Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

JSV 31 (1), Juli 2013 JURNAL

SAIN VETERINER
ISSN : 0126 - 0421

Analisis Jumlah dan Umur Sapi Bali Betina Produktif yang Dipotong di Rumah
Pemotongan Hewan Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali
The Analysis of Amount and Various Age of Productive Female Bali Cattle
Slaughtered at Abbatoirs, Bali Province

I Wayan Suardana1, I Made Sukada1, I Ketut Suada1, Dyah Ayu Widiasih2


1
Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar, Bali
2
Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Email: [email protected]

Abstract

Based on the ability for surviving at the limited vegetations, Bali cattle is famous as a pioneer cattle.
Although the fertility of Bali cattle has been wellknown so high (up to 80%), but the slaughter of productive
female of Bali cattle from year to year is so high too, so that the existance of Bali cattle in the future is threatened
extinct. The accurate data indicated that the amount of Bali cattle slaughtered at the abbatoirs are not available
yet, especially from the Pesanggaran and Mambal abbatoirs which both are big abbatoirs in Bali. The study
used 246 heads of Bali cattle originated from Pesanggaran, and 232 heads of Bali cattle originated from
Mambal abbatoirs, respectively. The study indicated as many as 81,7% and 87,5% of Bali cattle slaughtered at
those abbatoirs were female cattle. According to their ages, most of them were productive too, i.e. 99% at
Pesanggaran, and 67,49% at Mambal abbatoirs. These results indicated that it is needed a special attention
from the Bali government, especially from the Animals Husbandry Officer in order to prevent the loss of Bali
cattle populations in the future.

Key words: abbatoir, productive female, Bali cattle, population, extinct

Abstrak

Berdasarkan kemampuan untuk bertahan pada vegetasi yang terbatas, sapi Bali terkenal sebagai sapi
pelopor. Meskipun sapi Bali terkenal memiliki daya fertilitas yang tinggi (80%), tetapi pemotongan sapi Bali
betina produktif dari tahun ke tahun juga diprediksi begitu tinggi, sehingga dikhawatirkan mengancam
keberadaan sapi Bali di masa mendatang. Data akurat yang menunjukkan jumlah sapi Bali yang dipotong di
RPH sampai saat ini belum tersedia, terutama data yang dihimpun dari RPH Pesanggaran dan RPH Mambal
sebagai RPH besar di Bali. Pada penelitian ini digunakan 478 ekor sapi Bali, dengan rincian 246 ekor berasal
dari RPH Pesanggaran, dan 232 ekor dari RPH Mambal. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa 81,7%, dan
87,5% sapi Bali yang dipotong di kedua RPH tersebut berjenis kelamin betina. Karakterisasi lebih lanjut
berdasarkan umurnya, 99% dari jumlah sapi betina yang dipotong di RPH Pesanggaran, dan 67,49% di RPH
Mambal tergolong dalam katagori sapi betina produktif. Hasil penelitian ini mengindikasikan diperlukan
perhatian khusus dari pemerintah Bali khususnya dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait untuk
mengambil langkah-langkah antisipasi guna mencegah punahnya populasi sapi Bali di masa-masa mendatang.

Kata kunci: RPH, betina produktif, sapi Bali, populasi, punah.

43
I Wayan Suardana et al.

Pendahuluan Negeri dan Menteri Pertanian RI nomor : 18 tahun


1979 dan Nomor: 05/Ins/Um/3/1979, tentang
Sapi Bali merupakan plasma nutfah untuk pencegahan dan larangan pemotongan ternak
menghasilkan bibit sapi yang bermutu karena sapi/kerbau betina bunting dan atau sapi/kerbau
keunggulannya yang tidak dimiliki oleh bangsa sapi betina bibit, disamping Surat Keputusan Direktur
lainnya di dunia. Sapi Bali dapat hidup pada kondisi Jenderal Peternakan No.509/Kpts/DJP/ Deptan/81
yang kurang menguntungkan sehingga dikenal tentang penetapan penggunaan Formulir Laporan
sebagai sapi perintis (Zulkharnaim et al., 2010), Pemotongan Hewan Bertanduk Betina yang dengan
memiliki kualitas daging yang tinggi dan persentase tegas memuat larangan pemotongan ternak
lemak yang rendah (Bugiwati, 2007), disamping sapi/kerbau bunting/sapi/kerbau betina bibit kecuali
keunggulan sapi Bali yang memiliki tingkat dengan pertimbangan tertentu seperti umur sapi
fertilitasnya 80% -82% (Noor et al., 2001). yang lebih dari 8 tahun, atau karena dianggap sudah
Disisi lain, sapi Bali diketahui juga memiliki tidak produktif lagi (Anonimus, 1985).
beberapa kelemahan diantaranya: ukuran tubuhnya Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sebagai
yang relatif kecil, produksi susunya yang relatif tempat terakhir sebelum ternak tersebut berubah
rendah yaitu sekitar 1-1,5 liter/hari sehingga manjadi karkas atau daging, bertugas untuk
pertumbuhan anak sapi (pedet) menjadi lambat serta mengadakan pemeriksaan ulang terhadap setiap
masih tingginya tingkat kematian pedet pada hewan besar betina yang datang atau masuk di RPH.
pemeliharaan secara ekstensif (Bandini, 2003). Pemeriksaan yang dimaksud meliputi kelengkapan
Disamping itu, sapi Bali juga sangat mudah terhadap surat-surat, status cap “S” yang didasarkan
terserang penyakit khususnya penyakit Jembrana dari hasil eksplorasi rektal dan pemberian laporan
dan penyakit Ingusan / Malignant Catarrhal Fever kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
dan Bali Ziekte (Darmadja, 1980 dalam Chamdi, atas pemotongan ternak betina yang dilakukan
2005). (Anonimus, 1985).
Laporan tahunan dari Dinas Peternakan Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran
Provinsi Bali menyajikan pemotongan sapi Bali sebagai satu satunya RPH terbesar di Bali, yang
betina di Bali masih cukup tinggi yakni sekitar 16%. dikatagorikan sebagai RPH tipe A dengan rata-rata
Sejalan dengan tingginya jumlah pemotongan jumlah pemotongan setiap harinya 50-60 ekor, dan
tersebut populasi sapi betina produktif selama 2 RPH Mambal sebagai RPH tipe B yang terbesar
tahun terakhir mengalami penurunan yang cukup yakni dengan rata-rata jumlah pemotongan setiap
drastis (Anonimus, 2002), dan apabila keadaan ini harinya berkisar antara 21-50 ekor, maka sudah
dibiarkan terus menerus tentunya akan mengancam sewajarnya pengawasan aktivitas pemotongan di
kelestarian sapi Bali. kedua RPH tersebut mendapat perhatian yang lebih,
Beberapa Peraturan yang dapat dijadikan mengingat hampir 80% dari jumlah sapi yang
landasan untuk menjaga kelestarian populasi sapi dipotong di Bali berasal dari kedua RPH tersebut
Bali diantaranya: Instruksi bersama Menteri Dalam (Anonimus, 2002).

44
Analisis Jumlah dan Umur Sapi Bali Betina Produktif yang Dipotong

Berdasarkan atas pertimbangan keterbatasan adalah galat yang diinginkan. Berdasarkan estimasi
fisiologis yang dimiliki sapi Bali, ditambah lagi persentase pemotongan sapi betina menurut laporan
dengan masih tingginya tingkat pemotongan sapi Dinas Peternakan Propinsi Bali sebesar 16% (Anon,
Bali betina dari tahun ke tahun, maka penelitian 2002) dan derajat error 5%, maka jumlah sampel
mengenai analisis jumlah dan umur pemotongan yang diperlukan untuk tingkat kepercayaan 95%
sapi Bali betina produktif amat menarik untuk adalah minimum sebanyak 215 ekor.
disajikan, dengan harapan hasil publikasi ini dapat Sejumlah sampel sapi Bali yang dipotong
memberikan dasar pertimbangan bagi pemerintah dikedua RPH tersebut selanjutnya diperiksa
untuk mengambil langkah-langkah antisipasi terhadap jenis kelamin dan umurnya yang terbagi
sebagai upaya mempertahankan populasi sapi Bali dalam 16 hari pengamatan. Penentuan umur sapi
sebagai plasma nutfah Indonesia. Bali betina ditafsir dengan cara melihat susunan
gigi-geliginya menurut Sosroamidjojo dan Soeradji
Materi dan Metode (1982) (Tabel 1).
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif
Sebanyak 478 ekor sapi Bali yang dipotong untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel
di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) diambil ataupun gambar (Gaspersz, 1991; Steel dan Torrie,
secara purposif dengan rincian 246 ekor diambil 1995).
dari RPH Pesanggaran dan 232 ekor dari RPH Hasil dan Pembahasan
Mambal digunakan sebagai sampel dalam penelitian
ini. Besaran sampel diperoleh dengan Data hasil pengamatan analisis jumlah dan umur
memperhatikan rumus besaran sampel menurut sapi Bali betina yang dipotong di Rumah
2
Martin et al. (1987) yakni n = 4PQ/L , dengan n Pemotongan Hewan Pesanggaran dan Rumah
adalah besaran sampel, P asumsi pemotongan sapi Pemotongan Hewan Mambal seperti Gambar 1 dan
betina di daerah penelitian, Q adalah (1-P), dan L 2 berikut.

Tabel 1. Susunan gigi-geligi sapi Bali betina

Umur Keadaan / kejadian pada gigi geligi


1 tahun Semua gigi seri sulung sudah tergesek
1,5 - 2 tahun Gigi seri sulung dalam (I1) berganti dengan gigi seri tetap
2 - 2,5 tahun Gigi seri sulung tengah (I2) berganti dengan gigi seri tetap
3 - 3,5 tahun Gigi seri sulung tengah luar (I3) berganti dengan gigi seri tetap
Gigi seri sulung luar (I4) berganti dengan gigi seri tetap
4 tahun Semua gigi seri tetap sudah tergesek
5 tahun Tepi dalam (bidang lidah) semua gigi seri tetap tergesek
7–8 tahun hampir dekat dengan gusi bagian dalam

45
I Wayan Suardana et al.

Gambar 1. Persentase pemotongan sapi Bali menurut jenis kelamin di RPH Pesanggaran dan RPH Mambal

Data pada Gambar 1 menunjukkan sangat Mambal diakibatkan karena mahalnya harga sapi
tingginya jumlah pemotongan sapi Bali betina di jantan di luar Bali sehingga mendorong para petani
kedua RPH tersebut. Dari 246 ekor sapi yang ternak untuk menjual sapi jantannya ke luar daerah
dipotong di RPH Pesanggaran, terlihat sebanyak seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kondisi seperti
201 ekor (81,71%) berjenis kelamin betina dan ini tentunya bukan menjadi masalah apabila sapi
hanya 45 ekor (18,29%) berjenis kelamin jantan. betina yang dipotong sudah tidak produktif lagi.
Hasil yang sama juga ditemukan pada RPH Mambal, Namun terlalu tingginya persentase pemotongan
yaitu dari 232 ekor sapi yang dipotong di RPH sapi betina tentunya perlu mendapat perhatian yang
tersebut, sebanyak 203 ekor (87,5%) berjenis serius untuk segera ditanggulangi.
kelamin betina sedang sisanya 29 ekor (12,5%) Kajian lebih jauh untuk melihat karakteristik
berjenis kelamin jantan. umur sapi betina yang dipotong di RPH Pesanggaran
Rendahnya pemotongan sapi jantan di RPH maupun Mambal seperti Gambar 2.
Pesanggaran, demikian juga halnya dengan RPH

Gambar 2. Karakteristik umur sapi betina yang dipotong di RPH Pesanggaran dan RPH Mambal

46
Analisis Jumlah dan Umur Sapi Bali Betina Produktif yang Dipotong

Gambar 2. menunjukkan bahwa persentase sapi perbaikan sistem manajeman dan pemanfaatan
Bali betina yang dipotong di RPH Pesanggaran 99% teknik perkembang biakan yang terkontrol menurut
masih produktif yakni dengan rincian: umur 0-1 Gunawan et al. (2011), serta dilakukannya seleksi
tahun (9,45%), umur 1,5-2 tahun (16,92%), umur 2- yang didasarkan atas variasi genetik (Rahayu et al.,
2,5 tahun (26,87%), umur 3-3,5 tahun (10,91%), 2006) untuk menanggulangi terjadinya penurunan
umur 3,5-4 tahun (26,87 %) dan umur > 4 tahun populasi sapi Bali sekaligus meningkatkan
(1%). Hasil yang sama juga ditemukan pada RPH produktivitas sapi Bali dimasa-masa mendatang.
Mambal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase sapi Bali betina produktif yang dipotong Ucapan Terima Kasih
di RPH tersebut sebesar 67,49% dengan rincian:
umur 0-1 tahun (13,3%), umur 1,5-2 tahun Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
(15,27%), umur 2-2,5 tahun (11,33%), umur 3-3,5 banyak terimakasih kepada pihak Lembaga
tahun (8,87%) dan umur 3,5-4 tahun (18,72 %). Penelitian Universitas Udayana yang telah
Tingginya pemotongan terhadap sapi Bali mendanai proyek penelitian ini melalui dana DIPA
betina produktif ini sangat bertentangan dengan (PNBP) Universitas Udayana Tahun Anggaran 2006
Instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan dengan Kontrak No. 002055/J.14/KU.04.07/2006
Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 18 tahun tanggal 1 Juni 2006
1979 dan No. 05/Ins/Um/3/1979, tentang
pencegahan dan larangan pemotongan ternak Daftar Pustaka
sapi/kerbau betina bunting dan atau sapi/kerbau
betina produktif, serta bertentangan pula dengan Anonimus (1985) Manual Kesmavet. Seri Evaluasi
Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No. Hasil Pengendalian Pemotongan Hewan Besar
Betina Produktif Tahun 1984. No. 35-
509/Kpts/DJP/Deptan/81 tentang penetapan 1/1985.ISSN : 0216-4868.
penggunaan Formulir Laporan Pemotongan Hewan
_________ (1987) Peraturan Perundangan
Bertanduk Betina. Dalam Surat Keputusan tersebut Kesehatan Hewan. Edisi III. Departemen
secara jelas dimuat larangan pemotongan ternak Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan.
Direktorat Kesehatan Hewan. Jakarta.
sapi/kerbau bunting/sapi/kerbau betina bibit, kecuali
dengan pertimbangan tertentu seperti umur sapi _________(2002) Informasi Data Peternakan
Propinsi Bali Tahun 2002. Dinas Peternakan
yang lebih dari 8 tahun karena dianggap sudah tidak Propinsi Bali. Denpasar.
produktif lagi (Anonimus, 1985).
Abidin, Z. (2002) Penggemukan Sapi Potong. Agro
Bardasarkan hasil penelitian ini disarankan Media Pustaka, Jakarta.
kepada pemerintah Provinsi Bali khususnya kepada
Bandini, Y. (2003). Sapi Bali. Penebar Swadaya.
Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten/Kota Jakarta.
untuk mengambil langkah-langkah kontrol yang
Bugiwati, S.R.A. (2007. Body Dimension Growth of
ketat terhadap pemotongan sapi betina produktif,
Calf bull in Bone and Baru District, South
disamping langkah strategis lainnya berupa Sulawesi. J. Sains and Tekno. 7: 103-108

47
I Wayan Suardana et al.

Chamdi, A.N. (2005) Review: Karakteristik Martin, S.W., Meek, A.H., and Willeberg, P. (1987)
Sumberdaya Genetik Ternak Sapi Bali (Bos- Veterinary epidemiology. principles and
bibos banteng) dan Alternatif Pola methods. Iowa State University Press/Ames,
Konservasinya. Biodiversitas. 8: 70-75. USA

Gaspersz, V. (1991) Metode Perancangan Noor, R.R., Farajallah, A., and Karmita, M. (2001)
Percobaan. CV Armico. Bandung. 472 hal. The Purity Test of Bali Cattle by Haemoglobin
Analysis Using the Isoelectric Focusing
Gunawan, A., Sari, R. Parwoto, Y. and Uddin, M.J. Method. Hayati. 8: 107–111
(2011) Non-Genetic Factors Effect on
Reproductive Performance and Preweaning Rahayu, S., Sumiotro, S.B., Susilawati, T. dan
Mortality from Artificially and Naturally Breed Soemarno. (2006). Identifikasi Polimorfisme
in Bali Cattle. J. Indonesian Trop.Anim. Agric. Gen GH (Growth Hormone) Sapi Bali dengan
36: 83-90. Metode PCR-RFLP. Berk. Penel. Hayati. 12: 7-
11.
Sosroamidjojo, S.M. dan Soeradji. (1982)
Peternakan Umum. CV Yasaguna. Jakarta Zulkharnaim., Jakaria and Noor, R.R. (2010)
Identification of Genetic Diversity of Growth
Steel, R.G.D., and Torrie, J.H. (1995) Prinsip dan Hormone Receptor (GHR|Alu I) Gene in Bali
Prosedur Statistika. PT.Gramedia Pustaka. Cattle. Med. Pet. 33: 81-87
Jakarta.

48

You might also like