in the kidney, after 25(OH)D undergoes 1-
alpha-hydroxylation to form 1,25(OH)2 vitamin D. This process is
driven by parathyroid hormone (PTH) and other mediators, including
hypophosphatemia and growth hormone.
Overview Vitamin D
• Sumber Vit D dr makanan alami sedikit kec. di fatty
fish shg sintesis Vit D di kulit adl sumber utama
• Milk, infant formula, breakfast cereals, and some
other foods are fortified with synthetic vitamin D2
(ergocalciferol)
• Vit D yang disintesis o/ tubuh merupakan Vit D3,
sedangkan sumber dr makanan bisa berupa Vit D2
ataupun D3
• Vit D dari kulit dan makanan akan diaktivasi di hepar
dan ginjal untuk menjadi kalsitriol  Target organ GI
tract, ginjal dan tulang (LIHAT DIAGRAM!)
Pathways of vitamin D synthesis
• The result is an increase
in the serum calcium and
phosphate
concentrations.
• 25-hydroxyvitamin D2 has
a lower affinity than 25-
hydroxyvitamin D3 for
vitamin D-binding
protein.
• Thus, 25-(OH)D2 has a
shorter half-life than 25-
(OH)D3, and treatment
with vitamin D2 may not
increase serum total
25(OH)D levels as
efficiently as vitamin D3.
Impaired availability of vitamin D,
secondary to inadequate dietary
vitamin D, fat malabsorptive disorders,
and/or lack of sunlight
(photoisomerization)

End-organ
insensitivity to Impaired
vitamin D hydroxylation
metabolites MEKANISME by the liver to
(hereditary vitamin DEFISIENSI produce 25-
D-resistant rickets VIT D
[HVDRR, vitamin D- hydroxyvitamin
dependent rickets D (25[OH]D)
type 2])

Impaired hydroxylation by the kidneys to


produce 1,25-dihydroxyvitamin D (vitamin
D-dependent rickets type 1, chronic renal
insufficiency)
Vit D Deficiency in Children
• Risk factor in infants : dark skinned and exclusively
breastfed beyond three to six months of age, particularly
if there are additional risk factors such as maternal
vitamin D deficiency during pregnancy or prematurity.
• Risk factor in children who are dark skinned and on
vegetarian and unusual diets, use anticonvulsant or
antiretroviral medications, or those with malabsorptive
conditions.
• Additional risk factors include residence at higher latitudes,
winter season, and other causes of low sun exposure.
Perinatal Factors in Pediatric Vit D
Deficiency and Nutritional Rickets
• Maternal vitamin D deficiency
– Vitamin D is transferred from the mother to the fetus across the placenta, and
reduced vitamin D stores in the mother are associated with lower vitamin D
levels in the infant
– Materno-fetal transfer of vitamin D is mostly in the form of 25-
hydroxyvitamin D (25OHD), which readily crosses the placenta. (remember,
25-(OH)D2 has a shorter half-life than 25-(OH)D3)
• Prematurity
– Vitamin D levels are particularly low in premature infants, who have less time
to accumulate vitamin D from the mother through transplacental transfer.
– The third trimester is a critical time for vitamin D transfer
• Exclusive breast feeding
– The vitamin D content of breast milk is low (15 to 50 int. units/L) even in a
vitamin D sufficient mother, and exclusively breastfed infants consuming an
average of 750 mL of breast milk daily ingest only 10 to 40 international
units/day of vitamin D in the absence of sun exposure or supplement use
34. Resusitasi
Neonatus
Rekomendasi utama untuk resusitasi
neonatus:
• Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan
dua tanda vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan.
• Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian
warna kulit tidak dapat diandalkan.
• Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan
dengan udara dibanding dengan oksigen 100%.
• Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara
(blended oxygen , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan
oksimetri.
• Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya
pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban
bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi.
• Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit
untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup
untuk merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat
pada bayi yang memerlukan resusitasi.
Pemberian Oksigen
• Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai
resusitasi dengan udara atau oksigen campuran
(blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi
oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target.
• Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi
dimulai dengan udara kamar.
• Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah
90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
Teknik Ventilasi dan Kompresi

• Ventilasi Tekanan Positif (VTP)


• Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit
setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
• Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
• Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi
napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan
mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari
100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat
ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Teknik Ventilasi dan Kompresi

• Kompresi dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masing-
masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara
periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3
dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi
berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh
meninggalkan posisi di dada.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
35. Bronkiolitis
• Infection (inflammation) at
bronchioli
• Bisa disebabkan oleh
beberapa jenis virus, yang
paling sering adalah
respiratory syncytial virus
(RSV)
• Virus lainnya: influenza,
parainfluenza, dan
adenoviruses
• Predominantly < 2 years of age
(2-6 months)
• Difficult to differentiate with
pneumonia and asthma
Bronkhiolitis
Bronchiolitis
36. Tatalaksana Pertussis
• Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)
• Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
• Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
• Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol,
dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi
pertusis.
• Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,
hipoksia dan/ atau dehidrasi.
• Terapi antibiotik: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi.
• Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
37-38. Glomerulonefritis akut
• Glomerulonefritis akut kondisi yang ditandai dengan edema, hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana terjadi
inflamasi pada glomerulus
• Glomerulonefritis disebabkan oleh beberapa macam kelainan yang
memiliki karakteristik berupa kerusakan glomerulus akibat inflamasi
• Glomerulonefritis akut post streptococcal merupakan salah satu bentuk
tersering dari glomerulonefritis akut
• Gejala klinis:
 Gross hematuria: urin berwarna seperti the atau coca-cola
 Oliguria
 Edema
 Nyeri kepala, merupakan gejala sekunder akibat hipertensi
 Dyspneabisa akibat edema paru atau gagal jantung yang mungkin terjadi
 Hipertensi

Niaudet P. Overview of the pathogenesis and causes of glomerulonephritis in children. UpToDate, 2016
Parmar MS. Acute glomerulonephritis. Emedicine, 2016
Patogenesis dan Patofisiologi
Streptococcal infection

Aktivasi komplemen Komplemen serum turun

Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun

GFR turun Reabsorbsi natrium distal

oliguria
Retensi air dan natrium

Volume darah meningkat

Edema dan hipertensi


Pemeriksaan penunjang
• Urinalisis
 Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
• Peningkatan ureum dan kreatinin
• ASTO meningkat (ASTO: antibodi terhadap streptolysin O,
yang merupakan toxin yang diproduksi oleh kuman grup
A)
• Komplemen C3 menurun pada minggu pertama
• Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, dan
hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut
Therapy in Pediatric GNAPS
• The major goal is to control edema and blood pressure
• Management of edema:
– Sodium and fluid restriction
• A sodium-restricted diet is tailored to provide the child with approximately 2 to 3 mEq of
sodium/kg per day (23-46 mg/kg), the amount of sodium required for a growing child.
• maximum sodium intake of 2000 mg/day
• Fluid restriction can be considered in patients with generalized edema in poststrep GN
– Diuretic therapy
• If significant edema or hypertension develops
• Loop diuretics (eg, (Furosemide 1-2 mg/kg/kali IV per 6-12 jam; Oral: 2 mg/kg once daily)
• Management of Hypertension
– For hypertension not controlled by diuretics, usually calcium channel blockers,
angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEIs), or angiotensin receptor blockers
(ARBs) are useful
• Specific therapy:
– Strep Inf. (+): Treat with oral penicillin V (250 mg qid for 7-10 d for children ≤27 kg) or with
erythromycin (250 mg qid for 7-10 d) for patients allergic to penicillin
– This helps prevent nephritis in carriers and helps prevent the spread of nephritogenic strains to
others
• Indications for dialysis include life-threatening hyperkalemia and clinical
manifestations of uremia
• Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari.
39. Herpetic Gingivostomatitis
• Primary herpetic gingivostomatitis is characterized by ulcerative lesions
of the gingiva and mucous membranes of the mouth, often with perioral
vesicular lesions.
• It generally begins with a prodrome that lasts approximately four days
and may include fever (>38°C), anorexia, irritability, malaise,
sleeplessness, and headache.
• The eruption on the oral mucosa begins with red, edematous marginal
gingivae that bleed easily and clusters of small vesicles.
• The vesicles become yellow after rupture and are surrounded by a red
halo. They coalesce to form large, painful ulcers of the oral and
perioral tissues.
• They bleed easily and may become covered with a black crust. The
lesions involve the buccal mucosa, tongue, gingiva, hard palate, and
pharynx; the lips and perioral skin are affected in approximately two-
thirds of cases.
• Mild lesions typically heal without scarring in approximately a week, but
healing may require 14 to 21 days in severe cases.
These three children demonstrate the
spectrum of oral infection with herpes simplex
virus, which ranges from asymptomatic to
severe.
(A) The first patient has a single vesicle on his
tongue.
(B) The second manifests widespread labial
lesions.
(C) The third patient shows dissemination to
the face. In the young girl with facial
involvement, fluorescein dye is dripping from
the left eye after its instillation in an attempt
to identify the typical dendritic ulcer seen with
herpetic keratitis.
Differential Diagnosis
• Herpangina – Herpangina, which is usually caused by group A
coxsackieviruses, typically causes painful posterior
pharyngeal lesions that do not bleed, has a more acute onset
and shorter duration than HSV gingivostomatitis, and occurs
primarily in the summer and early fall
• Hand, foot, and mouth disease – Hand, foot, and mouth
disease is caused by a number of coxsackie A and B viruses. It
occurs in the spring and early summer. The cardinal findings
of HFMD are the oral enanthem and the exanthem.
• Aphthous ulcers – Aphthae, also called canker sores, are
painful oral lesions that appear as localized, shallow, round to
oval ulcers with a grayish base. They are not preceded by
vesicles and occur exclusively on nonkeratinized mucosal
surfaces; lesions on the lips and perioral lesions exclude a
diagnosis of aphthous ulcer.
Hand Foot Mouth Disease
• HFMD typically presents with complaints of mouth or throat pain (in verbal
children) or refusal to eat (in nonverbal children). Fever, if present, generally is
below 38.3°C.
• Prodromal symptoms usually are absent. When reported, they include fever,
fussiness, abdominal pain, emesis, and diarrhea
• The cardinal findings of HFMD are the oral enanthem and the exanthem.
However, the enanthem may occur without the exanthem and the exanthem
may occur without the enanthem
• Oral enanthem - The oral lesions of HFMD are anterior to the faucial pillars,
most commonly on the tongue and buccal mucosa; less commonly in the
gingivolabial groove and on the soft and hard palates; and occasionally on the
uvula, lips, and tonsils.
• The enanthem begins as erythematous macules, which progress to vesicles
surrounded by a thin halo of erythema. The vesicles quickly rupture and form
superficial ulcers with a greyish-yellow base and an erythematous rim. Ulcer
diameter typically ranges from 1 to 10 mm.
Hand Foot Mouth Disease
• Exanthem — The exanthem associated with HFMD may be
macular, maculopapular, or vesicular. The vesicles arise
from macules or macule-papules. Vesicle diameter ranges
from 1 to 10 mm. The vesicles are thin walled, contain a
clear or turbid fluid, and are surrounded by a thin (1 mm)
halo of erythema.
• The skin lesions of HFMD are nonpruritic.
• The exanthem typically involves the hands (dorsum of the
fingers, interdigital area, palms), feet (dorsum of the toes,
lateral border of the feet, soles, heels), buttocks, legs
(upper thighs), and arms. Lesions on the buttocks are more
commonly maculopapular than vesicular
HFMD
HFMD
HFMD
40. Tetanus
• Tetanus: gangguan neuromuskular akut berupa trismus,
kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin
spesifik Clostridium tetani.
• Akibat komplikasi luka:

Vulnus laceratum Vulnus punctum Combustion Open Luka Otitis Luka


(luka robek) (luka tusuk) (luka bakar) fracture tali media terkontaminasi
pusat
Tanda dan gejala
• Masa inkubasi: bervariasi antara 2 hari atau beberapa minggu
bahkan beberapa bulan, pada umumnya 8 – 12 hari.
• Suhu tubuh normal hingga subfebris
• Tetanus lokal  otot sekitar luka kaku
• Tetanus generalisata
– Trismus: sulit/tidak bisa membuka mulut
– Rhesus sardonicus
– Kaku otot kuduk, perut, anggota gerak
– Sukar menelan
– Opistotonus
• Kejang dalam keadaan sadar dan nyeri hebat.
• Sekujur tubuh berkeringat.
Diagnosis dan Komplikasi

• Diagnosis
– Klinis
– Pewarnaan gram

• Komplikasi
– Anoksia otak
– fraktur vertebra
– Aspirasi, penumonia
– Low intake, Dehidrasi
– Disfungsi otonom: hiper/hipotensi, hiperhidrosis
– Kematian
Prinsip Tatalaksana Tetanus

1. Pemberian antitoksin tetanus


2. Penatalaksanaan luka
3. Pemberian antibiotika
4. Penanggulangan kejang
5. Perawatan penunjang
6. Pencegahan komplikasi
Tatalaksana tetanus neonatorum
• Ruang isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang.
• Diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam atau bolus IV setiap 3-6 jam
(0,1-0,2 mg/kg per kali), maksimum 40 mg/kg/hari
• Human tetanus imunoglobulin 500 U IM atau Antitoksin Tetanus Serum 5000
U IM
• TT 0.5 ml IM di tempat yang berbeda dengan situs injeksi HTIG/ATS
• Metronidazol 30 mg/kg/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari
atau penisilin prokain 100.000 U/kg dosis tunggal selama 7-10 hari
• Berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat
• Bila terjadi spasme berulang atau gagal napas, rujuk ke RS dengan NICU
• Langkah promotif/preventif :
– Pelaksanaan Pelayanan Neonatal Esensial, lakukan pemotongan tali pusat secara
steril
– Tidak mengoles atau menabur sesuatu yang tidak higienis pada tali pusat
– Bila sudah terjadi infeksi tali pusat, berikan pengobatan yang tepat dengan
antibiotik lokal dan sistemik jika diperlukan
Perawatan penunjang

• Tirah baring,
• Oksigen, bersihkan jalan nafas secara teratur,
• Cairan infus dan diet per sonde
• Monitoring kesadaran, TTV, trismus, asupan /
keluaran, elektrolit
• Konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
Pencegahan komplikasi

• Anoksia otak dengan


– Pemberian antikejang, sekaligus mencegah
laringospasme,
– Jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi
(pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan
rakheotomi berencana, pemberian oksigen.
• Pneumonia
– membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan
posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.
• Fraktur vertebra: pemberian antikejang yang
memadai.
41. Spina Bifida: Etiology
• The etiology multifactorial, involving genetic, racial,
and environmental factors (teratogen), nutrition folic
acid intake).
• Neural tube defects are the result of a teratogenic
process that causes failed closure and abnormal
differentiation of the embryonic neural tube.
• Neural tube defects occur between the 17th and 30th
day of gestation.
• Prevention: T400 micrograms (mcg) of folic acid every
day. If already have had a pregnancy affected by spina
bifida  4,000 mcg (4.0 milligrams).
Neural tube defect
• Open NTDs (defect is only • closed NTDs (defect is
covered by a membrane covered by skin)
or, rarely, nothing at all) – include
– comprise 80 percent of lipomyelomeningocele and
NTDs; lipomeningocele.
– the most common open – Although covered with
NTDs are skin, closed NTDs may be
myelomeningocele (spina associated with a tuft of
bifida), meningocele, hair, dimple, birthmark,
encephalocele, and lump, or other skin
anencephaly. abnormality at the site of
– Open NTDs of the spine the defect, as well as
can be associated with cerebral ventriculomegaly
cerebral ventriculomegaly.
Classification
• Spina bifida occulta • Meningocele
– This is the mildest form of – the meninges are forced into
spina bifida. the gaps between the
– In occulta, the outer part of vertebrae.
some of the vertebrae is not – With meningocele a sac of
completely closed. fluid comes through an
– The splits in the vertebrae are opening in the baby’s back.
so small that the spinal cord But, the spinal cord is not in
does not protrude. this sac.
– The skin at the site of the – There is usually little or no
lesion may be normal, or it nerve damage. This type of
may have some hair growing spina bifida can cause minor
from it; there may be a disabilities.
dimple in the skin
– asymptomatic in most cases
• Myelomeningocele • Myeloschisis
– the unfused portion of the – the involved area is
spinal column allows the represented by a flattened,
spinal cord to protrude plate-like mass of nervous
through an opening. tissue with no overlying
– The meningeal membranes membrane.
that cover the spinal cord – more prone to life-
form a sac enclosing the threatening infections such as
spinal elements. meningitis.
– The protruding portion of the
spinal cord and the nerves
that originate at that level of
the cord are damaged or not
properly developed  some
degree of paralysis and loss of
sensation below the level of
the spinal cord defect.
42. Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan
fungsinya (WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus
– Kwashiorkor
– Marasmik-kwashiorkor
Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and adolescents.
Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition. http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus

 wajah seperti orang tua


 kulit terlihat longgar
 tulang rusuk tampak
terlihat jelas
 kulit paha berkeriput
 terlihat tulang belakang
lebih menonjol dan kulit
di pantat berkeriput
( baggy pant )
Kwashiorkor

 rambut kemerahan, mudah


dicabut
 edema
 kurang aktif, rewel/cengeng
 pengurusan otot
 Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor

• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan


kwashiorkor secara bersamaan
43. Chronic and Persistent Diarrhea
• The great majority of diarrhea episodes last less than one week,
however when diarrhea persists for 14 days or longer, it is called
persistent diarrhea.
• In general, infectious disease and pediatric gastroenterology texts use
the World Health Organization (WHO) cutoff of ≥2 weeks to delineate
persistent from acute episodes.
• Some authors use the term "chronic" for diarrheal illnesses lasting 30
days or longer.
• Persistent diarrhea may be associated with a chronic enteropathy,
with impaired mucosal healing and diminished digestive and
absorptive capacity, resulting in malabsorption or maldigestion.
• In resource-limited ("developing") countries, persistent diarrhea is
most common in children younger than two years of age, especially in
children under one year, but can also occur in older children.
Pediatric Chronic Diarrhea Causes
• The major causes and the prevalence of chronic diarrhea differ
between resource-rich and resource-limited countries:
– In the resource-limited countries, chronic diarrhea is typically
associated with serial enteric infections and malnutrition; it is
manifested by a chronic enteropathy, with impaired mucosal healing
and diminished digestive and absorptive capacity.
– In resource-rich countries, children are less likely to be exposed to
serial enteric infections and malnutrition. In these populations,
chronic diarrhea is more likely to be induced by underlying disease
causing malabsorption or maldigestion. However, enteric infections
(particularly in immunocompromised patients), malnutrition, and
dietary factors (eg, excessive consumption of juice), can play a role in
some cases.
Pathophysiology
• The basic pathophysiology underlying all diarrheas is incomplete absorption of water
and electrolytes from the intestinal lumen, either because of a reduced rate of net
water absorption (related to impaired electrolyte absorption or excessive electrolyte
secretion) or due to osmotic retention of water within the lumen.
• Diarrhea may result from pathology in the small intestine or the colon or both, and may
have secretory and/or osmotic components.
– Secretory diarrhea (also known as electrolyte transport-related diarrhea) occurs when pathogens
produce toxins that stimulate small intestinal secretion of chloride ions, with concomitant fluid
movement into the intestinal lumen that overwhelms the absorptive capacity of the colon (eg:
cholera and enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) infections).
– Osmotic diarrhea (also known as diet-induced diarrhea) occurs when unabsorbed nutrients,
especially carbohydrates and sugars, cause an osmotic gradient, drawing water into the intestinal
lumen. This is by far the most common mechanism of acute infectious and persistent diarrhea. This
may occur in the small or large intestine, or both. Diarrhea typically is exacerbated by ingestion of
carbohydrates or sugars, and stools may be acidic and contain reducing substances.
• In resource-limited countries, most cases of persistent diarrhea are triggered by
infection.
Causes of persistent diarrhea in
children in developing countries
Several different mechanisms
can explain the development of
persistent diarrhea following
an episode of acute diarrhea:
1. A secondary event such as
lactose intolerance or bacterial
overgrowth develops during
the acute episode and causes
the symptoms to persist. 2.
Because of special pathogen
characteristics, the infectious
agent is never cleared and
causes prolonged illness. 3.
Because of weakness in
defenses (eg,
immunosuppression or poor
intestinal regeneration) the
host is unable to efficiently
clear the pathogen and
recovery is delayed. 4. Multiple
new infections with separate
pathogens cause continued
symptoms.
44. Tatalaksana Difteri
• Pasien harus diisolasi sampai masa akut selesai dan
biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut turut
• Pasien tetap diisolasi dan tirah baring selama 2-3
minggu
• Bila pasien gelisah, iritabel, atau terdapat gangguan
pernafasan yang progresif dilakukan trakeostomi
• Pasien dengan difteria laring dijaga agar nafas tetap
bebas dan dijaga kelembaban udara dengan nebulizer
spesifik
Tatalaksana
• Antitoksin: harus diberikan segerah setelah diagnosis dibuat.
Sebelum diberikan, harus dilakukan skin test. (dosis ADS lihat
tabel)
• Anbiotik: Penisillin prokain (penisilin termasuk ke dalam
golongan beta laktam) 50.000-100.000 Unit/kgBB IM per hari
selama 10-14 hari atau eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari dibagi 4
dosis selama 10-14 hari
• Hindari oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran repirasi
(Pemberian oksigen dengan nasal prongs dapat membuat anak
tidak nyaman dan mencetuskan obstruksi)
• Bila pasien gelisah, iritabel atau terdapat gangguan
pernapasan yang progresif dilakukan trakeostomi
PPK RSCM & Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.
Dosis ADS pada Difteri
Tipe Difteria Dosis ADS Cara Pemberian

Difteri hidung 20.000 IM

Difteri tonsil 40.000 IM/IV

Difteri faring 40.000 IM/IV

Difteri laring 40.000 IM/IV

Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IV

Terlambat berobat > 72


80.000-100.000 IV
jam (lokasi di mana saja)
Tatalaksana
• Jika anak demam (≥ 39o C) beri parasetamol.
• Jika sulit menelan, beri makanan melalui pipa
nasogastrik.
• Tirah baring 2-3 minggu
• Kortikosterod dianjurkan pada kasus difteria
dengan gejala penyerta obstruksi saluran
nafas bagian atas ( dengan atau tanpa bullneck
) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
– Prednison dengan dosis 2mg/kgBB/hari yang
diturunkan secara bertahap.
Beta Lactam
• Beta-lactam antibiotics are among the most
commonly prescribed drugs, grouped together
based upon a shared structural feature, the beta-
lactam ring.
• Beta-lactam antibiotics include:
• Penicillins
• Cephamycins
• Carbapenems
• Monobactams
• Beta-lactamase inhibitors
Mechanism Of Action
• Beta-lactam antibiotics inhibit the growth of sensitive bacteria by
inactivating enzymes located in the bacterial cell membrane, which are
involved in the third stage of cell wall synthesis.
• It is during this stage that linear strands of peptidoglycan are cross-
linked into a fishnet-like polymer that surrounds the bacterial cell and
confers osmotic stability in the hypertonic milieu of the infected patient.
• Beta-lactams inhibit not just a single enzyme involved in cell wall
synthesis, but a family of related enzymes (four to eight in different
bacteria), each involved in different aspects of cell wall synthesis.
• These enzymes can be detected by their covalent binding of
radioactively-labeled penicillin (or other beta-lactams) and hence have
been called penicillin binding proteins (PBPs).
45. THALASSEMIA
• Penyakit genetik dgn supresi produksi hemoglobin karena defek pada
sintesis rantai globin (pada orang dewasa rantai globin terdiri dari
komponen alfa dan beta)
• Diturunkan secara autosomal resesif
• Secara fenotip: mayor (transfusion dependent), intermedia (gejala klinis
ringan, jarang butuh transfusi), minor/trait (asimtomatik)
• Secara genotip:
– Thalassemia beta (kromosom 11, kelainan berupa mutasi)  yang mayoritas
ditemukan di Indonesia
• Tergantung tipe mutasi, bervariasi antara ringan (++, +) ke berat (0)
– Thalassemia alfa (Kromosom 16, kelainan berupa delesi)
• -thal 2 /silent carrier state: delesi 1 gen
• -thal 1 / -thal carrier: delesi 2 gen: anemia ringan
• Penyakit HbH: delesi 3 gen: anemia hemolitik sedang, splenomegali
• Hydrops foetalis / Hb Barts: delesi 4 gen, mati dalam kandungan
Wahidiyat PA. Thalassemia and hemoglobinopathy.
ANAMNESIS + TEMUAN KLINIS

• Pucat kronik
• Hepatosplenomegali
• Ikterik
• Perubahan penulangan
• Perubahan bentuk wajah
 facies cooley
• Hiperpigmentasi kulit
akibat penimbunan besi
• Riwayat keluarga +
• Riwayat transfusi
• Ruang traube terisi
• Osteoporosis
• “Hair on end” pd foto
kepala
Diagnosis thalassemia
(cont’d)
• Pemeriksaan darah
– CBC: Hb , MCV , MCH , MCHC , Rt ,
RDW  
– Apusan darah: mikrositik, hipokrom,
anisositosis, poikilositosis, sel target,
fragmented cell, normoblas +, nucleated
RBC, howell-Jelly body, basophilic
stippling
– Hiperbilirubinemia
– Tes Fungsi hati abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Tes fungsi tiroid abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Hiperglikemia (late findings krn overload
Fe)

• Analisis Hb peripheral blood smear of patient with homozygous beta

– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA, thalassemia with target cells, hypochromia, Howell-Jolly
bodies, thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from
Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb Stanley Schrier@ 2001 in ASH Image Bank 2001;
doi:10.1182/ashimagebank-2001-100208)
kualitatif
Thalassemia
46. Hemofilia
• Hemophilia is the most common inherited bleeding disorder.
• There are:
– Hemophilia A : deficiency of factor VIII
– Hemophilia B : deficiency of factor IX (christmas disease)
– Hemophilia C : in which signs and symptoms are often mild, is caused by
insufficient clotting factor XI.
• Both hemophilia A and B are inherited as X-linked recessive disorders
• Symptoms could occur since the patient begin to crawl
• Incidence:
– hemophilia A (± 85%)
– hemophilia B (± 15%)
• Approximately 70% had family history of bleeding problems
• Clinical manifestasion: mild, Moderate, severe
• Inherited as sex (X)-linked recessive
• Genes of factor VIII/IX are located on the distal part of the long arm (q) of X
chromosome
• Female (women) are carriers
Clinical manifestation
• Bleeding:
– usually deep (hematoma,
hemarthrosis)
– spontaneous or following mild
trauma
• Type:
– Hemarthrosis
– Hematoma
– intracranial hemorrhage
– Hematuria
– Epistaxis
– bleeding of the frenulum (baby)
– Unusual bleeding after
vaccinations
– In infants, unexplained irritability

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


Diagnosis

• history of abnormal bleeding in a boy


• normal platelet count
• bleeding time usually normal
• clotting time: prolonged
• prothrombin time usually normal
• partial thromboplastin time prolonged
• decreased antihemophilic factor

Antenatal diagnosis
• antihemophilic factor level
• F-VIII/F-IX gene identification (DNA analysis)

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


Gangguan hemostasis
perdarahan

Vaskular Trombosit Koagulasi


Contoh
Penyakit Scurvy ITP Hemofilia
Gangguan
Hemostasis DIC (baik trombosit
Henoch DHF maupun faktor
dengan Schonlein
purpura
koagulasi menurun)

Manifestasi Anemia aplastik,


Liver disease
Perdarahan leukemia

Deficiency factor
VWF disease
VII
Kelainan Pembekuan Darah

http://periobasics.com/wp-content/uploads/2013/01/Evaluation-of-bleeding-disorders.jpg
47. Disentri
• Disentri adalah diare yang disertai darah.
• Sebagian besar kasus disebabkan oleh Shigella dan
hampir semuanya membutuhkan pengobatan
antibiotik
• Peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10 per
lapang pandang mendukung etiologi bakteri invasif

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008


Gejala klinis
Disentri basiler (shigellosis) Disentri amoeba
• Diare mendadak yang disertai darah dan • Diare disertai darah
lendir dalam tinja. Pada disentri shigellosis, dan lendir dalam tinja.
pada permulaan sakit, bisa terdapat diare • Frekuensi BAB
encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, umumnya lebih sedikit
dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan daripada disentri
sakit, didapatkan darah dan lendir dalam basiler (≤10x/hari)
tinja. • Sakit perut hebat
• Panas tinggi (39,5 - 40,0 C), kelihatan toksik. (kolik)
• Muntah-muntah. • Gejala konstitusional
• Anoreksia. biasanya tidak ada
• Sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB. (panas hanya
• Kadang-kadang disertai dengan gejala ditemukan pada 1/3
menyerupai ensefalitis dan sepsis (kejang, kasus).
sakit kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi).
CHARACTER AMOEBIC DYSENTERY BACILLARY DYSENTERY
MACROSCOPIC
Number 6-8 motions a day Over 10 motions a day
Amount (Volume) Relatively copious Small amount
Appearance and
Blood mucus, semi formed Blood mucus, mainly watery
Amount
Odour Offensive (fishy odour) Odourless
Colour Dark red (altered blood) Bright red (fresh blood)
Reaction Acidic Alkaline Charcot-Leyden crystals
Consistency Not adherent to the container Adherent to the container
MICROSCOPIC *Charcot-Leyden crystals are
Discrete, sometimes in clumps due to are hexagonal bipyramidal
RBCs In clumps
rouleaux formation structures, formed from the
Pus Cells Few Numerous breakdown of eosinophils and
Numerous, many of them contain RBCs may be seen in the stool or
Macrophages Few hence may be mistaken for E. sputum of patients with
histolytica parasitic diseases.
Eosinophils Present Scarce **Pyknotic bodies are the
Charcot-Leyden (C- nuclear remains of tissue cells
Present Absent and leukocytes, they pay
L) crystals*
Pyknotic bodies** Present Absent present in the stools of person
suffering from amoebiasis.
Ghost Cells*** Absent Present
***Ghost cell is a
Parasites Seen Trophozoites of E. histolytica Absent swollen/enlarged epithelial cell
Scanty, nonmotile (Shigella is non with only cytoplasmic outline,
Bacteria Seen Many motile bacteria
motile bacteria) but without a nucleus.
CULTURE: Growth Various intestinal flora may Pure growth of Shigella spp. may be
on MacConkey Agar grow seen
Entamoeba Histolytica
• Kista matang dikeluarkan bersama tinja
penderita (berinti empat)  kontaminasi
pada makanan, air, atau tangan  ekskistasi
(3) terjadi dalam usus dan berbentuk
tropozoit (4)  bermigrasi ke usus
besar. Tropozoit memperbanyak diri:
membelah diri (binary fission) & menjadi
kista (5), menumpang dalam tinja.

• Kista dapat bertahan beberapa hari -


berminggu-minggu pada keadaan luar

• Dalam banyak kasus, tropozoit akan kembali


berkembang menuju lumen usus (A:
noninvasive infection) pada carier yang
asimtomatik, kista ada dalam
tinjanya. Pasien yang diinfeksi oleh tropozoit
di dalam mukosa ususnya (B: intestinal
disease), atau, menuju aliran darah, secara
ekstra intestinal menuju hati, otak, dan paru
(C: extraintestinal disease), dengan berbagai
kelainan patologik.
Morfologi Entamoeba histolytica memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoitnya
memiliki ciri-ciri morfologi :
– Ukuran 10 – 60 μm
– Sitoplasma bergranular dan mengandung eritrosit, yang merupakan penanda
penting untuk diagnosisnya
– Terdapat satu buah inti entamoeba, ditandai dengan karyosom padat yang
terletak di tengah inti, serta kromatin yang tersebar di pinggiran inti
– Bergerak progresif dengan alat gerak ektoplasma yang lebar, disebut
pseudopodia.
Amoebiasis: Diagnosis
• Laboratorium
– Leukositosis tanpa eosinofilia (80%)
– Peningkatan alkaline phosphatase (80%)
– Peningkatan kadar transaminase dan bilirubin
– Penurunan albumin dan anemia

• Mikroskopik  terlampir

• Feses: adanya bentuk tropozoit dan kista (lihat slide selanjutnya)

• Pewarnaan Lugol pada jaringan terinfeksi

• USG
– Abses hati amoeba: lesi bulat hipoekoik homogen soliter di aspek
posterior lobus kanan hati (70-80%)

http://emedicine.medscape.com/article/212029-workup#c7
Amoebiasis: Stadium Trofozoit

Sel darah
merah
Amoebiasis: Stadium Kista

Uninucleated cyst Binucleated cyst

Quadrinucleated cyst
Terapi Entamoeba Hystolitica
• Invasive colitis is generally managed with metronidazole (alternative
therapies include tinidazole, ornidazole, and nitazoxanide), followed by a
luminal agent (such as paromomycin, diiodohydroxyquin, or diloxanide
furoate) to eliminate intraluminal cysts.
• Metronidazole (DOC)
– 3x500-750 mg selama 7-10 hari
– Anak: 35-50 mg/kgBB/3 dosis selama 7-10 hari
• Tinidazole
– Dewasa 2 gr / hari selama 3 hari
• Intraluminal infection can be treated with one of the following regimens:
– paromomycin (25 to 30 mg/kg/3 dosis PO for 7 days),
– diiodohydroxyquin (3x650 mg PO 20 days for adults and 30 to 40 mg/kg/ 3 dosis
for 20 days for children),
– or diloxanide furoate (3x500 mg POfor 10 days for adults and 20 mg/kg/ 3 dosis
for 10 days for children).
Uptodate.2017
Tekanan di dalam Jantung

48. Cyanotic CHD

Congenital HD

Acyanotic Cyanotic

With ↑ volume With ↓ With ↑


load: With ↑ pressure pulmonary blood pulmonary blood
load: flow: flow:
- ASD
- Valve stenosis - ToF - Transposition of
- VSD - Coarctation of - Atresia the great vessels
- PDA aorta pulmonal - Truncus
- Valve - Atresia tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Penyakit jantung kongenital
• Asianotik: L-R shunt
– ASD: fixed splitting S2, murmur
ejeksi sistolik
– VSD: murmur pansistolik
– PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt
– TOF: PS, VSD, overriding aorta,
RVH. Boot like heart pada
radiografi
– TGA

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Mosby; 2008.
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both:
an obstruction to pulmonary blood flow & a shunt from R to L

Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis

The degree of cyanosis depends on:


the degree of obstruction to pulmonary blood flow

If the obstruction is mild:


Cyanosis may be absent at rest
These patient may have hypercyanotic spells during condition of stress

If the obstruction is severe:


Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus.
When the ductus closes  hypoxemia & shock
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↑ pulmonary blood flow is not associated
with obstruction to pulmonary blood flow

Cyanosis is caused by:


Total mixing of systemic venous &
Abnormal ventricular-arterial pulmonary venous within the heart:
connections: - Common atrium or ventricle
- Total anomolous pulmonary venous
- TGA return
- Truncus arteriosus

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Tetralogi Fallot
49. Hepatitis Viral Akut
• Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau
kerusakan dan nekrosis sel hepatosit akibat virus hepatotropik.
Dapat akut/kronik. Kronik → jika berlangsung lebih dari 6 bulan
• Perjalanan klasik hepatitis virus akut
– Fase inkubasi
– Stadium prodromal/ preikterik: flu like syndrome,
– Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal berkurang
disertai munculnya ikterus, urin kuning tua
– Stadium konvalesens/penyembuhan
• Anamnesis Hepatitis A :
– Manifestasi hepatitis A:
• Anak dicurigai menderita hepatitis A jika ada gejala sistemik yang
berhubungan dengan saluran cerna (malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa
tidak nyaman pada perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan
adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis A

• Virus RNA (Picornavirus)


ukuran 27 nm
• Kebanyakan kasus pada usia
<5 tahun asimtomatik atau
gejala nonspesifik
• Rute penyebaran: fekal oral;
transmisi dari orang-orang
dengan memakan makanan
atau
minumanterkontaminasi,
kontak langsung.
• Inkubasi: 2-6 minggu (rata-
rata 28 hari)

Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.


Hepatitis A
• Self limited disease dan tidak • Diagnosis
menjadi infeksi kronis – Deteksi antibodi IgM di darah
• Gejala: – Peningkatan ALT (enzim hati
Alanine Transferase)
– Fatique
– Demam • Pencegahan:
– Mual – Vaksinasi
– Nafsu makan hilang – Kebersihan yang baik
– Jaundice  karena – Sanitasi yang baik
hiperbilirubin • Tatalaksana:
– Bile keluar dari peredaran darah – Simptomatik
dan dieksresikan ke urin 
– Istirahat, hindari makanan
warna urin gelap
berlemak dan alkohol
– Feses warna dempul (clay-
– Hidrasi yang baik
coloured)
– Diet
Profilaksis Hepatitis A
• Imunoglobulin yang diberikan sebelum pajanan atau sewaktu masa inkubasi
awal efektif mencegah timbulnya gejala klinis hepatitis A.

• Untuk profilaksis pascaterpajan orang dekat dengan hepatitis A (tinggal


serumah, pasangan seks), imunoglobulin segera diberikan dengan dosis 0,02
mL/kg.

• Ig masih efektif bila diberikan paling lambat 2 minggu setelah terpajan.

• Imunoglobulin profilaksis tidak diberikan untuk:


– Orang yang sudah vaksin hepatitis A,
– Kontak kasual di tempat kerja, sekolah, rumah sakit,
– Lansia yang kemungkinan besar sudah imun,
– Orang yang sudah anti-HAV (+).

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.


Profilaksis Hepatitis A

• Vaksin diberikan dengan injeksi IM.


• Proteksi anti-HAV pascavaksin mulai timbul 4 minggu setelah pemberian pertama.
• Proteksi bertahan hingga 20 tahun.

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.


50. Tatalaksana Serangan
Asma Pada Anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Beberapa pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan asma yang
dapat mengancam nyawa. Resiko tersebut adalah pasien dengan riwayat:
 Serangan asma yang mengancam nyawa
 Intubasi karena serangan asma
 Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
 Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
 Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
 Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir
 Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
 Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
 Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
 Alergi makanan
• Untuk pasien dengan risiko tinggi tersebut, steroid sistemik (oral atau
parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian
awal serangannya masih ringan sedang.
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Sediaan steroid untuk serangan asma


Nama generik Sediaan Dosis
Metilprednisolone Tablet 4mg, 8 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Prednison Tablet 5 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Metilprednisolone suksinat Vial 125 mg, 500 mg 30 mg dalam 30 menit tiap 6
injeksi jam
Hidrokortison suksinat injeksi Vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali tiap 6 jam
Deksametasine injeksi Ampul 0.5-1 mg/kgBB bolus
kemudian dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6-8 jam
Betametasone injeksi Ampul 0.05-0.1 mg/kgBB tiap 6 jam
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Agonis β2 kerja pendek
 Diberikan 2 kali dengan interval 20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera
dibawa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat
 Bila pemberian 2 kali sudah dilakukan di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi
dengan ipratropium bromida
 Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol
 Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI
dengan/tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien
 Harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil
• Ipratropium bromida
 memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran
napas
• Aminofilin intravena
 Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6
jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap
 Pemberian aminofilin intravena harus sangat berhatiHhati dan dipantau secara ketat karena efek
sampingnya yang cukup berat (mual, muntah, takikarsi, agitasi, aritmia, hipotensi, dan kejang
 Dosis : inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan
secara drip 1 mg/kg/jam.
 Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL.
 Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL. Oleh karena itu kadar
aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loadingdose diberikan
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Steroid sistemik
 Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan pemberian secara intravena
 Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk memberikan perbaikan klinis
 Pemberian IVjika pasien tidak bisa menelan obat
 Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per oral dengan dosis 1-2
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama
pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff
• Adrenalin
 Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema
 Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5 ml)
• Magnesium sulfat -->tidak rutin dilakukan
• Steroid inhalasi  dosis tinggi, saat serangan hanya dipakai ketika KS sistemik tidak bisa
diberikan
• Mukolitik
• Antibiotik hanya jika terbukti disebabkan infeksi bakteri
• Obat sedasi
• Antihistamin
51. Disentri
• Disentri adalah diare yang disertai darah.
Sebagian besar kasus disebabkan oleh Shigella
dan hampir semuanya membutuhkan
pengobatan antibiotik
• Pemeriksaan penunjang: Feses rutin untuk
mengidentifikasi trofozoit amuba dan giardia.
Peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10 per
lapang pandang mendukung etiologi bakteri
invasif
• Pikirkan diagnosa invaginasi jika terdapat tanda
dan gejala: Feses dominan lendir dan darah,
kesakitan dan gelisah, muntah, massa intra-
abdomen (+)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
(shigellosis)
• Bakteri (Disentri basiler)
– Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan
tersering (± 60% kasus disentri yang dirujuk serta
hampir semua kasus disentri yang berat dan
mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella.
– Escherichia coli enteroinvasif (EIEC)
– Salmonella
– Campylobacter jejuni, terutama pada bayi
• Amoeba (Disentri amoeba),
disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering
pada anak usia > 5 tahun
Gejala klinis
Disentri basiler Disentri amoeba
• Diare mendadak yang disertai darah
dan lendir dalam tinja. Pada disentri • Diare disertai darah dan lendir
shigellosis, pada permulaan sakit, dalam tinja.
bisa terdapat diare encer tanpa darah
dalam 6-24 jam pertama, dan setelah • Frekuensi BAB umumnya lebih
12-72 jam sesudah permulaan sakit, sedikit daripada disentri
didapatkan darah dan lendir dalam basiler (≤10x/hari)
tinja.
• Panas tinggi (39,5 - 40,0 C), kelihatan • Sakit perut hebat (kolik)
toksik. • Gejala konstitusional biasanya
• Muntah-muntah. tidak ada (panas hanya
• Anoreksia.
• Sakit kram di perut dan sakit di anus
ditemukan pada 1/3 kasus).
saat BAB.
• Kadang-kadang disertai dengan gejala
menyerupai ensefalitis dan sepsis
(kejang, sakit kepala, letargi, kaku
kuduk, halusinasi).
PENGOBATAN
• Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis.
• Pilihan utama untuk Shigelosis (menurut anjuran WHO) : Kotrimoksazol
(trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari)
dibagi dalam 2 dosis, selama 5 hari.
• Alternatif yang dapat diberikan : Ampisilin 100mg/kgBB/hari/4 dosis,
Cefixime 8mg/kgBB/hari/2 dosis, Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, Asam
nalidiksat 55mg/kgBB/hari/4 dosis.
• Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun, sakit
dan darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll.
• Terapi antiamebik diberikan dengan indikasi :
– Ditemukan trofozoit Entamoeba hystolistica tinja.
– Tinja berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika berturut-turut
(masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang biasanya efektif untuk disentri
basiler.
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
52. Protein intolerance
• Beberapa makanan dapat menjadi antigen bagi manusia, terutama
produk-produk protein
• Beberapa contoh paling sering berdasarkan usia:
1. Masa bayi: susu, soy bean
2. Masa kanak-kanak: protein telur
• Sebagian besar bersifat IgE mediated, dan ada juga yang non-IgE
mediated
• Gejalanya antara lain:
1. Saluran cerna (50%-80%): mual, muntah, nyeri perut, mencret.
Spesifik: oral allergy syndrome, esofagitis eosinofilik, gastritis
eosinofilik, gastroenteritis eosinofilik, konstipasi kronik
2. Cutaneous (20%-40%): urtikaria, dermatitis atopi
3. Respiratori (4%-25%): asma dan rinitis
4. Anafilaksis
MODALITAS PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN INTOLERANSI
• Skin test dengan ekstrak makanan
• Serum immunoassay (ELISA)
• Fecal leukocyte testing
• Atopy patch testing
• Diet eliminasi
• Food challenge test
PEMERIKSAAN LAB
• Total serum IgE
• Basophile meningkat
• Eosinophile meningkat
53. Tertelan Benda Asing (Foreign
Body ingestions)
• Foreign body ingestions (FBIs) in children are
accidental and involve common objects found in
the home environment, such as coins, toys,
jewelry, magnets, and batteries.
• FBIs will be categorized into the following major
groups:
– button batteries (BBs),
– magnets, sharp/pointed objects,
– food impaction, coins/blunt objects, and
superabsorbent objects
Kramer R. Management of Ingested Foreign Bodies in Children: A Clinical Report of the NASPGHAN Endoscopy Committee. JPGN
Volume 60, Number 4, April 2015
Anatomi Esofagus
• Dari perjalanannya dari faring menuju gaster,
esofagus melalui tiga kompartemen:
– leher (pars servikalis), berjalan di antara trakea dan
kolumna vertebralis.
– Dada (pars thorakalis), setinggi manubrium sterni
berada di mediastinum posterior mulai di belakang
lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri, lalu
membelok ke kanan bawah di samping kanan depan
aorta thorakalis bawah.
– Abdomen (pars abdominalis), masuk ke rongga perut
melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di
kardia lambung, panjang berkisar 2-4 cm
Daerah Penyempitan
• Esofagus mempunyai tiga penyempitan fisiologis
yang menyebabkan benda asing tersangkut di
esofagus.
– Daerah setinggi muskulus krikofaringeal atau setinggi
sfingter faringoesofagus, dimana pertemuan antara
serat otot striata dan otot polos menyebabkan daya
propulsif melemah. (70% kasus)
– Daerah penyempitan kedua disebabkan oleh
persilangan cabang utama bronkus kiri dan arkus
aorta (15% kasus)
– Sekitar 15% di atas sfingter esofagus bagian bawah
atau sfingter esofagogastrik
Ingested Foreign Body
• Symptoms : • Management:
– stridor, pain, – If an object is in the esophagus,
– drooling, fussiness, chest pain, removal is considered
– abdominal pain, fever, mandatory.
– Feeding refusal, – The airway should be protected
with an endotracheal tube
– wheezing, and during removal, particularly
– respiratory distress critical if the patient has been
fasting for <8 hours.
– Depending on the position of
the object and the nil per os
(NPO) status of the patient,
removal by anesthesia with
McGill forceps or by ENT with
a rigid scope may be
alternatives to endoscopic
removal

Kramer R. Management of Ingested Foreign Bodies in Children: A Clinical Report of the NASPGHAN Endoscopy Committee. JPGN
Volume 60, Number 4, April 2015
Esophageal Foreign Body
• Plain radiographs are indicated for every patient with a known or
suspected radiopaque foreign body in the oropharynx, esophagus,
stomach, or small intestine.
• Plain radiographs are also mandated for children in whom any ingestion
of a radiopaque foreign body is suspected.
• Keep in mind, however, that in cases of nonradiopaque foreign bodies,
imaging studies rarely have any influence on management, except in
delaying endoscopy or CT scanning.
• In small children, a mouth-to-anus radiograph can be obtained. In older
children and adults, posteroanterior (PA) and lateral chest radiographs
provide better localization.
• Radiopaque objects are easily seen and localized on the radiograph.
• Coins are usually seen in a coronal alignment on anteroposterior (AP), or
frontal, radiographs (examples of a lodged coin are shown in the
radiographs below).
Coin lodged at the level of the
aortic crossover.

Coin (quarter) lodged at the level of the


cricopharyngeus muscle.
Coin lodged at the
lower esophageal
sphincter.
Endoscopy
• Emergent endoscopy is indicated for patients whose airway
is compromised or who show signs of complications.
• Endoscopy is absolutely indicated for foreign bodies that
are sharp, nonradiopaque, or elongated; for multiple
foreign bodies; or for possible esophageal injuries.
• Endoscopy is the most commonly used technique for active
management of impacted esophageal foreign bodies.
• Endoscopy is indicated for patients with foreign bodies in
the stomach or proximal duodenum if the foreign bodies
are larger than 2 cm in diameter or longer than 5-7 cm or
for oddly shaped foreign bodies such as open safety pins.
54. Hernia umbilikalis
• Hernia umbilikalis merupakan hernia congenital
pada umbilicus yang hanya ditutup peritoneum
dan kulit, berupa penonjolan yang mengandung
isi rongga perut yang masuk melalui cincin
umbilicus.
• Angka kejadian hernia ini lebih tinggi pada bayi
premature.
• Hernia umbilikalis pada orang dewasa merupakan
lanjutan hernia umbilikalis pada anak.
• Peninggian tekanan karena kehamilan, obesitas
atau asites merupakan factor predisposisi.
55. Cerebral Palsy
• Cerebral palsy (CP) describes a group of permanent disorders of the
development of movement and posture, causing activity limitation,
that are attributed to non-progressive disturbances that occurred in
the developing fetal or infant brain.
• The motor disorders of cerebral palsy are often accompanied by
disturbances of sensation, perception, cognition, communication,
and behaviour, by epilepsy, and by secondary musculoskeletal
problems. ”Rosenbaum et al, 2007
• Although the lesion is not progressive, the clinical manfestations
change over time
• CP is caused by a broad group of developmental, genetic,
metabolic, ischemic, infectious, and other acquired etiologies that
produce a common group of neurologic phenotypes
Behrman: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed
Cerebral Palsy Risk factor
Clinical Manifestation
• CP is generally divided into several major motor syndromes
that differ according to the pattern of neurologic involvement,
neuropathology, and etiology
Clinical Manifestation
• Spastic hemiplegia: decreased spontaneous movements on the affected
side, the arm is often more involved than the leg. Spasticity is apparent in
the affected extremities, particularly the ankle, causing an equinovarus
deformity of the foot
• Spastic diplegia is bilateral spasticity of the legs greater than in the arms.
Examination: spasticity in the legs with brisk reflexes, ankle clonus, and a
bilateral Babinski sign. When the child is suspended by the axillae, a
scissoring posture of the lower extremities is maintained
• Spastic quadriplegia is the most severe form of CP because of marked
motor impairment of all extremities and the high association with mental
retardation and seizures
• Athetoid CP, also called choreoathetoid or extrapyramidal CP, is less
common than spastic cerebral palsy. Affected infants are characteristically
hypotonic with poor head control and marked head lag
Metabolic myopathies
• Metabolic myopathies refer to a group of hereditary muscle disorders
caused by specific enzymatic defects due to defective genes.
• Metabolic myopathies are heterogeneous conditions that have common
abnormalities of muscle energy metabolism that result in skeletal muscle
dysfunction.
• Most metabolic myopathies are genetic and tend to occur within families.
• They can appear at any age in those who inherit the disease.
• However, metabolic myopathies can develop in a person with no family
history of the condition.
• Traditionally, the metabolic myopathies are divided into 3 major categories:
Glycogen storage diseases, Lipid storage diseases, Disorders of purine
nucleotide metabolism
Manifestation
• Metabolic myopathies usually manifest as one
of the following presentations:
– Metabolic myopathies presenting with exercise
intolerance, cramps, and myoglobinuria
• Cramps and myalgia may occur after brief exercise or
after prolonged physical activity.
– Metabolic myopathies presenting with progressive
muscle weakness
• These metabolic myopathies may mimic limb-girdle
muscular dystrophy or polymyositis.
NEUROLOGI
56. EPIDURAL HEMATOM
• Pengumpulan darah diantara tengkorak dg
duramater. Biasanya berasal dari arteri yg pecah
oleh karena ada fraktur atau robekan langsung.
• Gejala (trias klasik) :
1. Interval lusid.
2. Hemiparesis/plegia.
3. Pupil anisokor.
 Diagnosis akurat dg CT scan kepala : perdarahan
bikonveks atau lentikulerdi daerah epidural.

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


EPIDURAL
HEMATOM

Epidural
HEMATOM
HEMATOM EPIDURAL HEMATOM SUBDURAL
SUBARAKHNOID

• Lucid interval • SDH akut : kurang dari • Kaku kuduk


• Kesadaran makin 72 jam • Nyeri kepala
menurun • SDH subakut : 3-21 hr • Bisa didapati
• Late hemiparesis pasca trauma. gangguan kesadaran
kontralateral lesi • SDH khronis : > 21 • Akibat pecah
• Pupil anisokor hari. aneurisme berry
• Babinsky (+) • Gejala: sakit kepala
kontralateral lesi disertai /tidak disertai
• Fraktur daerah penurunan kesadaran
temporal * akibat robekan
* akibat pecah a. bridging vein
meningea media
57. Tension Headache
Nyeri Kepala Tension

•Nyeri kepala ini sering ditemui dalam praktek sehari – hari


•Prevalensi antara 30 – 78%
• dapat dibagi lagi menjadi 4 kelas yaitu :
1. Infrequent episodic tension type headache
2. Frequent episodic tension type headache
3. Chronic tension type headache
4. Probable tension type headache

Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
Kriteria Diagnosis infrequent tension type
headache
Setidaknya 10 kali serangan nyeri kepala yang muncul <1 hari
per bulan dan memenuhi kriteria A - E
A. Berlangsung selama 30 menit C. Memenuhi kedua kriteria
hingga 7 hari
berikut:
B. Setidaknya terdapat dua dari
empat karakteristik a. Tidak terdapat mual
- Lokasi bilateral atau muntah
- Terasa tertekan atau terikat b. Tidak terdapat
- Intensitas ringan – sedang fotofobia atau
- Tidak dipengaruhi oleh fonofobia
aktivitas fisik rutin seperti
berjalan atau menaiki
tangga

Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
Kriteria Diagnosis frequent tension type headache
Setidaknya 10 kali serangan nyeri kepala yang muncul dalam 1 -
14 hari per bulan selama > 3bulan dan memenuhi kriteria A - E
A. Berlangsung selama 30 menit C. Memenuhi kedua kriteria
hingga 7 hari
berikut:
B. Setidaknya terdapat dua dari
empat karakteristik a. Tidak terdapat mual
- Lokasi bilateral atau muntah
- Terasa tertekan atau terikat b. Tidak terdapat
- Intensitas ringan – sedang fotofobia atau
- Tidak dipengaruhi oleh fonofobia
aktivitas fisik rutin seperti
berjalan atau menaiki
tangga

Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
Tatalaksana
• TTH umumnya mempunyai respon yang baik
dengan pemberian analgesik seperti ibuprofen,
parasetamol / asetaminofen, dan aspirin.
• Kombinasi Analgesik/sedative digunakan secara
luas (contoh , kombinasi analgesik/antihistamine
seperti Syndol, Mersyndol and Percogesic).
• Pengobatan lain pada TTH
termasuk amitriptyline / mirtazapine /
dan sodium valproate (sebagai profilaksi).
The International Classification of Headache Disorders: 2nd
edition. Cephalalgia 2004, 24 Suppl 1:9-160.
58. Cluster Type Headache
Klasifikasi
Berdasarkan jangka waktu periode cluster dan periode remisi,
International Headache Society telah mengklasifikasikan cluster
headache menjadi dua tipe :

A. Episodik
Dalam tipe ini, cluster headache terjadi setiap hari selama satu minggu
sampai satu tahun diikuti oleh remisi tanpa nyeri yang berlangsung
beberapa minggu sampai beberapa tahun sebelum berkembangnya
periode cluster selanjutnya.

B. Kronik
Dalam tipe ini, cluster headache terjadi setiap hari selama lebih dari
satu tahun dengan tidak ada remisi atau dengan periode tanpa nyeri
berlangsung kurang dari dua minggu.
59. Bell’s Palsy
60. Spondilitis TB
Fraktur Kompresi/ Depresi (Wedge)
• Karena gaya vertikal di depan garis tengah
vertebra yang menekan tepi anterior vertebra
• Sering terjadi pada torakolumbal Tata Laksana
• Pada usila: akibat jatuh terduduk • < 50% tinggi vertebra anterior:
• Usia muda: jatuh mendarat pada kaki konservatif, korset
• > 50%: operasi
• Fraktur patologis: spondilitis TB/ Osteoporosis
61. Management of Hypertension in
Patients with Acute Ischemic Stroke
62. Abses Serebri
• Infeksi supuratif fokal di dalam parenkim otak, diliputi oleh kapsul
bervaskular
• Faktor Predisposisi :
– Otiti media dan mastoiditis
– Sinusitis paranasal
– Infeksi pyogenik di torax atau bagian tubuh lainnya
– Trauma tembus kepala atau prosedur neurosurgery
– Infeksi dental
• Etiologi :
– Immunocompetent : Streptococcus spp. [anaerobic, aerobic, and
viridans (40%)], Enterobacteriaceae [Proteus spp., E. coli sp., Klebsiella
spp. (25%)], anaerobes [e.g., Bacteroides spp., Fusobacterium spp.
(30%)], and staphylococci (10%).
– Immunocompromised : HIV infection, organ transplantation, cancer,
or immunosuppressive therapy  Nocardia spp., Toxoplasma gondii,
Aspergillus spp., Candida spp., and C. neoforma
• Manifestasi klinis abses serebri bergantung dari lokasi abses,
lokasi fokus primer dan tingginya tekanan intrakranial

• Trias Klasik :
– Nyeri kepala : konstan, tumpul di sebelah atau seluruh kepala,
makin lama makin memberat
– Demam  muncul pada 50% pasien
– Defisit neurologis fokal  hemiparesis, aphasia, gangguan lapang
pandang, kejang
Lokasi Tanda dan Gejala Sumber Infeksi

Lobus frontalis 1. Kulit kepala lunak/lembut Sinus paranasal


2. Nyeri kepala yang terlokalisir di frontal
3. Letargi, apatis, disorientasi
4. Hemiparesis /paralisis
5. Kontralateral
6. Demam tinggi
7. Kejang
Lobus temporal 1. Dispagia
2. Gangguan lapang pandang
3. Distonia
4. Paralisis saraf III dan IV
5. Paralisis fasial kontralateral

cerebellum 1. Ataxia ipsilateral Infeksi pada telinga


2. Nystagmus tengah
3. Dystonia
4. Kaku kuduk positif
5. Nyeri kepala pada suboccipital
6. Disfungsi saraf III, IV, V, VI.
63. TIA Management
64. Epilepsi

Prinsip karakteristik kejang:


- Lobus temporal: focal+impaired awarness
- Lobus parietal: focal
- Lobus oksipital: focal
- Lobus frontal: focal
Sumber: 2017 Revised Classification of Seizures
Temporal Lobe Epilepsy
• Sebenarnya istilah temporal lobe epilepsy, occipital
lobe epilepsy dll sudah kuno
• Saat ini kejang dibagi menjadi focal, generalized, dsb
(lihat slide sebelum ini)
• Gejala: kejang yang diawali oleh aura dan disertai
gangguan memori
• Aura dapat berupa gangguan somatosensori (olfaktori,
visual, nyeri ulu hati, vertigo), autonom, dan gejala
psikiatri (depersonalisasi, cemas, dll)
• Sebenarnya istilah temporal lobe epilepsy,
occipital lobe epilepsy dll sudah kuno
• Saat ini kejang dibagi menjadi focal,
generalized, dsb (lihat slide sebelum ini)

Sumber: 2017 Revised Classification of Seizures


Pilihan lain
Kejang Karakteristik

Lobus oksipital Tanda kardinal:


1. Halusinasi visual
2. Buta
3. Ilusi
4. Palinopsia
5. Kejang tonic disertai kejang oculoclonic/nystagmus disertai penutupan
kelopak mata yang repetitif
Lobus frontal Kejang fokal yang muncul terutama di malam hari (setelah jam 2 pagi).
Biasanya berupa kepala dan mata yang tonik ke satu arah.
Lobus parietal Kejang simple parsial yang disertai ilusi somatik (merasa ada keanehan
pada bentuk tubuh), paraesthesia, atau nyeri pada wajah, tangan, dan kaki.
65. Parkinson
• Parkinson:
– Penyakit neuro degeneratif karena gangguan pada ganglia
basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman
dopamine dari substansia nigra ke globus palidus.
– Degeneratif Parkinson merupakan proses patogenenesis
yang terjadi, bukan diagnosis
– Gangguan kronik progresif:
• Tremor  resting tremor, mulai pd tangan, dapat meluas hingga
bibir & slrh kepala
• Rigidity  cogwheel phenomenon, hipertonus
• Akinesia/bradikinesia  gerakan halus lambat dan sulit, muka
topeng, bicara lambat, hipofonia
• Postural Instability  berjalan dengan langkah kecil, kepala dan
badan doyong ke depan dan sukar berhenti atas kemauan sendiri
• Hemibalismus/sindrom balistik
– Gerakan involunter ditandai secara khas oleh gerakan
melempar dan menjangkau keluar yang kasar, terutama
oleh otot-otot bahu dan pelvis.
– Terjadi kontralateral terhadaplesi
• Chorea Huntington
– Gangguan herediter autosomal dominan, onset pada
usia pertengahan dan berjalan progresif sehingga
menyebabkan kematian dalam waktu 10 ± 12 tahun
Parkinson Disease
Gejala dan Tanda Parkinson
Gejala awal tidak spesifik Gejala Spesifik

• Nyeri • Tremor
• Gangguan tidur • Sulit untuk berbalik badan
•Ansietas dan depresi di kasur
•Berpakaian menjadi lambat •Berjalan menyeret
•Berjalan lambat •Berbicara lebih lambat

Tanda Utama Parkinson :

1. Rigiditas : peningkatan tonus otot


2. Bradykinesia : berkurangnya gerakan spontan (kurangnya kedipan mata, ekspresi
wajah berkurang, ayunan tangan saat berjalan berkurang ), gerakan
tubuh menjadi lambat terutama untuk gerakan repetitif
3. Tremor : tremor saat istirahat biasanya ditemukan pada tungkai, rahang dan
saat mata agak menutup
4. Gangguan berjalan dan postur tubuh yang membungkuk
Pull-test:
• Berdiri di belakang penderita, kemudian
berikan sedikit tarikan pada bahu
penderita.
• Lalu perhatikan ada atau tidaknya gerakan
menstabilkan postur tubuhnya.
• Hilangnya refleks ini akan memberikan
gambaran sikap jatuh penderita seolah-olah
akan duduk di kursi atau biasa disebut
sitting en bloc.
Penatalaksanaan Parkinson
• Prinsip pengobatan parkinson adalah
meningkatkan aktivitas dopaminergik di jalur
nigrostriatal dengan memberikan :
– Levodopa  diubah menjadi dopamine
di substansia nigra
– Agonis dopamine
– Menghambat metabolisme dopamine
oleh monoamine oxydase dan cathecol-
O-methyltransferase
– Obat- obatan yang memodifikasi
neurotransmiter di striatum seperti
amantadine dan antikolinergik

Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology 4th edition. 2005


66. Myasthenia Gravis
Kelemahan yang terjadi diakibatkan gangguan
transmisi sinyal pada neuromuscular junction
 terdapat antibodi IgG terhadap reseptor
nikotinik asetilkolin di membran post sinaptik

Tanda dan Gejala


•kelemahan tubuh asimetris yang memburuk
dengan aktivitas dan membaik dengan
istirahat
•Pertama kali mengenai otot ekstraokular
(ptosis)
•otot faring dan fasial juga dipengaruhi
 wajah datar, disartria, kesulitan
menelan, ketidakmampuan menjaga
postur kepala
•Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan beberapa
tes

Rohkamm R. Color Atlas of Neurology.Thieme 2004


Diagnosis
Weber test
• Disebut juga Ocular vestibular evoked
myogenic potentials
• Untuk melakukan tes ini dilakukan tes penala dan diletakkan di dahi
(tes weber) lalu diukur respon otot ekstraokluar dengan EMG
• Dilakukan 10 kali getaran
– Ditegakkan diagnosis myasthenia gravis bila terjadi penurunan
amplitudo secara cepat lebih dari 20 Hz setelah getaran ke-2 hingga
ke 9
Jenis Keterangan Sensitivitas
pemeriksaan
Weber test tes penala dan diletakkan di dahi 72%

Repetitive Bagian tubuh yang akan diperiksa dikeringkan lalu 75%


Nerve diolesi campuran yodium, minyak kastroli dan
Stimulation alkohol. Bagian yang diolesi ini lalu ditaburi
(RNS) tepung. Positif bila tepung berwarna biru, negatif
bila tepung tetap berwarna putih. Tes ini berfungsi
untuk menilai ada atau tidaknya kerusakan
otonom
Tes tensilon Tes untuk mendiagnosis myasthenia gravis dengan 60%
(endorphium) menggunakan obat tensilon (endrophonium), yang
disuntikkan secara IV . Tensilon mencegah
penghancuran acetylcholine pada NMJ. Bila pasien
menderita MG maka tes akan positif  otot
pasien menjadi lebih kuat setelah diberikan obat
ini
Single Fiber EMG Mengukur aktivitas otot 88-99%
Ice Test Es ditaruh di kelopak mata yang mengalami 77%
kelainan, jika ptosis >2mm positive MG
Myasthenia Gravis
Pemeriksaan • Tatalaksana
• Anti-acetylcholine • AChE inhibitors 
receptor antibody Pyridostigmine bromide
• Anti-striated muscle (Mestinon) dan
antibody →84% pada Neostigmine Bromide
pasien denganthymoma • Immunomodulating
• Tensilon test • therapies : Prednisone
• Single fiber EMG • Plasmapheresis
• Chest X-ray/Chest CT • Thymectomy
Scan →thymoma
67. EPIDURAL HEMATOM
• Pengumpulan darah diantara tengkorak dg
duramater. Biasanya berasal dari arteri yg pecah
oleh karena ada fraktur atau robekan langsung.
• Gejala (trias klasik) :
1. Interval lusid.
2. Hemiparesis/plegia.
3. Pupil anisokor.
 Diagnosis akurat dg CT scan kepala : perdarahan
bikonveks atau lentikulerdi daerah epidural.

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


EPIDURAL
HEMATOM

Epidural
68-69. Kejang

• Kejang merupakan perubahan fungsi otak


mendadak dan sementara sebagai dari aktivitas
neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik
serebral yang berlebihan. (Betz & Sowden,2002)
Manifestasi Klinik
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a) Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu,
dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
• Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi
. Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka
merah, dilatasi pupil.
• Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar
musik, merasa seakan jtuh dari udara, parestesia.
• Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
• Kejang tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.
b) Parsial kompleks
• Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
• Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik :
mengecap – ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel
yang berulang – ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
• Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a) Kejang absens
• Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
• Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
• Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh
b) Kejang mioklonik
• Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
• Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron
dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
• Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
• Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c) Kejang tonik klonik
• Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang
tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
• Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
• Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
• Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d) Kejang atonik
• Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala
menunduk,atau jatuh ke tanah.
• Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
EEG
• Elektro Enselo Grafi (EEG) adalah suatu alat yang
mempelajari gambar dari rekaman aktifitas listrik di
otak, termasuk teknik perekaman EEG dan
interpretasinya.
• Pembacaan EEG oleh dokter dijadikan acuan untuk
tindakan dan penanganan selanjutnya kepada
pasien.
• Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk
membantu menetapkan jenis dan focus dan kejang.
Epilepsy - Classification
• Focal seizures –
account for 80% of adult
epilepsies
- Simple partial seizures
- Complex partial seizures
- Partial seizures secondarilly
generalised

• Generalised seizures
(include absance
type)

• Unclassified seizures
Pilihan Terapi Sindrom Epilepsi Etosuksimid: tidak tersedia di Indonesia

Level of confidence:
A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin sebagai monoterapi; C: mungkin efektif sebagai
monoterapi; D: berpotensi untuk efektif sebagi monoterapi
Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Perdossi. 2014
Farmakoterapi Childhood Absence
Perbandingan Odds Ratio
Asam Valproat vs Ethosuximide 1,26 (95% CI; 0,80 – 1,98)
Ethosuximide vs Lamotrigine 2,66 (95% CI; 1,65 – 4,28)
Asam Valproat vs Lamotrigine 3,34 (95% CI; 2,06 – 5,42)

• Dari table di atas dapat disimpulkan asam valproate dan ethosuximide lebih
efektif dbandingkan lamotrigine dalam tatalaksasa kejang absans.
• Tidak ada perbedaan bermakna antara efektifitas asam valproate dan
ethosuximide.
• Di negara-negara barat ethoximide lebih dipilih dibandingkan asam valproate
karena memiliki efek samping terhadap attentional dysfunction yang lebih
rendah.
• Namun ethosuximide tidak terdapat di Indonesia (secara umum), sehingga
terapi lini pertama untuk kejang absans di Indonesia adalah asam valproate.

Ethosuximide, Valproic Acid, and Lamotrigine in Childhood Absence Epilepsy. Glauser TA, et al. 2010. NEJM, 362(9): 790-799.
72. Neuralgia Trigeminal
74. Cedera Medulla Spinalis

• Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf


yang terhubung ke susunan saraf pusat yang berjalan
sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang
vertebra.
• Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan
sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan
fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu
atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara
ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada
medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera
medula spinalis.
PATOFISIOLOGI
• Kompresi karena tulang,
ligamen,herniasi diskus • 2 jam pasca cedera terjadi
intervertebralis & hematom invasi sel-sel inflamasi
paling berat akibat kompresi dimulai oleh microglia dan
tulang, trauma hiperekstensi leukosit polimorfonuklear.
corpus dislokasi ke posterior. • 4 jam pasca cedera hampir
• Regangan jaringan.biasanya separuh medula spinalis
terjadi pada hiperpleksi, menjadi nekrotik.
toleransi medula spinalis
terhadap regangan tergantung • 6 jam pasca cedera terjadi
usia edema primer vaskogenik.
• Edema.timbul segera setelah • 48 jam terjadi edema dan
trauma nekrotik kros-sektional
• Sirkulasi terganggu. pada tempat cedera.
77. DEMENSIA
Pedoman diagnostik demensia (PPDGJ III):
• Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan
daya pikir, yang sampai mengganggu kegiatan
harian seseorang (personal activities of daily living)
seperti : mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri,
buang air besar dan kecil.
• Tidak ada gangguan kesadaran (clear
consciousness)
• Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling
sedikit 6 bulan
Klasifikasi Demensia Berdasarkan
Etiologinya
• Demensia pada penyakit Alzheimer
• Demensia vaskular
• Demensia pada penyakit Pick
• Demensia pada penyakit Creutfeld-Jacob
• Demensia pada penyakit Huntington
• Demensia pada Penyakit Parkinson
• Demensia pada Penyakit HIV/AIDS
Demensia tipe Alzheimer prevalensinya paling besar (50-
60%), disusul demensia vaskular (20-30%).
Deteksi Dini Demensia
• Dengan menggunakan mini mental state
examination (MMSE)/ Folstein test.

• Interpretasi skor MMSE:


• 24-30: kognitif normal
• 19-23: mild cognitive impairment
• 10-18: moderate cognitive impairment
• <=9: severe cognitive impairment
Demensia

Practical Guidelines for the Recognition and Diagnosis of Dementia,


J Am Board Fam Med May-June 2012 vol. 25 no. 3 367-382
Demensia Alzheimer vs Demensia Vaskuler

• Pasien demensia Skor demensia oleh Loeb dan Gondolfo


vaskuler relatif memiliki Mulanya mendadak 2
memori verbal jangka Mulanya riwayat stroke 1
panjang yang lebih baik Gejala fokal neurologi 2
tetapi fungsi eksekutif
Keluhan fokal 2
lobus frontal lebih
buruk dibandingkan CT scan: daerah hipodens tunggal 2
pasien dengan CT scan: daerah hipodens multipel 3
demensia Alzheimer. Interpretasi:
Skor 0-2  demensia Alzheimer
Skor 5-10  demensia vaskuler
Tanda dan Gejala Awal Demensia
Alzheimer

American Academy of Neurology, 2012


Demensia vs Pseudodemensia
• Pseudodemensia merupakan penurunan fungsi kognitif yang
terjadi sementara akibat adanya gangguan psikiatri yang
mendasari (biasanya depresi)

http://www.encephalos.gr/48-3-07e.htm
78. Afasia
• Kelainan yang terjadi • Afasia menimbulkan
karena kerusakan dari problem dalam bahasa
bagian otak yang lisan (bicara dan
mengurus bahasa. pengertian) dan bahasa
• yaitu kehilangan tulisan (membaca dan
kemampuan untuk menulis). Biasanya
membentuk kata-kata membaca dan menulis
atau kehilangan lebih terganggu dari pada
kemampuan untuk bicara dan pengertian.
menangkap arti kata-kata • Afasia bisa ringan atau
sehingga pembicaraan berat. Beratnya gangguan
tidak dapat berlangsung tergantung besar dan
dengan baik. lokasi kerusakan di otak.
Pembagian Afasia :
1. Afasia Motorik (Broca)
2. Afasia Sensorik (Wernicke)
3. Afasia Global
Afasia Motorik :
- Terjadi karena rusaknya area Broca di
gyrus frontalis inferior.
- Mengerti isi pembicaraan, namun tidak
bisa menjawab atau mengemukakan
pendapat
- Disebut juga Afasia Expressif atau Afasia
Broca
- Bisa mengeluarkan 1 – 2 kata(nonfluent)
Afasia Sensorik
- Terjadi karena rusaknya area Wernicke di
girus temporal superior.
- Tidak mengerti isi pembicaraan, tapi bisa
mengeluarkan kata-kata(fluent)
- Disebut juga Afasia reseptif atau Afasia
Wernicke
• Afasia Global
- Mengenai area Broca dan Wernicke
- Tidak mengerti dan tida bisa
mengeluarkan kata kata
• Afasia transkortikal, disebabkan lesi di sekitar
pinggiran area pengaturan bahasa.

• Terdiri dari: afasia transkortikal motorik, afasia


transkortikal sensorik, dan afasia transkortikal
campuran.

• Ketiga tipe afasia memiliki jenis gangguan sesuai


dengan penamaannya namun penderita mampu
mengulangi kata/ kalimat lawan biacaranya.
Summary of Aphasias
Type of Spontaneous
Paraphasias Comprehension Repetition Naming
Aphasia speech

Broca’s Nonfluent - Good Poor Poor

Global Nonfluent - Poor Poor Poor

Transcortical
Nonfluent - Good Good Poor
motor

Wernicke’s
Fluent + Poor Poor Poor
Aphasia
Transcortical
Fluent + Poor Good Poor
sensory

Conduction Fluent + Good Poor Poor

Anomic Fluent + Good Good Poor


28/02/2006
79. Subarachnoid Hematom
• Perdarahan fokal di daerah subarahnoid. CT scan
terdpt lesi hiperdens yg mengikuti arah girus-girus
serebri daerah yg berdktan dg hematom.
• Gejala klinik = kontusio serebri.
• Penatalaksanaan : perawatan dengan medikamentosa
dan tidak dilakukan operasi

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


HEMATOM
HEMATOM EPIDURAL HEMATOM SUBDURAL
SUBARAKHNOID

• Lucid interval • akut: 1- 3 hr pasca • Kaku kuduk


• Kesadaran makin trauma • Nyeri kepala
menurun • Subakut: 4-21 hr pasca • Bisa didapati
• Late hemiparesis trauma gangguan kesadaran
kontralateral lesi • Kronik : > 21 hari • Akibat pecah
• Pupil anisokor • Gejala: sakit kepala aneurisme berry
• Babinsky (+) disertai /tidak disertai
kontralateral lesi penurunan kesadaran
• Fraktur daerah * akibat robekan bridging
temporal vein
* akibat pecah a.
meningea media
Aneurysm

8/3/2018© 2009, American Heart Association. All rights


reserved.
CT Scan non-contrast showing blood in basal
cisterns (SAH) – so called “Star-Sign”

CT Scan courtesy: University of Texas Health Science Center at San Antonio, Department of Neurosurgery

8/3/2018© 2009, American Heart Association. All rights


reserved.
80. Neuralgia Trigeminal
81. DVT

Virchow Triads:
(1) venous stasis
(2) activation of blood coagulation
(3) vein damage

Crurales Vein is a common and


incorrect terminology
Superficial vein systems
• Signs and symptoms of
DVT include :
– Pain in the leg
– Tenderness in the calf (this
is one of the most
improtant signs )
– Leg tenderness
– Swelling of the leg
– Increased warmth of the
leg
– Redness in the leg
– Bluish skin discoloration
– Discomfort when the foot
is pulled upward (Homan’s)
http://www.medical-explorer.com/blood.php?022
American College of Emergency Physicians (ACEP)
Trombosis Vena Dalam
• Skoring Wells
– Kanker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan atau paliatif) (skor 1)
– Paralisis, paresis, imobilisasi (skor 1)
– Terbaring selama > 3 hari (skor 1)
– Nyeri tekan terlokalisir sepanjang vena dalam (skor 1)
– Seluruh kaki bengkak (skor 1)
– Bengkak betis unilateral 3 cm lebih dari sisi asimtomatik (skor 1)
– Pitting edema unilateral (skor 1)
– Vena superfisial kolateral (skor 1)
– Diagnosis alternatif yang lebih mungkin dari DVT (skor -2)
• Interpretasi:
– >3: risiko tinggi (75%)
– 1-2: risiko sedang (17%)
– < 0: risiko rendah (3%)

Sudoyo A dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. 2015
Patient with suspect symptomatic
Acute lower extremity DVT

negative
Venous duplex scan Low clinical probability observe

positive High clinical probability negative

Evaluate coagulogram /thrombophilia/ malignancy


Repeat scan /
Venography
Anticoagulant therapy yes IVC filter
contraindication

No

pregnancy LMWH

OPD LMWH

hospitalisation + warfarin
UFH

Compression treatment
Color duplex scan of DVT

Venogram shows DVT


82. Buerger’s Disease
(Thrombangiitis Obliterans)
• Secara khusus dihubungkan dengan merokok
• Terjadi Oklusi pada arteri muskular, dengan predileksi pada
pembuluh darah tibial
• Presentation
– Nyeri tidak dipengaruhi aktivitas
– Gangrene
– Ulceration
• Recurrent superficial thrombophlebitis (“phlebitis migrans”)
• Dewasa muda, perokok berat, tidak ada faktor risiko
aterosklerosis yang lain
• Angiography - diffuse occlusion of distal extremity vessels
• Progresivitas – dari distal ke proximal
• Remisi klinis dengan penghentian merokok
Buerger’s treatment
• Rawat RS
• Memastikan diagnosis dan arterial imaging.
• Vasoactive dilation is done during initial
admission to hospital, along with debridement of
any gangrenous tissue.
• Tatalaksana selanjutnya diberikan bergantung
keparahan dan derajat nyeri
• Penghentian rokok menurunkan insidens
amputasi dan meningkatkan patensi dan limb
salvage pada pasien yang melalui surgical
revascularisation
CT-angiografi menunjukan stenosis
segmental arteri tungkai bawah
Vasoactive drugs
• Nifedipine dilatasi perifer dan meningkatkan
aliran darah distal
– Diberikan bersamaan dengan penghentian rokok,
antibiotik dan iloprost
• Pentoxifylline and cilostazol have had good
effects, although there are few supportive data.
Pentoxifylline has been shown to improve pain
and healing in ischaemic ulcers. Cilostazol could
be tried in conjunction with or following failure of
other medical therapies (e.g., nifedipine).
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/1148/treatment/step-by-
step.html
Disease Pathophysiology Symptoms Physical Workup
Peripheral Arterial narrowing Claudication Abnormal Ankle Brachial
Artery  Decreased with exertion, in lower Index.
Occlusive blood flow = Pain severe occlusion extremity Duplex
Disease ischemic pain at pulse Ultrasound.
Pain results from rest. mottling & Digital
an imbalance Pain reproduced cyanosis Subtraction
between supply by elevating the Angiography
and demand of leg. Buerger Test: Gold
blood flow Elevate the leg Standard
to 45° - and Intervention
look for pallor at the same
time
Buerger Combination of Pain or Enlarged, red, An angiogram
acute tenderness not tender cord- or arteriogram
affected by
inflammation and exercise like veins. of the
thrombosis of the Numbness and Discoloration extremities.
arteries and veins tingling in the Two or more A Doppler
limbs. limbs affected
in the hands and ultrasound.
Skin ulcers or
feet gangrene of the
digits.
Takayasu Arteritis Giant Cell Arteritis Tromboangitis Obliterans

Lokasi Aorta & cabang utama Arteri sedang-besar (kranial, Arteri kecil-sedang distal
aorta+cabang) (inflamasi segmental)
Prevalensi 1-3 per 1 juta 24 per 100.000 Pria <45 tahun, merokok
80-90% wanita 10-40 tahun >50 tahun, 65% wanita HLA-A9 &HLA B-5 +

Gejala Malaise & demam Polimialgia rheumatika Oklusi arteri distal fatigue,
Iskemia serebrovaskular, Nyeri kepala iskemia
miokard, claudication Nyeri wajah + fatigue mengunyah Fenomena Raynaud
lengan, hipertensi Gangguan penglihatan Thrombophlebitis

Histologi Inflamasi granulomatosa, Infiltrasi limfosit + makrofag, Inflamasi & thrombosis tanpa
proliferasi & gangguan fibrosis intima, nekrosis fokal + nekrosis (keterlibatan vaskular
elastisitas intima, fibrosis granuloma minimal)

Pemeriksaan ESR & CRP meningkat Penanda inflamasi & penyakit


USG : halo hipoechoic sekitar autoimun (-)
lumen arteri stenosis Arteriograf : stenosis segmental
(distal berat), corkscrew kolateral,
aterosklerosis proks(-)

Tatalaksana Steroid & sitotoksik, Steroid sistemik dosis tinggi Penghentian merokok,
pembedahan bypass debridemen

Prognosis 5 tahun  80-90% Self limiting 1-5 tahun


Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 350 - 2
Fixed
mottling &
cyanosis

Discoloration and necrosis of finger tips


Amputation
83-85 Luka Bakar
Rule of nines

Adult Infant
• Bayi berusia sampai satu tahun
– Luas permukaan kepala dan leher berkisar 18%
– Luas permukaan tubuh dan tungkai berkisar 14%.
• Dalam masa pertumbuhannya, setiap tahun di
atas usia satu tahun, maka ukuran kepala
berkurang sekitar 1% dan ukuran tungkai
bertambah 0. 5%
• Proporsi dewasa tercapai saat seorang anak
mencapai usia sepuluh tahun
• Usia 10 thn penambahan ukuran tungkai dipindahkan ke
genitalia dan perineum 1%
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Indikasi Resusitasi Cairan
• Rumus Baxter adalah
dasar pemberian cairan
pertama kali
• Titrasi sesuai produksi
urine
– Bila kurang dari target
0,5-1 cc/KgBB/Jam
tambahkan volume
cairan resusitasi menjadi
150% pada jam
berikutnya atau bolus
cairan 5-10cc/KgBB
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
86. Luka Bakar Kimia
• Kerusakan jaringan yang disebabkan kontak dengan
bahan kimia.
• Penyebab: asam, alkali, logam, fosfor, dll.
• Dapat ditemukan pada: cairan pembersih, baterai,
bahan baku produk rumah tangga dan kesehatan.
• Mekanisme  pembentukan panas + perubahan
kimiawi jaringan tubuh.
• Tingkat keparahan bergantung: pH bahan kimia,
konsentrasi, jumlah, lama kontak, bentuk fisik, tipe
kontak, trauma kejadian.
Asam
• Termasuk diantaranya: asam sulfat, nitrat,
krlorida, hidrofluorat.
• Perubahan kimiawi  denaturasi protein 
nekrosis koagulasi  eskar.
Basa/ Alkali
• Termasuk: natrium dan
kalium hidroksida, kalsium
oksida, hipoklorit, amonia.
• Mekanisme:
– Saponifikasi jaringan lemak
– Berikatan dengan protein
jaringan  gugus hidroksil
 kerusakan jaringan
– Ekstraksi air dari sel
Tatalaksana
Penangan awal  cegah kontak lebih lanjut irigasi

• Stabilisasi ABC
• Lepaskan pakaian dan cegah kontaminasi
• Asam irigasi 2-3 jam
• Alkali irigasi 12 jam

Tindakan operatif: eskarotomi, skin graft sesuai indikasi


87-88. Tetanus
• Tetanus: gangguan neuromuskular akut berupa
trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh
eksotosin spesifik Clostridium tetani.
• Akibat komplikasi luka: Vulnus laceratum (luka
robek), Vulnus punctum (luka
tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka,
otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat. 
tetanus prone wound
Tanda dan gejala
• Masa inkubasi: bervariasi antara 2 hari atau beberapa
minggu bahkan beberapa bulan, pada umumnya 8 – 12
hari.
• Suhu tubuh normal hingga subfebris
• Tetanus lokal  otot sekitar luka kaku
• Tetanus generalisata
– Trismus: sulit/tidak bisa membuka mulut
– Rhesus sardonicus
– Kaku otot kuduk, perut, anggota gerak
– Sukar menelan
– Opistotonus
• Kejang dalam keadaan sadar dan nyeri hebat.
• Sekujur tubuh berkeringat.
Stadium klinis
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s :
1. Grade 1 (ringan)
– Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit
pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
2. Grade 2 (sedang)
– Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang
namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu.
3. Grade 3 (berat)
– Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan
sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan
yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengan
takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus
meningkat.
4. Grade 4 (sangat berat)
– Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering
kali menyebabkan “autonomic storm”.
Diagnosis dan Komplikasi
• Diagnosis
– Klinis
– Pewarnaan gram

• Komplikasi
– Anoksia otak
– fraktur vertebra
– Aspirasi, penumonia
– Low intake, Dehidrasi
– Disfungsi otonom: hiper/hipotensi, hiperhidrosis
– Kematian
Manajemen Luka Tetanus
Dosis Profilaksis:
• HTIG250-500 IU
• ATS  1500 IU
Tatalaksana Tetanus
1. Pemberian antitoksin tetanus
2. Penatalaksanaan luka
3. Pemberian antibiotika
4. Penanggulangan kejang
5. Perawatan penunjang
6. Pencegahan komplikasi
Tatalaksana Tetanus
1. Manajemen Luka
• Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen.
• Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan.
• TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika
riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan.
• Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka
tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan
faktor penentu pemberian TIg

Luka Rentan Tetanus Luka yang tidak rentan tetanus


• > 6-8 jam • < 6 jam
• Kedalaman > 1 cm • Superfisial < 1 cm
• Terkontaminasi • Bersih
• Bentuk stelat, avulsi, atau hancur • Bentuknya linear, tepi tajam
(irreguler) • Neurovaskular intak
• Denervasi, iskemik • Tidak infeksi
• Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik)
Lanjutan...
2. Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi.
3. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya-
ruangan redup dan tindakan terhadap penderita.
4. Diet cukup kalori dan protein
– 3500-4500 kalori per hari
– 100-150 gr protein
– Bila ada trismus, makanan dapat diberikan per sonde atau parenteral
5. Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
6. Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon
klinis. Diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari.
– Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis
0,5 mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali
diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral
(sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis
maksimal diazepam 240 mg/hari.
– Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan
bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480
mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi.
– Magnesium sulfat dapat pula dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan
saraf otonom.
Lanjutan...
7. ATS
– Skin tes untuk hipersensitif
– Dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat
– Jika pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di
sekitar luka.
8. Eliminasi bakteri
– DOC: Penisilin berikan prokain penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10
hari.
– Alergi penisilin Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hari
– dapat mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi proses
neurologisnya.
9. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas
– Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat diberikan, terutama bila penderita alergi
penisilin
– Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis
– Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari
– Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.
10. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama
– Dilakukan bersamaan dengan antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik
yang berbeda
– Dosis inisial 0,5 ml toksoid intramuskular diberikan 24 jam pertama.
11. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
12. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pencegahan komplikasi
• Anoksia otak dengan
– Pemberian antikejang, sekaligus mencegah
laringospasme,
– Jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi
(pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan
rakheotomi berencana, pemberian oksigen.
• Pneumonia
– membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan
posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.
• Fraktur vertebra: pemberian antikejang yang
memadai.
89. ATLS Initial Assessment
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan
yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu
berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah,
cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment (
penilaian awal ).

Penilaian awal meliputi:


1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
ATLS Coursed 9th Edition
Primary Survey
A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat
yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabell )
3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada
setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan
kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
Cervical in-lin immobilization
Indikasi Airway definitif
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris
atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera
lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
1. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
2. Mengetahui sumber perdarahan internal
3. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.
4. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
5. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
6. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
1. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
2. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada
ahli bedah.
3. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
4. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
5. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasienpasien fraktur
pelvis yang mengancam nyawa.
6. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor
GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek
cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi,
ventilasi dan circulation.

E. Exposure/Environment
1.Buka pakaian penderita, periksa jejas
2.Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan
tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
ATLS Coursed 9th Edition
90. Klasifikasi Syok
Penyebab syok dapat diklasifikasikan • Syok obstruktif (gangguan kontraksi
sebagai berikut: jantung akibat di luar jantung):
• Syok kardiogenik (kegagalan kerja • (a) Tamponade jantung;
jantungnya sendiri)
• (b) Pneumotorak;
• (a) Penyakit jantung iskemik, seperti
infark • (c) Emboli paru.
• (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; • Syok distributif (berkurangnya tahanan
• (c) Gangguan irama jantung. pembuluh darah perifer)
• Syok hipovolemik (berkurangnya • (a) Syok neurogenik;
volume sirkulasi darah):
• (b) Cedera medula spinalis atau batang
• (a) Kehilangan darah, misalnya
perdarahan; otak;
• (b) Kehilangan plasma, misalnya luka • (c) Syok anafilaksis;
bakar; • (d) Obat-obatan;
• (c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang • (e) Syok septik;
(misalnya puasa lama), cairan keluar
yang banyak (misalnya diare, muntah- • (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa
muntah, fistula, obstruksi usus dengan gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya
penumpukan cairan di lumen usus). tahanan pembuluh darah perifer.
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
Resusitasi Cairan
91. Fraktur Terbuka
• Dimana terjadi hubungan dengan lingkungan
luar melalui kulit.
• Terjadi kontaminasi bakteri  komplikasi
infeksi
• Luka pada kulit :
– Tusukan tulang tajam keluar menembus kulit
(from within)
– Dari luar misal oleh peluru atau trauma langsung
(from without)
Tahap –Tahap Pengobatan Fraktur Terbuka
1. Pembersihan luka  irigasi dengan NaCl fisiologis secara mekanis
 mengeluarkan benda asing yg melekat.
2. Eksisi jaringan mati dan tersangka mati (debrideman) pada kulit,
jaringan subkutaneus, lemak, fasia otot dan fragmen tulang yg
lepas.
3. Pengobatan fraktur itu sendirifiksasi interna atau eksterna
4. Penutupan kulit
– Jika diobati dalam periode emas (6 – 7 jam) sebaiknya kulit ditutup
– kulit tegang  tidak dilakukan
5. Pemberian antibakteri
– Antibiotik diberikan sebelum, pada saat dan sesudah operasi
6. Tetanus
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D.
Handbook of Fractures, 3rd Edition
Choice of fixation
• several options to • No consensus of what
stabilize an open method to use
fracture • Surgeons must make
– splinting, judgment of which
– casting, method is appropriate
– and traction
– external fixation,
– plating, and
– intramedullary nailing
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D.
Handbook of Fractures, 3rd Edition
92. Klasifikasi Syok
Penyebab syok dapat diklasifikasikan • Syok obstruktif (gangguan kontraksi
sebagai berikut: jantung akibat di luar jantung):
• Syok kardiogenik (kegagalan kerja • (a) Tamponade jantung;
jantungnya sendiri)
• (b) Pneumotorak;
• (a) Penyakit jantung iskemik, seperti
infark • (c) Emboli paru.
• (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; • Syok distributif (berkurangnya tahanan
• (c) Gangguan irama jantung. pembuluh darah perifer)
• Syok hipovolemik (berkurangnya • (a) Syok neurogenik;
volume sirkulasi darah):
• (b) Cedera medula spinalis atau batang
• (a) Kehilangan darah, misalnya
perdarahan; otak;
• (b) Kehilangan plasma, misalnya luka • (c) Syok anafilaksis;
bakar; • (d) Obat-obatan;
• (c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang • (e) Syok septik;
(misalnya puasa lama), cairan keluar
yang banyak (misalnya diare, muntah- • (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa
muntah, fistula, obstruksi usus dengan gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya
penumpukan cairan di lumen usus). tahanan pembuluh darah perifer.
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
Resusitasi Cairan
94-95. Trauma Dada
Diagnosis Etiologi Tanda dan Gejala
Hemotoraks Laserasi • Ansietas/ gelisah, takipneu, tanda-tanda syok,
pembuluh darah takikardia, Frothy/ bloody sputum.
di kavum toraks • Suara napas menghilang pada tempat yang
terkena, vena leher mendatar, perkusi dada
pekak.

Simple Trauma tumpul • Jejas di jaringan paru sehingga menyebabkan


pneumotoraks spontan udara bocor ke dalam rongga dada.
• Nyeri dada, dispneu, takipneu.
• Suara napas menurun/ menghilang, perkusi
dada hipersonor
Open Luka penetrasi di • Luka penetrasi menyebabkan udara dari luar
pneumotoraks area toraks masuk ke rongga pleura.
• Dispneu, nyeri tajam, empisema subkutis.
• Suara napas menurun/menghilang
• Red bubbles saat exhalasi dari luka penetrasi
• Sucking chest wound
Diagnosis Etiologi Tanda dan Gejala
Tension Udara yg terkumpul • Tampak sakit berat, ansietas/gelisah,
pneumotoraks di rongga pleura tidak • Dispneu, takipneu, takikardia, distensi
dapat keluar lagi vena jugular, hipotensi, deviasi trakea.
(mekanisme pentil) • Penggunaan otot-otot bantu napas,
suara napas menghilang, perkusi
hipersonor.
Flail chest Fraktur segmental • Nyeri saat bernapas
tulang iga, • Pernapasan paradoksal
melibatkan minimal 3
tulang iga.
Efusi pleura CHF, pneumonia, • Sesak, batuk, nyeri dada, yang
keganasan, TB paru, disebabkan oleh iritasi pleura.
emboli paru • Perkusi pekak, fremitus taktil menurun,
pergerakan dinding dada tertinggal
pada area yang terkena.
Pneumonia Infeksi, inflamasi • Demam, dispneu, batuk, ronki
Hemopneumothorax
• Hemopneumotoraks akumulasi darah dan udara di dalam
rongga pleura.
http://emedicine.medscape.com/article/433779
Flail chest:
FLAIL CHEST • Beberapa tulang iga
• Beberapa garis fraktur pada
satu tulang iga

The first rib is often fractured


posteriorly (black arrows). If multiple
Fraktur segmental dari tulang-tulang iga yang rib fractures occur along the midlateral
berdekatan, sehingga ada bagian dari dinding (red arrows) or anterior chest wall
dada yang bergerak secara independen (blue arrows), a flail chest (dotted
black lines) may result.
http://emedicine.medscape.com/

Treatment
ABC’s dengan c-spine control sesuai indikasi
Analgesik kuat
intercostal blocks
Hindari analgesik narkotik
Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen darah
meningkat
Ventilasi tekanan positif
Hindari barotrauma
Chest tubes bila dibutuhkan
Perbaiki posisi pasien
Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan membantu
mengurangi nyeriPasien miring pada sisi yang terkena
Aggressive pulmonary toilet
Surgical fixation  rarely needed
Rawat inap24 hours observasion
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Cardiac Tamponade
Gejala Pemeriksaan Fisik
• Takipnea dan DOE, rest • Takikardi
air hunger • Hypotension shock
• Weakness • Elevated JVP with blunted
• Presyncope y descent
• Dysphagia • Muffled heart sounds
• Batu • Pulsus paradoxus
• Anorexia – Bunyi jantung masih
terdengar namun nadi
• (Chest pain) radialis tidak teraba saat
inspirasi
• (Pericardial friction rub)
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html

“Water bottle configuration"


bayangan pembesaran jantung
yang simetris
• Dicurigai Tamponade jantung:
– Echocardiography
– Pericardiocentesis
• Dilakukan segera untuk
diagnosis dan terapi
• Needle pericardiocentesis
– Sering kali merupakan pilihan
terbaik saat terdapat kecurigaan
adanya tamponade jantung atau
terdapat penyebab yang
diketahui untuk timbulnya
tamponade jantung

http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
96-97. Fraktur Klavikula
Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3
tengah klavikula)
• Fraktur pada bagian tengah clavicula
• Lokasi yang paling sering terjadi
fraktur, paling banyak ditemui

Tipe II : Fraktur 1/3 lateral klavikula


Fraktur klavikula lateral dan ligament
korako-kiavikula, yang dapat dibagi:
– type 1: undisplaced jika ligament intak
– type 2: displaced jika ligamen korako-
kiavikula ruptur.
– type 3: fraktur yang mengenai sendi
akromioklavikularis.

Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal


clavicula. Fraktur yang paling jarang
terjadi
98-99. Urolithiasis
Nyeri Alih
100. Acute Urinary Retention
• Sudden inability to pass urine
• Suprapubic pain which typically causes spasm
• Patient is acutely distressed
• Often longer history of bladder outflow
symptoms
• Bladder is visible,tender and palpable
• Patient is typically male
Management of AUR
• Decompression by Catheterisation
• Residual Volume < 800mls
• U&E’S and Creatinine normal
• Systemically well
• Home with catheter
• Follow-up plan
101. BPH
BPH

adalah pertumbuhan
berlebihan dari sel-sel
prostat yang tidak ganas.
Pembesaran prostat jinak
diakibatkan sel-sel prostat
memperbanyak diri
melebihi kondisi normal,
biasanya dialami laki-laki
berusia di atas 50 tahun
yang menyumbat saluran
kemih.
NORMAL TIDAK NORMAL
Diagnosis of BPH
• Symptom assessment
– the International Prostate Symptom Score (IPSS) is recommended as it is used
worldwide
– IPSS is based on a survey and questionnaire developed by the American Urological
Association (AUA). It contains:
• seven questions about the severity of symptoms; total score 0–7 (mild), 8–19 (moderate),
20–35 (severe)
• eighth standalone question on QoL
• Digital rectal examination(DRE)
– inaccurate for size but can detect shape and consistency
• Prostat Volume determination- ultrasonography
• Urodynamic analysis
– Qmax >15mL/second is usual in asymptomatic men from 25 to more than 60 years of
age
• Measurement of prostate-specific antigen (PSA)
– high correlation between PSA and Prostat Volume, specifically Trantitional Zone
Volume
– men with larger prostates have higher PSA levels 1

– PSA is a predictor of disease progression and screening tool for CaP


– as PSA values tend to increase with increasing PV and increasing age, PSA may be
used as a prognostic marker for BPH
Gambaran BNO IVP
Pada BNO IVP dapat ditemukan:
• Indentasi caudal buli-buli
• Elevasi pada intraureter
menghasilkan bentuk J-ureter
(fish-hook appearance)
• Divertikulasi dan trabekulasi
vesika urinaria

“Fish Hook appearance”(di tandai


dengan anak panah)

Indentasi caudal buli-buli


Pada USG (TRUS, Transrectal
Ultrasound)
• Pembesaran kelenjar
pada zona sentral
• Nodul hipoechoid atau
campuran echogenic
• Kalsifikasi antara zona
sentral
• Volume prostat > 30 ml 8

CT Scan:
• Tampak ukuran prostat
membesar di atas ramus superior
simfisis pubis.
Derajat BPH, Dibedakan menjadi 4
Stadium :
 Stadium 1 :
Obstruktif tetapi kandung kemih masih
mengeluarkan urin sampai habis.

 Stadium 2 : masih tersisa urin 60-150 cc.

 Stadium 3 : setiap BAK urin tersisa kira-kira 150 cc.

 Stadium 4 :
retensi urin total, buli-buli penuh pasien tampak
kesakitan urin menetes secara periodik.
Grade Pembesaran Prostat
Rectal Grading
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
• Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
• Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
• Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
• Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
• Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
Kategori Keparahan Penyakit BPH Berdasarkan
Gejala dan Tanda (WHO)
Keparahan Skor gejala AUA Gejala khas dan tanda-tanda
penyakit (Asosiasi Urologis
Amerika)
Ringan ≤7 • Asimtomatik (tanpa gejala)
• Kecepatan urinari puncak < 10 mL/s
• Volume urine residual setelah
pengosongan 25-50 mL
• Peningkatan BUN dan kreatinin serum

Sedang 8-19 Semua tanda di atas ditambah obstruktif


penghilangan gejala dan iritatif
penghilangan gejala (tanda dari detrusor
yang tidak stabil)
Parah ≥ 20 Semua hal di atas ditambah satu atau
lebih komplikasi BPH
Algoritma manajemen terapi BPH
BPH

Menghilangkan gejala Menghilangkan gejala Menghilangkan gejala parah


ringan sedang dan komplikasi BPH

Watchful Operasi
waiting
α-adrenergik α-adrenergik
antagonis atau antagonis dan 5-α
5-α Reductace
Reductace inhibitor inhibitor

Jika respon Jika respon Jika respon Jika respon tidak


berlanjut tidak berlanjut, berlanjut berlanjut, operasi
operasi
102. Epididymitis
• Inflamasi dari epididimis
• Bila ada keterlibatan
testisepididymoorchit
is
• Biasanya disebabkan
oleh STD
• Common sexually
transmitted pathogen,
Chlamydia
PRESENTATION TREATMENT
• Nyeri skrotum yang • Oral antibiotic.
menjalar ke lipat paha dan • Scrotal elevation, bed rest,
pinggang.
&use of NSAID.
• Pembengkakan skrotum
karena inflamasi atau • Admission & IV drugs used.
hidrokel • In STD treat partner.
• Gejala dari uretritis, • In chronic pain do
sistitis, prostatitis.
epididymectomy.
• O/E tendered red scrotal
swelling.
• Elevation of scrotum
relieves painphren sign
(+)
103. Torsio Testis
104. Hydrocele
105. Parafimosis
• Prepusium yang diretraksi Tatalaksana Parafimosis
hingga sulkus koronarius • Mengembalikan prepusium
tidak dapat dikembalikan secara manual dengan
pada posisi semula. memijat glans penis selama
3-5 menit untuk
• Retraksi prepusium ke prox mengurangi edema.
secara berlebihan  tidak • Bila tidak berhasil, perlu
dapat dikembalikan seperti dilakukan dorsum insisi.
semula  menjepit penis • Setelah edema dan reaksi
 obstruksi aliran balik inflamasi hilang 
vena superfisial  edema, sirkumsisi.
nyeri  nekrosis glans
penis.
Paraphimosis
• Tight preputial ring is
trapped behind the
glans after retraction
– Very painful
– Edematous preputial skin
and glans
– Urinary retention
• Requires immediate
attention
– Pain
– Possible necrosis
• Management
– Compression
– Dorsal slit
106. Kista Ganglion
• Degenerasi kistik jaringan
periartikuler, kapsul sendi,
atau pembungkus tendo
• Tumor jaringan lunak tersering
pada tangan dan Pergelangan
Tangan  60 %
• Prediposisi dorsal manus
• Menempel pada Kapsul,
tendon, atau tendon sheath
• Wanita > Pria
• 70% terjadi pada dekade 2 - 4
• Terbentuk tunggal dan pada
tempat yang amat spesifik
Informasisehat.files.wordpress.com/2010/05/ganglion-cyst
Location According to anatomy
• They can occur in numerous locations but most
commonly (70-80% of cases) occur in relation
to the hand or wrist (ganglion cysts of the hand
and wrist) in this location, notable specific sub
sites include 1:
– dorsum of wrist: ~60% of all hand ganglion cysts
– volar aspect of wrist: ~20%
– flexor tendon sheath: ~10%
– in association with the distal interphalangeal joint:
~10%

Other notable locations include:


• knee, e.g. ACL ganglion cyst
• spinoglenoid notch: spinoglenoid notch
ganglion cyst
• ankle: foot
Tanda dan Gejala Anatomi
• Ada Riwayat Trauma (10%)
• Kista utama bisa tunggal
• Bisa muncul tiba-tiba atau
berkembang dalam hitungan atau multilokul
bulan/tahun
• Tampak halus, putih, dan
• Mengecil dalam keadaan istirahat
• Membesar dengan aktifitas translusen
• Kadangkala bisa menghilang
secara spontan
• Rekurensi sangat jarang
(complete exicion)
• > 50%  eksisi tidak komplit
• Biasanya tidak nyeri, kecuali ada
penekanan pada saraf.
Lipoma Kista ateroma Kista dermoid Ganglion
• Deposisi lemak • Sumbatan muara • Kelainan embrional di • Degenerasi kistik
dibawah kulit kelenjar sebasea daerah fusi embrional jaringan periartikuler,
• Sering pada laki> 40 • Klinis: massa kistik • Klinis: massa kapsul sendi atau
thn dengan puncta, tidak konsistensi kistik, pembungkus tendon
• Klinis: mobile, massa nyeri, tidak mobile tidak mobile • Wanita> laki-laki
padat-lunak batas (menempel ke kulit (menempel ke dasar), • Klinis: massa
tegas, permukaan atas) sewarna kulit konsistensi kenyal,
licin, berkapsul • Predileksi: kulit yang • Predileksi: dahi, sudut batas tegas, tidak
• Predileksi: seluruh banyak mengandung luar mata, kepala mobile terfiksir ke
tubuh kelenjar sebasea • Tatalaksana: kapsul tendon. Massa
• Tatalaksana: • Tatalaksana • Eksisi dapat membesar
• Bedah eksisi • Eksisi dengan aktifitas,
• Ekstirpasi dapat menghilang
spontan
• Predileksi:
pergelangan tangan
(dorsal manus)
• Tatalaksana:
• Imobilisasi
• Injeksi
hialorudinase
• Diseksi
tonotome
• Aspirasi ganglion
107. Kista sebasea/ Kista Aterom
• Tumor non-kanker atau
pembengkakan kulit yang
lambat tumbuh.
• Merupakan kantung kecil
yang berisi folikel rambut,
kulit, atau cairan sebum.
• Kista sebasea terbentuk
karena unit
pilosebaseaous atau
kelenjar sebasea terblokir.
• Warna kulit biasanya
normal, dan ada puncta
(komedo) di atas dome.
Lipoma Kista ateroma Kista dermoid Ganglion
• Deposisi lemak • Sumbatan muara • Kelainan embrional di • Degenerasi kistik
dibawah kulit kelenjar sebasea daerah fusi embrional jaringan periartikuler,
• Sering pada laki> 40 • Klinis: massa kistik • Klinis: massa kapsul sendi atau
thn dengan puncta, tidak konsistensi kistik, pembungkus tendon
• Klinis: mobile, massa nyeri, tidak mobile tidak mobile • Wanita> laki-laki
padat-lunak batas (menempel ke kulit (menempel ke dasar), • Klinis: massa
tegas, permukaan atas) sewarna kulit konsistensi kenyal,
licin, berkapsul • Predileksi: kulit yang • Predileksi: dahi, sudut batas tegas, tidak
• Predileksi: seluruh banyak mengandung luar mata, kepala mobile terfiksir ke
tubuh kelenjar sebasea • Tatalaksana: kapsul tendon. Massa
• Tatalaksana: • Tatalaksana • Eksisi dapat membesar
• Bedah eksisi • Eksisi dengan aktifitas,
• Ekstirpasi dapat menghilang
spontan
• Predileksi:
pergelangan tangan
(dorsal manus)
• Tatalaksana:
• Imobilisasi
• Injeksi
hialorudinase
• Diseksi
tonotome
• Aspirasi ganglion
108. Felon Disease
• Felon is an abscess of pulp of the finger
• It may involve the terminal, middle or
proximal volar pulp space
• Most commonly involves distal pulp space
• Second most common hand infection
• Most commonly involves - index and thumb
• Results from a minor trauma,ex :- finger prick
Felon
Clinical features
• Severe pain
• Redness
• Swelling
• Fever
• Tender axillary lymph
nodes
109. Abses Perianal
Abses perianal: infeksi jaringan lunak 5
yang mengelilingi anus. Sebagian besar %
bersumber dari fistula..
Etiologi & Patogenesis:
•Terdapat 4-10 kelenjar di linea dentatum
•Infeksi epitel kriptaglandular menyebabkan
obstruksi dari kelenjar
•Infeksi asending ke rongga interspinkterikum
dan rongga lainnya.
•Implikasi bakteri
•E.Coli., Enterococci, bacteroides

Penyebab lain:
•Crohn
•TB 6 5 Ischiore
•Carcinoma, Lymphoma and Leukaemia 0 % ctal 20%
%
•Trauma Intersphinc suprasphinc
teric teric
•Inflammatory pelvic conditions (appendicitis) Trans- extrasphin
sphincteric cteric
Gejala dan Tanda

Abses Gejala
Perianal •Nyeri di perianal, pus, dan demam
•Benjolan bersifat nyeri, fluktuan,
kemerahan.
Ischio- •Demam, nyeri di ischiorectal
rectal •Massa, nyeri tekan (+), indurasi (+)
Intersphinct •nyeri di rektum, demam, dan
eric terdapat pus
Supralevato
r
110. Hemoroid
http://urology.iupui.edu/papers/reconstructive_bph/s0094014305001163.pdf

111. Trauma Uretra


• Curiga adanya trauma
pada traktus urinarius
bag.bawah, bila:
– Terdapat trauma
disekitar traktus
urinarius terutama
fraktur pelvis
– Retensi urin setelah
kecelakaan
– Darah pada muara OUE
– Ekimosis dan hematom
perineal
Uretra Anterior:
• Anatomy:
– Bulbous urethra
Uretra Posterior :
– Pendulous urethra • Anatomy
– Fossa navicularis – Prostatic urethra
• Etiologi: – Membranous urethra
– Straddle type injuries • Etiologi:
– Intrumentasi – Fraktur tulang Pelvis
– Fractur penis • Gejala klinis:
• Gejala Klinis: – Darah pada muara OUE
– Disuria, hematuria – Nyeri Pelvis/suprapubis
– Hematom skrotal – Perineal/scrotal hematom
– Hematom perineal akan timbul bila terjadi robekan – RT Prostat letak tinggi atau
pada fasia Buck’s sampai ke dalam fasia melayang
Colles‘‘butterfly’’ hematoma in the perineum • Radiologi:
– will be present if the injury has disrupted Buck’s – Pelvic photo
fascia and tracks deep to Colles’ fascia, creating a
– Urethrogram
characteristic ‘‘butterfly’’ hematoma in the
perineum • Therapy:
• Therapy: – Cystostomi
– Cystostomi – Delayed Repair
– Immediate Repair
• Don't pass a diagnostic • Retrograde
catheter up the patient's urethrography
urethra because: – Modalitas pencitraan yang
– The information it will give utama untuk mengevaluasi
will be unreliable. uretra pada kasus trauma
– May contaminate the dan inflamasi pada uretra
haematoma round the
injury.
– May damage the slender
bridge of tissue that joins
the two halves of his
injured urethra

Posterior urethral rupture above the


intact urogenital diaphragm
following blunt trauma

http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/68._Urinary
112. Omphalitis
• Omphalitis is an infection of the umbilical
stump.
• It typically present as a superficial cellulitis i.e.
as a red ‘flare’ in the periumbilical skin.
• The cellulitis may progress rapidly with
potentially serious consequences including
systemic disease e.t.c.
• Omphalitis is predominantly a disease of the
Neonates.
LAD (Leukocyte adhesion
deficiency)
• Omphalitis occasionally manifests from an
underlying Immunologic disorder.
• These infants are subsequently diagnosed
with Leukocyte adhesion deficiency, a rare
disorder with AR pattern of inheritance. These
infants present with the following;
– 1-Leukocytosis
– 2- Delayed seperation of the umbilical cord
– 3-recurrent infections.
Clinical Features
• In term infant the, mean age at onset is 5-9 days.
• Patient present with redness and swelling (cellulitis)
around the umbilicus.
• Purulent or mal odorous discharge from the umbilicus.
• Baby is highly irritable.
• The cellulitis is rapidly progressive and may lead to
necrotizing fasciitis.
• Necrotizing fasciitis is characterized by abdominal
distension, fever and tachycardia.
• Despite the illness, most of the neonates at
presentation have good appetite and continue to suck.
Management
• History- detailed history of the pregnancy, labour, delivery and neonatal
course.

• Physical Examination
Physical signs vary with the extent of the disease.
– Local disease; signs of localized infection nclude the fllg
• Purulent or mal odorous discharge from the umbilical stump
• Periumbilical erythema
• Edema
• Tenderness
Extensive local disease; such as fasciitis or myonecrosis. These signs may
suggest infection by both aerobic or anaerobic organisms.
– Periumbilical ecchymosis
– Crepitus
– Bullae
– Progression of cellulitis despite antimicrobial therapy
113. Hirschsprung
• Suatu kelainan bawaan
berupa aganglionik usus,
mulai dari spinchter ani
interna kearah proksimal
dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-
tidaknya sebagian rectum
dengan gejala klinis berupa
gangguan pasase usus.
• Tidak terdapat ganglion
Meisner dan Auerbach
PATOFISIOLOGI
Gagal migrasi bakal sel
ganglion dari cranio- caudal
Minggu 5 – 12

Segmen
aganglionik
Peristaltik propulsif Ganglion
tidak ada, sfingter ani parasimpatik
internus gagal intramural tidak ada
mengendur pada
distensi rectum
Colon tidak
Defekasi terganggu
mengembang

obstruksi Distensi abdomen konstipasi


MANIFESTASI KLINIS

KETERLAMBATAN EVAKUASI MEKONIUM

MUNTAH HIJAU

DISTENSI ABDOMEN
BNO POLOS BARIUM
Gambaran ENEMA
hearing bone Gambaran
zona transisi
• Darm kontur: terlihatnya bentuk usus pada
abdomen
• Darm Steifung: terlihatnya gerakan peristaltik
pada abdomen
Rontgen :
• Abdomen polos
– Dilatasi usus
– Air-fluid levels.
– Empty rectum
• Contrast enema
– Transition zone
– Abnormal, irregular contractions of
aganglionic segment
– Delayed evacuation of barium
• Biopsy :
– absence of ganglion cells
– hypertrophy and hyperplasia of nerve
fibers,
PENATALAKSANAAN
• Prinsip terapi
– mengatasi obstruksi,
– mencegah terjadinya enterocolitis
– membuang segmen aganglionik
– mengembalikan kontinuitas usus
TERAPI

SEMENTARA COLOSTOMY

PEMBEDAHAN
RECTOSIGMOIDESTOMY
CARA SWENSON

DEFINITIF

ANASTOMOSE
COLOANAL CARA
DUHAMEL DAN SOAVE
114. Peritonitis
• Peritonitis Sekunder
– Bakteri, enzim, atau cairan empedu mencapai
peritoneum dari suatu robekan yang berasal dari traltus
bilier atau GIT
• Peritonitis TB
– Robekan tersebut dapat disebabkan oleh”
• Pankreatitis
• Perforasi appendiks
• Ulkus gaster
• Crohn’s disease
• Diverticulitis
• Komplikasi tifoid
Gambaran radiologis pada peritonitis:
a) adanya kekaburan pada cavum abdomen
b) preperitonial fat dan psoas line menghilang
c) adanya udara bebas subdiafragma atau
d) adanya udara bebas intra peritoneal
115. Trauma Tumpul Abdomen
116. Ileus Obstruktif
• Ileus:
– Kelainan fungsional atau terjadinya paralisis dari
gerakan peristaltik usus.
• Obstruksi:
– Adanya sumbatan mekanik yang disebabkan
karena adanya kelainan struktural sehingga
menghalangi gerak peristaltik usus.
– Obstruksi dapat parsial atau komplit
– Obstruksi simple atau strangulated
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
117. Osteosarkoma
118. Dislokasi Panggul
Posterior Hip Dislocation
soundnet.cs.princeton.edu

Anterior Hip Dislocation


Gejala
• Nyeri pada sendi
panggul
• Tidak dapat berjalan
atau melakukan
adduksi dari kaki.
• The leg is externally
rotated, abducted,
and extended at the
hip

netterimages.com
119. Fraktur Antebrachii
• Fraktur Galeazzi: adalah fraktur radius distal disertai
dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal.
• Fraktur Monteggia: adalah fraktur ulna sepertiga
proksimal disertai dislokasi ke anterior dari kapitulum
radius.
• Fraktur Colles: fraktur melintang pada radius tepat
diatas pergelangan tangan dengan pergeseran dorsal
fragmen distal.
• Fraktur Smith: Fraktur smith merupakan fraktur
dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering
disebut reverse Colles fracture.
Prinsip diagnostik
• Secara umum, pada kasus
fraktur dilakukan foto polos AP
dan lateral
• Khusus untuk fraktur pada
lengan bawah dan
pergelangan, urutan foto
polos: PA
- PA Bila hanya Akan menentukan
pergelangan tangan saja tangan sebelah
yang difoto mana yang patah
- APBila meliputi sendi dan arah PA
siku dan pergelangan pergeserannya
tangan pada foto lateral
- Lateral
- Oblique

Ekayuda I. Radiologi diagnostik. 2nded


Fraktur Monteggia
Fraktur Galeazzi

Fraktur Colles
Fraktur Smith
120-121. Sprain Ankle
Strain vs Sprain
Ankle instability
• Caused by injury to the lateral ankle ligaments
• Presentation:
– history of multiple prior ankle sprains
– hindfoot varus
– increased inversion laxity

The anterior drawer
• Menilai integritas dari ligamen talofibular
anterior.
• Cara pemeriksaan:
• Posisi kaki sedikit plantar fleksi
• Pegang kaki dengan tang kiri The inversion stress test
• Tarik tumit kearah antrior dengan • Menilai integrotas ligamen
tangan kanan calcaneofibular
• Positive test Laxity and poor • Cara pemeriksaan:
endpoint on forward translation • Pegang tumit dengan tangan
kiri
• Inversi kaki dengan tangan
kanan
• Compare to opposite side
Inversion Sprain
Sprain Ankle
Note:
• Ideally, ice should be applied within 5-10 minutes of injury and for 20-30
minutes. This can be repeated every 2-3 hours or so whilst you are awake for the
next 24-48 hours.
• After the first 48 hours, when bleeding should have stopped, the aim of treatment
changes from restricting bleeding and swelling to getting the tissues remobilised
with exercise and stretching. Ice helps with pain relief and relaxation of muscle
tissue.
122. Cedera Meniskus
• Sering terjadi pada
olahraga yang melibatkan
gerakan berputar dan
squat seperti pada bola
basket, sepak bola atau
bulu tangkis.
• Mekanisme cedera
meniskus
– akibat gerakan berputar
dari sendi lutut
– akibat gerakan squat atau
fleksi (menekuknya) sendi
lutut yang berlebihan.
Tes-tes Meniskus Pada Regio Knee (Lutut)

Tes Apley
• Posisi pasien : telungkup,
dengan lutut fleksi ± 90˚.
• Pegangan : pada kaki disertai
dengan pemberian tekanan
vertikal ke bawah
• Gerakan:
• Putar kaki ke eksorotasikompresi
pada meniscus lateralis
• Putar kaki endorotasikompresi
pada meniscus medialis
• Positif bila ada nyeri dan bunyi
“kIik”.
Tes McMurray
• Posisi pasien : telentang dengan
pancjgul ± 110˚ fIeksi, tungkai
bawah maksimal feksi.
• Pegangan : tangan pasif pada
tungkai atas sedekat mungkin
dengan lutut, tangan aktif
memegang kaki.
• Gerakan :
• Tungkai bawah ekstensi disertai
dengan tekanan ke valgus dan
eksorotasiprovokasi nyeri pada
meniscus Iateralis dan bunyi “kIik”
• Gerakan tungkai bawah ekstensi
disertai dengan tekanan ke varus dan
endorotasi provokasi nyeri pada
meniscus medialis dan bunyi “kIik”
Tes Steinman
• Posisi pasien : telentang,
dengan lutut lurus
• Pegangan: tangan aktif pada
kaki, tangan pasif memegang
lutut dari arah depan dengan
ibu jari memberi tekanan pada
celah sendi bagian medial (letak
berpindah-pindah) untuk
provokasi nyeri tekan.
• Gerakan :
• Gerakkan tungkai bawah ke arah
fleksi dan ekstensi
• Positif bila ada nyeri tekan yang
berpindah letak saat posisi lutut
(ROM) berubah.
123. PCL Rupture
• The posterior cruciate ligament (or PCL) is one of the four
major ligaments of the knee. It connects the posterior
intercondylar area of the tibia to the medial condyle of the
femur.
• The PCL is a strong fan shaped and intracapsular ligament
along with the anterior cruciate ligament(ACL).
• The function of the PCL is:
– to prevent the femur from sliding off the anterior edge of the
tibia.
– Prevents hyperflexion of the knee to a lessor extent with ACL
but its main function is to check extension and hyperextension.
– It also helps in checking the rotational movements with ACL.
– To prevent the tibia from displacing posterior to the femur.
Mechanism of Injury
• DIRECT BLOW TO THE KNEE WHILE IT IS
FLEXED(dashboard injury)
• FALLING HARD ON THE KNEE
• Hyperextension injury
Classification
• Classification based on posterior subluxation of tibia
relative to femoral condyles (with knee in 90° of
flexion)
– Grade I (partial)
• 1-5 mm posterior tibial translation
• tibia remains anterior to the femoral condyles
– Grade II (complete isolated)
• 6-10 mm posterior tibial translation
• complete injury in which the anterior tibia is flush with the femoral
condyles
– Grade III (combined PCL and capsuloligamentous)
• >10 mm posterior tibial translation
• tibia is posterior to the femoral condyles and often indicates in
associated ACL and/or PLC injury
Sag Sign
• Knee 90
• Support heel
• Tibia sags visibly
posteriorlyfrom effect
of gravity
• Compare silhouette
both side

Godfrey test: sag sign at


90 flexion at hip & knee
Posterior drawer test
• Supine
• Knee 90 deg
• Excessive posterior
laxity / no hard end
point felt s/o PCL tear
Quadriceps Active Test

• Supine
• Knee 90 deg
• Active gentle
quadriceps contraction
to shift tibia without
extending knee
• Anterior shift of tibia-
PCL tear
124. Genu Varum
• Pathologic if:
– >18mo without signs of resolution
– Unilateral
– Progressive
– Pain
– Underlying medical diagnoses
• Rickets
• Renal failure
Genu Varum
• What not to miss?
1. Infantile tibia vara (progressive proximal tibial
varus deformity)
• Treatment should begin <4yo
2. Underlying medical diagnoses
• Rickets
• Renal failure
124. Genu Valgum
• Pathologic if:
– Intermalleolar distance >8cm >10yo
– Unilateral
– Progressive
– Underlying medical diagnosis
• Rickets
• Renal failure
Genu Valgum
• What not to miss?
– Cozen phenomenon
• Progressive (and generally self-limiting) genu valgum
after proximal tibial metaphyseal greenstick with intact
lateral cortex
Treatment
• 8 plates
– Require referral prior to 12 F or 14 M (guided
growth requires >/= 2 years of growth remaining
for maximal effectiveness)
• Osteotomies
– Generally reserved for skeletally mature patients
125-126. Ruptur Tendon Achilles
• Ruptur tendo Achilles adalah putusnya tendo
Achilles atau cedera yangmempengaruhi
bagian bawah belakang kaki.
• Klasifikasi:
• Tipe I: Pecah parsial, yaitu sobek yang kurang dari
50%, biasanya diobati dengan manajemen
konservatif
• Tipe II: sobekan yang penuh dengan kesenjangan
tendon kurang dari sama dengan 3 cm, biasanya
diobati dengan akhir-akhir anastomosis
• Tipe III: sobek yang penuh dengan jarak tendon 3
sampai 6 cm
• Tipe IV: perpisahan yang penuh dengan cacat
lebih 6 cm (pecah diabaikan)
http://emedicine.medscape.com/article/1922965-overview
Manifestasi Klinik Ruptur Tendo Achilles
1. Rasa sakit mendadak yang berat dirasakan pada bagian belakang
pergelangan kaki atau betis
2. Bengkak, kaku dan memar
3. Terlihat depresi di tendon 3-5 cm diatas tulang tumit
4. Tumit tidak bisa digerakan turun naik.
5. Pasien mungkin menggambarkan sensasi ditendang di bagian
belakang kaki.
6. Nyeri bisa berat.
7. Nyeri lokal, bengkak dengan gamblang sepanjang tendon Achilles
dekat lokasi penyisipan, dan kekuatan plantar flexion lemah
8. Rasa sakit mendadak dan berat dapat dirasakan di bagian
belakang pegelangan kakiatau betis
9. Terlihat bengkak dan kaku serta tampak memar dan kelemahan di
dekat tumit.
10.Sebuah kesenjangan atau depresi dapat dilihat di tendon sekitar 2 cm di
atas tulang tumit.
11.Tumit tidak dapat digerakan turun atau naik atau “push off” kaki terluka
ketika berjalan.
12.Pasien merasa seolah-olah ia telah dipukul tepat pada tumitnya dan tidak
bisaberjinjit.
13.Apabila ada robekan,suatu celah dapat dilihat dan terasa 5 cm diatas
insersio tendon.
14.Plantar flexi kaki akan lemah dan tidak disertai dengan tendon
Diagnosis

• Weakness in
plantarflexion
• Gap in tendon
• Palpable swelling
• Positive Thompson test
Pemeriksaan Fisik Ruptur Tendon
Achilles

Infeksi dan Test Thomphson


palapasi

Obrie’n test/
Copeland test
test jarum
O’Brien test
• Jarum 25G, ditusukan pada otot
tungkai bawah 10cm di atas
tonjolan calcaneus.
• Gerakan pangkal jarum
berlawanan arah saat dilakukan
gerakan pasif plantar fleksi dan
dorso fleksi menandakan
tendon achilles yang intak.

Copeland test
• Pasien dalam posisi prone, cuff
sphygmomanometer diletakan
pada bagian tungkai yang paling
besar, kaki pasien diminta plantar
fleksi, kemudian
sphygmomanometer di pompa
hingga 100mmHg.
• Jika tendon achilles intak, tekanan
akan meningkat menjadi 140mmHg
saat pasien diminta dorsofleksi
Pemeriksaan Penunjang
Magnetic Resonance Image (MRI)

Foto Rontgen
Tatalaksana Ruptur Tendo Achilles
127. Osteomyelitis
• Osteomyelitis is an inflammation of bone caused by an
infecting organism.
• It may remain localized, or it may spread through the
bone to involve the marrow, cortex, periosteum, and
soft tissue surrounding the bone.
• Based on the duration and type of symptoms:
Organisms Isolated in Bacterial
Osteomyelitis
Organism Comments
Staphylococcus aureus Organism most often isolated in all types
of osteomyelitis
Coagulase-negative staphylococci or Foreign-body–associated infection
Propionibacterium species
Enterobacteriaceae species Common in nosocomial infections and
orPseudomonas aeruginosa punchured wounds
Streptococci or anaerobic bacteria Associated with bites, fist injuries caused
by contact with another person’s mouth,
diabetic foot lesions, decubitus ulcers
Salmonella species orStreptococcus Sickle cell disease
pneumoniae

Lew DP, Waldvogel FA. Osteomyelitis. N Engl J Med 1997;336:999-1007.


Local signs (Acute)
• Calor, rubor, dolor, tumor
• Heat, red, pain or tenderness, swelling
• Initially, the lesion is within the medually cavity,
there is no swelling, soft tissue is also normal.
• The merely sign is deep tenderness.
• Localized finger-tip tenderness is felt over or
around the metaphysis.
• It is necessary to palpate carefully all metaphysic
areas to determine local tenderness,
pseudoparalysis
X-ray findings
• X-ray films are negative within 1-2 weeks
• Careful comparison with the opposite side may
show abnormal soft tissue shadows.
• It must be stressed that x-ray appearances are
normal in the acute phase.
• There are little value in making the early
diagnosis.
• By the time there is x-ray evidence of bone
destruction, the patient has entered the chronic
phase of the disease.
X-ray findings
• It takes from 10 to 21 days for an osseous lesion to
become visible on conventional radiography, because
a 30–50% reduction of bone density must occur before
radiographic change is apparent

Bonakdarpour A, Gaines VD (1983) The radiology of osteomyelitis. Orthop Clin North


Am 14:21–33
X-ray findings
1. Localized osteopaenia and trabecular destruction are
early signs of a suppurative acute process in the bone.
2. The type and extent of cortical destruction is variable . A
wide spectrum is encountered, ranging from a solitary
radiolucency to irregular, multiple radiolucencies
(mottling) to a permeative pattern. The individual lesions
are generally indistinct and irregular in outline.
X-ray findings
3. Lamellated periosteal reactions are invariably present .
4. The reparative phase during therapy is characterized by
endosteal and periosteal new bone formation,
development of surrounding sclerosis and sometimes
large osteosclerotic areas.
5. Soft tissue changes, such as swelling and obliteration of
tissue planes, are rarely of diagnostic value in adults.
6. In newborns and infants, however, loss of normal fat
planes within days of the onset of symptoms may be an
early sign of soft tissue swelling. In this age group
lamellated periosteal changes are generally discernible
before any bone destruction. A late manifestation is the
ballooned metaphysis, sometimes with involvement of
the epiphysis.
SUBACUTE HEMATOGENOUS
OSTEOMYELITIS
• More insidious onset and lacks the severity of
symptoms
• Diagnosis typically is delayed for more than 2
weeks.
• a pathogen is identified only 60% of the time
• S. aureus and Staphylococcus epidermidis
• The diagnosis often must be established by an
open biopsy and culture
Subacute Osteomyelitis Classification
Brodie’s abcess
• Bone abscess containing pus or jelly like
granulation tissue surrounded by a zone
of sclerosis
• Age 11-20 yrs, metaphyseal area, usually
upper tibia or lower femur
• Deep boring pain, worse at night,
relieved by rest
• Circular or oval luscency surrounded by
zone of sclerosis
• Treatment:
– Conservative if no doubt - rest +
antibiotic for 6 wks.
– if no response – surgical evacuation &
curettage, if large cavity - packed with
cancellous bone graft
Chronic osteomyelitis
• If any of sequestrum, abscess cavity, sinus tract
or cloaca is present. (Dead bone is present)

• Hematogenous infection with an organism of


low virulence may be present by chronic onset.
– Infection introduced through an external wound
usually causing a chronic osteomyelitis.
– It is due to the fact that the causative organism can lie
dormant in
– avascular necrotic areas occasionally becoming
reactive from a flare up.
Clinical features
• During the period of inactivity, no symptoms are
present.
• Only Skin-thin, dark, scarred, poor nourished,
past sinus, an ulceration that is not easily to heal
• Muscles-wasting contracture, atrophy
• Joint-stiffness
• Bone-thick, sclerotic,
• often contain abscess cavity
Clinical features
• At intervals, a flare-up occurs,
• The relapse is often the result of poor body
condition and lower resistance.
• A lighting up of infection is manifested by aching
pain that is worse at night.
• Locally there will be some heat, swelling, redness,
tenderness, edema, because pus may build up in
cavity, then a sinus may open and start to
exudates purulent materials and small sequestra.
• The sinus closed and the infection subsided.
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
 Sekuestrum (bangunan dense dikelilingi
lusentulang yang mati dikelilingi oleh pus)
 Involucrum (pembentukan tulang baru di
sekitar tulang yang mengalami destruksi)
 Korteks menebal/sklerotik dan berkelok-kelok
 Kanalis medularis menyempit hingga
gambaran medula menghilang
Osteomyelitis, chronic. Sclerosing osteomyelitis
Osteomyelitis, chronic. Sequestrum of the lower tibia of the lower tibia. Note the bone expansion an
marked sclerosis.
TERAPI
Antibiotik Tindakan Operatif
• Bertujuan untuk : • Bertujuan untuk :
• Mencegah terjadinya – Mengeluarkan seluruh jaringan
penyebaran infeksi pada nekrotik, baik jaringan lunak
tulang sehat lainnya. maupun jaringan tulang (
• Mengontrol eksaserbasi sequesterum) sampai ke
jaringan sehat sekitarnya.
Selanjutnya dilakukan drainase
dan irigasi secara kontinu
selama beberapa hari.
– Sebagai dekompresi pada
tulang dan mencegah
penyebaran osteomyelitis lebih
lanjut
– Gips untuk mencegah patah
tulang patologik
Komplikasi
• Anemia
• Penurunan berat badan
• Kelemahan dan amiloidosis.
• Arhtritis purulenta
• Fraktur patologis
128. Scoliosis
• Skoliosis merupakan pembengkokan kearah samping dari tulang belakang yang
merupakan suatu deformitas (kelainan) dari pada suatu penyakit.
• Kelainan ini banyak sekali yang mengalaminya dikalangan anak-anak, khususnya
pada anak-anak usia sekolah.
KLASIFIKASI ETIOLOGIS SCOLIOSIS
1. scoliosis non-struktural (bersifat 2. Scoliosis structural (bersifat irreversible)
reversible) b. Scoliosis idiopatik yang terdiri atas :
a. Scoliosis postural - Jenis infantile 0-3 tahun
b. Nyeri dan spasme otot - Jenis juvennil 4-9 tahun
c. Tungkai bawah tidak sama panjang, - Jenis adolesen 10-pertumbuhan berhenti
yang terdiri atas: b. Scoliosis osteopatik terdiri atas:
d. Tidak sama panjang yang - Kongenital:
sebenarnya  Bersifat local, seperti hemivertebra
e. Tidak sama [panjang yang  Bersifat umum, seperti osteogenesis impefektan
sebenarnya (relative) oleh karena - Didapat:
kemiringan pelvis  Fraktur dan dislokasi tulang belakang
 Penyakit rakhitis dan osteomalasia
 Torakogenik misalnya penyakit paru unilateral
c. Scoliosis neuropatik terdiri atas:
- Kongenital:
 Spinabifida dengan mielodisplasia,
neurofibromatosis
- Didapat (scoliosis paralitik):
 Polimielitis, paraplegi, penyakit friedreich ataksia,
siringomielia
d. Scoliosis miopatik
Mengukur sudut Cobb
• Tentukan Apex
• Cari ruas tulang di atas apex dan tarik
garis sejajar dengan ujung ruas tulang
belakang.
• Cari ruas tulang di bawah apex dan
tarik garis sejajar dengan ujung ruas
tulang belakang.
• Buat garis siku dari garis yang dibuat
pada poin pertama dan poin kedua.
• Sudut yang terbentuk antara garis
paralel tersebut adalah sudut Cobb.
20-40 degrees >40 degrees
For growing child If still growing
>50 degress for
mature skeleton
129. Fibroadenoma
• Most common benign tumor of
breast.
• Benign tumors that represent a
hyperplastic or proliferative
process in a single terminal ductal
unit.
• Young females:15 -25yrs of age.
• Aberration in normal development
of a lobule.
• Cause -unknown.
• 10% of disappear spontaneously
each year.
• Most stop growing after they
reach 2-3 cm.
• Involute in postmenopausal womencoarse
calcifications develop.
• Conversely grow rapidly during pregnancy,
HRT or immunosuppression-(multiple or
growing fibroadenomas -related to Epstein
barr virus infn)
• Variants
• juvenile fibroadenomas
• myxoid fibroadenomas Carney complex, an
autosomal dominant neoplasia syndrome
(skin mucosal lesions, myxomas, and
endocrine disorders.)
Types
• Gross: Soft, Hard,
Giant.
• Microscopy
– Intracanalicular-
mainly cellular
tissue
– Pericanalicular-
mainly fibrous
• Clinical features • Treatment
– Painless swelling • Excision of the lump
• In pericanalicular type -
– Smooth, firm, non-
periareolar incision
tender
• Intracanalicular-
– Well-localized submammary incision
– Moves freely within the
breast tissue- breast
mouse.
– Axillary LN not enlarged.
130. Fibrocystic Disease
• Dikenal juga sebagai mammary displasia
• benjolan payudara yang sering dialami oleh
sebagian besar wanita.
• Benjolan ini harus dibedakan dengan
keganasan.
• U terjadi pada wanita berusia 25-50 tahun
(>50%).
• Ditandai penambahan jaringan fibrous dan
glandular.
Gejala dan Tanda
• benjolan fibrokistik biasanya multipel dan keras
• adanya kista, fibrosis,
• benjolan konsistensi lunak, terdapat penebalan
• Nyeri payudara siklikperubahan hormon
estrogen dan progesteron.
• Biasanya payudara teraba lebih keras dan membesar
sesaat sebelum menstruasi
• Menghilang seminggu setelah menstruasi selesai.
• Benjolan biasanya menghilang setelah wanita
memasuki fase menopause.
Diagnosis
• Evaluasi harus dilakukan dengan seksama untuk
membedakannya dengan keganasan.
• Apabila didapatkan benjolan difus (tidak memiliki
batas jelas), terutama berada di bagian atas-luar
payudara tanpa ada benjolan yang dominan,
• Diperlukan pemeriksaan USG, mammogram dan
pemeriksaan ulangan setelah periode menstruasi
berikutnya.
• Apabila keluar cairan dari puting, baik bening,
cair, atau kehijauan, sebaiknya diperiksakan
tes hemoccult untuk pemeriksaan sel keganasan.
• USG:
– Multiple cysts
– Well circumscribed
thins walls
– Increased fibrous
stroma
• Mammogram
– Gambaran
kista dengan
penambahan
jaringan
fibrosa.
The Breast Lump
ILMU
PSIKIATRI
131. PRINSIP TERAPI ANTIPSIKOTIK
• Key points for using antipsychotic therapy:
1. An oral atypical antipsychotic drug should be considered as
first-line treatment.
2. Choice of medication should be made on the basis of prior
individual drug response, patient acceptance, individual side-
effect profile and cost-effectiveness, other medications being
prescribed and patient co-morbidities.
3. The lowest-effective dose should always be prescribed
initially, with subsequent titration.
4. The dosage of a typical or an atypical antipsychotic medication
should be within the manufacturer’s recommended range.

Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Psikofarmaka
• Key points for using antipsychotic therapy:
5. Treatment trial should be at least 4-8 weeks before changing
antipsychotic medication.
6. Antipsychotic medications, atypical or conventional, should
not be prescribed concurrently, except for short periods to
cover changeover.
7. Treatment should be continued for at least 12 months, then if
the disease has remitted fully, may be ceased gradually over
at least 1-2 months.
8. Prophylactic use of anticholinergic agents should be
determined on an individual basis and re-assessment made at
3-monthly intervals.
9. A trial of clozapine should be offered to patients with
schizophrenia who are unresponsive to at least two adequate
trials of antipsychotic medications.

Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Obat Antipsikotik Tipikal dan Atipikal
132. Eating Disorders
• Eating disorders are characterized by a persistent
disturbance of eating that impairs health or
psychosocial functioning
• The disorders include :
– anorexia nervosa,
– avoidant/restrictive food intake disorder,
– binge eating disorder,
– bulimia nervosa,
– pica, and
– rumination disorder.
Anorexia nervosa
• Restriction of energy intake that leads to a low
body weight, given the patient’s age, sex,
developmental trajectory, and physical health
• Intense fear of gaining weight or becoming fat, or
persistent behavior that prevents weight gain,
despite being underweight
• Distorted perception of body weight and shape,
undue influence of weight and shape on self-
worth, or denial of the medical seriousness of
one’s low body weight
Avoiding or restricting food intake
• Avoiding or restricting food intake, which may be based upon lack of interest in food, the sensory
characteristics of food, or a conditioned negative response associated with food intake following
an aversive experience (eg, choking). The eating behavior leads to a persistent failure to meet
nutritional and/or energy needs, manifested by at least one of the following:
– Clinically significant weight loss, or in children, poor growth or failure to achieve expected
weight gain
– Nutritional deficiency
– Supplementary enteral feeding or oral nutritional supplements are required to provide
adequate intake
– Impaired psychosocial functioning
– The eating or feeding disturbance is not due to lack of available food or associated with a
culturally sanctioned practice.

• ●The disturbance does not occur solely in the course of anorexia nervosa or bulimia nervosa, and
body weight and shape are not distorted.

• ●The disturbance is not due to a general medical condition (eg, gastrointestinal disease, food
allergies, or occult malignancy) or another mental disorder. When avoidant/restrictive food intake
disorder occurs in the context of another illness, the eating disturbance is both out of proportion
to what is expected for the other illness and warrants additional clinical attention
Binge Eating
• Episodes of binge eating, defined as consuming an amount of food in a
discrete period of time (eg, two hours) that is definitely larger than what
most people would eat in a similar amount of time under similar
circumstances. During episodes, patients feel they lack control over eating
(eg, patients feel they cannot stop eating or control the amount or what
they are eating).

• Binge eating episodes are marked by at least three of the following:


– Eating more rapidly than normal
– Eating until feeling uncomfortably full
– Eating large amounts of food when not feeling physically hungry
– Eating alone because of embarrassment by the amount of food consumed
– Feeling disgusted with oneself, depressed, or guilty after overeating
– Episodes occur, on average, at least once a week for three months.
– No regular use of inappropriate compensatory behaviors (eg, purging, fasting,
or excessive exercise) as are seen in bulimia nervosa.
– Binge eating does not occur solely during the course of bulimia nervosa or
anorexia nervosa.
Pica
• Repeated eating of nonfood substances (eg, chalk,
clay, cloth, coal, dirt, gum, hair, metal, paint, paper,
pebbles, soap, string, or wool) that are not nutritional,
for at least one month.
• The eating behavior is inappropriate to the patient’s
developmental level, and is not culturally supported or
socially normal.
• If the eating behavior occurs in the context of another
mental disorder (eg, autism, intellectual disability, or
schizophrenia) or general medical condition (including
pregnancy), the severity of the eating behavior
warrants additional clinical attention.
Rumination Disorders
• Repeated regurgitation of food, which may be
rechewed, reswallowed, or spit out; the eating
disturbance occurs for at least one month.
• Regurgitation of food is not due to a general medical
condition, such as gastroesophageal reflux disease or
pyloric stenosis.
• Regurgitation does not occur solely during the course
of avoidant/restrictive food intake disorder, anorexia
nervosa, binge eating disorder, or bulimia nervosa.
• If the eating behavior occurs in the context of another
mental disorder (eg, intellectual disability) or general
medical condition (including pregnancy), the severity
of the eating behavior warrants additional clinical
attention.
133. Gangguan campuran cemas dan depresi

• Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi (F41.2)


merupakan gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana
masingmasing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang
cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri.
• Kriteria Diagnosis :
– Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana
masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup
berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas,
beberapa gejala otonomik, harus ditemukan walaupun hasus
tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran
berlebihan.
– Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih ringan,
maka harus dipertimbangkan kategori gangguan anxietas
lainnya atau gangguan anxietas fobik.
• Bila ditemukan sindrom depresi dan cemas yang cukup
berat untuk menegakkan diagnosis maka kedua diagnosis
tersebut harus dikemukakan, dan diagnosis gangguan
campuran tidak dapat digunakan. Jika karena sesuatu hal
hanya dapat dikemukakan satu diagnosis maka gangguan
depresif harus diutamakan.
• Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stress
kehidupan yang jelas maka harus digunakan kategori F.43.2
(gangguan penyesuaian).
134. Delirium
• Deliriumkesadaran fluktuatif, ditandai dengan kesulitan
memfokuskan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian
• Pedoman diagnostik:
– Gangguan kesadaran & perhatian
– Gangguan kognitif (distorsi persepsi, halusinasi, hendaya daya pikir, daya ingat,
disorientasi)
– Gangguan psikomotor: hipo/hiperaktivitas
– Gangguan siklus tidur-bangun
– Gangguan emosional: depresi, ansietas, lekas marah
– Onset cepat, hilang timbul, kurang dari 6 bulan

• Penyebab:
– SSP: kejang (postictal)
– Metabolik: gangguan elektrolit, hipo/hiperglikemia
– Penyakit sistemik: infeksi, trauma, dehidrasi/ovehidrasi
– Obat-obatan

Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ-III.
Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
Delirium

Delirium. Ondria C, Gleason MD., University of Oklahoma College of Medicine, Tulsa, Oklahoma. Am Fam
Physician. 2003 Mar 1;67(5):1027-1034.
Delirium
• Subtypes of Delirium
– Hyperactive subtype
may be agitated, disoriented, and delusional, and may
experience hallucinations. This presentation can be
confused with that of schizophrenia, agitated
dementia, or a psychotic disorder.
– Hypoactive subtype
Subdued, quietly confused, disoriented, & apathetic.
Delirium in these patients may go unrecognized or be
confused with depression or dementia.
– Mixed subtype
Fluctuating between the hyperactive &hypoactive.
Delirium. Ondria C, Gleason MD., University of Oklahoma College of Medicine, Tulsa, Oklahoma. Am Fam
Physician. 2003 Mar 1;67(5):1027-1034.
Perbedaan
Diagnosis Karakteristik
Delirium cognitive changes develop acutely and fluctuate. Speech can be
confused or disorganized. Alertness and attention wax and wane
Dementia insidious onset, chronic memory and executive function
disturbance, tends not to fluctuate. Intact alertness and attention
but impoverished speech and thinking
Schizofrenia Onset is rarely after 50. Auditory hallucinations are much more
common than visual hallucinations. Memory is grossly intact and
disorientation is rare. Speech is not dysarthric. No wide
fluctuations over the course of a day
Mood Disorder Manifest persistent rather than labile mood with more gradual
onset. In mania the patient can be very agitated however cognitive
performance is not usually as impaired. Flight of ideas usually have
some thread of coherence unlike simple distractibility.
Disorientation is unusual in mania
135. Sleep Disorder
DSM-IV-TR divides primary sleep • Parasomnias: abnormal behaviors
disorders into: during sleep or the transition
• Dyssomnias: disorders of quantity or between sleep and wakefulness.
timing of sleep – Nightmare
– Insomnia • Repeated awakenings from bad dreams
• primary insomnias: insomnia is • When awakened client becomes oriented
independent of any known physical or and alert
mental condition. – Night terror
– Hypersomnia • Abrupt awakening from sleep, usually
• sleeping too much, as well as being drowsy at beginning with a panicky scream or cry.
times when client should be alert • Intense fear and signs of autonomic arousal
• Excessive sleepiness • Unresponsive to efforts from other to calm
– Narcolepsy client
• Sleeping at the wrong time • No detailed dream recalled
• Sleep intrudes into wakefulness, causing clients • Amnesia for episode
to fall asleep almost instantly – Sleep walking/somnabulisme
• Sleep is brief but refreshing • Rising from bed during sleep and walking
• May also have sleep paralysis, sudden loss of about.
strength, and hallucinations as fall asleep or • Usually occurs early in the night.
awaken. • On awakening, the person has amnesia
– Circadian rhythm sleep disturbances for episode
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry
136. Drugs induce
Hyperprolactinemia
• Antipsychotics are the most common cause of
pharmacologically induced
hyperprolactinemia.
• Some of the antipsychotic drugs are known
dopamine D2 receptor antagonists and raise
serum prolactin by that mechanism.
137. Agitasi

• Definisi: Aktivitas motorik atau verbal yang berlebih.

• Dapat berupa:
– Hiperaktivitas
– Menyerang
– Verbal abuse, memaki-maki
– Gerakan tubuh dan kata-kata mengancam
– Merusak barang
– Berteriak-teriak
– Gelisah, bicara berlebih
Tatalaksana Agitasi
• Bila skor PANSS-EC berkisar pada skor 2-3, maka
dilakukan persuasi dan medikasi oral.
– Haloperidol 2x5 mg untuk pasien dewasa
– Haloperidol 0,5 mg atau Lorazepam0,5 mg untuk anak dan
remaja

• Bila skor PANSS-EC menjadi 4-5, maka dilanjutkan


dengan pemberian:
– Injeksi Haloperidol 5 mg IM untuk dewasa
– 2,5-5 mg untuk anak usia 12 tahun ke atas
– Injeksi bisa diulang setiap 30 menit. Dosis max 30 mg/hari
untuk dewasa, dan 10 mg/hari untuk anak dan remaja
138.
139. Gangguan Tidur
GANGGUAN TIDUR
• Gangguan tidur non organik mencakup :
– Disomnia: kondisi psikogenik primer dengan ciri
gangguan pada jumlah, kualitas atau waktu tidur
 insomnia, hipersomnia, gangguanjadwal
tidur
– Parasomnia: peristiwa episodik abnormal selama
tidur. Pada masa kanak ada hubungan dengan
perkembagan anak, pada orang dewasa berupa
 somnabulisme, night terror, nightmare
F51.1 Hipersomnia non organik

• Hipersomnia adalah bertambahnya waktu tidur


sampai 25% dari pola tidur yang biasa.
• Gejala :
a) Rasa kantuk siang hari yang berlebihan atau
adanya serangan tidur dan atau transisi yang
memanjak dari saat mulai bangun hingga sadar
penuh.
b) Terjadi setiap hari, lebih dari 1 bulan atau
berulang dengan kurun waktu lebih pendek.
c) Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang
menunjukan gejala rasa kantuk pada siang hari.
Narkolepsi
• Narkolepsi adalah salah satu bentuk hipersomnia yang
paling sering terjadi.

• Narkolepsi ditandai dengan bertambahnya waktu tidur


yang berhubungan dengan keinginan tidur yang tidak
dapat ditahan sebagai salah satu gejala, atau kombinasi
antara gejala seperti cataplexy, sleep paralysis, atau
hypnagogic hallucinations.
• Katapleksi: kehilangan kontrol otot secara tiba-tiba yang
dapat menyebabkan orang tersebut pingsan tanpa kehilangan
kesadaran.
• Sleep paralysis: kehilangan tonus otot dan kehilangan
kesadaran yang bersifat sementara.
141. GANGGUAN PANIK DAN AGORAFOBIA

• DSM-IV mengklasifikasikan gangguan panik


menjadi:
• Gangguan panik dengan agorafobia
• Gangguan panik tanpa agorafobia

• Secara epidemiologis, sebagian besar gangguan


panik disertai dengan agorafobia.
Panic Attack Specifiers
(4 or more symptoms)
• Palpitations, pounding • Nausea or abdominal
heart, or accelerated distress
heart rate • Feeling dizzy, unsteady,
• Sweating light-headed, faint
• Trembing or shaking • Chills or heat sensations
• Sensation or shortness of • Paresthesias
breath • Derealization or
• Feeling of choking depersonalization
• Chest pain or discomfort • Fear of losing control
• Fear of dying

DSM-IV-TR
Pedoman Diagnosis Gangguan
Panik
• Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama
bila tidak ditemukan adanya gangguan ansietas fobik.

• Harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas


berat dalam masa kira-kira satu bulan.

• Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif


tidak ada bahaya.

• Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang


dapat diduga sebelumnya (unpredictable situation)

PPDGJ-III
Pedoman Diagnosis Agorafobia
• Cemas berlebihan apabila berada di tempat-tempat
atau situasi-situasi yang sangat sulit untuk
menyelamatkan diri atau pertolongan mungkin
tidak bisa didapatkan.

• Situasi-situasi tersebut akan dihindari (membatasi


perjalanan) atau bila dikerjakan akan ditandai
dengan adanya distress atau kecemasan akan
kemungkinan terjadinya satu serangan panik atau
gejala-gejala menyerupai panik, atau sering minta
ditemani ditemani kalau keluar rumah.

DSM-IV
Gangguan Panik dengan
Agorafobia (DSM-IV)
Gangguan Panik Tanpa Agorafobia
(DSM-IV)
Tatalaksana Gangguan Panik
• Cognitive-Behavioral Therapy • Medication
• This is a combination of cognitive • SSRIs
therapy • the first line of medication treatment for
• Cognitive therapymodify or panic disorder
eliminate thought patterns • Tricyclic antidepressants
contributing to the patient’s • High-potency benzodiazepines
symptoms • Ex: Clonazepam
• Behavioral therapy aims to help • may cause depression and are associated
the patient to change his or her with adverse effects during use and after
behavior. discontinuation of therapy
• Cognitive-behavioral therapy • Poorer outcome and global functioning than
generally requires at least eight to 12 antidepresant
weeks • monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
• Some people may need a longer time
in treatment to learn and implement • Combination Therapy
the skills
• Psychodynamic therapy
• help to relieve the stress that contributes
• Treatment i n Emergency to panic attacks, they do not seem to stop
the attacks directly
Departement
• Oral benzodiazepine
• Iv medication, e.x. Lorazepam
• Sometimes beta blockers are used to
reduce anxiety

http://www.aafp.org/afp/2005/0215/p733.html
Ven XR :Venlafaxine extended release
• SNRI : Serotonin norephinephrine
reuptake inhibitor

http://www.currentpsychiatry.com/home/article/panic-
disorder-break-the-fear-
circuit/990b7a325883ba278cdf8e46222a61f9.html
142. DEPRESI
• Gejala utama: • Gejala lainnya:
1. afek depresif, 1. konsentrasi menurun,
2. harga diri & kepercayaan diri
2. hilang minat & berkurang,
kegembiraan, 3. rasa bersalah & tidak berguna
3. mudah lelah & yang tidak beralasan,
menurunnya 4. merasa masa depan suram &
aktivitas. pesimistis,
5. gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh
diri,
6. tidur terganggu,
7. perubahan nafsu makan (naik
atau turun).
Terjadi selama minimal 2 minggu.
PPDGJ
Depresi
• Episode depresif ringan: 2 gejala utama + 2 gejala lain > 2
minggu

• Episode depresif sedang: 2 gejala utama + 3 gejala lain, >2


minggu.

• Episode depresif berat: 3 gejala utama + 4 gejala lain > 2


minggu. Jika gejala amat berat & awitannya cepat, diagnosis
boleh ditegakkan meski kurang dari 2 minggu.

• Episode depresif berat dengan gejala psikotik: episode


depresif berat + waham, halusinasi, atau stupor depresif.

PPDGJ
DSM-IV Criteria
Terapi Depresi
• Sasarannya adalah perubahan biologis/efek berupa
mood pasien.
• Karena mood pasien dipengaruhi kadar serotonin
dan nor-epinefrin di otak, maka tujuan pengobatan
depresi adalah modulasi serotonin dan
norepinefrin otak dengan agen-agen yang sesuai.
• Dapat berupa terapi farmakologis dan non
farmakologis.
Terapi Non Farmakologis
• PSIKOTERAPI
• interpersonal therapy: berfokus pada konteks sosial
depresi dan hub pasien dengan orang lain
• cognitive - behavioral therapy „: berfokus pada
mengoreksi pikiran negatif, perasaan bersalah yang tidak
rasional dan rasa pesimis pasien

• ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT): aman dan


efektif, namun masih kontroversial „
• diindikasikan pada : ™
depresi yang berat ™diperlukan
respons yang cepat, ™™respon terhadap obat jelek
Terapi Farmakologis
Dosis Obat Antidepresan
Perbandingan Efek Samping Antidepresan
143. WAHAM
• Waham merupakan suatu perasaan keyakinan atau
kepercayaan yang keliru, berdasarkan simpulan
yang keliru tentang kenyataan eksternal, tidak
konsisten dengan intelegensia dan latar belakang
budaya pasien, dan tidak bisa diubah lewat
penalaran atau dengan jalan penyajian fakta.
Jenis Waham
Waham Karakteristik
Bizzare keyakinan yang keliru, mustahil dan aneh
Sistematik keyakinan yang keliru atau keyakinan yang tergabung dengan satu
tema/kejadian.
Nihilistik perasaan yang keliru bahwa diri dan lingkungannya atau dunia tidak ada
atau menuju kiamat.
Somatik perasaan yang keliru yang melibatkan fungsi tubuh.
Paranoid termasuk didalamnya waham kebesaran, waham kejaran/presekutorik,
(curiga) waham rujukan (reference), dan waham dikendalikan.
Kebesaran/ keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya, bahwa dirinya
grandiosity adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau sangat besar.
Kejar/ mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaha untuk melukainya, atau
persekutorik yang mendorong agar dia gagal dalam tindakannya.
Rujukan/ selalu berprasangka bahwa orang lain sedang membicarakan dirinya dan
delusion of kejadian-kejadian yang alamiah pun memberi arti khusus/berhubungan
reference dengan dirinya
Jenis Waham
Waham Karakteristik
Kendali keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau perasaannya
dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Termasuk di dalamnya: thought
of withdrawal, thought of broadcasting, thought of insertion.
Thought of waham bahwa pikirannya ditarik oleh orang lain atau kekurangannya.
withdrawal
Thought of waham bahwa pikirannya disisipi oleh orang lain atau kekuatan lain.
insertion
Thought of waham bahwa pikirannya dapat diketahui oleh orang lain, tersiar
broadcasting diudara.
Cemburu keyakinan yang keliru yang berasal dari cemburu patologis tentang
pasangan yang tidak setia.
Erotomania keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin bahwa
seseorang sangat mencintainya.
144. GANGGUAN PSIKIATRI POST PARTUM

• Post partum blues


• Sering dikenal sebagai baby blues
• Mempengaruhi 50-75% ibu setelah proses melahirkan
• Sering menangis secara terus-menerus tanpa sebab
yang pasti dan mengalami kecemasan
• Berlangsung pada minggu pertama setelah
melahirkanbiasanya kembali normal setalah 2
minggu tanpa penanganan khusus
• Tindakan yang diperlukanmenentramkan dan
membantu ibu
• Post partum Depression
• Kondisi yang lebih serius dari baby blues
• Mempengaruhi 1 dari 10 ibu baru
• Mengalami perasaan sedih, emosi yang meningkat,
tertekan, lebih sensitif, lelah, merasa bersalah, cemas
dan tidak mampu merawat diri dan bayi
• Timbul beberapa hari setelah melahirkan sampai
setahun sejak melahirkan
• Tatalaksanapsikoterapi dan antidepresan
• Postpartum Psychosis
• Kondisi ini jarang terjadi
• 1 dari 1000 ibu yang melahirkan
• Gejala timbul beberapa hari dan berlangsung beberapa
minggu hingga beberapa bulan setelah melahirkan
• Agitasi, kebingungan, hiperaktif, perasaan hilang
harapan dan malu, insomnia, paranoia, delusi,
halusinasi, bicara cepat, mania
• Tatalaksanaharus segera dilakukan, dapat
membahayakan diri dan bayi
Baby Blues vs Postpartum Depression
POSTPARTUM MAJOR
CHARACTERISTIC BABY BLUES DEPRESSION
Duration Less than 10 days More than two weeks

Onset Within two to three days Often within first month;


postpartum may be up to one year

Prevalence 80 percent 5 to 7 percent


Severity Mild dysfunction Moderate to severe
dysfunction

Suicidal ideation Not present May be present

Postpartum Depression, Am Fam Physician. 2010 Oct 15;82(8):926-933


Tatalaksana Postpartum Depression

• Tatalaksana utama: PSIKOTERAPI

• Tatalaksana farmakologis terutama digunakan untuk depresi


sedang dan berat.
• Drug of choice: antidepresan golongan SSRI
• Pada ibu menyusui, secara umum antidepresan dapat ditemukan
dalam ASI. Namun pada penggunaan Sertraline, Paroxetine, dan
Nortryptiline, kadar obat tidak terdeteksi dalam serum bayi.
Sedangkan penggunaan Fluoxetine dan Citalopram terdeteksi
dalam serum bayi namun dalam kadar yang sangat rendah dan
secara umum tidak menimbulkan bahaya bagi bayi.

Postpartum Depression, Am Fam Physician. 2010 Oct 15;82(8):926-933


Dosis Obat Golongan SSRI
pada Postpartum Depression
USUAL
STARTING TREATMENT MAXIMAL ADVERSE
DRUG DOSAGE DOSAGE DOSAGE EFFECTS
Selective serotonin reuptake inhibitors
Citalopram 10 mg 20 to 40 mg 60 mg Headache,
(Celexa) nausea,
diarrhea,
Escitalopram 5 mg 10 to 20 mg 20 mg
sedation,
(Lexapro)
insomnia,
Fluoxetine 10 mg 20 to 40 mg 80 mg tremor,
(Prozac) nervousness,
Paroxetine 10 mg 20 to 40 mg 50 mg loss of libido,
(Paxil) delayed
orgasm
Sertraline 25 mg 50 to 100 mg 20
(Zoloft)
Postpartum Depression, Am Fam Physician. 2010 Oct 15;82(8):926-933
145. 5 steps of drug abuse
• Experimental use
- Masih mencoba-coba dengan motif ingin tahu/penasaran
• Recreational use
- Menggunakan obat bersama-sama dengan teman, motifnya
adalah kesetiakawanan
• Situational use
- Hanya pada situasi tertentu, yaitu jika gagal ujian, stres
emosional akibat masalah keluarga
• Abuse
- Digunakan untuk jangka waktu lama untuk mengurangi
kecemasan, kekecewaan, kesedihan, dll
• Addiction
- Penderita sulit menghentikan penggunaan karena sudah
terjadi ketergantungan
147. GANGGUAN KEPRIBADIAN
148. SEXUAL DYSFUNCTION
• Sexual desire disorders
• Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD);
• Persistently or recurrently deficient (or absent) sexual fantasies and
desire for sexual activity
• Sexual Aversion Disorder (SAD)
• Persistent or recurrent extreme aversion to, and avoidance of, all
(or almost all) genital sexual contact with a sexual partner.

• Sexual arousal disorders


• Female Sexual Arousal Disorder (FSAD)
• Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain until
completion of the sexual activity, an adequate lubrication-swelling
response of sexual excitement.
• Male Erectile Disorder
• Persistent or recurrent inability to attain, or to maintain until
completion of the sexual activity, an adequate erection.

(APA, 2000)
• Orgasmic disorders
• Female Orgasmic Disorder (Inhibited Female Orgasm)
• Male Orgasmic Disorder (Inhibited Male Orgasm)
• Premature Ejaculation

• Sexual pain disorders


• Dyspareunia: recurrent or persistent genital pain associated with
sexual intercourse.
• Vaginismus: involuntary muscle constriction of the outer third of
the vagina that interferes with penile insertion and intercourse.

• Sexual dysfunction due to general medical condition

• Substance-Induced Sexual Dysfunction


• With impaired desire/With impaired arousal/With impaired
orgasm/With sexual pain/With onset during intoxication

• Sexual Dysfunction Not Otherwise Specified (NOS)


149. GANGGUAN PENGENDALIAN IMPULS
(DSM-IV)
Penyakit Karakteristik
Intermittent explosive Ditandai dengan episode perilaku impulsif yang mengakibatkan
disorder kerusakan serius baik kepada orang atau properti, dimana tingkat
agresivitas tidak proporsional dengan keadaan atau provokasi.

Kleptomania Sulit menahan impuls untuk mencuri barang-barang yang tidak


diperlukan untuk pemakaian pribadi atau yang memiliki arti ekonomi,
benda-benda yang diambil sering kali dibuang, dikembalikan secara
rahasia, atau disembunyikan
Piromania Dorongan yang tidak dapat ditolak untuk melakukan pembakaran.
Muncul perasaan puas atau lega saat api mulai membakar.

Judi patologis Adanya kebutuhan untuk mempertaruhkan uang dalam jumlah yang
semakin banyak dari waktu ke waktu dan timbul gejala gelisah ketika
berusaha berhenti (withdrawal).

Trikotilomania Adanya dorongan untuk mencabuti rambut sendiri dari bagian tubuh
yang manapun, termasuk rambut di kulit kepala, alis dan bulu bulu
tangan.
Pedoman Diagnosis Trikotilomania
Tatalaksana Trikotilomania
• Main therapy is cognitive behavior therapy  Habit
Reversal Training (HRT).

HRT consists of:


• Awareness training — keeping detailed records of all hair-
pulling episodes and their surrounding circumstances.
• Relaxation training — learning to calm one’s nervous
system and to focus and center oneself.
• Breathing retraining — learning to breathe from the
diaphragm to increase relaxation and focus.
• Competing response training — a method of tensing the
forearms and hands that is incompatible with pulling.
http://emedicine.medscape.com/article/1071854-treatment#d11
Tatalaksana Trikotilomania
• Few drug studies on trichotillomania in children
and adults exist
• The primary agents used are selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRIs).

• In children, SSRIs (eg, fluoxetine, sertraline, and


fluvoxamine) may be more advantageous as a
medication choice than tricyclic antidepressants
(TCAs) because of their milder adverse effects.

http://emedicine.medscape.com/article/1071854-treatment#d11
150. TRANSGENDER VS
TRANSVESTIS FETIHISME
• Pada transgender, seseorang mengganti
penampilannya seperti lawan jenisnya karena ia
merasa nyaman dan ingin mengganti jenis
kelaminnya (bahkan bisa melakukan operasi untuk
mengganti penampilannya).

• Pada transvestis fetihisme, seseorang


berpenampilan seperti lawan jenisnya untuk
mendapatkan kepuasan seksual, namun ia tidak
ingin berganti jenis kelamin secara permanen.
151.
Anorexia
vs
Bulimia
152. DEPRESI (ANALISIS SOAL)
• Pasien tersebut mengalami depresi (atas dasar adanya gejala
utama depresi berupa murung, mengurung diri sejak 2 bulan yang
lalu) dan gejala psikotik (mendengar suara bisikan yang
menyalahkannya dan mengatakannya tidak berguna).

• Jenis depresi yang disertai gejala psikotik dapat dipastikan adalah


depresi berat (referensi:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/acps.12080).

• Dan tidak dipilih opsi skizoafektif tipe depresi karena pada soal,
jelas terlihat bahwa gejala depresi dan psikotiknya tidak terjadi
berbarengan, melainkan depresi dulu baru disusul disertai dengan
psikotik (sejak 2 bulan lalu pasien sering mengurung diri. Dan
akhir-akhir ini sering mendengar suara bisikan).
153. Gangguan Hipokondriasis
Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada:
• Keyakinan yang menetap adanya sekurang-
kurangnya 1 penyakit fisik yang serius, meskipun
pemeriksaan yang berulang tidak menunjang
• Tidak mau menerima nasehat atau dukungan
penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ditemukan penyakit/abnormalitas fisik

PPDGJ-III
154. JENIS GANGGUAN BIPOLAR
Analisis Soal No 154
• Pasien di atas saat ini mengalami episode manik, dan
dulu pernah mengalami depresi  maka didiagnosis
sebagai gangguan bipolar episode kini manik.

• mendengarkan suara-suara tanpa wujud, dia


menganggap dia merupakan titisan gajah mada 
disertai dengan gejala psikotik.

• Tidak dipilih gangguan bipolar tipe campuran (opsi C)


karena pada tipe campuran, gejala manik dan depresi
terjadi pada 1 episode yang sama.
155. KLASIFIKASI RETARDASI
MENTAL (PPDGJ-III)
• Ketentuan subtipe retardasi mental meliputi:
• F70: Ringan (IQ 50-69)
• F71: Sedang (IQ 35-49)
• F72: Berat (IQ 20-34)
• F73: Sangat Berat (<20)
Kriteria Hendaya Perilaku
Menyimpang pada Anak
• Mempunyai masalah belajar yang tidak dapat dikemukakan oleh faktor-
faktor: intelektual, sensori, atau faktor kesehatan.

• Ketidakmampuan untuk membangun hubungan antar-pribadi secara


memuaskan, sehingga hubungan antar pribadi (dengan teman-teman
dan guru) yang sangat rendah.

• Berperilaku dan berperasaan yang tidak semestinya.

• Pada umumnya, mereka merasa tidak bahagia atau depresi.

• Bertendensi terjadi peningkatan gejala-gejala pisik yang kurang sehat,


rasa sakit, atau rasa takut yang bersifat psikologis berkaitan dengan
masalah-masalah saat melakukan hubungan dengan orang dan sekolah
THT-KL
156-157. Epistaksis
Penatalaksanaan
• Perbaiki keadaan umum
– Nadi, napas, tekanan darah

• Hentikan perdarahan
– Bersihkan hidung dari darah & bekuan
– Pasang tampon sementara yang telah dibasahi adrenalin
1/5000-1/10000 atau lidokain 2%
– Setelah 15 menit, lihat sumber perdarahan

• Cari faktor penyebab untuk mencegah rekurensi


– Trauma, infeksi, tumor, kelainan kardiovaskular, kelainan darah,
kelainan kongenital
Epistaksis
• Epistaksis anterior:
– Sumber: pleksus kisselbach plexus atau a. ethmoidalis
anterior
– Dapat terjadi karena infeksi & trauma ringan, mudah
dihentikan.
– Penekanan dengan jari selama 10-15 menit akan menekan
pembuluh darah & menghentikan perdarahan.
– Jika sumber perdarahan terlihat  kauter dengan AgNO3, jika
tidak berhenti  tampon anterior 2 x 24 jam.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


Epistaksis
• Epistaksis Posterior
– Perdarahan berasal
dari a. ethmoidalis
posterior atau a.
sphenopalatina, sering
sulit dihentikan.
– Terjadi pada pasien
dengan hipertensi
atau arteriosklerosis.
– Terapi: tampon
bellocq/posterior
selama 2-3 hari.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
158. OTITIS MEDIA
Otitis media supuratif kronik
• Infeksi kronik dengan sekresi persisten/ hilang
timbul (> 2 bulan) melalui membran timpani
yang tidak intak.

• Mekanisme perforasi kronik mengakibatkan


infeksi persisten:
 Kontaminasi bakteri ke telinga tengah secara
langsung melalui celah
 Tidak adanya membran timpani yang intak
menghilangkan efek "gas cushion" yang
normalnya mencegah refluks sekresi nasofaring.

• Petunjuk diagnostik:
 Otorea rekuren/kronik
 Penurunan pendengaran
 Perforasi membran timpani

1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, & throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.

Klasifikasi OMSK
• Tipe benign/mucosal:
– Tidak melibatkan tulang.
– Tipe perforasi:
• SentralLokasi pada pars tensa, bisa antero-
inferior, postero-inferior dan postero-superior

• Tipe malignant/tulang:
– Melibatkan tulang atau kolesteatoma.
– Tanda-tanda klinis :
• Adanya Abses atau fistel retroaurikular
Large central perforation
• Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang
berasal dari kavum timpani.
• Pus yang selalu aktif atau berbau busuk ( aroma
kolesteatom)
• Foto rontgen mastoid adanya gambaran
kolesteatom.
– Tipe perforasi:
• marginal pinggir membran timpani dengan
adanya erosi dari anulus fibrosus
• Atticpars flasida, berhubungan dengan Cholesteatoma at attic
primary acquired cholesteatoma type perforation
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.

OMSK Tipe Benigna


• Fase aktif Tatalaksana
– terdapat sekret pada telinga dan • Fase Tenang
tuli – Tidak memerlukan pengobatan,
– Didahului oleh perluasan infeksi – Edukasi
saluran nafas atas melalui tuba
• tidak mengorek telinga,
eutachius, atau setelah berenang
• air jangan masuk ke telinga sewaktu
dimana kuman masuk melalui liang mandi,
telinga luar • dilarang berenang
– Sekret bervariasi dari mukoid • segera berobat bila menderita infeksi
sampai mukopurulen saluran nafas atas
• Fase Tenang • sebaiknya dilakukan operasi
rekonstruksi (miringoplasti,
– Tampak perforasi total yang kering timpanoplasti) untuk mencegah
dengan mukosa telinga tengah infeksi berulang serta gangguan
yang pucat pendengaran.
– Gejala yang dijumpai berupa tuli • Fase Aktif
konduktif ringan – Membersihkan liang telinga dan
– Gejala lain yang dijumpai seperti kavum timpaniBila sekret keluar
vertigo, tinitus,atau suatu rasa terus menerus diberikan H2O2 3%
penuh dalam telinga. selama 3 – 5 hari.
– Pemberian antibiotika : topikal
antibiotik ( antimikroba) dan
sistemik.
159. Karsinoma Nasofaring
• Epidemiologi
• Endemik di Cina Selatan dan Hongkong. Laki-laki> wanita
• Pada populasi risiko tinggi (Asia Tenggara, Timur Tengah,
Afrika Utara) insidens tertinggi 50-59 thn
• Pada populasi risiko rendah  semakin tua, insidens
semakin tinggi
• Etiologi
• Infeksi EBV (Epstein Barr Virus)
• Konsumsi makanan yang diawetkan (ikan asin)
• Konsumsi alkohol
• Merokok

http://cursoenarm.net/UPTODATE/contents/mobipreview.htm?9/42/9888
Karsinoma Nasofaring
• Gejala Klinis
• Sakit kepala
• Massa pada leher (metastasis ke KGB)
• Trias gejala massa pada leher, obstruksi hidung dengan
epistaksis, otitis media serosa
• Parese N III, V, VI, VII
• Predileksi: fossa rosenmuller, lokasinya tersembunyi
pasien asimtomatik pada waktu yang lama, saat
terdeteksi sudah stadium lanjut
• PP
• Gold standard: Endoscopy-guided biopsy pada massa
nasofaring
• MRI  lebih superior deteksi invasi tumor ke jaringan lunak
dan tulang dibandingkan CT scan

http://cursoenarm.net/UPTODATE/contents/mobipreview.htm?9/42/9888
Diagnosis
• Medical history and physical exam
– Rinoskopi posterior
• Nasopharingeal exam
 Indirect nasopharyngoscopy
 Direct nasopharyngoscopy
• Biopsyuntuk menegakkan
diagnosis
 Endoscopypada massa nasofaring
 Fine needle aspiration (FNA) biopsy
• CT-Scanuntuk melihat metastasis
• MRI
• Chest X-Ray
• PET Scan
• Blood test
 Routine blood test
 EBV level
160. Tonsillitis
• Acute tonsillitis:
– Viral: similar with acute rhinitis +
sore throat
– Bacterial: GABHS, pneumococcus, S.
viridan, S. pyogenes.
• Detritus → follicular tonsillitits
• Detritus coalesce → lacunar tonsillitis.
• Sore throat, odinophagia, fever, malaise,
otalgia.
• Th: penicillin or erythromicin

• Chronic tonsillitis
– Persistent sore throat, anorexia, dysphagia, &
pharyngotonsillar erythema
– Lymphoid tissue is replaced by scar  widened
crypt, filled by detritus.
– Foul breath, throat felt dry.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Tonsilitis Kronik
• Disebabkan oleh rangsangan terus menerus
seperti merokok, berbagai jenis makanan ,
kebersihan mulut yang buruk dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.
• Peradangan berulangepitel mukosa limfoid
terkikis jaringan parut pelebaran kripta.
• Kripta dapat diisi oleh detritus. Dapat disertai
pembesaran kelenjar limfa submandibula.
• Terapi:
• tergantung penyebab dan ditujukan pada menjaga
kebersihan rongga mulut.
Tonsilitis
• Indikasi tonsilektomi:
– Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walau
dengan terapi adekuat
– Menimbulkan maloklusi gigi dan gangguan pertumbuhan
orofasial.
– Sumbatan jalan nafas
– Infeksi kronis seperti rhinitis, sinusitis dan peritonsilitis.
– Nafas berbau
– Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh grup A
streptococcus beta hemolitikus
– Hipertrofi tonsil yang curiga keganasan
– Otitis media efusa/ otitis media supuratif.
Tonsilektomi

Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.


Caries Dentis
Definisi
• Penyakit akibat mikroba dimana karbohidrat mengalami fermentasi
oleh bakteri  membentuk asam  demineralisasi bagian gigi yg
inorganik dan disintegrasi bagian gigi organik.
• Caries dentis adalah pembusukan enamel gigi oleh bakteri.
• Terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor protektif dan faktor
patologis dalam rongga mulut.
• Tanda dan gejala
– Nyeri, biasanya muncul ketika makan atau minum sesuatu yang dingin,
panas, atau manis.
– Gigi sensitif
– Nyeri ketika mengunyah
– Pemeriksaan rongga mulut: tampak lubang di gigi dan plak coklat
kehitaman di permukaan gigi.
• Komplikasi: inflamasi jaringan sekitar, gigi tanggal dan abses
https://emedicine.medscape.com/article/82774-overview

Indication of dental extraction


• A tooth that cannot be restored, because of severe caries
• A mobile tooth with severe periodontal disease, pulp necrosis, or
periapical abscess, for which root canal treatment is required that
the patient cannot afford (or for which endodontic treatment
failed)
• Overcrowding of teeth in the dental arch, resulting in orthodontic
deformity
• Malposed teeth causing soft tissue trauma to the cheek
• Cracked teeth from trauma
• Supernumerary teeth
• Teeth adjacent to a pathologic lesion that must be excised
• Planned radiation or intravenous (IV) bisphosphonate treatment,
warranting prophylactic extraction
• Teeth in the line of fracture
• Aesthetic considerations (eg, teeth with endogenous staining)
• Economic considerations (eg, teeth for which extensive restoration
is required that the patient cannot afford [2] )
Dental caries
Fig. 13-2 Dental caries

Copyright © 2005 by Elsevier


Inc. All rights reserved.
161. ADENOID
o Jaringan limfoid di dinding nasofaring
o Letak di dinding posterior, tidak berkapsul
o Bagian dari cincin Waldeyer
o Pada anak sampai pubertas
o Umur 12 tahun mengecil
o Umur 17 – 18 tahun menghilang

Fungsi:
• Sistem pertahanan tubuh pertama (lokal) sal. nafas
• Memproduksi limfosit
• Membentuk antibodi spesifik (Ig)
161. Adenoids
• Adenoiditis
• Inflammation of the adenoid
• Hypertrophic adenoids
tissue, usually caused by an • Repeated adenoiditis may
infection lead to enlarged adenoids
• Classified into acute and • Etiologi:
chronic • Terjadi karena inflamasi
langsung pada adenoid
• Acute adenoiditis: (karena PND pada
• Fever adenoiditis kronis)
• Runny nose • karena reaksi folikel limfoid
• Nasal airway obstruction leads dalam adenoid terhadap
to oral breathing inflamasi/infeksi di
faring/nasofaring yang
• Dry mouth berulang
• Snoring
• Clinical manifestation:
• Sleep apnea
• Nasal obstruction
• Rhinorrhea
ADENOIDITIS KRONIS
 Etiologi :  Akibatnya timbul gejala
obstruksi hidung:
– Post nasal drip  sekret
– rinolalia oklusa ( bindeng ) krn
kavum nasi jatuh ke belakang koane tertutup
– Sekret berasal dari : sinus – mulut terbuka utk bernapas 
muka terkesan bodoh ( adenoid
maksilaris & ethmoid face )
– aproseksia nasalisSulit
berkonsentrasi
 Gejala klinis : – Sefalgi
– pilek dan batuk
– Timbul gejala disebabkan
– nafsu makan menurun
karena adanya hipertrofi
adenoid  buntu hidung – oklusio tuba  pendengaran
menurun
– tidur ngorok

734
Pemeriksaan
• Rinoskopi anterior : Adenoid membesar
• Phenomena palatum mole (-)
– Pergerakan palatum molle pada saat pasien diminta untuk
mengucapkan huruf “ i “
– Akan negatif bila
• terdapat massa di dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum
molle
• kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini

• Rinoskopi posterior : Adenoid membesar dan tidak hiperemi


 Pemeriksaan tambahan:
– Endoskopi, foto skull lateral soft tissue (adenoid), CTScan

736
Indikasi Adenoidektomi
• Pembesaran menyebabkan obstruksi jalan nafas hidung yang
dapat menyebabkan obstruksi pernafasan, gejala obstructive
sleep apnea, dan pernafasan lewat mulut kronik (dapat
menyebabkan abnormalitas palatum dan gigi-geligi).

• Otitis media rekuren atau persisten pada anak berusia >3-4


tahun.

• Sinusitis kronik dan/atau rekuren.

http://emedicine.medscape.com/article/872216-overview#a10
162. Benda Asing di Hidung

Gejala : hidung tersumbat, ingus kental sebelah hidung,


berbau busuk
 Tindakan :
 Ekstraksi BA dgn menggunakan spekulum hidung
dan pengait.
 Menolong pasien harus dlm posisi duduk
 Jangan mendorong BA ke nasofaring
http://www.aafp.org/afp/2007/1015/p1185.html
http://www.aafp.org/afp/2007/1015/p1185.html
Benda Asing di Hidung
• Benda asing yang sering:
– Penghapus, pil, baterai, cincin, ssedotan, kelereng

• Gejala:
– Rinore unilateral dengan caira kental dan berbau
– Hidung tersumbat
– Kadang kadang menimbulkan nyeri, epistaksis, demam
– Efek iritasirinitis, sinusitis, otitis media akut, tetanus, perforasi septum nasii

• Tata laksana:
– Bila benda dapat terlihat dan terjaangkau dengan mudah
• Instrumen  Pinset bayonet, alligator forsep, hooked probe
– Benda yang kecil dan bulat
• Balloon catheters memakai folley catheters no. 5-8F
– Benda yang besar dan menyumbat total
• Tekanan positifekspiratory paksa pada hidung yang terkena
– Benda yang berbentuk sferis, licin dan mudah terlihat
• Suction
Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed.
Pinset bayonet

Balloon catheters
Pinset telinga

Cerumen hook Alligator forcep


163. Otitis Media

Akut
Otitis Media Efusi
(Air Bubble (+))
Infeksi (-)

Kronik
Glue Ear
Oklusi tuba
Akut
< 3 bulan
Infeksi (+) Otitis Media
Kronik
> 3 bulan
Otitis Media
Akut
• Etiologi:
Streptococcus pneumoniae 35%,
Haemophilus influenzae 25%,
Moraxella catarrhalis 15%.
 Perjalanan penyakit otitis media akut:
1. Oklusi tuba: membran timpani retraksi atau suram/
keruh.
2. Hiperemik/presupurasi: hiperemis & edema,
pelebaran pembuluh darah.
3. Supurasi: nyeri, demam, eksudat di telinga tengah,
membran timpani membonjol/ bulging
4. Perforasi: ruptur membran timpani, demam
berkurang.
5. Resolusi: Jika tidak ada perforasi membran timpani
kembali normal. Jika perforasi  sekret berkurang.

1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Penatalaksanaan OMA
• Tatalaksana
– Oklusi tuba: Dekongestan topikal (ephedrine HCl)
– Hiperemis: AB selama 7 hari
(ampicylin/amoxcylin/ erythromicin) & analgetik +
obat tetes hidung
– Supurasi: Miringotomi + AB
– Perforasi: Ear toilet (H2O2 3%) + AB
– Resolusi: Jika tidak terjadi fase resolusi, lanjutkan
AB sampai 3 minggu
164. Meniere Disease
• Patofisiologi: akibat hidrops endolimfe
• Gejala meniere: sensorineural hearing loss, vertigo perifer,
fluctuating aural fullness.
• Menurut consensus ICVD (International Classification of Vestibular
Disorders) didiagnosis sebagai definite meniere apabila terdapat:
– Minimal terdapat 2 gejala vertigo vestibuler perifer spontan dengan
durasi minimal 20 menit
– SNHL (frekuensi rendah-sedang) yang terdokumentasi melalui
audiometri yang terjadi saat atau setelah serangan episodik vertigo.
– Fluctuating aural symptoms (seperti tinnitus, telinga terasa penuh) 
biasanya unilateral
– Kemungkinan diagnosis vestibuler lain telah disingkirkan.
Meniere
• Tatalaksana Umum • Terapi Spesifik keluhan Kronis
– Prochlorperazine 10 mg, 3x1,
– Mengurangi konsumsi garam
maksimal 1.5-2.0 gram per hari – Asam nicotinic, 50 mg, 3x1
sebelum makan
– Berhenti merokok
– Betahistin 8 mg, 3x1
– Membatasi konsumsi air
– Diuretic; furosemid 40 mg,
– Membatasi konsumsi kopi, the, diberikan selang seling
alcohol.
• Terapi bedah
• Saat Serangan – Prosedur konservatif misalnya;
dekompresi kantung
– Tirah baring dengan kepala lebih
endolymphatic, operasi shunt
tinggi dari badan
endolymphatic, sacculotomy,
– Dimenhydrinate atau pemotongan syaraf vestibular,
promethazine labirynthectomy,
Rekomendasi Terapi
• Diet rendah garam < 1500 gr/hari
• Diuretik
– Menurunkan tekanan hidrostatik di telinga dalam
– Membantu mencegah terjadinya gejala namun tidak memiliki efek setelah gejalanya muncul
– Contoh: HCT, asetazolamide
• Histamin agonis
– Contoh: Betahistin
– Menurut penelitian, penggunaan betahistin lebih unggul daripada flunarizine
• Vestibulocochlear supresant agent
– AntihistaminMeclizine
– Obat penenanglorazepam, alprazolam
– Calsium channel blockerFlunarizine
– Hanya dipakai bila dibutuhkan, karena pemakaian jangka lama dapat mengurangi kemampuan
kompensasi vestibular sehingga akan menyebabkan gangguan keseimbangan
• Steroid untuk penyebab autoimun atau alergi
• VasodilatorNiasin
– Memperbaiki alian darah dan pertukaran cairan

Menner. A Pocket Guide to the Ear. Thieme 2003


Betahistine dihydrochloride versus flunarizine. A double-blind study. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1763646
http://emedicine.medscape.com/article/1159069-treatment
165.Traumatic Tympanic
Membrane Perforation
• Slap injuries usually
result in a triangular or
linear tear of the
tympanic membrane
• Blast Injuries causes
perforation with ragged
edges

Ballenger’s Otorhinolaryngology
Typical non trauma-related
perforation
• TB infection of middle
ear
• Multiple perforation of
TM
• Chronic infection
• Oval shaped
• Regular edges
• Acute infection
• Inflammatory
membrane with
irregular edges
Tuberculosis otitis media (printing.
Fig. 11)
166. Acoustic Trauma
• Acoustic trauma refers • Jadi trauma akustik
to a sudden permanent selalu akut, tidak
hearing loss caused by kronik
a single exposure to an • Sebaliknya noise
intense sound induced hearing loss
• Chronic NIHL, in tidak akut
contrast to acoustic
trauma, is a disease
process that occurs
gradually over many
years of exposure to
less intense noise levels https://www.utmb.edu/otoref/grnds/Hear-
Loss-Noise-000110/Hear-Loss-Noise.pdf
166-167. Trauma Akustik
• Gangguan pendengaran pada telinga dalam
karena eksposure pd stimulus suara yg intens (>
140 dB)
• Mechanical tearing of intracochleal membranes
and physical disruption of cell walls with mixing
of perilymph and endolymph
• Tidak terkait dgn ruptur membran timpani
dapat terjadi dengan atau tanpa ruptur
membran timpani
DD/: Neuritis Vestibuler
• Disebut juga sebagai epidemic vertigo
• Etiologi terbanyak akibat infeksi virus pada ganglion
vestibularis
• Serangan vertigo mendadak dengan intensitas berat
(sering ditemukan nistagmus spontan) disertai dengan
gejala otonom hebat (mual/muntah)
• Dapat ditemukan SNHL namun kasusnya sangat jarang
ditemukan, biasanya pasien hanya mengeluhkan
adanya tinnitus.
• Penyebab tersering ke dua gangguan vestibuler perifer
DD/: Neuroma Akustik
• Hearing loss
– typically gradual
– but in some cases are
sudden and occurs on
either side or more
prominent on one side
• Vertigo or Dizziness
• Tinnitus(Ringing) in the
affected ear
• Very rarely, weakness or
Facial numbness
• Loss of balance or
unsteadiness.
DD/: Cerebellopontine Angle
Anatomi CPA tumor terbagi menjadi :
• Merupakan area triangular  Ekstraaksial
dgn anatomi : • Umum : neuroma akustik (paling
sering), meningioma, kista fossa
 Laterally: medial portion of posterior
posterior surface of temporal • Jarang : neuroma nervus
bone. kranialis (V, VII, IX, X,XI, XII) dan
 Medially: Edge of pons. malformasi vaskular (aneurysms,
malformations).
 Posteriorly: cerebellar  Intraaksial : lesi parenkimal
hemisphere and flocculus. seperti astrositoma,
 Superiorly: trigeminal nerve. ependimoma, papilloma,
• CONTENTS: hemangioblastoma dan
metastasis.
 Anterior inferior cerebellar
artery  Extradural : tumor glomus dan
lesi pada tulang
 2- 7th and 8th Cranial nerves.
 Petrous apex lesion :
granuloma kolesterol, kista
epidermoid, mucoceles dan
aneurisma arteri karotis.
Gejala Klinis Tumor CPA
• Most common; Progressive Unilateral SNHL (retrocochlear) present
in 95% of cases and often accompanied by tinnitus which is
present in 65% of cases.
• Marked difficulty in understanding speech out of proportion to the
pure tone hearing loss.
• May present with sudden hearing loss.
• True vertigo is seldom seen.
• Earliest cranial nerve involved is 5th CN. 6- 4th, 6th, 9th, 10th, 11th
and 12th can also be involved.
• Rare presentations include facial numbness or pain, earache or
facial weakness, cerebellar ataxia or symptoms of hydrocephalus
(headache, visual disturbance, mental status change, nausea, and
vomiting)
168. Blast Injury to The Ear
• Injuries caused by an • Tympanic membrane
Explosion commonly rupture at 5-
• Due to blast- 15 Psi
overpressure-wave • Irregular border of
• Affect air-filled organs rupture seen with
and organs which has air- otoscope sometimes
fluid interface hemotympanum without
• Most commonly affect rupture can also be seen
ears tympanic • 80% heal spontaneously,
membrane rupture if not healed within 3
and/or dislocations of months, indications for
bones in the middle ear myringoplasty
Diagnosis Tatalaksana
• Singkirkan trauma osikular • Antibiotik  mencegah
atau telinga bagian dalam. infeksi
• Pada pemeriksaan • Bersihkan kanalis auditorik
audiometri: eksternus menggunakan
 CHL > 40db  suspek
diskontinuitas osikular alkohol (dgn tampon)
 Jika hasilnya tuli • Cegah ISPA
sensorineural  kerusakan
telinga bagian dalam • Jgn lakukan manuver
valsalva
• Hindari tetes telinga
• Jika setelah 3 bulan masih
terjadi perforasi 
myringoplasty
168. NOMENCLATURE IN SURGERY
OF TYMPANIC MEMBRANE AND
MIDDLE EAR
• Myringoplasty—an • Tympanoplasty—an
operation limited to operation involving
superficial repair of TM exploration of the
defects, without middle ear cleft
exploration of the through a transcanal
middle ear cleft approach or through a
• Assumes – normal postauricular incision
middle ear (ME) mucosa
and ossicles
• TM is not elevated from
its sulcus
Classification
Wullstein (1956) • Type IV tympanoplasty
• Type I tympanoplasty • Stapes suprastructure is
eroded but foot plate is
• TM is grafted to an intact mobile
ossicular chain • TM is grafted to a mobile
• Type II tympanoplasty foot plate
• Malleus is partially eroded • Type V Tympanoplasty
• TM +/- malleus remnant is • TM is grafted to a
grafted to the incus fenestration in the
• Type III tympanoplasty horizontal semicircular
canal
• Malleus and incus are
eroded
• TM is grafted to the
stapes suprastructure
Classification of Tympanoplasty

• 1956- Wullstein
• Type 1
• Type 2
• Type 3
• Type 4
• Type 5

Tuesday, July 17, 2012 www.nayyarENT.com 761


Myringoplasty
• Repair bedah dari membran timpani
• Dapat menggunakan paper patch myringoplasty
atau tissue-graft myringoplasty.
• Paper Patch Myringoplasty
– Indikasi
 Small to medium non infected chronic TM perforation that occupies no
more than one quadrant of the TM and is accompanied by a less than 30
dB conductive hearing loss.
– Kontraindikasi
Active ear infection
Squamous epithelium on the medial surface of the TM
Poor eustachian tube function (relative contraindication)
Paper Patch Myringoplasty
• A cigarette paper patch, Steri-Strip, or silk
patch is applied to the lateral surface of the
tympanic membrane

http://newenglandent.com/hearing_perforation.php
169. Rinitis Alergi
New Guidelines on Allergic Rhinitis &
Impact on Asthma 2016
• Rekomendasi ARIA 2016 ditujukan pada pasien
dengan moderate-severe AR.
• Untuk mild AR  less applicable.
• Allergic rhinitis (AR) dahulunya diklasifikasikan
mejadi seasonal (SAR) , dan perennial (PAR).
• Seasonal allergic rhinitis (SAR)  disebabkan oleh
alergen outdoor seperti pollens atau molds.
• Perennial allergic rhinitis (PAR)  disebabkan
indoor allergens seperti dust mites, molds,
cockroaches, dan animal dander.
170. Nasal drug abuse
• Nasal mucosa can be • Causes inflammation
used for absorption of of the mucosa
drugs like opiates and • Chronic rhinitis
MDMA • Nasal septum
• However the dosage perforation
vary widely and drugs
effects are
unpredictabletend to
increase dose
Types of Rhinitis
• Rhinitis medicamentosa • Occupational rhinitis
• a drug-induced, nonallergic • is rhinitis arising in
form of rhinitis in which the response to airborne
nasal mucosa is induced or substances
aggravated by the excessive or • may be mediated by
improper use of topical allergic or nonallergic
decongestants/vasoconstrictors factors, such as laboratory
animal antigen, grain,
wood dusts, chemicals,
and irritants (e.g opiates)
• It often coexists with
occupational asthma (OA)

J ALLERGY CLIN IMMUNOL VOLUME 122, AUG


2008. NUMBER 2 Wallace et al S5
Atrophic Rhinitis
Common Terms: • chronic inflammation of
nose characterised by
•Ozena atrophy of nasal
mucosa and turbinate
•Dry Rhinitis bones
•Rhinitis Sicca • The nasal cavities are
roomy and full of foul-
•Open-nose smelling crusts
syndrome
DIAGNOSIS CLINICAL FINDINGS
Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa
RINITIS ALERGI
edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.

Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin. Pemicu:


RINITIS
asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres. Tanda: mukosa
VASOMOTOR
edema, konka hipertrofi merah gelap.
Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor. Gejala:
RINITIS HIPERTROFI
hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak &
mukopurulen.
Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa pada
RINITIS ATROFI / pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau, hidung
OZAENA tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media & inferior,
sekret & krusta hijau.

Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan vasokonstriktor


RINITIS
topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma edema,hipersekresi mukus.
MEDIKAMENTOSA
Rinoskopi: edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan.

Rhinitis akut: umumnya disebabkan oleh rhinovirus, sekret srosa,


RINITIS AKUT
demam, sakit kepala, mukosa bengkak dan merah.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
171-172. Faringitis kronik
• Hiperplastik • Atrofi
• Tampak kelanjar lymph • Sering bersamaan
di bawah mukosa faring dengan rhinitis atrofi
• Hiperplasia lateral band • Tenggorokan kering dan
• Mukosa dinding tebal serta mulut
posterior tidak rata. berbau
bergranular • Mukosa faring tertutupi
lendir yang kental, bila
diangkat mukosa
tampak kering
Faringitis kronik hiperplastik
Patophysiology
• Mouth breathing:
• nasal polyp, rhinitis,
turbinate
hypertrophy,adenoids,
tumors
• Persistent infection in
the surrounding
structures of pharynx
Lateral Bands
like sinus, tonsils
172. Telaah soal
• Tanda lateral band pada • Pilihan A lebih sesuai
pemeriksaan fisik dengan abses
mengarahkan pada peritonsillar
faringitis kronik • Pilihan B hingga D lebih
hiperplastik sesuai dengan faringitis
• Namun patofisiologi di akut
pilihan jawaban tidak ada • Pilihan E lebih sesuai
yang sesuai dengan adanya infeksi
kronik di sinus (PND)
sehingga dapat menjadi
jawaban, walaupun tidak
tepat
173. Otitis Eksterna
Tanda OE:
• Nyeri jika aurikel ditarik ke belakang atau tragus
ditekan.
• Usually, a history of preceding ear trauma (eg,
forceful ear cleaning, use of cotton swabs, or
water in the ear canal)

• Otitis externa sirkumskripta (furuncle)


– Etiologi: Staph. aureus, Staph. albus
– Terbatas pada kelenjar minyak/rambut yg
terobstruksi
– Hanya pada bagian kartilago telinga, tidak
ada jaringan penyambung di bawah kulit 
sangat nyeri
– Th/: AB topikal, analgetik/anestesi topikal.

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Externa
• Otitis eksterna difus (swimmer’s ear)
– Etiologi: Pseudomonas, Staph. albus, E. coli.
– Kondisi lembab & hangat  bakteri tumbuh
– Sangat nyeri, liang telinga: edema, sempit, nyeri
tekan (+), eksudasi
– Jika edema berat  pendengaran berkurang
– Th/: AB topikal, kadang perlu AB sistemik
– AB: ofloxacin, ciprofloxacin, colistin, polymyxin B,
neomycin, chloramphenicol, gentamicin, &
tobramycin.
– Ofloxacin & ciprofloxacin: AB tunggal dengan
spektrum luas untuk patogen otitis eksterna.

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
173. Terapi otitis eksterna
• Sirkumskripta • Difusa
• Absesinsisi-drainase • Membersihkan liang
kemudian diberikan AB telinga
salep polymyxin B atau • Memasukkan tampon
bacitracin antibiotik
• Bila dinding furunkel • Kadang-kadang perlu
tebal dapat dipasang antibiotik sistemik
drain untuk mengalirkan
nanah

Buku Ajar Ilmu THT edisi 6, FKUI


Otitis Externa
• Malignant otitis externa (necrotizing OE)
– Pada pasien diabetik lansia atau imunokompromais.

– OE dapat menjadi selulitis, kondritis, osteitis,


osteomielitis  neuropati kranial.

– Liang telinga bengkak & nyeri, jaringan granulasi merah


tampak di posteroinferior sambungan kartilago dengan
tulang, di 1/3 dalam.

– Awalnya gatal, lalu cepat menjadi nyeri, sekret (+), &


pembengkakan liang telinga.

– Th/: antibiotik topikal & sistemik, debridemen agresif.

Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003.


Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
174. Difteri
• Penyebab : toksin Corynebacterium diphteriae
• Organisme:
– Basil batang gram positif
– Pembesaran ireguler pada salah satu ujung (club shaped)
– Setelah pembelahan sel, membentuk formasi seperti huruf cina
atau palisade
• Gejala:
– Gejala awal nyeri tenggorok
– Bull-neck (bengkak pada leher)
– Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan di faring,
tonsil, uvula, palatum. Pseudomembran sulit dilepaskan. Jaringan
sekitarnya edema.
– Edema dapat menyebabkan stridor dan penyumbatan sal.napas

Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html


Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
https://www.cdc.gov/diphtheria/clinicians.html

Diphteria Classification
• Respiratory diphtheria
– Nasal diphtheria
• Pilek ringan dangan atau tanpa gejala sistemik
• Sekret hidung
• Tampak pseudomembran putih pada septum nasi
– Pharyngeal and tonsillar diphtheria
• nyeri tenggorok
• Bull-neck (bengkak pada leher)
• Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan
di faring, tonsil, uvula, palatum
– Laryngeal diphtheria
• Stridor progresif dan suara parau, batuk kering
• Demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan
KGB leher
• Cutaneous diphtheria
– Any break in the skin, can became infected
with diphteria
– It made ulceration and usually covered by a
gray-brown pseudomembrane
Tatalaksana Umum
• Pasien harus diisolasi sampai masa akut selesai dan
biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut turut
• Pasien tetap diisolasi dan tirah baring selama 2-3
minggu
• Bila pasien gelisah, iritabel, atau terdapat gangguan
pernafasan yang progresif dilakukan trakeostomi
• Pasien dengan difteria laring dijaga agar nafas tetap
bebas dan dijaga kelembaban udara dengan nebulizer
spesifik
Tatalaksana
• Jika anak demam (≥ 39o C) beri parasetamol.
• Jika sulit menelan, beri makanan melalui pipa
nasogastrik.
• Tirah baring 2-3 minggu
• Kortikosterod dianjurkan pada kasus difteria
dengan gejala penyerta obstruksi saluran
nafas bagian atas ( dengan atau tanpa bullneck
) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
– Prednison dengan dosis 2mg/kgBB/hari yang
diturunkan secara bertahap.
Tatalaksana
• Antitoksin: harus diberikan segerah setelah diagnosis
dibuat. Sebelum diberikan, harus dilakukan skin test. (dosis
ADS lihat tabel)
• Anbiotik: Penisillin prokain 50.000-100.000 Unit/kgBB IM
per hari selama 10-14 hari atau eritromisin 40-50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10-14 hari
• Hindari oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran repirasi
(Pemberian oksigen dengan nasal prongs dapat membuat
anak tidak nyaman dan mencetuskan obstruksi)
• Bila pasien gelisah, iritabel atau terdapat gangguan
pernapasan yang progresif dilakukan trakeostomi
PPK RSCM & Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.
Dosis ADS pada Difteri
Tipe Difteria Dosis ADS Cara Pemberian

Difteri hidung 20.000 IM

Difteri tonsil 40.000 IM/IV

Difteri faring 40.000 IM/IV

Difteri laring 40.000 IM/IV

Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IV

Terlambat berobat > 72


80.000-100.000 IV
jam (lokasi di mana saja)
175. Rhinosinusitis
Diagnosis Clinical Findings
Rinosinusitis 2/lebih gejala: obstruksi nasal/rhinorea ditambah nyeri wajah atau
akut hiposmia/anosmia.
• Nyeri pipi: sinusitis maksilaris
• Nyeri retroorbital: sinusitis etmoidalis
• Nyeri dahi atau kepala: sinusitis frontalis
Akut bila gejala sampai 4 minggu, lebih dari 3 minggu sampai 3 bulan
disebut subakut.
Sinusitis kronik Kronik: > 3 bulan. Gejala tidak spesifik, dapat hanya ada 1 atau 2 dari
gejala berikut: sakit kepala kronik, postnasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan tuba,
sinobronkitis, pada anak gastroenteritis akibat mukopus yang tertelan.
Sinusitis Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris, dan hanya terpisahkan
dentogen oleh tulang tipis. Infeksi gigi rahang atas mudah menyebar secara
langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Sinusitis jamur Faktor risiko:pemakaian antibiotik, kortikosteroid, imunosupresan, dan
radioterapi.Ciri: sinusitis unilateral, sulit sembuh dengan antibiotik,
terdapat gambaran kerusakan tulang dinding sinus, atau bila ada
membran berwarna putih keabuan pada irigasi antrum.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
175. Rhinosinusitis
• Sebagian besar sinusitis akut, terjadi sekunder karena:
 common cold;
 influenza;
 measles, whooping cough, etc.

• Pada 10% kasus infeksi berasal dari gigi:


 Abses apikal,
 Cabut gigi.

• Organisme penyebab umumnya: Streptococcus pneumoniae,


Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Pada infeksi gigi,
bakteri anaerob dapat ditemukan.
Clinical Manifestation
• Four cardinal signs/symptoms of Chronic Rhinosinusitis :
– Anterior and/or posterior nasal mucopurulent drainage
– Nasal obstruction/nasal blockage/congestion
– Facial pain, pressure, and/or fullness
– Reduction or loss of sense of smell

• Rhinoscopy:
– Nasal mucosal erythema, edema
– Purulent secretions within the middle meatus
– Nasal obstruction due to deviated nasal septum or
hypertrophied turbinates
– Nasal polyps

https://www.uptodate.com/contents/chronic-rhinosinusitis-clinical-
manifestations-pathophysiology-and-diagnosis#H29
https://www.uptodate.com/contents/chronic-rhinosinusitis-clinical-
manifestations-pathophysiology-and-diagnosis#H29

175. Rhinosinusitis
• Pemeriksaan penunjang rhinosinusitis:
– Initial laboratories :
• Complete blood counts with differential
• Erythrocyte sedimentation rate
• Antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA), which are found in 40
to 60 percent of patients with Churg-Strauss vasculitis and 60 to 90
percent of those with granulomatosis with polyangiitis
• A serum angiotensin-converting enzyme (ACE) level, which is elevated
in 75 percent of untreated patients with sarcoidosis
– Foto polos: posisi waters, PA, lateral  menilai sinus-sinus
besar (maksila & frontal).
 Kelainan yang tampak: perselubungan, air fluid level, penebalan
mukosa.
– CT scan: mampu menilai anatomi hidung & sinus, adanya
penyakit dalam hidung & sinus, serta perluasannya  gold
standard.
 Karena mahal, hanya dikerjakan untuk penunjang sinusitis kronik yang
tidak membaik atau pra-operasi untuk panduan operator.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Waters Caldwell

https://id.pinterest.com/yamahafreddy/skull-sinuses-facial-bones/ imageradiology.blogspot.co.id/2012/09/x-ray-pns-position-occipito-frontal.html
Modalitas X-Ray
Foto Deskripsi
Waters Maxillary, frontal, & ethmoidal sinus

Schedel PA & lateral PA: frontal sinus


Lateral: frontal, sphenoidal, & ethmoidal sinus

Schuller Lateral mastoid


Towne Posterior wall of maxillary sinus
Stenver Os Temporal
Caldwell Frontal sinus,inferior and posterior orbital rim
Rhese/oblique Posterior of ethmoidal sinus, optic canal, &
floor of orbit.
176. Kelainan Telinga Luar
• Hematom Aurikular
 Disebabkan trauma tumpul pd daun telingga
 Pd pinna ditemukan edema, fluktuasi dan ekimodis
 Jika terjadi infeksi  perichondritis.
 Tx/: incision & drainage/needle aspiration  pressure bandage

• Perikondritis Aurikular
 Disebabkan trauma dgn penetrasi pd kulit dan luka yg
terkontaminasi
 Aurikel jd merah, bengkak, panas dan nyeri
 infection under the perichondrium  necrosis of the cartilage
 fibrosis  severe auricular deformity (cauliflower ear)
 Th/: antibiotics. Jika fluktuasi + dari pus  drainase.

• Keloid
 Dapat timbul pd tempat tindikan di telinga.
Kelainan Telinga Luar
• Pseudokista
 Benjolan di daun teling yang
disebabkan oleh kumpulan cairan
kekuningan di antara lapisan
perikondrium & tulang rawan
telinga.

 Biasanya pasien datang karena


benjolan di daun telinga yang tidak
nyeri & tidak diketahui
penyebabnya.

 Terapi: cairan dikeluarkan secara


steril, lalu dibalut tekan sengan
semen gips selama 1 minggu supaya
perikondrium melekat pada tulang
rawan kembali.
Kelainan Telinga Luar
• Kista Preaurikular
 Kelainan kongenital pd anterior
dari telinga bagian luar
 Biasanya berupa fistula pd kulit
anterior dari helix pd tragus
bagian atas.
 Jika terjadi infeksi 
pembentukkan abses.
 In problem cases, surgical excision,
with complete removal of the
tract, is the answer.
177. Otitis Media

Akut
Otitis Media Efusi
(Air Bubble (+))
Infeksi (-)

Kronik
Glue Ear
Oklusi tuba
Akut
< 3 bulan
Infeksi (+) Otitis Media
Kronik
> 3 bulan
177. Otitis Media Efusi
• Radang mukoperiosteum rongga telinga tengah yang ditandai
dengan adanya cairan dan membrane timpani yang utuh.
• Klasifikasi: Eksudativa (Aerotitis, Barotrauma), Serosa
(Kataralis), Mukoid (Glue Ear)
• Gejala:
– Telinga seperti tertutup atau penuh
– Tinnitus nada rendah
– Tuli konduktif
– Displakusis (mendengar suara ganda
• Terapi:
– Cari pencetusnya
– Medikamentosa: steroid, dekongestan, antihistamin
– Definitf: pemasangan ear ventilation tube (grommet tube)
• Terjadi ketika suatu
oklusi tuba tidak
teratasi.
• Terjadi pengumpulan
cairan serosa di dalam
cavum timpani
dengan gejala khas
berupa gelembung
udara pada
pemeriksaan otoskop
(Air Bubble)

Otitis Media Efusi


Otitis Media
Otitis media serosa akut
– Terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba akibat gangguan fungsi
tuba
– Obstruksi tuba Eustachius  tekanan negatif  transudasi
– Penyebab:
• Sumbatan tuba secara tiba-tibabarotrauma
• Infeksi virus pada saluran napas atas
• Alergi pada jalan napas atas
• Idiopatik
– Lebih sering pada dewasa
– Gejala:
• Penurunan pendengaran, tidak nyeri jika tidak terinfeksi atau perubahan
tekanan yang cepat
• Bisa ada tinnitus, desiran/gemuruh nada rendah, atau tinitus pulsatil
dari suara arteri.
– Otoskopi:
• Membran timpani retraksi, kadang tampak gelembung udara atau
permukaan cairan
– Tatalaksana:
• Medikamentosavasokonstriktor topikal, antihistamin, perasat
valsava
• Bila menetap 1-2 minggu Miringotomi dgn atau tanpa pipa grommet
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. 3) Menner, a pocket guide to ear. 2003.

176. Otitis Media


Chronic serous otitis media/glue ear/mucous OM
• If a serous effusion continues for weeks  the mucous
glands of the middle ear & eustachian tube tend to
proliferate & secrete more actively  the fluid can
progressively thicken “glue” (gelatinous mucus).
• Batasan antara otitis media serosa akut dan kronik:
– Akutsekret terjadi secara tiba-tiba
– Kroniksekret terjadi secara bertahap dan berlangsung
lama
• Lebih sering terjadi pada anak-anak
• Gejala:
– Tuli lebih menonjol (40-50dB)
• Findings:
– Membran timpani tampak retraksi, suram, kuning kemerahan
atau keabuan
– The serous and mucous ear effusions are usually sterile & do
not cause the diffuse thick redness .
– Audiometry will document conductive hearing loss.
• Th: myringotomy & inserting ventilation pipe (Grommet)
178. Uji Penala
• Cara Pemeriksaan :
– Tes Rinne  penala digetarkan, tangkainya diletakkan pada
prosesus mastoid, setelah tidak terdengar penala diletakkan
depan telinga
• Positif (+) bila masih terdengar
• Negatif (-) bila tidak terdengar
– Tes Weber  penala digetarkan dan tangkai penala dilerakkan
di garis tengah kepala
– Tes Swabach  penala digetarkan, tangkai penala diletakkan
pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi, lalu
segera pindahkan pada prosesus mastoid pemeriksa
• Memendek bila pemeriksa masih mendengar
Tes Penala
Rinne Weber Schwabach

Normal (+) Tidak ada Sama dengan


lateralisasi pemeriksa
CHL (-) Lateralisasi Memanjang
ke telinga
sakit
SNHL (+) Lateralisasi Memendek
ke telinga
sehat
Note: Pada CHL <30 dB, Rinne masih bisa positif

Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009
179. Rhinosinusitis complication
• Orbital complications • Infections of the
of sinusitis occur ethmoid can directly
because the orbit is erode the thin lamina
bounded by the papyracea or extend
sinuses inferiorly, through suture lines or
superiorly, and medially foramina into the orbit
• Ethmoiditis most • other mechanism of
commonly leads to spread is
orbital involvement, hematogenously via
followed by infections retrograde
of the maxillary,frontal, thrombophlebitis
and sphenoid sinuses
Ten years old patient with orbital cellulitis.
180. BPPV dan Non-BPPV
• Menurut neurotologi secara umum Vertigo
Perifer terdiri atas dua jenis gangguan yakni:
BPPV dan Non-BPPV
• Manifestasi vertigo vestibuler perifer non-
BPPV diantaranya adalah Penyakit Meniere,
Labirinitis, akibat ototoksisitas, hingga
neuroma akustik.
Vertigo Periver: BPPV vs nonBPPV

BPPV Non-BPPV
Tidak selalu diprovokasi gerakan
Diprovokasi gerakan kepala
kepala
Diagnosis: Perasat Dix-Hallpike, Diagnosis: Head Thrust (Impulse) Test,
Sidelying, Roll Dynamic Visual Acuity Test
Nistagmus vestibuler pada tes posisi:
Nistagmus vestibuler pada tes posisi:
arah ke sisi telinga yang sehat, tidak
arah ke sisi telinga yang sakit,
terdapat masa laten, dapat terjadi
terdapat masa laten, dapat terjadi
reverse nistagmus, tidak selalu
reverse nistagmus, terdapat decay
ditemukan decay (fenomena
(fenomena kelelahan).
kelelahan).
Sistem Vestibular
• BPPV disebabkan oleh debris yang berasal dari
utrikulus (nama lama: otolith, nama baru: canalith)
masuk ke kanalis semisirkularis & melekat pada kupula
atau mengambang di dalam endolimf.

• Debris di kanalis semisirkularis bergerak karena


gravitasi & mendorong kupula  vertigo.

• Mayoritas BPPV disebabkan oleh debris di kanalis


semisirkularis posterior, tetapi juga dapat masuk ke
kanalis semisirkularis horizontal & superior.
Diagnosis BPPV
• BPPV is diagnosed based on medical history, physical examination,
the results of vestibular and auditory (hearing) tests, and possibly
lab work to rule out other diagnoses.
• Vestibular tests include the Dix-Hallpike maneuver and the Supine
Roll test.
– These tests allow a physician to observe the nystagmus elicited in
response to a change in head position. The problematic semicircular
canal can be identified based on the characteristics of the observed
nystagmus.
• Dix-Hallpike (also referred to as the Nylen-Barany) manoeuvre is the
definitive diagnostic test for posterior canal BPPV
BPPV
Manuver BPPV
Kanalis Manuver Manuver
Semisirkularis Diagnostik Terapeutik

Dix Hallpike atau Epley atau Liberatory


Posterior
Sidelying (Semont)

Epley atau Liberatory


Dix Hallpike atau
Anterior (Semont)
Sidelying

Supine Roll test Lempert (Barbeque roll)


Horizontal
(Pagnini-McClure) atau Gufoni
Dix Hallpike
• Nistagmus timbul pada
sisi vestibulum yang
mengalami kelainan
• Manuver Epley dilakukan
sesuai dengan sisi yang
mengalami kelainan
Horizontal Canal BPPV
• Supine head turn
maneuver to
determine the
presence and
affected side of
horizontal canal
benign paroxysmal
positional vertigo
(Pagnini-McClure
maneuver/supine
roll test)
Maneuvers for posterior canal
BPPV
• The most common type of BPPV
• The canalith repositioning procedure (CRP)/Epley
Manuver or the modified liberatory maneuver is the most
common and empirically proven treatment for posterior
canal BPPV.
– involves sequential movement of the head into four positions,
with positional shifts spaced roughly 30 seconds apart (Figure
2a and 2b).
• The Semont maneuver involves a procedure whereby the
patient is rapidly moved from lying on one side to lying on
the other.
– Although many physicians have reported success treating
patients with the Semont maneuver and support its use 
12

need more studies are required to determine itseffectiveness


Maneuvers for horizontal canal BPPV
• Second most common type of BPPV with incidences of
10% to 15%
• Because of the relative rarity of horizontal canal BPPV,
there are no best practices established for treatment
maneuvers; however, the most widely studied is the
Lempert maneuver.
– This maneuver entails moving the head through a series
of 90˚ angles and pausing between each turn for 10 to 30
seconds.
• Other techniques such as the Gufoni maneuver and
the Vannucchi-Asprella liberatory maneuver have also
been used to treat horizontal canal BPPV, but
additional well-supported clinical studies are needed to
assess their effectiveness
Maneuvers for anterior canal BPPV
• Rare – 2%
• There is no definitive treatment for anterior canal BPPV
and no controlled studies of it have yet been
completed.
• However, there is a logical modified maneuver for the
anterior canal that is essentially a deep (exaggerated)
Dix-Hallpike.
• Other proposed treatments employ reverse versions of
the maneuvers used for posterior canal BPPV; for
example, the reverse Semont (starting nose down and
turned to the unaffected side), or the reverse Epley
(again starting nose down
Other BPPV treatment options
• If head maneuvers don’t work, other treatment
options include home-based exercise therapy,
surgery, medication, or simply coping with the
symptoms while waiting for them to resolve.
• Vestibular rehabilitation home exercises
– Exercises performed at home are sometimes
recommended.
– Brandt-Daroff exercises involve repeating vertigo-
inducing movements two to three times per day for
up to three weeks
Tatalaksana:
Epley maneuver
• Home treatment
for BPPV: Brandt
Daroff maneuver
– 3 sets x 5
repetitions/day
for 2 weeks
– Success rate 95%
– Mostly complete
relief after 30 sets
(10 days)
• Symptomatic treatment:
– Antivertigo (vestibular suppressant)
• Ca channel blocker: flunarizin
• Histaminic: betahistine mesilat
 Betahistin Mesylate 3 x 6-12 mg
 Betahistin HCl dengan dosis 3 x 8-16 mg
• Antihistamin: difenhidramine, sinarisin
– Antiemetic:
• prochlorperazine, metoclopramide
– Psycoaffective:
• Clonazepam, diazepam for anxiety & panic attack
KULIT & KELAMIN,
MIKROBIOLOGI,
PARASITOLOGI
181. Kondiloma Akuminatum
• PMS akibat HPV, kelainan berupa fibroepitelioma pada
kulit dan mukosa

• Gambaran klinis
– Vegetasi bertangkai dengan permukaan berjonjot dan
bergabung membentuk seperti kembangkol

• The incubation period after exposure ranges from three


weeks to eight months. Most infections are transient and
cleared within two year

• Pemeriksaan
– Bubuhi asam asetat  berubah putih
Kondiloma Akuminatum
• Risk factor : • Clinical manifestation
– Digital/anal, oral/anal and – Patients with a small number of
digital/vaginal contact warts are often asymptomatic.
probably can also spread – Other patients may have
the virus, as may fomites pruritus, bleeding, burning,
– The disease is also more tenderness, vaginal discharge
common in (women), or pain
immunosuppressed – Condylomata can occasionally
individuals form large exophytic masses that
can interfere with defecation,
intercourse, or vaginal delivery.
– Lesions involving the proximal
Breen E, et,al. Condyloma Acuminata (Anogenital warts).
www.uptodate.com
anal canal may also cause
stricturing.
Terapi
• Modalitas terapi utama untuk kondiloma akuminata adalah
terapi destruktif:
– Elektrokauterisasi,
– krioterapi dengan nitrogen cair,
– eksisi,
– Kemoterapi: tingtura podofilin 25%, podofilin resin, asam
trikloroasetat (TCA) 80% - 90% (CDC 2010) atau 50% (buku ajar
kulit kelamin FKUI, 5-Fluorourasil 1-5%,
– Laser karbondioksida
• Pada wanita hamil tidak semua modalitas terapi di atas
dapat digunakan, pilihan terapi yang dapat diberikan antara
lain krioterapi, elektrokauterisasi, terapi laser, dan asam
trikloroasetat.
182. Hidradenitis suppurativa
• Infeksi kelenjar apokrin

• Etiologi : Staphylococcus aureus


• Didahului oleh trauma, ex: keringat
berlebih, pemakaian deodorant, dll

• Gejala konstitusi : demam, malaise

• Ruam berupa nodus dan tanda


inflamasi (+) lalu melunak menjadi
abses, pecah membentuk fistel dan
sinus yang multiple

• Lokasi: ketiak, perineum


• Lab: leukositosis
• Terapi: antibiotik sistemik

Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 61-62
182. Hidradenitis treatment
• Avoidance of moisture • Other drugs under
• Antiseptic soaps investigation:
• Topical clindamycin 1% – Dapsone
– Isotretinoin
• Oral clindamycin(300
– TNF-∝ inhibitors
mg bid) +rifampicin
– Finasteride
(600 mg once a day or
– infliximab
300 bid) commonly
used combination and
under investigation

Taylor & Kelly Dermatology for colored skin


183. Pioderma: Impetigo Bulosa

• Etiologi: Staphylococcus aureus.


• Lesi vesikel yang berprogresi cepat menjadi
bula kendur, awalnya bula berisi cairan serosa
kekuningan yang kemudian berubah menjadi
keruh.
• Bula batas tegas, nikolsky sign negatif.
• Pada pewarnaan Gram dapat ditemukan
bakteri kokus Gram positif berkelompok.

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
• Impetigo krustosa/vulgaris/ kontagiosa/
Tillbury Fox (Strep. Beta hemolyticus) :
peradangan  vesikel yang dengan cepat
berubah menjadi pustul  pecah krusta
kering kekuningan seperti madu. Predileksi
spesifik lesi terdapat di sekitar lubang
hidung, mulut, telinga atau anus.

• Impetigo bulosa/ cacar monyet (Staph.


Aureus): peradangan yang memberikan
gambaran vesikobulosa dengan lesi bula
hipopion (bula berisi pus)

• Ektima (Strep. Beta hemolyticus):


peradangan yang menimbulkan kehilangan
jaringan dermis bagian atas (ulkus dangkal).
Pioderma
• Pemeriksaan Penunjang
Tatalaksana: • Pemeriksaan dari apusan cairan
sekret dari dasar lesi dengan
• Jaga hygiene pewarnaan Gram
• Angkat krusta bila ada • Pemeriksaan darah rutin kadang
kadang ditemukan leukositosis
• Antibiotik topikal:
– Mupirosin 2% krim 2x sehari selama 7 hari
– Asam fusidat 2% krim 2x sehari selama 7 hari
– Retapamulin 1% salep 2x sehari selama 5 hari
– Basitrasin krim 2x sehari  namun sudah tidak direkomendasikan
• Jika lesi luas (dan ektima), tatalaksana dengan antibiotik sistemik
– Dicloxacillin 4x 250-500 mg/hari selama 5-7 hari
– Amoxicillin+klavulanat 25 mg/kg 3x sehari
– Cephalexin 4x 250-500 mg/hari
– Jika dicurigai MRSA: vankomisin 1-2 g IV selama 7 hari
• Insisi+drainase untuk lesi fluktuatif.
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Topical Antibiotics for Impetigo
M E D I C AT I O N INSTRUCTIONS
Fusidic acid 2%
Apply to affected skin three times daily for seven to 12 days
ointment†
Apply to affected skin three times daily for seven to 10 days;
Mupirocin 2% cream
reevaluate after three to five days if no clinical response
(Bactroban)‡
Approved for use in persons older than three months

Apply to affected skin three times daily for seven to 14 days


Mupirocin 2%
Dosing in children is same as adults
ointment‡
Approved for use in persons older than two months

Apply to affected skin twice daily for five days


Retapamulin 1% Total treatment area should not exceed 100 cm2 in adults or 2% of
ointment (Altabax) total body surface area in children
Approved for use in persons nine months or older
†—Coverage for Staphylococcus aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus.
‡—Coverage for S. aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus. Mupirocin-resistant streptococcus has now been documented.6,14
§—First member of the pleuromutilin class of antibiotics. Coverage for S. aureus (methicillin-susceptible) and streptococcus.19

http://www.aafp.org/afp/2014/0815/p229.html
184. Pitiriasis Rosea
• Etiologi: tidak jelas, diduga virus karena self limiting
• Gejala klinis:
1. Gatal ringan
2. Pitiriasis (skuama halus)
3. Lesi khas
Lesi yang pertama muncul:
Herald Patch
• Lokasi di badan
• Soliter
• Oval dan annular
• Diameter ± 3 cm
• Lesi eritema dan skuama halus di pinggirnya

• Gambaran lesi seperti lesi pertama


hanya lebih kecil dan semakin banyak
• Susunan sejajar costae seperti pohon
cemara terbalik
• Timbul serentak atau dalam beberapa
hari 4-10 hari setelah lesi pertama:
• Predileksi: badan, lengan atas
proksimal, dan paha atasseperti
Pohon cemara terbalik
pakaian renang wanita jaman dahulu Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2010, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI
Ptiriasis Rosea: Pemeriksaan dan Tatalaksana
• Pemeriksaan
– Laju endap darah >>
– KOH  untuk membedakan dgn
tinea korporis
– VDRL untuk membedakan dengan
sifilis II

• Tatalaksana
– Suportif
• Zinc oxide, antihistamin oral
dan kalamin untuk pruritus
– Steroid topikal/oral (kurang
direkomendasikan)  lesi luas
– UV B fototerapi untuk pruritus

Studberg DL, et al. Pityriasis Rosea. American Family Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91
http://emedicine.medscape.com/article/1107532-treatment#d8
185. Bakterial Vaginosis
• Bakterial vaginosis: polymicrobial clinical syndromemenyebabkan
jumlah Lactobacillus sp. (flora normal vagina) menurun dan
meningkatnya jumlah bakteri anaerob.
• Etiologi utama: Gardnerella vaginalis, lainnya: Prevotella sp.,
Mobiluncus Sp., Ureaplasma, Mycoplasma, dsb
• Faktor resiko
 BV berhubungan dengan seks multipartner
 Douching
 Jumlah lactobacillus (flora normal vagina) turun
 Semakin sering berhubungan sekssemakin
beresiko
 Semakin jarang berhubungan sekssemakin
rendah resiko

2015 STD Treatment Guideline CDC


Prinsip diagnosis
• Kriteria Amsel:
 Duh tubuh homogen putih keabuan
 Clue cells (dari pemeriksaan Terpenuhi 3 dari 4
mikroskopik)
 pH vagina >4.5
 Whiff test (+): Duh tubuh berbau
Bakterial Vaginosis
amis (fishy odor)sebelum atau
sesudah ditetesi KOH 10%

• Gold standard: Pemeriksaan Gram

2015 STD Treatment Guideline CDC


Prinsip terapi
Based on 2015 STD Treatment Guideline CDC

• Terapi farmakologis direkomendasikan pada wanita


dengan gejala. Asimptomatiktidak perlu terapi
• DOC: Metronidazole
Metronidazole 2 x 500 mg selama 7 hari
Metronidazole gel 0.75% intravaginal 1x1 selama 5 hari
Clindamycin cream 2% intravaginal sebelum tidur
selama 7 hari 1x2 gram p.o selama 2 hari
Tinidazole 1x1 gram p.o selama 5 hari
• Alternatif terapi 2x300 mg p.o selama 7 hari
100 mg intravagina sebelum tidur
Clindamycin selama 3 hari
2015 STD Treatment Guideline CDC
Diagnosis Banding

Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
Terapi

Habif T.P. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Sixth edition. 2016
186. Gonorrhea
• Etiologi
– Neisseria gonnorrhoeae

• Jenis Infeksi
– Pada Pria
• Urethritis, tysonitis, paraurethritis, littritis, cowperitis, prostatitis,
veikulitis, funikulitis, epididimitis, trigonitis

– Pada Wanita
• Urethritis, paraurethritis, servisitis, bartholinitis, salpingitis, proktitis,
orofaringitis, konjungtivitis infant, gonorea diseminata

– Gambaran urethritis
• Gatal, panas di uretra distal, disusul disuria, polakisuria, keluar duh kadang
disertai darah, nyeri saat ereksi
Urethritis GO
• Pemeriksaan
– Sediaan langsung: diplokokus gram
negatif
– Kultur: Agar Thayer Martin

• Tatalaksana (based on 2015 STD Treatment Guidelines)


– Uncomplicated Gonorrhea
– DOC: Ceftriaxone 250 mg IM SD + Azitromisin 1 gr
oral SD
– Alternatif: Cefixime 400 mg oral SD + Azitromisin 1 gr
oral SD

2015 STD Treatment Guideline


187. Postinflammatory
Hyperpigmentation
• Sequelae of various
cutaneous disorders
• Infections, allergic
reactions, mechanical
injuries, reactions to
medications, phototoxic
eruptions, trauma (eg,
burns), and inflammatory
diseases (eg, acne, lichen
planus, lupus
Photo of a 42-year-old African American woman
erythematosus, atopic with macules of postinflammatory
dermatitis) hyperpigmentation on the left side of her face as
a result of acne
Treatment
Topical agent • Topical azelaic acid
– Approved for the treatment
• Hydroquinone, tretinoin of acne vulgaris
cream, glycolic acid – Useful for postinflammatory
(GA), and azelaic acid hyperpigmentation as well.
– In acne patients who are
• A combination of prone to postinflammatory
topical creams and gels, hyperpigmentation, azelaic
acid may be a good treatment
chemical peels, and option
sunscreens may be • Other treatment
necessary for significant – Fractional photothermolysis
– ablative carbon dioxide laser
improvement resurfacing
– 1064-nm Q-switched Nd:YAG laser
HQ = Hydroquinone
Nd:YAG = Neodymium: yttrium aluminum
garnet

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2921758/
188. Tinea Manuum
• It is less common than
tinea pedis
• Erythema and
hyperkeratosis of the
palms and fingers
affecting the skin diffusely
is the commonest variety,
and is unilateral in about
half the cases
• The accentuation of the
flexural creases is a
characteristic feature
• Other clinical variants
include
– crescentic, exfoliating scales
– circumscribed, vesicular
patches
– discrete, red papular and
follicular scaly patches
– erythematous, scaly sheets
on the dorsal surface of the
hand
• This forms are more likely to
be zoophilic
Gambar di Soal
http://emedicine.medscape.com/article/1081565-overview#a4

Diagnosis Banding
Erythema annulare centrifugum Erythema gyratum repens (EGR)
(EAC) • Often precedes the detection of
• Classified as one of the figurate or malignancy
gyrate erythemas • Characterized by :
• Characterized by a scaling or – Wood-grain appearance concentric
nonscaling, nonpruritic, annular or mildly scaling bands of flat-to-raised
arcuate, erythematous eruption, erythema
tends to spread peripherally while – Fairly rapid migration (up to 1 cm/d)
clearing centrally. – Intense pruritus
• The etiology – A course of rash that closely mirrors
the course of the underlying illness,
– Uncertain with clearance of rash and relief of
– It may be due to a hypersensitivity to pruritus within 6 weeks subsequent to
malignancy, infection, drugs, or resolution of underlying illness
chemicals, or it may be idiopathic – Sites of predilection that include the
trunk and extremities
Drug of Choice Dermatofita
DERMATOFITA DOC
Tinea Kapitis • Perlu terapi sistemik untuk mencapai folikel rambut
• Griseofulvin: DOC untuk spesies Microsporum maupun Trichophyton
• Terbinafin: DOC untuk spesies Trichophyton
• Griseofulvin merupakan DOC jika spesies penyebab tinea kapitis tidak
jelas

Tinea manum, Tinea • Terapi utama adalah topikal: topikal azole/ terbinafine
pedis • DOC sistemik: Terbinafin, itrakonazol, flukonazol
• Griseovulfin kurang efektif dan butuh waktu yang lebih panjang
Tinea barbae • Butuh terapi sistemik untuk mencapai folikel rambut
• DOC: griseovulfin/ Terbinafin selama 2-4 minggu; alternatif:
itrakonazol, flukonazol
Tinea facialis, Tinea • Mengenai struktur kulit superfisial  terapi topikal adalah yg utama
korporis, tinea • DOC sistemik: terbinafin/ itrakonazole; alternatif
kruris griseofulvin/fluconazole
Tinea Unguium • Ringan-sedang: topikal/oral; berat: oral
• DOC: Terbinafin; alternatif itrakonazole
Terapi Tinea Korporis, Kruris, Fasialis, Pedis
• Pengobatan topikal (Tabel Terlampir)
DOC untuk tinea kruris, korporis, fasialis (selama 1-3 minggu); pedis (selama 4 minggu)
– Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk salep ( Salep
Whitfield)
– Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep (salep 2-4, salep 3-10)
– Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, ketokonazol 2% dll
– Derivat allilamine: terbinafine (sedikit lbh efektif dibanding derivat azole)

• Pengobatan sistemik: pada tinea korporis, kruris, fasialis, pedis diberikan bila lesi luas atau bila
dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan
– Terbinafine 250 mg sehari untuk dewasa (korporis/kruris 1-2 mggu; pedis 2 minggu)
– Griseofulvin korporis/kruris microsize 500 to 1000 mg per day or griseofulvin ultramicrosize
375 to 500 mg perhari 2-4 minggu; pedis griseofulvin microsize 1000 mg per day or
griseofulvin ultramicrosize 660 or 750 mg per day 4-8 minggu
– Itraconazole korporis/kruris 1 kali 200 mg selama 1 minggu; pedis 2 kali 200 mg per hari
selama 1 minggu;
– Fluconazole 150 mg per minggu (korporis/kruris 2-4 mggu; pedis 2-6 minggu)
– Ketokonazol 200 mg per hari
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2015 | Uptodate 2017
Pengobatan Topikal terutama
untuk jenis
• Tinea korporis, fasialis
• Tinea cruris
• Tinea pedis
• Tinea unguium (sebagian
kasus)
189-190. Psoriasis
• Penyakit kulit kronik yang ditandai oleh papul
dan plak eritematosa dengan skuama tebal.
Dapat timbul erupsi pustular dan eritrodermik.
• Predileksi: kulit kepala, siku dan lutut, tangan,
kaki, batang tubuh, dan kuku. Pada kuku 
pitting nail
• Faktor pencetus: Stres, trauma, infeksi,
medikasi
• Pemeriksaan fisik:
– Fenomena Kobner: pada kulit yang sehat akan
timbul lesi jika mendapat trauma
– Fenomena auspitz: timbul bercak perdarahan jika
seluruh skuama diangkat
– Fenomena tetesan lilin: skuama digores berwarna
putih seperti lilin

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Psoriasis Vulgaris: Tanda Khas
Tanda Penjelasan

Skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada


Fenomena
goresan, seperti lilin yang digores, akibat berubahnya
tetesan lilin
indeks bias.

Tampak serum atau darah berbintik-bintik akibat


Fenomena
papilomatosis dengan cara pengerokan skuama yang
Auspitz
berlapis-lapis hingga habis.

Kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis yang


Fenomena
timbul akibat trauma pada kulit sehat penderita
Kobner
psoriasis, kira-kira muncul setelah 3 minggu.
Tipe Psoriasis
Tipe
Plak • Bentuk paling umum
Psoriasis • Lesi meninggi dasar kemerahan dan tertutup sisik putih (sel kulit mati)
• Predileksi: kulit kepala, lutut, siku, punggung, dan kulit yang sering terkena
trauma
• Terasa gatal dan nyeri, dapat retak dan berdarah
Psoriasis • Tersering kedua
Gutata • Lesi berbentuk titik/ plak kecil
• Dimulai pada masa anak-dewasa muda, dapat merupakan kelanjutan dari
infeksi streptokokus.
Inverse • Lesi berwarna merah, pada lipatan kulit
Psoriasis • Tampak licin dan mengkilat
• Dapat muncul bersama tipe lain

Psoriasis • Pustul berwarna putih (bula steril) dikelilingi dasar kemerahan


Pustular • Isi pus adalah sel darah putih
• Tidak menular
• Paling sering muncul di tangan dan kaki
Nail • Perubahan warna kuku menjadi kuning-kecoklatan, permukaan menjadi
Psoriasis tidak rata (sering berbentuk pit kecil multipel)
Treatment of Psoriasis
• Avoid environmental trigger: stress, alcohol, drugs.
• treatments extensive, include emollients, salicylic acid, coal tar,
anthralin, corticosteroids, methotrexate
• emollient creams, parafin, petrolatum, hydrogenated oils reduce
scaling, best applied after bathing
• Salicyclic acid is a keratinolytic, softens scales.
• Coal tar and corticisteroids are anti-inflammatory and reduce
proliferation. Used in combination with UV light (Goekerman
regimen)
Psoriasis: Tatalaksana
Biopsi dikerjakan jika secara klinis gejala
psoriasis tidak khas

Mayoritas psoriasis terbagi menjadi 3


macam, yaitu gutata,
eritroderma/pustular, dan plak kronik
(paling sering)
Guttate self limiting+spontaneous
resolution in 6-12 weeks.
Eritroderma fast acting systemic

Keterangan gambar:
Garis solidfirst line
Garis putus-putussecond line
Cyclosporin bukan first line
BB-UVB:broadband UVB
BSA: body surface area
FAE: fumaric acid ester
NB-UVB: narrowband UVB
PUVA: psoralen+UVA light

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
Auspitz Sign
• appearance of small
bleeding points after
successive layers of
scale have been
removed from the
surface of psoriatic
papules or plaques
• Other than psoriasis can
be found in
– Darier's disease
– actinic keratoses
Darier’s disease
• hyperkeratotic, waxy
papules, skin coloured
plaques or minute
acanthomas on front of
chest, retroauricular
areas and central T zone
of face
Actinic Keratosis
Pre-cancer lesions of SCC
• Irritated skin
• Itching or burning
• Rough, dry, scaly patch of
skin
• Flat to slightly raised
patch or bump on the top
layer of skin
• Hard, wart-like patch
• Color ranging from pink
to red to brown or even
flesh colored
Parapsoriasis
• Poorly understood group of
plaque forming diseases
• Predilection in trunk, upper
arm, and thighs
• Less scales than psoriasis, do
not elicit Auspitz Sign
• 2 types;
• a small plaque; benign
• a large plaque;
• treatment by phototherapy or
topical corticosteroids
191-192. Pedikulosis
• Infeksi kulit/rambut pada manusia yang
disebabkan Pediculus

• 3 macam infeksi pada manusia


– Pedikulosis kapitis: disebabkan Pediculus humanus
var. capitis
– Pedikulosis korporis: disebabkan pediculus
humanus var. corporis
– Pedukulosis pubis: disebabkan Phthirus pubis

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis kapitis
• Infeksi kulit dan rambut kepala
• Banyak menyerang anak-anak dan higiene buruk
• Gejala
• Mula-mula gatal di oksiput dan temporal, karena
garukan terjadi erosi, ekskoriasi, infeksi sekunder
• Diagnosis
• Menemukan kutu/telur, telur (Nits) berwarna abu-
abu/mengkilat

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Prinsip pemberian terapi pedikulosis kapitis

• First line: Permethrin lotion atau shampoo 1%


• Terapi topikal diberikan sebanyak 2 kali, yaitu pada
hari 0 dan hari 7-10 agar dapat mengeradikasi kutu
dengan sempurna.
• Obat lainnya: Pyrethrins 0.3%-piperonyl butoxide 4%
shampoo, Malathion 0.5% lotion, Benzyl alcohol 5%
lotion, Ivermectin lotion 0.5%, gameksan shampoo
1% (not recommended as a first–line treatment)
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis pubis
• Infeksi rambut di daerah pubis dan sekitarnya
• Terutama menyerang dewasa dan dapat menyerang
jenggot/kumis
• Dapat menyerang anak-anak, seperti di alis/bulu mata
dan pada tepi batas rambut kepala
• Termasuk infeksi menular seksual
• Gejala
• Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat meluas ke
abdomen/dada, makula serulae (sky blue spot), black dot
pada celana dalam

2016 European Guideline for the Management of Pediculosis


Pubis
Sky Blue Spot/ Macula cerulae
Prinsip Tatalaksana
Based on 2016 European Guideline for the Management of Pediculosis Pubis

• Semua lesi harus diberikan obat topikal


• Kulit harus dingin dan kering agar absorbsi maksimal
• Mencukur pubis tidak perlu, meskipun pada populasi
umum insidens turun karena tidak ada habitat bagi ptirus
pubis
• Mencuci semua pakaian di suhu 50oC atau lebih
• First line: Permethrin cream 1% dan dicuci setelah 10
menit (aman juga untuk kehamilan)termasuk juga kalau
ada lesi di bulu mata
• Second line: Malathion 0.5% dicuci setelah 12 jam
pemakaian
• Terapi lain: Ivermectin topical, Benzyl benzoate lotion 25%
2016 European Guideline for the Management of Pediculosis Pubis
Pedikulosis korporis
• Biasanya menyerang orang dewasa dengan higiene buruk (jarang
mencuci pakaian)
• Kutu melekat pada serat kapas dan hanya transien ke kulit untuk
menghisap darah
• Gejala
• Hanya bekas garukan di badan
• Diagnosis
• Menemukan kutu/telur pada serat kapas pakaian
• Pengobatan
• DOC: Permetrin 1%,
• Gameksan 1%,
• benzil benzoat 25%
• Malathion 0,5%
• pakaian direbus/setrika

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pengobatan Pedikulosis Korporis
• Improved hygiene and access to regular changes of clean clothes is the
only treatment needed for body lice infestations.
• A body lice infestation is treated by improving the personal hygiene of the
infested person, including assuring a regular (at least weekly) change of
clean clothes.
• Clothing, bedding, and towels used by the infested person should be
laundered using hot water (at least 54°C) and machine dried using the hot
cycle.
• Sometimes the infested person also is treated with a pediculicide;
however, a pediculicide generally is not necessary if hygiene is maintained
and items are laundered appropriately at least once a week.
• If you choose to treat, guidelines for the choice of the pediculicide are the
same as for head lice.
193. Schistosoma

• Gambar pada soal


193. Schistosoma
• Penyakit : skistosomiasis= bilharziasis
• Spesies tersering: S. japonicum dan S. haematobium

• Morfologi dan Daur Hidup


– Hidup in copula di dalam pembuluh darah vena-vena usus, vesikalis
dan prostatika.
– Di bagian ventral cacing jantan terdapat canalis gynaecophorus,
tempat cacing betina.
– Telur tidak mempunyai operkulum dan berisi mirasidium,
mempunyai duri dan letaknya tergantung spesies.
– Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di
jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kencing
– Telur menetas di dalam air mengeluarkan mirasidium
Daur Hidup Schistosoma sp.
Schistosoma Haematobium

• Tersebar terutama di Afrika dan Timur Tengah


• Ukuran telur: panjang 110-170 µm dan lebar 40-70 µm,
memiliki tonjolan spinal
• Telur mengandung mirasidium matur yang tersebar di
urin
Schistosoma japonicum
TELUR
BENTUK : BULAT AGAK LONJONG DNG
TONJOLAN DI BAGIAN
LATERAL DEKAT KUTUB
UKURAN : 100 x 65 µm
TELUR BERISI EMBRIO
TANPA OPERKULUM
Tersebar di daerah Timur (termasuk
Indonesia)

SERKARIA
Schistosoma sp
EKOR BERCABANG
Gejala Klinis & Pemeriksaan Penunjang
– Efek patologis tergantung jumlah telur yang dikeluarkan
dan jumlah cacing
– Keluhan
• S. mansoni & japonicum: demam Katamaya, fibrosis periportal,
hipertensi portal, granuloma pada otak & spinal
• S. haematobium: hematuria, skar, kalsifikasi, karsinoma sel
skuamosa, granuloma pada otak dan spinal
– Pada infeksi berat → Sindroma disentri
– Hepatomegali timbul lebih dini disusul splenomegali;
terjadi 6-8 bulan setelah infeksi

– Pemeriksaan Penunjang
• Mikroskopik feses: semua spesies
• Mikroskopik urin: spesies haematobium

Sumber: http://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/dx.html
DOC Antihelmintik
JENIS CACING DOC ANTIHELMINTIK Keterangan

1. Albendazol 400 mg SD
Ascaris lumbricoides 2. Mebendazol 2x100 mg selama 3 hari atau 500 mg PO SD
3. Pyrantel Pamoat 10-11 mg/kg PO

Cacing Tambang (ancylostoma 1. Albendazol 400 mg PO SD


Duodenale & Necator Americanus) 2. Mebendazole 2x 100 mg selama 3 hari (lbh efektif) atau 500 mg SD
1. Mebendazol 2x100 selama 3 hari atau 500 mg PO SD (krg efektif)
Trichuris Trichiura
2. Albendazole 1x400 mg selama 3 hari PO
Schistosoma mansoni, S. DOC: Prazikuantel 40 mg/kg PO dibagi 2 dosis selama satu hari
hematobium, S intercalatum
Schistosoma japonicum, S. mekongi DOC: Prazikuantel 60 mg/kg PO dibagi 3 dosis selama satu hari
Semua rejimen diulang dalam waktu 2 minggu
1. Pyrantel Pamoat 10-11 mg/kg PO
Enterobius vermicularis
2. Mebendazol 100 mg PO SD
3. Albendazol 400 mg PO SD

1. Prazikuantel 5-10 mg/kg SD


Taeniasis (T. Solium & Saginata)
2. Albendazole 15 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 15 hari

Keterangan: urutan berdasarkan skala prioritas, nomor 1 adalah DOCnya


KEY POINTS
KEY POINTS
194. Disentri Amuba
Gambar di Soal
Entamoeba Histolytica
• Kista matang dikeluarkan bersama tinja
penderita (berinti empat)  kontaminasi
pada makanan, air, atau tangan  ekskistasi
(3) terjadi dalam usus dan berbentuk
tropozoit (4)  bermigrasi ke usus
besar. Tropozoit memperbanyak diri:
membelah diri (binary fission) & menjadi
kista (5), menumpang dalam tinja.

• Kista dapat bertahan beberapa hari -


berminggu-minggu pada keadaan luar

• Dalam banyak kasus, tropozoit akan kembali


berkembang menuju lumen usus (A:
noninvasive infection) pada carier yang
asimtomatik, kista ada dalam
tinjanya. Pasien yang diinfeksi oleh tropozoit
di dalam mukosa ususnya (B: intestinal
disease), atau, menuju aliran darah, secara
ekstra intestinal menuju hati, otak, dan paru
(C: extraintestinal disease), dengan berbagai
kelainan patologik.
Morfologi Entamoeba histolytica memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoitnya
memiliki ciri-ciri morfologi :
– Ukuran 10 – 60 μm
– Sitoplasma bergranular dan mengandung eritrosit, yang merupakan penanda
penting untuk diagnosisnya
– Terdapat satu buah inti entamoeba, ditandai dengan karyosom padat yang
terletak di tengah inti, serta kromatin yang tersebar di pinggiran inti
– Bergerak progresif dengan alat gerak ektoplasma yang lebar, disebut
pseudopodia.
Amoebiasis: Diagnosis
• Laboratorium
– Leukositosis tanpa eosinofilia (80%)
– Peningkatan alkaline phosphatase (80%)
– Peningkatan kadar transaminase dan bilirubin
– Penurunan albumin dan anemia

• Mikroskopik  terlampir

• Feses: adanya bentuk tropozoit dan kista (lihat slide selanjutnya)

• Pewarnaan Lugol pada jaringan terinfeksi

• USG
– Abses hati amoeba: lesi bulat hipoekoik homogen soliter di aspek
posterior lobus kanan hati (70-80%)

http://emedicine.medscape.com/article/212029-workup#c7
Pemeriksaan Feses Pada Amuba
• Bentuk kista biasanya muncul • A minimum of 3 specimens on
pada feses yang padat, tetapi separate days needed to detect 85
tidak selalu muncul di feses tsb to 95% of infections (Examination
sehingga butuh pemeriksaan of a single stool sample has a
berulang selama beberapa hari sensitivity of only 33-50%).
• Bentuk trophozoit banyak • Specimens can be concentrated
ditemukan pada feses yang cair and stained with iodine to detect
• The routine diagnosis of amoebic cysts.
dysentery is still based on • To look for trophozoites, a saline
identification of wet mount and a fresh smear
erythrophagocytic trophozoites in stained with iron hematoxylin
dysenteric specimens and/or Wheatley's trichrome
(Cheesbrough, 2005). should be performed; fixation with
1. CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS, Oct. 2003, p. 713–729 Vol. 16, No. 4. 2003,
American Society for Microbiology
polyvinyl alcohol for delayed
2.
3.
Tropical Biomedicine 27(1): 79–88 (2010)
CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS, July 2007, p. 511–532 Vol. 20, No. 3. 2007,
staining is often useful.
American Society for Microbiology. All Rights Reserved.
Amoebiasis: Stadium Trofozoit

Sel darah
merah
Amoebiasis: Stadium Kista

Uninucleated cyst Binucleated cyst

Quadrinucleated cyst
Terapi Entamoeba Hystolitica
• Invasive colitis is generally managed with metronidazole (alternative
therapies include tinidazole, ornidazole, and nitazoxanide), followed by a
luminal agent (such as paromomycin, diiodohydroxyquin, or diloxanide
furoate) to eliminate intraluminal cysts.
• Metronidazole (DOC)
– 3x500-750 mg selama 7-10 hari
– Anak: 35-50 mg/kgBB/3 dosis selama 7-10 hari
• Tinidazole
– Dewasa 2 gr / hari selama 3 hari
• Intraluminal infection can be treated with one of the following regimens:
– paromomycin (25 to 30 mg/kg/3 dosis PO for 7 days),
– diiodohydroxyquin (3x650 mg PO 20 days for adults and 30 to 40 mg/kg/ 3 dosis
for 20 days for children),
– or diloxanide furoate (3x500 mg POfor 10 days for adults and 20 mg/kg/ 3 dosis
for 10 days for children).
Uptodate.2017
195. Perioral dermatitis
• acneiform eruption of
unknown etiology,
• contributing factors:
– fluorinated topical
corticosteroids
– subclinical irritant
– contact dermatitis
– overmoisturization
• Women are affected more
than men
• eruption of discrete,
symmetrical pinpoint
papules and pustules in
clusters periorally
Treatment
• Perioral dematitis
resolves with tetracycline
(250 mg two to three
times daily for several
weeks)48 or erythromycin
• Topical benzoyl peroxide
Recommendations for treating perioral
• Topical antibiotics are
less well tolerated and dermatitis, roman numerals indicate level of
less effective, but remain evidence.
an option for those who
cannot take systemic
antibiotics
• Topical fluorinated
corticosteroids should be
discontinued

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/P
MC1472951/

You might also like