Arief Effendi

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 43

KARYA TULIS ILMIAH

GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN TELUR CACING Ascaris


lumbricoides DAN Trichuris trichiura PADA MURID SDN 10 GANTING
PADANG TAHUN 2020

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Pada Program
Diploma Tiga Teknologi Laboratorium Medis STIKes Perintis Padang

OLEH :

ARIEF EFENDI
1613453048

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG
PADANG
2020
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Arief Efendi


Tempat tanggal lahir : Mentawai / 8 Mei 1992
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Jln, Pasir Kandang Perum. Pantai Pasir Indah Padang
No.Telp/Handphone : 081270821526

PENDIDIKAN FORMAL

 1998 : TK Mariana Padang


 2005 : SD Negeri 48 Ganting Padang
 2008 : MtsTI Batang Kabung Padang
 2012 : SMTI Padang
 2020 : Program D III Teknologi Laboratorium Medis STIKes Perintis Padang

PENGALAMAN AKADEMIS

 2018 PBL di PUSKESMAS Air Haji, Pesisir Selatan


 2019 PBL di Poltekes Kemenkes Jakarta III
 2019 PBL di Poltekes Kemenkes Bandung
 2019 PBL diUNIMUS (Universitas Muhammadiyah Semarang)
 2019 PBL di STIKes Wira Medika PPNI Bali
 2019 PMPKL di PUSKESMAS Tarusan
 2019 Praktek Kerja Lapangan di RSUD Dr. Rasidin Padang
 2019 Karya Tulis Ilmiah

Judul : Gambaran Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Ascaris


lumbricoides Dan Trichuris trichiura Pada Murid SDN 10
Ganting Padang Tahun 2020.
ABSTRACT
Worming is an environmental-based disease that is still a problem for
public health in Indonesia until now. Worms are one of the parasites that infect
humans the most. Ascaris lumbricoides is the largest nemetoda sent by humans
with a length of up to 40 cm. Humans are the only host Ascaris lumbricoides. This
parasite causes a disease called Ascariasis. Trichuris trichiura is the most worm
infection in humans after infection with Ascaris lumbricoides. Infection from
Trichuris trichiura in the large intestine causes trichuriasis. This study aims to
determine the description of Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura worms
in students at SDN 10 Ganting Padang. This research was conducted starting in
September 2019 - January 2020 at the STIKes Laboratory in Padang. This type of
research is Descriptive, which is to get a picture of Ascaris lumbricoides and
Trichuris trichiura worms on students of SDN 10 Ganting Padang with a total
sample of 30 people. This worm egg examination uses a microscope. The results
of this study obtained a picture of Ascaris lumbricoides worm eggs, positive as
many as 5 people (16.7%), and negative ones as much as 25 people (83.3%).
Whereas the description of Trichuris trichiura worm eggs, obtained Positive as
many as 3 people (10%) and Negative as many as 27 people (90%).
Keywords: Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura.
ABSTRAK
Kecacingan merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang
masih menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat di Indonesia hingga saat ini.
Cacing merupakan salah satu parasit yang paling banyak menginfeksi manusia.
Ascaris lumbricoides merupakan nemetoda terbesar diusus manusia dengan
panjang dapat mencapai 40 cm. Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris
lumbricoides. Parasit ini menyebabkan penyakit yang disebut askariasis. Trichuris
trichiura adalah infeksi cacing yang terbanyak pada manusia setelah infeksi
Ascaris lumbricoides. Infeksi dari Trichuris trichiura pada usus besar
menyebabkan penyakit trichuriasis. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui
gambaran hasil pemeriksaan telur cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura pada murid SDN 10 Ganting Padang. Penelitian ini dilakukan mulai
pada bulan September 2019 - Januari 2020 di Laboratorium STIKes Padang. Jenis
penelitian yang dilakukan adalah Deskriptif yaitu untuk mendapatkan gambaran
hasil pemeriksaan telur cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada
murid SDN 10 Ganting Padang dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang.
Pemeriksaan telur cacing ini secara mikroskopis dilakukan secara lansung
menggunakan eosin 2 %. Hasil Penelitian didapatkan Gambaran Hasil
Pemeriksaan Telur Cacing Ascaris lumbricoides, yang positif sebanyak 5 orang
(16,7 %), dan yang Negatif sebanyak 25 orang (83,3%). Sedangkan Gambaran
Telur cacing Trichuris trichiura, didapatkan Positif sebanyak 3 orang (10 %) dan
Negatif sebanyak 27 orang (90%).
Kata Kunci: Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura.
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN
TELUR CACING Ascaris lumbricoides DAN Trichuris trichiura PADA
MURID SDN 10 GANTING PADANG TAHUN 2020”
Dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Diploma Tiga
Teknologi Laboratorium Medis STIKes Perintis Padang. Selama penyusunan
Karya Tulis Ilmiah ini dari awal sampai akhir dan tidak lepas dari peran dan
dukungan berbagai pihak.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu :
1. Bapak Yendrizal Jafri, S.Kp., M.Biomed selaku Ketua STIKes Perintis
Padang.
2. Ibu Endang Suriani, SKM., M.Kes Selaku Ketua Program Studi Diploma
Tiga Teknologi Laboratorium Medis STIKes Perintis Padang dan
sekaligus pembimbing Karya tulis ilmiah ini.
3. Ibu Dra. Suraini, M.Si Selaku penguji Karya Tulis Ilmiah ini yang telah
meluangkan waktu nya dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.
4. Seluruh Staf Dosen Diploma Tiga Teknologi Laboratoriun Medis STIKes
Perintis Padang.
5. Teristimewa orang tua serta keluarga tercinta yang telah memberikan
semangat, dorongan dan do’a yang tulus pada penulis dalam
mempersiapkan diri untuk menjalani dan melalui semua tahap-tahap
dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
6. Kepada teman-teman sejawat yang telah memberikan semangat dan
dukungan yang besar dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
Penulis juga menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat
membangun demi tercapainya kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.

Padang, Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................. ii
KATA PERSEMBAHAN ................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vi
ABSTRACK....................................................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 3
1.3 Batasan Masalah ................................................................................... 3
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................. 3
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................... 3
1.4.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 3
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................ 3
1.5.1 Untuk Peneliti .............................................................................. 3
1.5.2 Untuk Akademik .......................................................................... 4
1.5.3 Untuk Masyarakat ........................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5


2.1 Pengertian Nematoda Usus ................................................................... 5
2.2 Pengertian Ascaris lumbricoides (Cacing gelang) ................................ 5
2.2.1 Hospes dan Nama Penyakit .......................................................... 6
2.2.2 Morfologi Ascaris lumbricoides ................................................... 6
2.2.3 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides ............................................... 7
2.2.4 Epidemiologi Ascaris lumbricoides .............................................. 8
2.2.5 Patologi dan Gejala Klinis Ascaris lumbricoides ......................... 8
2.2.6 Diagnosa Ascaris lumbricoides..................................................... 9
2.2.7 Pengobatan Ascaris lumbricoides ................................................. 9
2.2.8 Pencegahan Ascaris lumbricoides................................................ 10
2.3 Pengertian Trichuris Trichiura (Cacing cambuk) ............................... 10
2.3.1 Morfologi Trichuris trichiura ...................................................... 10
2.3.2 Siklus Hidup Trichuris trichiura ................................................. 11
2.3.3 Epidemiologi Trichuris trichiura................................................. 12
2.3.4 Patologi dan Gejala Klinis Trichuris trichiura ........................... 12
2.3.5 Diagnosa Trichuris trichiura ....................................................... 13
2.3.6 Pengobatan Trichuris trichiura .................................................... 13
2.3.7 Pencegahan Trichuris trichiura ................................................... 13
2.4 Pemeriksaan Feses ............................................................................... 13
2.4.1 Pemeriksaan Makroskopis Feses ................................................. 14
2.4.2 Pemeriksaan Mikroskopis Feses .................................................. 15
2.4.3 Metode Pemeriksaan Feses Secara Langsung.............................. 16

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 17


3.1 Jenis Penelitian .................................................................................... 17
3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian ............................................................. 17
3.3 Populasi Dan Sampel ........................................................................... 17
3.3.1 Populasi ........................................................................................ 17
3.3.2 Sampel.......................................................................................... 17
3.4 Persiapan Penelitian ............................................................................. 17
3.4.1 Persiapan Alat .............................................................................. 17
3.4.2 Persiapan Bahan ........................................................................... 17
3.5 Prosedur Kerja .................................................................................... 18
3.5.1 Prosedur Pengumpulan Feses ...................................................... 18
3.5.2 Prosedur Pembuatan Larutan Eosin 2% ....................................... 18
3.5.3 Prosedur Pemeriksaan Feses Secara Langsung
Dengan Eosin 2% ........................................................................ 18
3.6 Pengolahan dan Analisa Data .............................................................. 18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 19


4.1 Hasil Penelitian .................................................................................... 19
4.2 Pembahasan ......................................................................................... 19

BAB V PENUTUP ............................................................................................. 22


5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 22
5.2 Saran .................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Hal
4.1 Distribusi Frekuensi Gambaran Hasil Pemeriksaan Telur cacing
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada murid SDN 10
Ganting Padang Tahun 2020 .................................................................... 19
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.Surat Izin Penelitian...................................................................... 24
Lampiran 2.Surat Keterangan telah melakukan Penelitian .............................. 25
Lampiran 3. Tabel Data Gambaran Hasil Pemeriksaan Telur cacing Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura ......................................... 26
Lampiran 4.Dokumentasi ................................................................................. 27
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kecacingan merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang
masih menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat di Indonesia hingga saat
ini. Berdasarkan survei yang dilakukan ditemukan bahwa pada golongan usia
anak balita prevalensi kecacingan cukup tinggi, yakni berkisar 60-80%
penduduk terinfeksi. Cacing merupakan salah satu parasit yang paling banyak
menginfeksi manusia. WHO mencatat tahun 2012 lebih dari 1,5 miliar atau
sekitar 24% populasi manusia didunia terinfeksi cacing usus dengan angka
tertinggi terjadi pada usia anak sekolah (Luis,2016), WHO (2016)
mengatakan helminthiasis adalah infeksi cacing parasit usus dari golongan
Nematoda usus yang ditularkan melalui tanah atau disebut Soil Transmitted
Helminth (STH). WHO 2016 melaporkan lebih dari 2 miliar orang terinfeksi
cacingan (Hanif, 2017).
Prevalensi STH di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi yaitu
sebesar 60%. Hasil penelitian Reshka Renanti dkk pada tahun 2014 di Kota
Padang menunjukan lebih dari separuh (51,3%) murid SDN 29 Purus Padang
menderita infeksi STH dan infeksi campuran Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura sebanyak 23,1% (Renanti, 2014). Angka kejadian
penyakit kecacingan berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Padang Tahun
2015 ditemukan sebanyak 776 kasus. Berdasarkan hasil survey Departemen
Kesehatan (2010) cacing parasit yang banyak menyerang anak-anak di
Indonesia yaitu golongan STH jenis Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, dan kelimanya
merupakan nematoda usus yang cara penularannya melalui tanah (Fitriani,
2018). Anak usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi
cacing karena sering berhubungan dengan tanah (Renanti, 2014).
Tinggi Frekuensi penyakit infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah,
ada hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi. Suatu masyarakat yang
pada umumnya mempengaruhi pendidikan dan kebiasaan hidup suatu
masyarakat. Selain itu iklim tropis dan kelembaban yang tinggi, hygiene dan
sanitasi yang buruk, serta kepadatan penduduk yang berlebihan menjadi
faktor pendukung tingginya frekuensi penyakit infeksi cacing tersebut.
Propinsi Sumatera Barat salah satu propinsi dengan angka Prevelensi yang
tinggi (AntaraNews, 2011) menemukan bahwa 80% murid sekolah dasar, dan
anak yang belum sekolah berumur 4 tahun positif terhadap cacing usus yang
ditularkan melaui tanah (AntaraNews, 2011).
Infeksi cacing yang Prevelensinya tinggi pada anak-anak menyebabkan
kurang gizi (malnutrisi) dan anemia sehingga akan menghambat
pertumbuhan, menurunkan daya tahan tubuh, anak jadi lesu dan tidak
bersemangat, dan kemampuan berfikirnya akan berkurang akibatnya akan
menurunkan kualitas generasi yang akan datang (AntaraNews, 2011).
Angka kejadian penyakit kecacingan sangat erat kaitannya dengan
kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan. Agar permasalahan diatas dapat
dicegah maka perlu dilakukan upaya pencegahan kecacingan pada anak
dengan melakukan program pengobatan kecacingan untuk anak sekolah yaitu
berupa pemberian obat cacing 2 kali/tahun. Berdasarkan hasil penelitian
Rawina dkk tahun 2010 sampai 2012 pada 113 siswa SDN Pagi Paseban
ditemukan angka kecacingan sebesar 11,1% dengan jenis cacing Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura dan infeksi campur antara Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura. Angka infeksi sebelum pemberian obat
11,5% dengan spesies Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura serta
infeksi campur antara Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Enam
bulan setelah pemberian obat angka infeksi turun bermakna menjadi 0,9%
dengan jenis infeksi campur antara Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura (Winita, 2012).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka telah dilakukan penelitian yang
berjudul “Gambaran Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Ascaris
lumbricoides Dan Trichuris trichiura Pada Murid SDN 10 Ganting
Padang Tahun 2020”
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah Bagaimanakah
Gambaran hasil pemeriksaan telur Cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura pada Murid SDN 10 Ganting Padang Tahun 2020 ?

1.3 Batasan Masalah


Penelitian ini dibatasi hanya melakukan pemeriksaan telur Cacing
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada Murid kelas 1 sampai kelas
3 saja di SDN 10 Ganting Padang Tahun 2020.

1.4 Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan telur cacing Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura pada murid SDN 10 Ganting Padang
Tahun 2020.
2. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui distribusi frekuensi gambaran hasil pemeriksaan
telur cacing Ascaris lumbricoides pada murid SDN 10 Ganting
Padang Tahun 2020.
2) Untuk mengetahui distribusi frekuensi Gambaran hasil pemeriksaan
telur cacing Trichuris trichiura pada murid SDN 10 Ganting Padang
Tahun 2020.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Untuk Peneliti
Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang gambaran
hasil pemeriksaan telur cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura pada murid SDN 10 Ganting Padang Tahun 2020. Kemudian
dapat mengaplikasikannya dalam keterampilan untuk melakukan
pemeriksaan.
1.5.2 Untuk Akademik
Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan pustaka ilmiah bagi
Akademik. Sebagai dokumen dan bahan perbandingan untuk penelitian
selanjutnya.
1.5.3 Untuk Masyarakat
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan tambahan
informasi pada masyarakat terkait gambaran hasil pemeriksaan telur
cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada murid SDN
10 Ganting Padang Tahun 2020 dan sebagai masukan untuk membantu
dalam upaya pemberantasan penyakit kecacingan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Nematoda Usus
Nematoda merupakan jumlah spesies yang terbesar di antara cacing
yang hidup sebagai parasit pada manusia, cacing tersebut berbeda – beda
dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospes – parasit (Host parasite
relationship). Nematoda usus adalah Nematoda yang berhabitat di saluran
pencernaan manusia dan hewan. Manusia merupakan hospes beberapa
Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini adalah penyebab masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Di antara Nematoda usus ini terdapat
beberapa spesies yang tergolong “Soil Transmitted Helminths”, yaitu
Nematoda yang dalam siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif,
memerlukan tanah dengan kondisi tertentu. Nematoda golongan Soil
Transmitted Helminths yang penting dan menghinggapi manusia adalah
Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale,
Trichuris trichiura, Strongyloides stecoralis, dan beberapa spesies
Trichostrongylus. Nematoda usus lainnya yang penting bagi manusia adalah
Oxyuris vermicularis dan Trichinella spiralis (Rosdiana Safar, 2010). Besar
dan panjang cacing Nematoda usus beragam, ada yang panjangnya beberapa
millimeter, ada pula yang panjangnya melebihi satu meter. Dinding badan
dibagi dalam lapisan kutikulum bagian luar, hipodermis dan sel otot somatic.
Hipodermis menonjol ke dalam badan dalam bentuk korda lateral, ventral dan
dorsal. (Rosdiana Safar, 2010).

2.2 Pengertian Ascaris lumbricoides


Ascaris lumbricoides merupakan nemetoda terbesar diusus manusia
dengan panjang dapat mencapai 40 cm. Manusia merupakan satu-satunya
hospes Ascaris lumbricoides. Parasit ini menyebabkan penyakit yang disebut
askariasis. Kebanyakan orang yang terinfeksi tidak menunjukan gejala
(asimptomatik). Gejala klinis muncul dari migrasi larva ke paru-paru atau
efek dari cacing dewasa di usus (Longo et al, 2012).
2.2.1 Hospes dan nama penyakit
Hospes definitifnya hanya manusia, jadi manusia pada infeksi
cacing ini sebagai hospes obligat. Cacing dewasanya berhabitat di rongga
usus halus, penyakit yang disebabkannya disebut askariasis (Rosdiana
Safar, 2010).
2.2.2 Morfologi Ascaris lumbricoides
Cacing dewasa bentuknya mirip dengan cacing tanah, Cacing
jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm. Stadium dewasa
hidup dirongga usus halus. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak
100.000-200.000 butir perhari, dimana terdiri dari telur yang dibuahi dan
yang tidak dibuahi.
Telur yang dibuahi bentuknya oval melebar, mempunyai lapisan
yang tebal dan berbenjol-benjol, dan umumnya berwarna coklat keemasan,
ukuran panjangnya dapat mencapai 75 μm dan lebarnya 50 μm. Telur yang
belum dibuahi umumnya lebih oval dan ukuran panjangnya dapat
mencapai 90 μm, lapisan yang berbenjol – benjol dapat terlihat jelas dan
kadang-kadang tidak dapat dilihat. Pada kondisi ini telur tumbuh menjadi
bentuk yang infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu. Telur
Ascaris lumbricoides berdasarkan ada atau tidaknya lapisan albuminoid
terbagi atas dua yaitu telur decorticated dan telur corticated. Telur
decorticated merupakan telur yang telah kehilangan lapisan
albuminoidnya, sedangkan telur corticated merupakan telur yang tidak
kehilangan lapisan albuminoidnya (Safar, 2010).
Pada pemeriksaan feses hospes dapat ditemukan tiga bentuk telur
dari Ascaris lumbricoides, yaitu:
a. Telur yang dibuahi corticated, berukuran 60x45 μ dan berbentuk bulat
atau oval, dengan dinding telur yang kuat. Telur tersebut terdiri atas 3
lapis, yaitu lapisan luar terdiri atas lapisan albuminoid dengan
permukaan tidak rata, bergerigi, berwarna kecoklat-coklatan karena
pigmen empedu, lapisan tengah merupakan lapisan kitin yang terdiri
atas polisakarida, dan lapisan dalam yaitu membrane vitellin yang
terdiri atas sterol yang lihat sehingga telur dapat tahan sampai satu
tahun dan terapung didalam larutan yang mengalami garam jenuh.
b. Telur yang dikeluarkan dapat juga berupa telur yang dibuahi dan
mengalami dekortikasi yaitu telur yang dibuahi akan tetapi kehilangan
lapisan albuminoidnya. Telur tersebut juga mengapung di dalam larutan
garam jenuh.
c. Telur yang dikeluarkan adalah telur yang tidak dibuahi corticated
berukuran 90x40 μ, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur,
dindingnya terdiri atas 2 lapisan yaitu albuminoid dan hialin tipis yang
berisi bergranula di dalamnya, dan terkadang lapisan albuminoidnya
juga hilang (decorticated) sehingga hanya terdapat hialin tipis dan
granula kasar saja. Telur Ascaris lumbricoides decorticated akan
tenggelam di dalam larutan garam jenuh.
a.Normal b. Telur dibuahi c.Telur Matang

Gambar 1. Morfologi Telur Cacing Ascaris lumbricoides

2.2.3 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides


Cacing dewasa hidup dan berkembang di dalam lumen usus halus.
Cacing dapat bermigrasi keluar usus seperti saluran empedu, apendiks,
sinus perinalis, dan tuba eustachius. Seekor cacing betina dapat
menghasilkan telur sebanyak 240.000 perhari yang dikeluarkan ke tanah
bersama feses yang dapat mengkontaminasi makanan dan air (Supali et al,
2011).
Jika telur yang dikeluarkan oleh tinja hospes yaitu telur yang tidak
dibuahi, maka telur tersebut tidak akan berkembang dikarenakan telur
tersebut tidak mengandung embrio didalamnya. Jika telur yang
dikeluarkan adalah telur yang telah dibuahi, maka akan menjadi matang
atau menjadi infektif di tanah yang lembab dan teduh selama 20 - 24 hari
dengan suhu optimum 30°C.
Infeksi terjadi jika hospes tertelan telur infektif dari makanan atau
minuman tercemar tanah yang mengandung feses hospes askariasis.
selanjutnya larva keluar. Larva yang baru menetas menembus dinding usus
halus, ke paru -paru dan berhenti serta tumbuh dan mengalami moulting
(ganti kulit) 2 kali dalam alveoli paru. Migrasi ini berlangsung selama 10-
15 hari. Kemudian dari alveoli bermigrasi menuju bronkhus, laring, faring
dan akhirnya ikut tertelan masuk ke dalam lambung dan kembali ke usus
halus, setelah moulting (ganti kulit) sekali lagi, dan cacing tumbuh
menjadi dewasa (Soedarto, 2010).
2.2.4 Epidemiologi
Di indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak
frekuensinya 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di
bawah pohon, di tempat mencuci dan dan di tempat pembuangan sampah.
Di Negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai
pupuk. Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu 200-300C merupakan
kondisi yang sangat baik umtuk berkembangnya telur Ascaris
lumbricoides menjadi bentuk infektif (Susanto, ddk 2011).
2.2.5 Patologi Dan Gejala Klinis Ascaris lumbricoides
Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis dapat disebabkan
oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat
berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada
dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan
batuk, demam, eosinofilia. Pada kasus ini sering terjadi kekeliruan
diagnosis karena mirip dengan gambaran TBC, namun infiltrat ini
menghilang dalam waktu 3 (tiga) minggu, setelah diberikan obat cacing
pada penderita. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler.
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan.
Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti
mual, nafsu makan berkurang, diare. Mengemukakan bahwa 20 ekor
cacing Ascaris lumbricoides dewasa dalam usus manusia mampu
mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gr dan 0,7 gr protein setiap hari.
Dari hal tersebut dapat di perkirakan besarnya kerugian yang disebabkan
oleh infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga dapat
menimbulkan keadaan kurang gizi. Pada infeksi berat, terutama pada
anak-anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan
malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal
dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).
2.2.6 Diagnosa Ascaris lumbricoides
Diagnosis dapat di tegakan dengan mengidentifikasi adanya telur
cacing dalam pemeriksaan feses secara langsung. selain itu, diagnosis
dapat juga dilakukan bila cacing dewasa keluar dari mulut, hidung maupun
anus. Pada radiografi dengan barium dapat dilihat adanya cacing Ascaris
lumbricoides di dalam usus atau organ lain. Pemeriksaan darah dapat
dilakukan untuk membentuk diagnosa dengan menunjukan adanya
eosinofilia pada stadium awal infeksi (Soedarmo, 2010).
2.2.7 Pengobatan Ascaris lumbricoides
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada
masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat
misalnya Preparat piperasin, Pyrantel pamoate, Albendazole atau
Mebendazole. Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus
memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat,
mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga
dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harga nya terjangkau.
2.2.8 Pencegahan Ascaris lumbricoides
Pencegahan dapat dilakukan dengan pengobatan massal. Oleh
karena itu untuk mencegah terjadinya infeksi, diusahakan bermain di
halaman menggunakan alas kaki serta mencuci dengan bersih bahan-bahan
makanan yang akan dimakan, menghindari pembuangan tinja di
sembarangan tempat,dan juga mengurangi pemakaian tinja sebagai pupuk
kecuali telah dibubuhi oleh bahan kimia atau di buat pupuk
campuran.Selain itu diperlukan usaha untuk mencegah perkembangan
telur cacing menjadi larva. Karena cacing memerlukan tanah bagi
perkembangan telurnya. Dan usaha untuk memberikan penyuluhan kepada
masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan cara menghindari
infeksi cacing ini.

2.3 Pengertian Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)


Trichuris trichiura adalah infeksi cacing yang terbanyak pada
manusia setelah infeksi Ascaris lumbricoides. Infeksi dari Trichuris trichiura
pada usus besar menyebabkan penyakit trichuriasis. Cacing ini bersifat
kosmopolit terutama ditemukan didaerah panas dan lembab. Pada saat ini
infeksi sering dijumpai pada anak usia sekolah. Umur yang paling rentan
untuk mendapat infeksi cacing adalah 5-15 tahun (Kazura dan Dent, 2011).
Manusia mendapat infeksi dengan menelan telur yang inefektif (telur
yang mengandung larva) atau kontak dengan yang terkontaminasi. Setelah
tertelan, larva keluar melalui dinding telur, menembus dan berkembang
dimukosa usus halus. Setelah menjadi dewasa (± 1 minggu), cacing turun ke
usus bagian distal dan masuk kedaerah kolon (sekum). Cacing betina
disekum setelah 3 bulan dari infeksi dapat menghasilkan 3000-20000 telur
setiap harinya dan akan dikeluarkan bersama tinja (Soedarmo et al, 2012)
2.3.1 Morfologi Trichuris trichiura
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan
kira-kira 4 cm. Bagian enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-
kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih
gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada
cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup
di kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan
bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus.
Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara
3000 - 10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk
seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua
kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian
dalamnya jernih.
a. Morula b.Larva infektif

Gambar 2. Morfologi Telur Cacing Trichuris trichiura

2.3.2 Siklus Hidup Trichuris trichiura


Telur yang keluar bersama feses hospes berada dalam keadaan
belum matang (belum membelah) atau tidak infektif. Telur memerlukan
pematangan pada tanah selama 3 - 5 minggu sampai terbentuk telur
infektif yang berisi embrio di dalamnya. Hospes terkena infeksi jika telur
yang infektif tertelan dari makanan atau minuman yang terkontaminasi,
selanjutnya di bagian atas usus halus, dinding telur pecah, sehingga larva
infektif keluar dan menetap selama 3 - 10 hari. Larva infektif setelah
menjadi cacing dewasa akan turun ke usus besar terutama sekum dan
menetap dalam beberapa tahun. Waktu yang diperlukan sejak telur
infektif tertelan sampai cacing betina menghasilkan telur yaitu 30 - 90
hari.

2.3.3 Epidemiologi Trichuris trichiura


Cacing berbentuk cambuk ini frekuensinya cukup tinggi
diperkirakan bahwa 500 juta orang di dunia terkena infeksi dengan
frekuensi samapi 80%, sedangkan di beberapa daerah di Indonesia
frekuensinya anatara 30 – 90 %. Frekuensi yang tertinggi terdapat
didaerah beriklim tropis, tanah liat, daerah hujan lebat, tanah yang
bertkontaminasi oleh tinja manusia serta tempat dan lembab dengan suhu
optimin kira 30 °C. Pada daerah yang menggunakan tinja sebagai pupuk
kebun juga dapat merupakan sumber infeksi. Anak – anak lebih tinggi
frekuensi infeksinya dari pada orang dewasa ini di sebabkan oleh karena
anak –anak lebih sering berhubungan dengan tanah secra tidak langsung
dengan alat perantaraan alat permainan, binatang peliharaan dan debu.
2.3.4 Patologi Dan Gejala Klinis Trichuris trichiura
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup disekum,
akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat,
terutama pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum.
Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus
akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini
memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma
yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat
perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini
menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Bila
infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah
cacingnya banyak biasanya timbul diaredengan feses yang berlendir, nyeri
perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun.
2.3.5 Diagnosa Trichuris trichiura
Dengan mengetahui gejala klinis dapat membantu diagnosa dan
untuk menegakan diagnosa pasti di lakukan pemeriksaan laboratorium
yaitu dengan menemukan telur yang berbentuk khas seperti tempayan
didalam tinja penderita.

2.3.6 Pengobatan Trichuris trichiura


Apabila penderita dengan keadaan gizi buruk, lemah atau yang
menderita anemia diberikan diet kadar protein tinggi, vitamin dan zat besi.
Obat cacing lama yang pernah digunakan adalah ditiasamin iodide,
stilbasium iodida, heksil resocinol dan tiabendazol. Sekarang dengan
adanya obat medendazol, combantrin, levamisol dan obat lainya,infeksi
telur cacing Trichuris trihiura dapat diobati dengan hasil yang cukup baik.
2.3.7 Pencegahan Trichuris trichiura
Infeksi cacing ini dapat dicegah dengan melakukan yaitu :
Hendaknya pembuangan tinja pada WC yang baik. Pemeliharaan
kebersihan perorangan dan lingkungan, Penerangan melalui sekolah,
organisasi kemasyarakatan oleh guru-guru dan pekerja-pekerja
kesehatan,hendaknya jangan menggunakan tinja sebagai pupuk kecuali
sudah di campur dengan zat kimia.

2.4 Pemeriksaan Feses


Feses adalah adalah produk buangan saluran pencernaan yang
dikeluarkan melalui anus. Pada manusia, proses pembuangan kotoran dapat
terjadi antara sekali dua atau dua hari hingga beberapa kali dalam sehari.
Dalam keadaan normal dua pertiga feses terdiri dari air dan sisa makanan zat
hasil sekresi saluran pencernaan, epitel usus, bakteri apatogen, asam lemak,
urobilin, debris, celulosa gas indol, skatol, sterkobilinogen dan bahan
patologis. Bau khas dari feses disebabkan oleh aktivitas bakteri. Bakteri
mengahasilkan senyawa seperti indole, sketole, dan thiol (senyawa yang
mengandung belerang), dan juga gas hidrogen sulfida. Feses umumnya
berwarna kuning di karenakan bilirubin (sel darah merah yang mati, yang
juga merupakan zat pemberi warna pada feses dan urin). Pemeriksaan feses
dilakukan untuk pemeriksaan penunjang diagnosis suatu penyakit, karena
feses mewakili bagaimana gambaran yang terjadi di dalam tubuh contohnya
infeksi parasit dan telur cacing (Budiman, 2012). Feses untuk pemeriksaan
sebaiknya yang berasal dari defekasi spontan, jika sangat diperlukan, boleh
juga sampel tinja diambil dengan jari bersarung dari rectum. Untuk
pemeriksaan biasa dipakai feses sewaktu, jarang diperlukan feses 24 jam
untuk pemeriksaan tertentu. Feses hendaknya diperiksa dalam keadaan segar,
kalau dibiarkan mungkin sekali unsur – unsur dalam tinja itu menjadi rusak.
2.4.1 Pemeriksaan Makroskopis Feses
a. Warna
Warna tinja yang dibiarkan pada udara menjadi lebih tua karena
terbentunya lebih banyak urobilin dari urobilinogen yang dieksresikan
lewat usus. Urobilinogen tidak berwarna, sedangkan urobilin berwarna
coklat tua. Selain urobilin yang normal ada, warna tinja dipengaruhi
oleh jenis makanan, oleh kelainan dalam saluran pencernaan usus dan
oleh obat – obatan.
b. Bau
Bau normal tinja disebabkan oleh indol, skatol dan asam butirat. Bau itu
menjadi bau busuk jika dalam usus terjadi pembusukan isinya, yaitu
protein yang dicernakan dan dirombak oleh kuman-ckuman.
c. Konsistensi
Tinja normal agak lunak dan mempunyai bentuk. Pada diare konsistensi
menjadi sangat lunak atau cair. Peragian karbohidrat dalam usus
menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas (CO2). Apabila
konsistensi tinja dapat ditemukan (padat, setengah padat, lunak, atau
cair), maka dapat diperkirakan jenis organisme yang ada. Trofozoit
(bentuk motil) dari protozoa usus biasanya ditemukan dalam spesimen
setengah padat atau padat.
d. Lendir
Adanya lendir berarti rangsangan atau radang dinding usus. Kalau
lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu
mungkin usus besar, kalau bercampur – baur dengan tinja mungkin
sekali usus kecil (Gandasoebrata, 2007). Pada infeksi parasit tertentu,
dapat ditemukan darah dan lendir. Bila tinjanya lunak atau encer,
kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh infeksi amebik, bagian
darah yang berlendir harus diperiksa secara seksama untuk mencari
adanya amoeba bentuk trofozoit.
e. Darah
Perhatikan apa darah itu segar (merah muda), coklat atau hitam dan
apakah bercampur – baur atau hanya di bagian luar tinja. Adanya darah
samar dalam tinja mungkin berhubungan dengan infeksi parasit atau
mungkin juga tidak, dan dapat juga disebabkan oleh berbagai sebab
lainnya. Menelan berbagai bahan dapat menyebabkan warna tinja yang
bebeda–beda.
f. Parasit
Cacing Ascaris, Ancylostoma, dll. Mungkin terlihat.

2.4.2 Pemeriksaan Miksroskopis Feses


Selain kotoran yang normal terdapat dalam tinja, pada pemeriksaan
mikroskopis dapat ditemukan :
a. Trofozoit dan kista protozoa usus.
b. Telur dan larva cacing.
c. Sel darah merah yang menunjukkan adanya ulserasi atau masalah
perdarahan lainnya.
d. Sel darah putih PMN (Polimorfonuklear Netrofil) yang
menunjukkan adanya peradangan.
e. Sel darah merah (eosinofil) yang biasanya menunjukkan adanya
respons imun (yang mungkin berhubungan dengan infeksi parasit).
f. Makrofag yang mungkin ada pada infeksi bakteri maupun parasit.
g. Kristal Charcot-Leyden yang dapat di temukan bila terjadi
disintegrasi eosinofil (dapat/tidak berhubungan dengan infeksi
parasit).
h. Jamur Candida sp. Dan jamur seperti ragi (Yeast like fungi) atau
ragi.
i. Sel-sel tanaman, butiran tepung sari, atau spora jamur yang dapat
menyerupai beberapa telur cacing atau kista protozoa.
j. Serat – serat tanaman atau akar rambut atau rambut binatang yang
dapat menyerupai larva cacing.
2.4.3 Metode pemeriksaan feses
a. Pemeriksaan Secara Langsung (Sediaan Basah)
Pemeriksaan secara langsung (Sediaan Basah) merupakan
pemeriksaan dengan metode natif. Metode ini dipergunakan untuk
pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk
infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini
menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%.
Penggunaan eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan
telur-telur cacing dimaksudkan untuk menemukan telur cacing parasit
pada feses yang diperiksa. Dalam pemeriksaan feses langsung dapat
ditemukan telur cacing, leukosit, eritrosit, sel epitel, Kristal, makrofag
dan sel ragi. Dari semua pemeriksaan ini yang terpenting adalah
pemeriksaan terhadap protozoa dan telur cacing (Budiman, 2012).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan adalah Deskriptif yaitu untuk
mendapatkan gambaran hasil pemeriksaan telur cacing Ascaris lumbricoides
dan Trichuris trichiura pada murid SDN 10 Ganting Padang Tahun 2020.

3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2019 - Januari 2020 di
Laboratorium STIKes Padang.

3.3 Populasi Dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua murid kelas 1 sampai 3 di
SDN 10 Ganting Padang.
3.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah murid kelas 1 sampai 3 di SDN 10
Ganting Padang sebanyak 30 orang yang diambil secara acak, diperiksa
pada bulan Januari 2020.

3.4. Persiapan Penelitian


3.4.1 Persiapan Alat
Alat yang digunakan adalah : Mikroskop, pipet tetes, neraca analitik,
beaker glass, dan batang pengaduk.

3.4.2 Persiapan Bahan


Bahan-bahan yang digunakan adalah: Objek glass, deck glass, lidi,
botol sampel, larutan Eosin 2% dan Aquadest.
3.5 Prosedur Kerja
3.5.1 Prosedur Pengumpulan Feses
Satu hari sebelum melakukan pemeriksaan, disiapkan botol spesimen
yang telah diberi label identitas; nama, umur, jenis kelamin, dan alamat.
Kemudian diberikan kepada anak yang telah ditetapkan sebagai sampel dari
populasi. Spesimen yang telah dikumpulkan kemudian dibawa ke
laboratorium untuk diperiksa.
3.5.2 Prosedur Pembuatan Larutan Eosin 2%
Timbang bubuk Eosin sebanyak 2 gr lalu larutkan dengan aquadest
hingga 100 ml, aduk sampai larut. Dimasukan kedalam botol reagen dan
beri label.
3.5.3 Prosedur Pemeriksaan Feses Secara Langsung Dengan Eosin 2%.
Diteteskan 1 tetes Eosin diatas objek glass lalu diambil seujung lidi
feses dicampurkan dengan Eosin tadi kemudian dihomogenkan, bagian yang
kasarnya dibuang, lalu ditutup dengan deglass dan dilihat dengan mikroskop
lensa 10x, 40x.

3.6 Pengolahan Dan Analisa Data


Data hasil pemeriksaan telur cacing pada spesimen feses murid SDN
10 Ganting Padang yang terkumpul, diolah secara manual dalam bentuk
tabel dan dianalisa dengan uji frekuensi dengan rumus :

f = (jumlah murid yang positif kecacingan) X 100%


n (jumlah total sampel)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Telah dilakukan penelitian tentang Gambaran hasil pemeriksaan telur
cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada murid SDN 10
Ganting Padang. Pada bulan Januari 2020, dapat dilihat hasilnya sebagai
berikut:

Tabel 4.1.1 Distribusi Frekuensi Gambaran Hasil Pemeriksaan Telur


cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada
murid SDN 10 Ganting Padang Tahun 2020.

No Frekuensi (f) Persentasi (%)


Jenis Telur
cacing Ascaris Trichuris Ascaris Trichuris
lumbricoides trichiura lumbricoides Trichiura

1. Positif 5 3 16,6 10

2. Negatif 25 27 83,3 90

Jumlah 30 30 100 100

Berdasarkan Tabel 4.1.1 Distribusi Frekuensi Gambaran Hasil


Pemeriksaan Telur cacing Ascaris lumbricoides pada murid SDN 10 Ganting
Padang diatas, didapatkan positif sebanyak 5 orang (16,7 %), dan Negatif
sebanyak 25 orang (83,3%).
Sedangkan distribusi Frekuensi Gambaran hasil Pemeriksaan Telur cacing
Trichuris trichiura pada murid SDN 10 Ganting Padang, didapatkan Positif
sebanyak 3 orang (10 %) dan Negatif sebanyak 27 orang (90%).
4.2 Pembahasan
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dan sedang
giat-giatnya melakukan pembangunan dibidang kesehatan diarahkan untuk
mempertinggi derajat kesehatan termasuk keadaan gizi masyarakat dalam
rangka peningkatan kualitas dan taraf hidup serta kecerdasan dan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Untuk peningkatan kualitas
manusia dapat dilakukan melalui pemberantasan penyakit seperti halnya yang
disebabkan oleh cacing salah satu dalam pemberian obat cacing. Penyakit
cacing ini salah satu dapat di sebabkan oleh cacing golongan nematoda usus
jenisnya yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma
duodenale, Necator amirecanus, Stongyloides stercoralis dan jenis cacing
lainnya.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Laboratorium STIKes
Perintis Padang, tentang gambaran hasil pemeriksaan telur cacing Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura pada murid SDN 10 Ganting Padang
Tahun 2020, didapatkan hasil positif Ascaris lumbricoides sebanyak 5 orang
(16,7 %), dan Negatif sebanyak 25 orang (83,3%). Sedangkan hasil positif
Trichuris trichiura adalah sebanyak 3 orang (10 %) dan Negatif sebanyak 27
orang (90%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan data dari Propinsi Sumatera Barat
salah satu propinsi dengan angka Prevelensi yang tinggi (AntaraNews, 2011)
menemukan bahwa 80% murid sekolah dasar, dan anak yang belum sekolah
berumur 4 tahun positif terhadap cacing usus yang ditularkan melaui tanah
(AntaraNews, 2011).
Infeksi cacing yang Prevelensinya tinggi pada anak-anak menyebabkan
kurang gizi (malnutrisi) dan anemia sehingga akan menghambat
pertumbuhan, menurunkan daya tahan tubuh, anak jadi lesu dan tidak
bersemangat, dan kemampuan berfikirnya akan berkurang akibatnya akan
menurunkan kualitas generasi yang akan datang.
Cacing merupakan salah satu parasit yang paling banyak menginfeksi
manusia. WHO mencatat tahun 2012 lebih dari 1,5 miliar atau sekitar 24%
populasi manusia didunia terinfeksi cacing usus dengan angka tertinggi
terjadi pada usia anak sekolah (Luis,2016), WHO (2016) mengatakan
helminthiasis adalah infeksi cacing parasit usus dari golongan Nematoda usus
yang ditularkan melalui tanah atau disebut Soil Transmitted Helminth (STH).
WHO 2016 melaporkan lebih dari 2 miliar orang terinfeksi cacingan (Hanif,
2017).
Tinggi Frekuensi penyakit infeksi oleh cacing yang ditularkan melalui
tanah, ada hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi. Suatu masyarakat
yang pada umumnya mempengaruhi pendidikan dan kebiasaan hidup suatu
masyarakat. Selain itu iklim tropis dan kelembapan yang tinggi, hygiene dan
sanitasi yang buruk, serta kepadatan penduduk yang berlebihan menjadi
faktor pendukung tingginya frekuensi penyakit infeksi cacing tersebut.
Pemeriksaan feses dilakukan untuk pemeriksaan penunjang diagnosis
suatu penyakit, karena feses mewakili bagaimana gambaran yang terjadi di
dalam tubuh contohnya infeksi parasit dan telur cacing (Budiman, 2012).
Feses untuk pemeriksaan sebaiknya yang berasal dari defekasi spontan, jika
sangat diperlukan, boleh juga sampel tinja diambil dengan jari bersarung dari
rectum. Untuk pemeriksaan biasa dipakai feses sewaktu, jarang diperlukan
feses 24 jam untuk pemeriksaan tertentu. Feses hendaknya diperiksa dalam
keadaan segar, kalau dibiarkan mungkin sekali unsur – unsur dalam tinja itu
menjadi rusak.
Infeksi cacing ini dapat dicegah dengan melakukan yaitu : Hendaknya
pembuangan tinja pada WC yang baik. Pemeliharaan kebersihan perorangan
dan lingkungan, Penerangan melalui sekolah, organisasi kemasyarakatan oleh
guru-guru dan pekerja-pekerja kesehatan,hendaknya jangan menggunakan
tinja sebagai pupuk kecuali sudah di campur dengan zat kimia.
Apabila anak terinfeksi kecacingan disertai dengan keadaan gizi buruk,
lemah atau yang menderita anemia diberikan diet kadar protein tinggi,
vitamin dan zat besi. Obat cacing lama yang pernah digunakan adalah
ditiasamin iodide, stilbasium iodida, heksil resocinol dan tiabendazol.
Sekarang dengan adanya obat medendazol, combantrin, levamisol dan obat
lainya,infeksi telur cacing dapat diobati dengan hasil yang cukup baik dengan
memberikan obat cacing pada anak minimal 1 kali 6 bulan.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian Gambaran hasil pemeriksaan telur cacing Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura pada murid kelas 1 sampai 3 di SDN 10
Ganting Padang, dilakukan terhadap 30 sampel di Laboratorium STIKes
Perintis Padang pada bulan Januari 2020. Persentase hasil pemeriksaan telur
cacing Ascaris lumbricoides lebih banyak ditemukan daripada Trichuris
trichiura yang dapat dilihat pada kesimpulan sebagai berikut :
1. Ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides, didapatkan Positif sebanyak
5 orang (16,7 %), dan Negatif sebanyak 25 orang (83,3%).
2. Ditemukan telur cacing Trichuris trichiura, didapatkan Positif sebanyak 3
orang (10 %) dan Negatif sebanyak 27 orang (90%).
5.2 Saran
1. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan agar melakukan pemeriksaa
nematoda usus spesies yang lannya, selain dari Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura .
2. Peningkatan promosi kesehatan tentang pentingnya personal hygiene dan
sanitasi lingkungan yang baik serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura sangat diperlukan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat guna mencegahan kecacingan.
3. Selalu memperhatikan kecukupan gizi anak untuk meningkatkan daya
tahan tubuh.

4. Pastikan ibu selalu masak makanan hingga matang.

5. Terapkan hidup bersih dan sehat seperti GERMAS (gerakan hidup bersih
dan sehat) yang telah di canangkan mentri kesehatan.

6. Minum obat cacing sesuai anjuran Kementrian Kesehatan, yaitu 6 bulan


sekali.
7. DAFTAR PUSTAKA
8. H Akhsin Zulkoni . 2010 . Parasitologi. Nuha Medika, Yogyakarta
9. Inge Susanti, dkk. 2010. Parasitologi Kedokteran, Edisi Keempat, Jakarta
: Fakultas Kedokteran UI, Jakarta
10. Prianto Juni,dkk. 2011. Atlas Parasitologi Kedokteran. PT . Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
11. Safar Rosdiana. 2010. Parasitlogi Kedokteran, Edisi Khusus. CV Yrama
Widya, Bandung
12. Widiyono. 2011. Penyakit Tropis : Epidoemologi, penularan
,Pencegahan & pemberantasannya. Penerbit Erlangga, Jakarta
13. Irawati, Hubungan Personal Hygiene Dengan Cacingan Pada Anak di
Wilayah Kerja Puskesmas Tamangapa Antang Makasar, Skripsi Fakultas
Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar Jurusan Keperawatan, 2013
14. Fitriani Ni Nyoman, Identifikasi Telur Cacing Soil Transmitted Helminth
(STH) Pada Anak Sekolah Dasar SDN Baruga Kota Kendari Sulawesi
Tenggara, Kementerian Kesehatan RI Poliklinik Kesehatan Kendari
Jurusan Analis Kesehatan, Karya Tulis Ilmiah
15. Hairani Budi dkk, Prevalensi Soil Transmitted Helminth (STH) Pada
Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabupaten Malinau
Provinsi Kalimantan Timur, Jurnal Buski Vol. 5, No. 1, Juni 2014,
Halaman 43-48
16. Jodjana Evita Jodjana dan Ester Sri Majawati, Gambaran Infeksi Cacing
Trichuris trichiura Pada Anak di SDN 01 PG Jakarta Barat, J. Kedokt
Meditek Volume 23, No. 61 Jan-Maret 2017
17. Luia Renjer dkk, Kecacingan Usus Pada Anak Sekolah Dasar di
Tanawangko Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa, Jurnal e-
Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016
18. Anuar, T. S, Salleh, F, M & Moktar, N. 2014. Soil Transmitted Helminth
infections and associated Risk Faktors in Three Orang Asli Tribes In
Peninsular Malaysia. In t J Sci Rep. 4
19. Debalke, S., Worku,A., Jahur, N., & Mekonnen. Z. 2013. Soil
Transmitted Helminth and associated Factor Ammong School children in
Government and Private Primary School in jimma town, Southwest
Ethiopia : Ethiop J Health Sci, 23 (3): 237 - 244
Lampiran 1.Surat Izin Penelitian
Lampiran 2.Surat Keterangan telah melakukan Penelitian
Lampiran 3 : Tabel Data Gambaran Hasil Pemeriksaan telur cacing Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura.

No Kode L/P Ascaris Trichuris


Sampel lumbricoides trichiura
1 JC L - -
2 MS P - -
3 MH P - -
4 MG L + +
5 MA P - -
6 SBS P - -
7 TH L + -
8 UN P - -
9 AH L - -
10 SL L - -
11 RN P - -
12 HH L - -
13 AT P + -
14 MBS L - -
15 AP P - -
16 RA L - -
17 IQ L - +
18 GS P - -
19 HS P - -
20 HR L + -
21 MR P - -
22 AS P - -
23 US L - +
24 RN P - -
25 RA L - -
26 AE L - -
27 TA P + -
28 AE L - -
29 RZ L - -
30 RC P - -
Note :
(+) = Positif
( -) = Negatif
Lampiran 4 : Dokumentasi
Gambar 1 : Pengambilan Sampel

Gambar 2 : Pengumpulan Sampel

Gambar 3 : Pembuatan Slide


Gambar 4 : Pembacaan Hasil

Gambar 5 : Hasil
Ascaris lumbricoides

Trichuris trichiura

You might also like