Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 29

LAPORAN KASUS GERIATRI

BLOK ELEKTIF
PRESBIKUSIS DENGAN HIPERTENSI YANG TIDAK TERKENDALI

Disusun oleh :
Arif Fatkhur Rozi
1102017037

BIDANG KEPEMINATAN GERIATRI

Dosen Pembimbing :
dr. Yurika Sandra, M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


APRIL 2021
PRESBICUSIS WITH UNCONTROLLED HYPERTENSION
ABSTRACT
Background: Elderly is a natural process that occurs continuously in humans where when a
person ages, a person will experience several changes which in turn will affect the state of the
functions and abilities of the whole body. One of the health problems that is often experienced by
ole lanisa is presbycusis with hypertension. Presbycusis is the most common sensory impairment
seen in the elderly. As our cochlea, the peripheral organ of hearing, ages, we tend to experience
hearing loss and are at greater risk of degeneration of cochlear sensory nerve cells. According to
the World Health Organization, about a third of people over the age of 65 have hearing loss. By
2025, there will be 1.2 billion people over the age of 60 worldwide, with more than 500 million
people who will suffer significant impairments due to presbycusis. Case Presentation: Mr. S, 75
years old with a diagnosis of presbycusis which causes obscure hearing symptoms. There are
previous diseases, namely hypertension and uncontrolled heart failure. Discussion: Presbycusis is
one of the most common health problems in the elderly. The prevalence of presbycusis with age
more than 65 years. Conclusion and Suggestion: Because basically Presbycusis is not a disease,
but a physiological process of body tissue due to aging in the hearing organs. The main problem
faced by Presbycusis patients is communication disorders. Presbycusis cannot be helped by
surgery or medication, what can be done is to use hearing aids (ABD) or hearing aids, this tool will
help hearing but not return to normal. In addition, patients are also advised to always live a healthy
life, take medication regularly, control stress and maintain a healthy diet and then have to routinely
control heart disease and hypertension to a cardiologist

Key words: Presbycusis; Hearing Loss, Elderly, Hypertension

PRESBIKUSIS DENGAN HIPERTENSI YANG TIDAK TERKENDALI


Abstrak
Latar Belakang: Lansia merupakan proses alamiah yang terjadi secara berkesinambungan pada
manusia dimana ketika menua seseorang akan mengalami beberapa perubahan yang pada akhirnya
akan mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan seluruh tubuh. Salah satu masalah gangguan
kesehatan yang sering dialami ole lanisa yaitu presbikusis dengan penyakit penyertanya hipertensi.
Presbikusis merupakan angguan sensorik yang paling umum terlihat pada lansia. Seiring
bertambahnya usia koklea kita, organ perifer pendengaran, kita cenderung mengalami penurunan
pendengaran dan berisiko lebih besar mengalami degenerasi sel saraf sensorik koklea. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia, sekitar sepertiga orang yang berusia di atas 65 tahun mengalami
gangguan pendengaran. Pada tahun 2025, akan ada 1,2 miliar orang berusia di atas 60 tahun di
seluruh dunia, dengan lebih dari 500 juta orang akan menderita gangguan signifikan akibat
presbikusis. Presentasi Kasus: Tn. S, usia 75 tahun dengan diagnosis presbikusis yang
menimbulkan gejala pendengaran yang kurang jelas. Terdapat penyakit terdahulu yaitu hipertensi
dan gagal jantung yang tidak terkontrol. Diskusi: Presbikusis merupakan salah satu masalah
gangguan kesehatan yang paling sering terjadi pada usia lanjut. Prevalensi terjadinya presbikusis
dengan usia lebih dari 65 tahun. Kesimpulan dan Saran: Karena pada dasarnya Presbycusis
bukanlah penyakit, melainkan proses fisiologis jaringan tubuh akibat penuaan pada organ
pendengaran. Masalah utama yang dihadapi pada pasien Presbycusis adalah gangguan komunikasi.
Presbycusis tidak bisa ditolong dengan pembedahan atau pengobatan, yang bisa dilakukan adalah
dengan menggunakan alat bantu dengar (ABD) atau alat bantu dengar, alat ini akan membantu
pendengaran tetapi tidak kembali normal. Selain itu pasien juga diimbau untuk selalu hidup sehat,
minum obat secara teratur, mengontrol stres dan menjaga pola makan kemudian harus rutin
mengontrol penyakit jantung dan hipertensi ke Dokter Jantung. 
Kata kunci: Presbycusis; Gangguan Pendengaran, Lansia, Hipertensi
PENDAHULUAN
Penuaan merupakan menurunnya atau hilangnya suatu fungsi jaringan dan
organ secara progresif dari waktu kewaktu karena perubahan biologis sehingga
merusak jaringan dan organ manusia (Wang & Puel, 2020). Proses menua
dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Usia kronologi
yang diukur dengan tahun dan usia fisiologi diukur dengan kapasitas fungsional
tidak selalu sama. Seseorang dapat terlihat lebih muda atau lebih tua dari
umurnya. Namun demikian, efek penuaan tersebut umumnya lebih terlihat setelah
menginjak usia 40 tahun (Setiati, Harimurti, & R).
Penyakit yang dialami oleh lansia pada umumnya tidak hanya satu
penyakit saja namun ada beberapa komplokasi. Penyakit yang diamati dengan
frekuensi yang meningkat seiring bertambahnya usia, seperti aterosklerosis,
penyakit kardiovaskular, kanker, artritis, katarak, penyakit Alzheimer, presbiopia,
dan presbycusis. Padahal semua manusia atau hewan dewasa menjadi tua, tidak
semua lansia menderita penyakit yang sama. Penyakit terkait usia dapat
dikonseptualisasikan sebagai penuaan yang dipercepat akibatvgenetik yang
berlatar belakang sering berinteraksi dengan faktor lingkungan dan gaya hidup
(Wang & Puel, 2020).
Presbycusis merupakan penyakit yang sering menimpa lansia, disebabkan
oleh proses multifaktorial yang dapat mengganggu komunikasi dan kehidupan
sosial serta menyebabkan gangguan jiwa. Banyak faktor-faktor yang
memmperberat terjadinya presbikusis meliputi, faktor genetik, jenis
kelamin,perokok,lingkungan kerja, stres, kondisi metabolik dan gangguan
vaskuler seperti diabetes, dislipidemia, dan hipertensi. Pada pasisen yang
memiliki tekanan darah tinggi akan terjadi perubhan struktural jantung dan
pembuluh darah. Pada saat tekanan vaskular meningkat maka arteri yang
memperdarahi telinga dalam akan mengalammi perdarahan, yang dapat
menyebabkan kehilangan pendengaran secara progresif atau mendadak. Selain itu,
peningkatan viskositas darah akan menyebabkan pengurangan aliran darah pada
tlinga dalam, sehingga dapat menyebabkan hipoksia jaringan yang daat
mengakibatkan keluhan pendengaran pada pasien (De Sousa, Junior, & Ching,
2009).
Menurut WHO, sekitar sepertiga orang yang berusia di atas 65 tahun
mengalami gangguan pendengaran. Pada tahun 2025, proporsi penduduk lansia
akan mengalami peningkatan yaitu sekitar 1,2 miliar orang berusia di atas 60
tahun di seluruh dunia, dengan lebih dari 500 juta orang akan menderita gangguan
signifikan akibat presbycusis.
Mungkin saat ini prsbikusis tidak bisa diobati sepenuhnya, namun kita
dapat mencegahnya dengan meredakan gejalanya seperti menangani hipertensinya
dan dapat di bantu dengan menggunakan alat bantu dengar, pembedahan, dan
penggunaan obat farmakologis.

LAPORAN KASUS
Tn. S, 84 tahun, sudah menikah dan memiliki 2 orang anak, mengeluh
gangguan pendengaran sejak 10 tahun yang lalu di telinga kiri pasien. Kehilangan
pendengaran terjadi secara bertahap, 4 tahun terakhir pendengarannya semakin
parah setelah kematian istrinya. Pasien tidak pernah terasa telinga berdengung,
sakit kepala (-), riwayat trauma (-) , riwayat pekerjaan dan hidup di tempat yang
bising disangkal. Keluarga dan tetangga pasien juga meraskan pendengaran pasien
menurun karena saat berkomunikasi dengan orang lain pasien sering bertanya
balik apa yang diajukan oleh orang lain dengan melihat mulut pembicara. Pasien
keluarga dan tetangga juga harus membesarkan mereka suara saat berkomunikasi
dengan pasien terpisah kurang dari 1 meter. Karena mendengar kerugian semakin
berat, keluarga yang membawanya kepada spesialis THT-Kepala Leher di Dr.
Iskak Tulungagung pada tanggal 7 November 2017.
Pada pemeriksaan pasien diminta untuk mendengar suara pada jarak
tertentu, dan ditanya kejernihan pendengaran di setiap telinga di ruangan khusus.
Kemudian dokter menyatakan kepada keluarga jika keluhan gangguan
pendengaran pasien kemungkinan karena usia dan dokter menyarankan keluarga
untuk membeli pasien alat bantu dengar dan pasien menggunakannya. Pasien bisa
membeli alatnya di Dr. Iskak untuk telinga kiri saja dengan harga 3 juta rupiah.
Setelah menggunakan alat tersebut, pasien dapat mendengar suara dengan jelas.
volume alat bantu dengar dapat di ubah sesuai kenyamanan, mulai dari level
terendah dan sesuai volume 2 dari volume 1-4 tersedia di perangkat. Namun, yang
beberapa bulan terakhir, pasien tidak rutin menggunakannya karena tidak nyaman
jika menggunakannya setiap hari karena pasaien mengeluh alat bantu dengarnya
sering lepas. Keluarga telah membujuk untuk rutin menggunakan alat tersebut tapi
gagal. Pasien juga tidak rutin kontrol ke dokter THT-kepala Leher untuk
memeriksakannya pendengarannya.
Pasien juga menderita darah tinggi sejak 2007 dan penyakit jantung sejak
1 bulan yang lalu, dengan keluhan sesak nafas, harus duduk setiap saat dia tidur,
terlihat terengah-engah setiap kali dia berjalan, buang air kecil sedikit, dan
membengkak di kedua kaki. Pasien mengonsumsi Captopril 2 x 1 tablet, Fundifar
2 x 1, Furosemide 1 x 40 mg dan Fargoxin (Digoxin) 1 x 0,25 mg. Keluhan sesak
nafas dan pembengkakan pada kaki pasien membaik, sehingga kedua anaknya
sebagai pengasuh menghentikan pengobatan jantung tanpa nasehat dokter. Pasien
saja rutin mengkonsumsi Captopril dan Fundifar. Pasien tidak rutin pergi ke
dokter untuk tekanan darah tinggi dan masalah jantung karena tidak ada keluhan.
Dalam keluarga, anak pertama mengalami gangguan pendengaran tetapi
hilang dan menderita hipertensi. Pasien punya riwayat merokok sejak muda dan
telah berhenti sejak umur 50 tahun. Nafsu makan baik dengan frekuensi makan 3
kali sehari. Penderita berjalan secara teratur di sekitar rumah minimal 3 kali
seminggu. Pasien tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari mandiri kecuali untuk
mandi, pasien dibantu oleh anak-anaknya. Pasien rumah umumnya cukup bersih,
baik berventilasi dan cukup terang. Rumah pasien berada di kompleks yang tidak
dekat dengan kebisingan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi nafas 20 kali per menit,
denyut nadi 88 kali per menit, suhu 36,8 derajat, tekanan darah 140/100 mmHg.
Pemeriksaan fisik kepala, leher, dada, perut dan ekstremitas dalam batas normal.
Pemeriksaan audiometri dilakukan pada 7 November 2017 saat pasien berusia 81
tahun di Daerah Iskak Tulungagung RSUD. Dari tes audiometri ini hasilnya ADD
56-25 db dan ADS 68-25 db.
Dari data tersebut pasien berada didiagnosis dengan presbycusis disertai
hipertensi dan gagal jantung kongestif. Rencana terapi medis diberikan kaptopril
25 mg dua kali sehari, furosemid 40 mg sekali sehari, digoxin 0,25 mg sekali
sehari, multivitamin Sehari 2 kali 1 kapsul. Untuk terapi non medis, pasien
disarankan untuk rutin gunakan alat bantu dengar, hindari stres, bukan merokok
dan hindari asap rokok, diet rendah lemak, menjaga pola hidup sehat, hindari
berisik tempat-tempat, hindari mengkonsumsi obat-obatan selain nasehat dokter,
kontrol rutin untuk jantung penyakit dan hipertensi. Tambahan, pasien disarankan
untuk berkonsultasi jantung spesialis tentang penyakit jantung dan untuk dokter
THT-Kepala Leher untuk evaluasi pendengaran pasien. Itu keluarga pasien
disarankan kapan berkomunikasi dengan pasien, mereka harus melakukannya
mendekat dan berbicara dengan jelas dan volume dinaikkan. Selain itu, keluarga
juga harus rutin mengingatkan pasien menggunakan alat bantu, minum obat, dan
jaga agar makanan pasien tetap rendah lemak.

DISKUSI
Telinga terbagi atas tiga bagian, telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam.
Telinga luar terdiri dari auricula atau daun telinga dan meatus auditorius
eksternus atau saluran telinga luar. Dalam saluran tersebut ada kelenjar yang
menghasilkan serumen atau kotoran telinga yang merupakan zat lengket yang
dapat menghambat benda asing atau kotoran lain yang akan masuk. Kemudian
terdapat membran timpani atau gendang telinga sebagai perbatasan antara telinga
luar dengan telinga tengah dan apabila terdapat gelombang suara, akan
menunjukkan respon berupa getaran. Telinga tengah terdiri atas membran timpani
dan tulang-tulang pendengaran. Membran timpani atau gendang telinga berupa
rongga yang terletak didalam tulang temporal yang berisi udara dan pada telinga
tengah juga terdapat tulang-tulang kecil pendengaran yaitu malleus, incus, dan
stapes. Dengan sususan ketiga tulang tersebut, tulang malleus melekat pada
membran timpani atau gendang telinga dan stapes melekat pada ujung lainnya
yaitu dengan ligamen yang ke jendela oval, yang merupakan sebuah lubang kecil
yang tertutup oleh membran ke telinga bagian dalam dan tulang kecil incus yang
yang terhubung dengan malleus dan stapes melalui sendi sinovial. Ketiga tulang
tersebut berfungsi sebagai sistem yang menguatkan dan menghantarkan getaran
dari gendang telinga (telinga bagian tengah) ke telinga bagian dalam. Kemudian
selain ada lubang jendala oval dibagian telinga tengah, juga terdapat jendela
bundar yang disebut dengan membran timpani sekunder dan terletak dibawah dari
jendela oval dan lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan faring atau
tenggorokan bagian atas yang disebut tuba eustachius. Tuba eustachius berfungsi
untuk menyamakan antara tekanan didalam dan diluar telinga, sehingga
mengurangi ketegangan dari membran timpani.
Apabila terjadi perubahan tekanan, maka membran timpani akan
menegang dengan pengaruh dari muskulus tensor timpani dan muskulus
stapedius, dua otot tersebut yang terhubung dengan tulang malleus dan stapes.
Sehingga pergerakan dari membran timpani menjadi terbatas dan mengurangi
kerusakan yang mungkin akan terjadi karena getaran dari suara yang keras.
Telinga dalam terdiri atas kanalis semi sirkularis, vestibular dan koklea.
Ketiganya memiliki struktur labirin osseus pada bagian luar dan labirin
membranaseus pada bagian dalam. Kanalis semi sirkularis memiliki sel reseptor
pada bagian sudut kepala untuk mengatur pergerakan, yang digunakan untuk
menjaga keseimbangan. Dan koklea merupakan kanal atau saluran melingkar
yang memiliki sel reseptor yang merespon sebuah getaran yang dihantarkan dari
telinga tengah.
Koklea terbagi atau tiga bagian, yaitu skala vestibuli, skala timpani dan
skala media. Pada bagian telinga tengah terdapat jendela bundar dan jendela oval
yang nantinya akan berhubungan dengan skala timpani dan skala vestibuliyang
berisi perilimfa, pada ujung koklea tempat bersatunya perlimfa dari skala timpani
dan skala vestibula disebut helikotrema. Kemudian membran vestibuli dan
membran basilar yang memisahkan skala media yang berisi endolimfa. Pada skala
media berisi organ corti yang banyak mengandung sel rambut, sel rambut ini
melekat pada membran basilar dan terdapat reseptor yang disebut stereosilia, pada
saat ada getaran pada membran basilar relatif langsung menggetarkan bagian
diatasnya yaitu membran tektorial dengan gerakan sel rambut. Kemudian ada
vestibular sebagai penghubung antara kanalis semi sirkularis dengan koklea,
terdiri dari sakulus dan utrikulus yang memiliki reseptor didalamnya sebagai alat
keseimbangan. (Aaljufri, 2019)
Faktor Resiko
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor :
A. Genetik
Riwayat dalam keluarga sangat berperan dengan terjadinya presbikusis.
Dampak keadaan genetik lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki, dan yang sering terjadi ialah presbikusis strial atau metabolik,
Sekitar 55% kasus presbikusis didapatkan banyak terjadi karena faktor genetik
(Halter, Ouslander, & at all, 2009)
B. Faktor Lingkungan
Memiliki peranan besar sebagai penyebab keparahan pada gangguan
pendengaran. Terutama karena paparan-paparan luar berupa kebisingan yang
berlebihan, obat-obat yang bersifat ototoksik terutama antibiotik golongan
aminoglikosida dan obat anti-kanker dan pelarut industri. Faktor lingkungan yang
seperti ini sangat menyebabkan trauma oksidatif dan memperparah gangguan
pendengaran seiring bertambahnya usia (Halter, Ouslander, & at all, 2009)
C. Perbedaan jenis kelamin dan faktor hormonal
Gangguan pendengaran yang terkait dengan gender atau jenis kelamin
lebih awal terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Pada koklea memiliki
reseptor hormon steroid. Oleh karena itu, seiring dengan bertambahnya usia
dengan adanya perbedaan hormon antara laki-laki dan perempuan. Pada
perempuan diamati saat siklus menstruasi dan saat terapi esterogen pasca
menopause terjadi perlambatan untuk kejadian presbikusis (Halter, Ouslander, &
at all, 2009)
D. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus memiliki 2 tipe yaitu diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2.
Keduanya menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran dan kerusakan pada
organ koklea. Akan tetapi, diabetes mellitus tipe 2 yang lebih sering menyebabkan
gangguan pendengaran pada orang berusia ≥60 tahun. Diabetes mellitus
menyebabkan terjadinya disregulasi pada sel. Sehingga menyebabkan hilangnya
fungsi pendengaran seiring bertambahnya usia. Pada mulanya, peningkatan kadar
glukosa pada darah akan menyebabkan terjadinya hipoksia pada sel dan terjadi
perubahan struktur kolagen dan mikrotubulus pada sel (Halter, Ouslander, & at
all, 2009).
E. Penyakit Kardiovaskular
Semua keadaan yang dapat mempengaruhi fungsi dari pembuluh darah,
seperti keadaan hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, hipertensi atau tekanan darah
tinggi, hiperlipoproteinemia, dan penyakit kardiovaskular lainnya yang dapat
menyebabkan gangguan pendengaran pada lansia. Pada presbikusis tipe
metabolik, stria vaskularis akan lebih rentan dan meningkat risiko kerusakan
dengan adanya hambatan pada aliran darah, sehingga fungsi dari stria vaskularis
menjadi terganggu. 8 Salah satu diatas ialah hipertensi yang merupakan
peningkatan tekanan darah yang mencapai ≥140 mmHg. Hipertensi banyak
diderita orang didunia ini, sekitar 970 juta jiwa menderitanya, terutama pada
negara Amerika sekitar 1 dari 3 orang atau 77,9 juta jiwa menderita hipertensi.
Dan juga dipengaruhi oleh faktor usia, pada usia kurang dari 45 tahun banyak
diderita oleh laki-laki daripada perempuan. Akan tetapi, pada usia lebih dari 65
tahun tekanan darah banyak diderita oleh perempuan daripada laki-laki
(Kementerian Kesehatan RI, 2014)
Faktor yang paling menyebabkan ialah faktor genetik, faktor genetik
banyak terjadinya hipertensi primer. Hipertensi primer yang akan meningkat
secara bertahap selama bertahun-tahun. Sebagian besar kejadian hipertensi sekitar
90% dari data tersebut adalah hipertensi primer. Sedangkan, sisanya 10%
merupakan hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder sering terjadi karena adanya
kerusakan pada ginjal, seperti penyakit ginjal kronik atau mengalami penyakit
renovaskular. Hipertensi sekunder memiliki ciri khas kejadian secara tiba-tiba dan
tekanan darahnya lebih tinggi daripada hipertensi primer (Halter, Ouslander, & at
all, 2009)
F. Gaya Hidup
Gaya hidup atau kebiasaan yang dapat memperburuk kesehatan seperti
berhubungan dengan olahraga, merokok dan juga makanan dianggap sebagai
faktor risiko yang juga dapa memperparah gangguan pendengaran. Karena dari
kebiasaan tersebut akan mempengaruhi beberapa fungsi organ salah satunya
fungsi kardiovaskular (Halter, Ouslander, & at all, 2009)
G. Psikologi
Stigma atau pandangan dimasyarakat bahwa orang yang tua atau lansia
pasti mengalami penurunan fungsi pada semua organ. Pandangan masyarakat
tersebut menjadikan faktor risiko yang independen terhadap hilangnya atau
berkurangnya fungsi pendengaran seiring bertambahnya usia, hal tersebut
memiliki dampak yang lebih kuat dari pada faktor jenis kelamin maupun ras
(Halter, Ouslander, & at all, 2009).
klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, presbikusis dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
 Presbikusis sensorik
Tejadi dikarenakan adanya degenerasi dari organ corti yang menyebabkan
terjadinya gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi. Pada presbikusis tipe
sensorik ini didapatkan kerusakan permanen berupa hilangnya sel-sel rambut yang
melekat pada membran basilar di koklea, diakibatkan karena sering terpapar akan
kebisingan, karena sel rambut bersifat tidak dapat regenerasi. Apabila sel rambut
mengalami kerusakan, maka hal tersebut menjadi kerusakan permanen. Dan
gangguan pendengaran tipe ini sering terjadi pada populasi usai menengah.
Menurut kalsifikasi Schuknecht, tipe presbikusis sensorik terjadi sekitar 5 % dari
kejadian presbikusis (Lee, 2013)
 Presbikusis Neural
Prebikusis neural terjadi karena adanya degenerasi atau penurunan fungsi
saraf pendengaran, berdasarkan histologinya sekitar 50% atau 35.500 neuron yang
hilang pada koklea, dan sekitar 2.100 sel neuron akan hilang setiap 10 tahunnya.
Apabila sudah ada tanda terjadinya penurunan diskriminasi bicara, disebabkan sel
neuron yang hilang sekitar 50% dan apabila hilangnya sudah mencapai 90%,
maka akan terjadi perubahan pada ambang pendengaran dan kemungkinan
sebagian besar disebabkan hubungan genetik (Lee, 2013)
 Presbikusis strial atau metabolik.
Presbikusis strial atau metabolik terjadi akibat adanya penurunan fungsi
metabolik dari organ koklea. Sehingga pada gambaran audiogram menunjukkan
adanya gangguan pada semua frekuensi pendengaran. Semakin bertambahnya
usia, maka akan terjadi atrofi pada stria vaskularis. Apabila kehilangan sekitar
30%, maka akan terjadi penurunan ambang pendengaran. Karena ketika hilangnya
jaringan pada stria akan menyebabkan gangguan transfusi kembali K+, sehingga
terjadi penurunan potensial endolimfatik. Tipe strial atau metabolik menjadi
penyebab tersering dengan kejadian presbikusis. Dengan terjadinya penurunan
potensial endolimfatik memiliki keterkaitan dengan gangguan pendengaran pada
frekuensi tinggi (Lee, 2013)
 Presbikusis koklear konduktif
Presbikusis koklear konduktif yang disebut juga presbikusis mekanik,
merupakan proses perubahan degeneratif akibat perubahan pada daerah basal
koklea yang menjadi kaku. Gangguan pada tipe ini berupa, adanya gangguan pada
frekuensi yang rendah dan tidak ada masalah pada pengenalan suara. Seiring
dengan bertambahnya usia terjadi proses degeneratif yang akan menyebabkan
hipoperfusi hingga iskemik pada daerah koklea, sehingga terjadinya gangguan
pendengaran (Nakashima, Naganawa, Sone, & et al, 2013).

Gejala
Penegakan diagnosis
Pada awalnya kita melakukan skrining pendengaran kepada pasien, apakah
mengalami gangguan atau masalah pendengaran, berupa:
A. Anamnesis
Harus ditanyakan dengan jelas, apakah kejadian gangguan pendengaran
yang dialami sejak kapan, apakah kehilangan pendengaran terjadi secara bertahap
atau secara mendadak, apakah penderita pernah atau tidak mengalami gejala
berupa tinnitus, vertigo, adanya sekret yang keluar, atau terdapat nyeri pada
telinga. Dan apakah terdapat riwayat di keluarga pernah mengalami gangguan
pada bagian telinga, terdapat riwayat terpajan atau bekerja di tempat bising, atau
apakah pernah mengalami trauma sebelumnya pada bagian telinga atau kepala.
Dan pernah menggunakan obat-obatan yang mempunyai efek samping ototoksik,
contoh obat-obat golongan antimikroba aminoglikosida, golongan loop diuretik
seperti furosemide, asam etakrinat, dan juga obat golongan anti- inflamasi
(Cassel, Leipzig, Cohen, & et al, 2003).
B. Pemeriksaan Fisik
Pertama- tama lakukan pemeriksaan, perhatikan pada bagian struktur
meatus auditorius eksternus atau liang telinga luar dan juga membran timpani
pada usia tua biasanya normal, akan tetapi kadang terdapat akumulasi sekret yang
berada di liang telinga dapat dibersihkan secara manual atau diberikan tetesan
sodium bikarbonat 10%. Akan tetapi, sebagian orang tua sering mengeluh gatal
dan kering pada bagian liang telinga luar. Karena seiring bertambahnya usia,
orang tua mengalami atrofi pada epitel di liang telinga luar dan menurunnya
produksi dari kelenjar sebasea dan juga serumen, sehingga terjadi peningkatan
kerentanan dan terjadi abrasi di ujung. Pada pemeriksaan membran timpani dapat
dilakukan dengan alat otoskopi untuk menilai apakah ada masalah pada membran
timpani, dan normalnya gambaran warna membran timpani translusen (Cassel,
Leipzig, Cohen, & et al, 2003). Kemudian dilakukan uji penala, uji penala ini
akan memberikan frekuensi dari yang rendah hingga tinggi untuk menguji
kepekaan pendengaran. Apabila dilakukan dengan teliti, maka pasien akan
mengalami tuli konduktif atau tuli sensorineural. Kemudian melakukan
pemeriksaan audiometri, terbagi atas 2, yaitu (Adam, Boies, & Higlar, 1994) :
1. Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni merupakan alat elektronik yang menghasilkan
bunyi atau suara yang memiliki energi atau kebisingan yang berlebih. Audiometri
sendiri terdiri atas tiga bagian yaitu, osilator yang memiliki beberapa frekuensi
untuk mengatur bunyi yang dihasilkan, ada peredam yang mengatur berbagai
intensitas bunyi terutama pada peningkatan 5 dB, dan terakhir ada transduser
sebagai pengetar dan pengeras suara, untuk membentuk energi akustik.

Table 2.1. Derajat ketulian menurut buku THT UI edisi 6.


Derajat Ketulian Klasifikasi
0-25 dB Normal / tanpa gangguan
>25-40 dB Tuli ringan
>40-55 dB Tuli sedang
>55-70 dB Tuli sedang berat
>70-90 dB Tuli berat
>90 dB Tuli sangat berat
Sumber: (Soepardi, Iskandar, & et al, 2007)
2. Audiometri Nada Tutur
Audiometri nada tutur adalah mengukur secara langsung dari kecakapan
pasien. Untuk menilai pengukuran kepekaan atau ambang pengenalan berbicara
dan untuk mengukur pemahaman dalam pembicaraan atau menilai skor
diskriminasi kata, dengan menggunakan sejumlah kata yang telah dipilih (Cassel,
Leipzig, Cohen, & et al, 2003)
Cara perhitungannya, apabila dari kata-kata yang betul disebutkan :
90-100% : Maka pendengaran normal
75-90% : Pendengaran mengalami tuli ringan 60-75% : Pendengaran
mengalami tuli sedang
50-60% : Pasien mengalami kesukaran mengikuti pembicaraan sehari-
hari <50% : Pasien mengalami tuli berat Pemeriksaan ini berguna untuk
menilai kemampuan pasien dalam percakapan sehari-hari, dan untuk
menentukan pemberian alat bantu dengar kepada pasien (Soepardi,
Iskandar, & et al, 2007)
Tata Laksana
Manejemen atau tata laksana gangguan pendengaran, akibat hilangnya sel-
sel rambut dan gangguan pada saraf koklea. Karena tidak dapat regenerasi, maka
pilihan utamanya rehabilitasi dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar digital
membantu ketajaman pendengaran ke tingkat normal dengan frekuensi mencapai
3000 Hz. Alat tersebut dirancang untuk memberikan kemampuan pendengaran
pada lansia. Akan tetapi, dari berbagai macam penelitian, yang menggunakan alat
bantu dengar hanya 10-30%, yang lainnya melakukan penolakan dan pandangan
dari segi perawatan kesehatan dan aspek budaya. Akan tetapi, jika gangguan
pendengaran yang dialami sudah melebihi dari korektif alat bantu dengar yang
dibuat, maka akan disarankan melakukan implan atau penanaman koklea,
terutama pada lansia yang mengalami gangguan penglihatan bilateral dan
memiliki masalah tentang pengenalan kata sekitar ≥ 50% (Cassel, Leipzig, Cohen,
& et al, 2003)
Hipertensi
1. Definisi dan Klasifikasi
Hipertensi merupakan adanya peningkatan tekanan darah sistolik lebih
dari sama dengan 140 dan tekanan darah diastolik lebih dari sama dengan 90 pada
2 kali pemeriksaan dengan selang waktu istirahat 5 menit. (Bell, Twigs, & Olin,
2015)
Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa( usia ≥ 18 tahun), yaitu :
Tekanan darah Tekanan darah
Derajat sistolikik diastolikik
(mmHg (mmHg)

Normal < 120 < 80


Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100
Sumber. (Bell, Twigs, & Olin, 2015).
Apabila pada saat pengukuran didapatkan hasil tekanan darah sistolik dan
tekanan diastolik berada diklasifikasi yang berbeda. Misalnya, pada tekanan
sistolik di temukan diklasifikasi normal dan tekanan darah diastolik di
prehipertensi, maka diambil hasil tekanan tertinggi diantara keduanya. Maka pada
kasus tersebut, termasuk kelompok prehipertensi. Prehipertensi tersebut bukan
suatu penyakit, akan tetapi dapat risiko tinggi untuk menjadi hipertensi derajat 1
dan 2 (Bell, Twigs, & Olin, 2015)
2. Epidemiologi
Di dunia masih banyak yang menderita hipertensi, sekitar 970 juta orang
di seluruh dunia menderita hipertensi, bahkan diperkirakan pada tahun 2025 ada
sekitar 1,56 miliar orang dewasa yang akan menderita hipertensi. Di Amerika,
sekitar 77,9 juta atau 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi. Menurut
berbagai penelitian tidak ada perbedaan antara kejadian hipertensi pada laki-laki
maupun perempuan. Akan tetapi, pada usia yang kurang dari 45 tahun lebih
banyak penderita hipertensi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Sedangkan,
pada usia yang lebih atau sama dengan 65 tahun lebih banyak diderita pada
perempuan dibandingkan laki-laki (Bell, Twigs, & Olin, 2015). Pada ras Afrika-
Amerika penderita hipertensi banyak terjadi pada usia lebih dini, dan kejadiannya
pada perempuan sekitar 47% dan laki-laki 43%. Sedangkan pada ras kaukasia
pada perempuan sekitar 31% dan laki-laki 33% dan pada orang Amerika-Meksiko
angka kejadiannya pada perempuan sekitar 29% dan laki-laki 30%. Di Indonesia
mulai usia keatas 18 tahun penderita hipertensi mencapai 31,7% pada tahun 2007,
dan pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 25,8%. Nilai tekanan darah
ini sangat erat keterkaitannya dengan usia. Maka seiring bertambahnya usia,
menyebabkan nilai tekanannya akan semakin meningkat, dan sangat biasa
dikatakan bila terjadi pada orang tua (Bell, Twigs, & Olin, 2015)
3. Etiologi dan Faktor Risiko
a. Hipertensi primer atau esensial.
Hipertensi jenis ini tidak dapat disembuhkan, dan sekitar lebih dari 90%
pasien hipertensi itu penderita hipertensi primer. Akan tetapi, dapat dilakukan
modifikasi gaya hidup yang baik dan diterapi dengan obat-obatan. Berbagai
macam faktor dapat menyebabkan terjadinya hipertensi, terutama faktor genetik
sangat berperan penting (Bell, Twigs, & Olin, 2015) .
b. Hipertensi sekunder
Disebabkan oleh berbagai kondisi medik dan juga obat-obatan, hipertensi
sekunder ini dialami kurang dari 10% dari penderita hipertensi. biasanya terjadi
pada penderita penyakit ginjal kronis, yang merupakan penyebab tersering dan
menyebabkan peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba. Kemudian tumor
kelenjar adrenal, penyakit tiroid, gangguan pembuluh darah kongenital,
penyalahgunaan alkohol ataupun penggunaan alkohol jangka panjang, dan juga di
sebabkan karena penggunaan obat-obatan, seperti obat anti-inflamasi nonsteroid
(OAINS), obat dekongestan, kokain, obat golongan amfetamin, kortikosteroid ,
dan makan-makanan yang mengandung tinggi natrium seperti makanan olahan
dan kalengan. 14Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya
hipertensi, dari faktor risiko yang dapat dikontrol dan tidak dikontrol. Dari faktor
risiko yang dapat dikontrol meliputi; berat badan berlebih atau obesitas, jarang
berolahraga, pengguna tobako, makanan yang mengandung sodium tinggi, stress,
pengguna alkohol berlebih dan menderita diabetes. Sedangkan beberapa faktor
yang tidak dapat dikontrol yaitu usia, ras dan juga riwayat keluarga (Bell, Twigs,
& Olin, 2015).
4. Patogenesis dan Patofisiologi
Pada hipertensi primer terdapat dua faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi, yaitu mekanisme hormonal berupa hormon natriuretik pada
mekanisme sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS) atau adanya gangguan
pada elektrolit yaitu natrium, kalium dan klorida. Hormon natriuretik yang dapat
menyebabkan peningkatan konsentrasi natrium di dalam sel, sehingga
meningkatnya tekanan di dalam sel, di dalam sistem renin angiotensin selain
mengatur kadar natrium, juga mengatur kadar kalium dan volume darah. Ini
nantinya yang akan mengatur tekanan darah yang berada di pembuluh darah
arteri. Pada mekanisme sistem renin angiotensin melibatkan 2 hormon yaitu,
hormon angiotensin II yang berfungsi meningkatkan pelepasan bahan-bahan
kimia dan vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan meningkatkan produksi aldosteron.
Kemudian ada hormon aldosteron yang mempertahankan natrium dan air dalam
darah, sehingga volume yang berada didalam darah meningkat, dan terjadi
peningkatan tekanan pada jantung dan pembuluh darah (Bell, Twigs, & Olin,
2015). Penyebab tersering peningkatan tekanan darah pada usia lanjut
dikarenakan kekakuan pada dinding arteri besar, terjadi peningkatan konsentrasi
renin, banyaknya asupan sodium, ketidakseimbangan reseptor α dan β, dan efek
dari perubahan pada endotel vaskular yang mengakibatkan disfungsi pada endotel
dan terjadi peningkatan resistensi perifer (Martono & Pranaka, 2014)
5. Penegakan Diagnosis
Dalam melakukan penegakan diagnosis hipertensi, perlu dilakukan
beberapa pemeriksaan, antara lain :

A. Anamnesis
Pada penderita hipertensi kadang tidak mengalami keluhan, akan tetapi
dapat ditanyakan pernah mengalami keluhan berupa nyeri atau sakit kepala,
gelisah, jantung berdetak lebih cepat atau palpitasi, merasa pusing, kaku pada
leher, merasa penglihatan lebih kabur, nyeri pada bagian dada, mengalami
impotensi atau disfungsi ereksi dan mudah lelah. Akan tetapi, pada penderita
hipertensi berat ditandai dengan nyeri kepala yang sering terjadi pada pagi hari,
terutama di regio oksipital. Dan peningkatan tekanan darah berhubungan dengan
bertambahnya berat badan, gaya hidup dengan masalah pekerjaan dan sering
makan di luar rumah, menurunnya aktivitas fisik, dan apakah ada riwayat tekanan
darah tinggi atau hipertensi dikeluarga (Adrian & Tomy, 2019)
B. Pemeriksaan Fisik
Pertama, sebagai tahap persiapan yaitu, perlu istirahat dengan duduk di
kursi sekitar > 5 menit, harus mengosongkan kandung kemih terlebih dahulu,
harus menghindari meminum kafein, apabila telah melakukan olahraga ataupun
merokok paling tidak 30 menit sebelum pemeriksaan pengukuran tekanan darah,
sebaiknya saat dilakukan pengukuran baik pemeriksa maupun pasien tidak boleh
berbicara.
Saat pengukuran alat yang digunakan telah dikalibrasi secara periodik
sebelumnya, lengan pasien dapat diletakkan di atas meja, kemudian manset
tensimeter yang digunakan harus sesuai ukurannya, posisi mansetnya harus sejajar
dengan atrium kanan atau pada bagian pertengahan sternum (Adrian & Tomy,
2019).
Pada pengukuran pertama, dilakukan di kedua lengan, kemudian pada
pengukuran berikutnya dilakukan pada lengan dengan tekanan darah tertinggi,
dengan jeda waktu pengukuran berikutnya 1-2 menit. Pada saat melakukan
pengukuran pemeriksa mempalpasi bagian a. radialis, apabila saat manset
dikembangkan perlahan-lahan pulsasi a. radialis menghilang untuk menandakan
tekanan darah sistolik dan ditambahkan 20-30 mmHg, kemudian diturunkan
perlahan dengan kecepatan sekitar 2 mmHg per detik, sambil mendengarkan
bunyi korotkof. Saat didapatkan hasil dan akan ditentukan sesuai klasifikasi
derajat hipertensi (Adrian & Tomy, 2019). Pada pasien berusia 60 tahun atau lebih
yang tidak memiliki penyakit diabetes atau penyakit ginjal kronis, diharapkan
tekanan darah pasien <150/90 mmHg, apabila memiliki penyakit diabetes atau
penyakit ginjal kronis memiliki sasaran dengan tekanan darah yaitu <140/90
mmHg. Dan pada pasien berusia 18 - 59 tahun dengan tidak memiliki
komorbiditas mayor dengan sasaran tekanan darah < 140/90 mmHg (Page, 2014)
6. Komplikasi
hipertensi menyebabkan komplikasi terjadinya gangguan pada pembuluh
darah antara lain, terjadinya aterosklerosis karena dinding pada pembuluh darah
menjadi lebih sempit, karena terjadi penebalan akibat akumulasi dari jaringan
lemak atau ateroma dan dinding pembuluh darah menjadi kurang fleksibel,
sehingga aterosklerosis ini bisa menyebabkan terjadinya perdarahan pada otak,
iskemia serebral, terjadinya demensia vaskular, angina, infark miokard, dapat
terjadi gagal jantung, gagal ginjal dan juga dapat menurunkan aliran darah
kebagian penting, seperti ke jantung, otak, ginjal, dan ekstremitas. Kemudian
menyebabkan pembuluh darah pada aorta menjadi besar, sehingga menyebabkan
aorta mengalami aneurisma ataupun dapat menjadikan pembuluh darah koroner
menjadi sempit, sehingga terjadinya sumbatan dan menyebabkan angina.
Hipertensi yang kronis juga membuat fungsi jantung memburuk, sehingga
menyebabkan gagal jantung, stroke atau bisa menyebabkan demensia vaskular,
dapat menyebabkan fungsi ginjal menjadi menurun, dan juga menyebabkan
gangguan pada penglihatan, sehingga menderita penyakit retinopati (World Health
Organization, 2017)
Angka kematian juga meningkat, seiring dengan meningkatnya tekanan
darah. Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2017,
menunjukkan bahwa tekanan darah yang lebih dari 155/95 mmHg akan berisiko
mengalami peningkatan 4x lipat dari pada orang normal untuk kejadian penyakit
jantung, dan pada tekanan 175/105 mmHg meningkat 8x lipat terjadinya penyakit
jantung, dan pada tekanan 195/115 mmHg meningkat sekitar 16x dari pada orang
normal terjadinya penyakit jantung. Salah satu komplikasinya adalah stroke, yang
merupakan penyakit serebrovaskular disebabkan karena tersumbatnya pembuluh
darah. Sehingga akan menyebabkan timbulnya gejala-gejala seperti, kelemahan
tiba-tiba pada daerah wajah, tangan, kaki, dan mengalami kesulitan dalam
berbicara, terjadinya kehilangan penglihatan secara mendadak, mengalami
kesulitan dalam berjalan, dan mengalami sakit kepala yang parah. Seperti
disebutkan diatas, bahwa hipertensi juga menyebabkan infark miokard dan
terjadinya gagal jantung. Infark miokard merupakan serangan jantung yang terjadi
ketika adanya penyumbatan pembuluh darah pada otot jantung. Gejalanya berupa,
ketidaknyamanan pada dada, rasa sakit pada bagian sternum, nyeri yang menjalar
ke bahu, leher ataupun lengan, sulit bernapas, pusing, mual disertai nyeri dada.
Pada saat jantung mengalami penurunan fungsi, sehingga tidak mampu menyuplai
darah ke seluruh bagian tubuh akibatnya terjadi gagal jantung (World Health
Organization, 2017).
7. Tata Laksana
A. Farmakologi
Dalam hal ini merupakan terapi lini pertama untuk penderita hipertensi,
berupa obat-obatan anti-hipertensi dan terapi non-farmakologi berupa mengubah
pola dan gaya hidup. Menurut (JNC 8), Apabila orang tersebut berusia kurang dari
60 tahun yang tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastoliknya ≥ 90 mmHg , maka kasus tersebut dapat diberikan obat anti
hipertensi. Akan tetapi, apabila orang tersebut berusia lebih dari 60 tahun yang
memiliki tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg, orang tersebut harus diberikan obat anti-hipertensi. Obat anti-hipertensi
lini pertama, berupa diuretik tiazid (hidroklorotiazid dan klortalidon), golongan
calcium channel blocker (CCB), dan golongan angiotensin-converting enzyme
inhibitor (ACE-I) dan angiotensin II receptor blockers (ARBs) (Bell, Twigs, &
Olin, 2015). Pada golongan tiazid pertama diberikan hidroklorotiazid dan
klortalidon, yang berkerja menghambat penyerapan elektrolit berupa natrium dan
klorida di ginjal. Sehingga air dan elektrolit banyak yang hilang, dan volume di
darah berkurang, akibatnya tekanan pada jantung berkurang dan tekanan darah
arteri menurun. Akan tetapi, bila tidak efektif dapat diberikan metolazon untuk
penderita hipertensi yang mengalami gangguan pada ginjal yang menyebabkan
fungsi ginjalnya kurang baik (Bell, Twigs, & Olin, 2015).

Tabel 2.3 Obat anti-hipertensi lini pertama, sebagai berikut


Dosis
Golongan Nama Obat
(mg/hari)
Chlorthalidone 12,5-25 mg
Hydrochlorothiazide 12,5-50 mg
Diuretic Indapamide 1,25-2,5 mg
Tiazid Metolazone 2,5-5 mg
Amlodipin 2,5-10 mg
Felodipin 2,5-10 mg
Isradipine sustained-release 5-10 mg
Nicardipine sustained-release 60-120 mg
Nifedipinelong-acting 30-90 mg
Calcium Nisoldipine 17-34 mg
Channel
Blocke Benazepril 20-80 mg
Captopril 25-50 mg
Enalapril 2,540 mg
Fosinopril 10-80 mg
Lisinopril 10 -40 mg
Moexipril 7,5 -30 mg
Perindopril 4 -16 mg
Angiotensin Quinapril 10 -80 mg
converting
enzyme
Ramipril 2,5 -20 mg
Inhibitor Trandolapril 1 -8 mg
Azilsartan 40 -80 mg
Candesartan 8-32 mg
Eprosartan 400 -800 mg
Angiotensin II Irbesartan 150 -300 mg
receptor
blockers(ARBs
Losartan 25 -100 mg
) Olmesartan 20 -40 mg
Telmisartan 20 -80 mg
Valsartan 80-320 mg
Sumber. (Bell, Twigs, & Olin, 2015)
Efek samping obat ini secara umum dapat menyembabkan kadar elektrolit
tidak seimbang. Pada golongan calcium channel blocker, memiliki kerja
vasodilatasi pembuluh darah atau terjadi pelebaran pada pembuluh darah,
sehingga tekanan pada jantung menurun dan menurunkan tekanan darah. Akan
tetapi efek sampingnya ialah sakit kepala, pusing, memerah, dan bengkak pada
kaki dan lengan (Bell, Twigs, & Olin, 2015). Apabila telah diberikan obat, maka
sasaran tekanan yang ingin dicapai yaitu, apabila orang tersebut berusia kurang
dari 60 tahun, maka target tekanannya <140/90 mmHg, apabila berusia lebih dari
60 tahun, maka target tekanannya <150/90 mmHg, apabila penderita hipertensi
juga menderita penyakit ginjal kronik atau menderita diabetes, maka target
tekanan ialah <140/90 mmHg. Dan apabila setelah satu bulan pemberian obat,
penderita tidak mengalami penurunan tekanan darah sesuai target, maka dosis
pada obat lini pertama ditingkatkan atau menambahkan obat yang ada pada lini
kedua, dan menjadikannya terapi kombinasi, jika pada saat diperiksa tekanan
darah sistolik > 20 mmHg dari sasaran atau > 160 mmHg, dan atau tekanan darah
diastolik > 10 mmHg dari sasaran atau > 100 mmHg (Bell, Twigs, & Olin, 2015).
Pada penatalaksanaan hipertensi untuk usia lanjut, seperti pedoman dari Joint
National Committee (JNC) VII dapat diberikan yang pertama ialah golongan
diuretika tiazid, apabila tekanan darah melebihi 160/90 mmHg, memerlukan
kombinasi obat, dimana kombinasi diuretika tiazid dengan anti-hipertensi lain.
B. Non-Farmakologi
Seluruh penderita hipertensi harus memodifikasi dari pola hidup terutama
makanan, banyak makanan yang mengandung kadar natrium yang tinggi,
sehingga apabila konsumsinya berlebih dan kadar dalam darahpun meningkat,
menyebabkan volume darah meningkat, sehingga meningkatkan tekanan pada
jantung untuk memompa darah ke seluruh bagian tubuh, akibatnya tekanan darah
sistemik jadi meningkat. Hal tersebut yang menyebabkan orang menderita
hipertensi (Bell, Twigs, & Olin, 2015).
Menurut American Heart Association (AHA), mengatur kadar natrium
yang dapat dikonsumsi tiap harinya, asupan natrium sebaiknya kurang dari 1500
mg perhari. Dan membatasi untuk mengkonsumsi makanan-makanan olahan dan
kemasan yang mengandung kadar natrium yang tinggi, dan kurang mengkonsumsi
makanan dan minuman yang manis, seperti alkohol, permen dan minuman yang
menggunakan gula sebagai pemanis. Disarankan untuk banyak mengkonsumsi
sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian, dan ikan. selain modifikasi pola makan,
juga modifikasi dengan gaya hidup. Dengan olahraga aerobik seperti jalan,
jogging berenang dan bersepeda, dengan waktu kurang lebih 40 menit, dengan
frekuensinya 3-4 kali dalam seminggu (Bell, Twigs, & Olin, 2015).
Dalam kasus ini didapatkan hasil anamnesis dengan keluhan utama
Gangguan Pendengaran. Gangguan pendengaran pada passien ini dirasakan di
kedua tilanga dan yang paling parah dirasakan pada telinga kiri. Kejadian ini
sudah berlangsung selama 10 tahun yang lalu dan saat ini pada usia 84 tahun
keluhannya semakin memberat kurang lebih 4 tahun terakhir saat istrinya
meninggal.
Gejala pada pasien yaitu pasien meminta lawan bicaranya mengulangi
pertanyaan saat berkomunikasi dan memintanya agar suaranya di tinggikan lagi.
Gejala yang dialami pasien tersebut semakin memberat keluarga pasien membawa
pasien utuk berobat ke RS spesialis THT-Kepala Leher RS Iskak Tulungagung.
Berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien maka pasien sesuai dengan gejala
presbikusis.
Pada pasien ini lansia berusia 84 tahun sehingga terjadi degeneratif pada
organ dalam tubuh termasuk organ pendengaran. Dari hasil literatur dan keluhan,
kejadian ini sesuai dengan pengalaman pasien dengan penurunan fungsi
pendengaran akibat penuaan proses degeneratif.
Dari riwayat yang dialami oleh pasien, pasien juga mengalami penyakit
penyerta yaitu hipertensi kronik. Tekanan darah pasien 140/100 mmHg yang
termasuk hipertensi derajat 1. Hipertensi yang berkepanjangan dapat
memperburuk resistensi pembuluh darah yang mengakibatkan disfungsi sel
endotel pada pembuluh darah. Patogenesis sistem peredaran darah dapat terjadi
pada pembuluh darah di telinga bagian dalam yang disertai dengan peningkatan
viskositas darah, penurunan aliran darah kapiler dan pengangkutan oksigen.
Akibatnya terjadi kerusakan pada sel-sel pendengaran, dan terjadi proses transmisi
sinyal yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang akan mengakibatkan
gangguan komunikasi. Jadi pada pasien yang mulai muncul gejala gangguan
pendengaran juga berhubungan dengan hipertensi yang diderita pasien.

Dari hasil tersebut yang menjadi dasar bagi pasien mendapat pengobatan
obat hipertensi yaitu kaptopril yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah
pasien. Sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya komplikasi penyakit
lainnya, dan tidak memperberat gangguan pendengaran pada pasien. Namun
pasien tidak meminum obat hipertensi secara rutin, sehingga tekanan darah pasien
tidak terkontrol yang berakibat pada keluhan gangguan pendengaran. Keluarga
dapat melakukan untuk pasien dengan cara berbicara dengan jelas dan perlahan,
jangan berteriak, berbicara dengan pasien di ruangan yang terang, hindari
berbicara di tempat dengan latar belakang keramaian dan kebisingan. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah pengujian Audiometri. Tes ini dilakukan pada 7
November 2017 saat pasien berusia 81 tahun. Dari pengujian audiometri ini
didapatkan hasil ADD 56.25 db / ADS 68.75 db. Dari pemeriksaan audiometri
yang dilakukan di RSUD Iskak Tulungagung oleh dokter spesialis THT, pada
hasil Audiogram didapatkan gambaran Tuli Dextra Sensorineural Parah / Sinistra
pada pasien. Beberapa tes dapat dilakukan untuk mengetahui jenis dan beratnya
gangguan pendengaran yang dialami seseorang.

Pada pasien ini hasil audiometri menggambarkan ketulian sedang sampai


berat. Di telinga kanan 56,28 db dan di telinga kiri yang mengalami tuli berat dari
kanan. Dari dasar ini, spesialis THT merekomendasikan penggunaan "alat bantu
dengar" pada pasien untuk kedua telinga. Namun karena "alat bantu dengar" ini
mahal dan tidak ditanggung oleh BPJS, maka pasien hanya membeli 1 "alat bantu
dengar" untuk telinga kiri, yang mengalami lebih parah dari pada yang kanan.
Setelah menggunakan alat bantu dengar ini, pendengaran pasien mulai membaik.
Setelah 3 tahun sejak penggunaan awal "Alat Bantu Dengar" pada pasien tidak
ada evaluasi lebih lanjut yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi pasien,
Keluarga tidak pernah membawa pasien ke rumah sakit lagi untuk evaluasi setelah
penggunaan "Alat Bantu Dengar". Evaluasi hanya dilakukan dengan melihat
klinis pasien saja. Ketika tes mandiri dilakukan dengan memanggil pasien,
keluarga harus berbicara lebih dekat ke telinga pasien dan berbicara dengan suara
yang lebih keras dari biasanya. Bahkan dari jarak 1 meter pasien tidak dapat
mendengar suara dengan baik. Baru bisa mendengar dengan baik pada jarak
kurang lebih 20cm.

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien presbycusis adalah


dengan cara pencegahan agar kejadian presbycusis semakin parah. Karena
presbycusis sendiri sulit untuk disembuhkan. Pencegahan meliputi: menghindari
kebisingan saat berkomunikasi, diet rendah lemak, menghindari rokok dan
alkohol, menghindari stres. Masalah utama yang dihadapi pada pasien Presbycusis
adalah gangguan komunikasi. Tujuan dari pengobatan ini adalah untuk membantu
pasien berkomunikasi dengan baik.

Aspek Agama
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah SWT memerintahkan
kita untuk berbakti kepada kedua orangtua, berbicara dengan perkataan yang baik
dan tidak diperbolehkan untuk membentaknya, seperti dalam QS. Al-Israa` ayat
23. Allah SWT berfirman :

Artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa`
[17]: 23)
Sebagai seorang anak maka harus bersikap rendah hati dan menyayangi
kedua orangtua serta mendoakan yang terbaik untuk keduanya karena mereka lah
yang telah mendidik anaknya sedari kecil dengan penuh kasih sayang, keikhlasan
dan kesabaran, seperti dalam surat Al-Israa` ayat 24.
Allah SWT berfirman

Artinya :
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (QS. Al-Israa`
[17]: 24)
Dalam sebuah Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berkata jikalau kita harus berbakti kepada orangtua.

Artinya :

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata; “Seorang laki-laki


datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata; “Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya?” Beliau
menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” Beliau menjawab:
“Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab:
“Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Kemudian
ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sebuah Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim, diceritakan bahwa


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata jikalau dosa terbesar adalah
mempersekutukan Allah dan durhaka kepada orang tua.

Artinya :
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mau
kuberitahu mengenai dosa yang paling besar?” Para sahabat menjawab, “Mau,
wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda, “(Dosa terbesar adalah)
mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau
mengucapkan hal itu sambil duduk bertelekan [pada tangannya]. (Tiba-tiba
beliau menegakkan duduknya dan berkata), “Dan juga ucapan (sumpah) palsu.”
Beliau mengulang-ulang perkataan itu sampai saya berkata (dalam hati),
“Duhai, seandainya beliau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

KESIMPULAN

Presbikusis merupan masalah gangguan kesehata yang sering terjadi pada


lansia. Genetik, faktor lingkungan, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular,
gaya hidup, psikologi merupaka faktor resiko yang memudahkan dan
meningkatkan terjadinyapresbikusis. Dalam pandangan islam, Allah SWT
memerintahkan kita untuk berbakti kepada orangtua dan merawatnya. Sebagai
seorang anak, kita harus bersikap rendah hati dan menyayagi kedua orangtua serta
mendoakannya yang terbaik untuk kedua orangtua kita.
Penulis menyarankan agar pasien rutin memakai ABD dan mengintrol
tekanan darahnya dengan cara meminum obat secara rutin, menghindari tempat-
tempat yang bising, dan passien harus rutin control ke dr. THT dan bagian
jantung.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih kepada Tn. S yang telah memberikan waktu dan kesempatan
untuk melakukan sesi wawancara. Terimakasih kepada dr. Yurika Sandra,
M.Biomed, dr. Faisal Sp.PD, dr. Hj. Susilowati, M.kes, dan Drs. Arsyad, M.A
atas bimbingannya selama ini sehingga laporan ini selesai dengan baik serta
teman-teman kelompok kepeminatan geriatri dan teman sejawat Fakultas
Kedokteran Universitas YARSI yang selalu membantu dalam penyelesaian
laporan kasus.

DAFTAR PUSTAKA
Aaljufri, S. (2019). HUBUNGAN HIPERTENSI DENGAN KEJADIAN
PRESBIKUSIS PADA KELOMPOK USIA LEBIH DARI 60 TAHUN DI
PANTI WERDHA KOTA TANGERANG SELATAN .
Adam, G. L., Boies, L. R., & Higlar, P. A. (1994). BOIES : Buku Ajar Penyakit
THT Ed.6. . Jakarta: EGC.
Adrian, S. J., & Tomy. (2019). Hipertensi Esensial: Diagnosis dan Tatalaksana
Terbaru Pada Dewasa. 46(3), 172-8.
Bell, K., Twigs, J., & Olin, B. R. (2015). Hypertension.
Cassel, C. K., Leipzig, R. M., Cohen, H. J., & et al. (2003). United State of
America.
De Sousa, C. S., Junior, N. d., & Ching, T. H. (2009). Risk factor for presbycusis
in a socio-economic midle-class sample., 75(4), 536-6.
Halter, J. B., Ouslander, J. G., & at all. (2009). In Hazzard's Geriatric Medicine
And Gerontology (pp. 525-33). New York: The McGraw-Hill Companies.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan R. Hipertensi.
Lee, K. -Y. (2013). Pathophysiology of Age-Related Hearing Loss Peripheral and
Central. 45-9.
Martono, H., & Pranaka, K. (2014). Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri Ed 5.
Jakarta: Balai penerbit FK UI.
Nakashima, T., Naganawa, S., Sone, M., & et al. (2013). Disorders of cochlear
blood flow; Brain Research Reviews., 17-28.
Page, M. R. (2014). The JNC 8 Hypertension Guidelines: An In-Depth Guide.
Setiati, S., Harimurti, K., & R, A. G. (n.d.). Proses Menua Dan Implikasi
Kliniknya. In Geriatri.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., & et al. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Wang, J., & Puel, J. L. (2020, January 14). Presbycusis: An Update on Cochlear
Mechanisms and Therapies, 9, 218. doi:10.3390/jcm9010218
World Health Organization. (2017). Complication Prevention for Patients with
Hypertension.

You might also like