Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

PSYMPATHIC : Jurnal Ilmiah Psikologi eISSN: 2502-2903, pISSN: 2356-3591

Volume 4, Nomor 2, 2017: 275-288 DOI: 10.15575/psy.v4i2.1341

Peran Preoccupied Attachment Style terhadap Kecenderungan


Mengalami Stockholm Syndrome pada Perempuan Dewasa Awal
Arlin Yuliani, Nurindah Fitria
Universitas YARSI, Jl. Letjend Suprapto Kav. 13 Jakarta Pusat
e-mail : [email protected]

Abstract

Good romantic relationship occurs when a couple can solve their conflict in an effective way.
Unfortunately, not all couples can do it, on the top of that the conflict become a violence.
Eventhough the victim has been hurted many times, they still cannot leave violent relationship
because of emotional bond between the victim and the perpetrator, which is called as stockholm
syndrome. One factor which can affect this condition is attachment style, especially insecure
attachment style, such as preoccupied attachment style. Insecure attachment style can make the
victim stuck with relationship which full of violence. The aim of this research was to analyze the
role of preoccupied attachment style towards the tendency to experience stockholm syndrome in
young adulthood women. This research used quantitative approach. 323 participants were
selected using accidental sampling technique. The measurements were the preoccupied
dimension from the Attachment Styles Questionnaire and the Stockholm Syndrome Scale.
Regression testing showed that preoccupied attachment style had a significant role towards the
tendency to experience stockholm syndrome (1.9%).

Keywords: preoccupied attachment style, stockholm syndrome, romantic relationship

Abstrak
Hubungan romantis yang baik terjadi ketika individu yang terlibat di dalamnya dapat
menyelesaikan konflik. Sayangnya, tidak semua individu dapat menyelesaikan konflik dengan
baik bahkan berujung pada kekerasan. Meskipun telah disakiti, seringkali korban tidak mampu
meninggalkan hubungannya yang penuh dengan kekerasan karena adanya ikatan emosional yang
kuat antara korban dan pelaku kekerasan yang biasa disebut sebagai stockholm syndrome. Faktor
yang dapat memengaruhi munculnya kondisi ini adalah gaya kelekatan, terutama yang termasuk
gaya kelekatan insecure, salah satunya preoccupied attachment style. Gaya kelekatan insecure
dapat membuat individu terjebak dalam hubungan romantis yang penuh kekerasan. Penelitian
bertujuan mengetahui peran preoccupied attachment style terhadap kecenderungan mengalami
stockholm syndrome pada perempuan dewasa awal. Penelitian menggunakan pendekatan
kuantitatif, dengan partisipan sebanyak 232 sampel melalui teknik incidental sampling.
Pengukuran dilakukan dengan Attachment Styles Questionnaire dimensi preoccupied dan the
stockholm syndrome. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa preoccupied attachment style
berperan signifikan terhadap kecenderungan mengalami stockholm syndrome yaitu sebesar
1.9%.

Kata Kunci: preoccupied attachment style, stockholm syndrome, hubungan romantis

Pendahuluan bedaan perspektif ini mampu menimbul-


kan konflik di dalam hubungan. Namun,
Hubungan pacaran adalah hubungan
penyelesaian konflik yang efektif memung-
yang muncul sebelum pernikahan. Hubung-
kinkan pasangan tetap mampu menjalani
an pacaran merupakan bagian dari kehi-
hubungan pacarannya dengan baik.
dupan sosial remaja dan dewasa yang dapat
Sayangnya, tidak semua individu
memunculkan emosi yang kuat, baik positif
mampu untuk menyelesaikan konflik dalam
maupun negatif. Dalam kenyataannya,
hubungannya secara efektif. Bahkan, ketika
hubungan pacaran tidak selalu berjalan
individu tidak memiliki kemampuan
dengan baik karena selalu ada perbedaan
penyelesaian masalah yang baik, muncul-
perspektif dan tujuan antar individu. Per-

275
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol. 4, No. 2, Hal : 275 – 288

nya konflik dapat membawa individu saan negatif misalnya, perasaan takut,
menggunakan kekerasan sebagai jalan cemas, stres, depresi, trauma atau benci
keluar penyelesaian konfliknya. Ketika kepada laki-laki), sosial (menarik diri dari
kekerasan digunakan sebagai cara untuk lingkungan), dampak pola pikir (misalnya
menyelesaikan konflik, bukan tidak merasa tidak percaya diri, sulit berkonsen-
mungkin hubungan pacaran tersebut akan trasi atau tidak menghargai diri sendiri),
berujung pada kekerasan dalam pacaran. dan dampak perilaku berisiko (misalnya
Kekerasan dalam pacaran adalah upaya penggunaan NAPZA, mengkonsumsi
salah satu pasangan untuk mengontrol atau minuman beralkohol, aborsi maupun upaya
mendominasi pasangannya, baik secara bunuh diri).
seksual, psikologis, atau fisik, yang dapat Menurut Walker (1979, dalam Puteri,
menyebabkan kerugian pada pasangannya 2016) siklus kekerasan dalam pacaran
(Wolfe dan Feiring, 2000). mencakup tiga tahap yaitu, tension building
Kasus kekerasan dalam pacaran sendiri phase, accute battering episode, dan the
dapat digolongkan sebagai salah satu honeymoon phase. Pada the honeymoon
bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal phase inilah korban kekerasan dalam
ini disebabkan oleh lebih banyak perem- pacaran merasa luluh dan sulit untuk asertif
puan yang menjadi korban kekerasan, terhadap perilaku kekerasan yang terjadi.
setidaknya empat kali lipat dibandingkan Perilaku yang diciptakan pelaku kekerasan
laki-laki (Catalano, Smith, Snyder dan dalam pacaran pada fase ini dalam bentuk
Rand, 2009). Berdasarkan data dari Cata- menciptakan suasana atau kondisi hu-
tan Tahunan Komnas Anti Kekerasan bungan yang sangat indah dan romantis,
terhadap Perempuan tahun 2016, ditemu- memberikan kebaikan yang luar biasa
kan bahwa jumlah kasus kekerasan ter- kepada korban sebagai wujud penyesalan
hadap perempuan, khususnya yang terjadi dan upaya untuk memperbaiki hubungan,
dalam rumah tangga dan/ atau relasi dapat membuat korban kesulitan untuk
personal, pada tahun 2015 adalah sebanyak melepaskan hubungannya.
11.207 kasus. Kekerasan dalam pacaran Sejumlah penelitian telah mengidenti-
menempati urutan kedua dengan besaran fikasi faktor-faktor yang dapat memenga-
kasus sejumlah 24% dari kasus kekerasan ruhi keputusan korban untuk bertahan
dalam rumah tangga dan/ atau relasi dalam hubungan yang penuh kekerasan.
personal (Komisi Nasional Anti Kekerasan Penelitian Edwards, Gidyez dan Murphy
terhadap Perempuan, 2016). Dengan demi- (2011) menunjukkan faktor-faktor tersebut
kian, setidaknya dalam satu tahun terdapat diantaranya adalah adanya pengaruh dari
lebih dari 2.000 kasus kekerasan yang masa lalu korban yang pernah mengalami
terjadi dalam hubungan pacaran, atau kekerasan pada masa kanak-kanak sehingga
setidaknya setiap bulannya terdapat 200 korban lebih menoleransi perilaku kasar
kasus yang tercatat. yang dilakukan pelaku, self-esteem yang
Kekerasan dalam pacaran juga timbul rendah, dan coping stress yang tidak tepat.
akibat pelaku merasa memiliki kontrol dan Korban yang bertahan dalam hubungan
kekuatan atas pasangannya (Miller, 2012), dengan kekerasan bukan berarti mengingin-
yang artinya pelaku merasa bahwa dirinya kan atau menerima perilaku kekerasan,
memegang kendali atas hubungannya dan tetapi korban memilih untuk tetap bertahan
pasangannya. Berdasarkan hasil penelitian walaupun dirinya disakiti (Lewis dan
yang dilakukan Ayu (2013) ditemukan Fremouw, 2001). Kondisi ketika seseorang
sejumlah dampak yang muncul akibat memilih untuk bertahan meskipun telah
kekerasan dalam pacaran, yaitu dampak banyak disakiti tergolong sebagai
secara fisik (luka fisik berat maupun stockholm syndrome.
ringan), dampak psikologis (meliputi pera-

276
Peran Preoccupied Attachment Style terhadap Kecenderungan Mengalami Stockholm Syndrome pada Perempuan Dewasa Awal
(Arlin Yulian, Nurindah Fitria)

Stockholm syndrome adalah suatu dekat seseorang terhadap individu lain yang
kondisi emosional yang kompleks secara disukai. Dalam hal ini, pasangan dalam
psikologis ketika timbul ikatan yang kuat hubungan romantis (pacaran) menjadi figur
antara korban terhadap pelaku kekerasan. orang yang terdekat, yaitu teman berbagi
Ikatan ini meliputi rasa cinta korban kasih sayang, tempat mendapat perlindung-
terhadap pelaku, melindungi pelaku yang an, perhatian, dan dapat menjadi sumber
telah menganiaya, menyalahkan diri sendiri pemenuhan kebutuhan seksual.
sebagai penyebab kekerasan, dan Hubungan romantis pada masa remaja
menyangkal atau meminimalisasi kekera- dan dewasa dapat dikonseptualisasikan
san yang terjadi (Graham, Rawlings, Ihms, sebagai proses kelekatan yang sesuai
Latimer, Foliano, Thompson dan Hacker, dengan teori kelekatan Bowlby tentang
1995). Menurut Graham dkk. (1995) ikatan kelekatan pada masa anak dengan figur
kuat dalam stockholm syndrome merupakan lekat (orang tua) (Hazan dan Shaver, 1987,
strategi yang digunakan sebagai coping dalam Ragil dan Margaretha, 2012). Teori
terhadap kekerasan dan strategi untuk ini dapat terbentuk atas dasar pemahaman
mengakhiri kekerasan yang dialami. bahwa semenjak masa remaja, figur lekat
Penelitian Sekarlina dan Margaretha seseorang terhadap orang tua mulai diganti-
(2013) mengenai stockholm syndrome pada kan oleh teman atau sahabat maupun
perempuan dewasa awal menunjukkan hasil pasangan. Pada masa inilah perilaku akan
berupa tiga kondisi yang mengembangkan muncul sesuai dengan kelekatan yang
stockholm syndrome yang dominan dalam dimilikinya, baik secure ataupun insecure
hubungan penuh kekerasan. Kondisi (Bowlby dan Ainsworth, dalam Santrock,
tersebut antara lain yaitu isolasi dari orang 2003). Secure attachment memiliki
terdekat, kebaikan-kebaikan kecil yang karakteristik sebagai indvidu yang percaya
ditunjukkan pelaku, dan ancaman untuk diri, optimis, serta mampu membina
tidak pergi atau meninggalkan pelaku. hubungan dekat dengan orang lain,
Selain kondisi tersebut, menurut Graham, sedangkan individu dengan insecure
Rawlings dan Rigsby (1994) komponen attachment memiliki karakteristik sebagai
penting lainnya yang dapat mengembang- indvidu yang menarik diri dari lingkungan,
kan stockholm syndrome pada diri korban tidak merasakan kenyamanan dalam sebuah
adalah adanya distorsi kognitif. kedekatan, memiliki emosi yang berlebihan
Distorsi kognitif muncul dalam diri dan sebisa mungkin mengurangi ketergan-
korban karena terjadi tarik-menarik antara tungan terhadap orang lain.
ketidaksadaran dengan orientasi korban Berdasarkan konsep internal working
terhadap pelaku kekerasan. Ketika pelaku models of attachment dari Bowlby, maka
melakukan kekerasan, teror, dan ancaman Bartholomew dan Horowitz (1991) dalam
terhadap korban, distorsi kognitif menim- penelitiannya membuktikan setiap gaya
bulkan harapan suatu saat perilaku kelekatan yang dimiliki individu dapat
kekerasan akan berakhir ketika pelaku memengaruhi kemampuan berhubungan
diberikan cinta dan perhatian penuh oleh dengan orang lain. Suatu keberhasilan atau
korban (Graham dkk., 1994). kegagalan dalam menjalani hubungan
Salah satu karakteristik yang berkontri- romantis tergantung bagaimana masing-
busi pada korban dengan stockholm masing pasangan mengembangkan gaya
syndrome adalah gaya kelekatan yang kelekatannya. Gaya kelekatan akan menen-
dikembangkan oleh pasangan terhadap tukan bagaimana cara mereka menjalani
pelaku. Menurut Bowlby (dalam hubungan dan menghadapi konflik yang
Mikunlincer dan Shaver, 2007), attachment terjadi (Mikulincer dan Horesh, 1999).
atau kelekatan merupakan salah satu bentuk Menurut Wekerle dan Wolfe (1999)
perilaku yang muncul dalam hubungan kelekatan insecure dapat meningkatkan

277
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol. 4, No. 2, Hal : 275 – 288

risiko terjadinya kekerasan dalam pacaran, dirinya tidak memiliki keyakinan penuh
baik sebagai pelaku maupun korban. untuk dapat berdiri sendiri tanpa pasangan-
Bartholomew dan Horowitz (1991) nya dan mempercayai bahwa perilaku
menyatakan empat dimensi gaya kelekatan. kekerasan itu akan segera berakhir seperti
Salah satu dimensi gaya kelekatan tersebut yang disampaikan oleh pasangannya.
adalah preoccupied attachment style. Penelitian Henderson, Bartholomew,
Preoccupied attachment style termasuk ke Trinke, dan Kwong (2005) menunjukkan
dalam bagian insecure attachment, dimana individu dengan preoccupied attachment
individu pada gaya kelekatan ini memiliki style akan lebih menerima dan menoleransi
model of other bergantung dengan orang perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
lain yaitu individu menginginkan hubungan pasangannya. Kondisi ini dapat dialami
yang intim secara ekstrim meskipun oleh korban yang mengalami stockholm
hubungan semacam ini sering menim- syndrome, yaitu ketika perilaku kekerasan
bulkan tekanan bagi mereka. Individu merupakan cara yang digunakan pelaku
dengan preoccupied attachment style untuk menunjukkan cintanya dan korban
memiliki model of self berupa gambaran dapat meminimalisir perilaku kekerasan
diri yang negatif terhadap dirinya dan tersebut. Jadi, korban akan menganggap
model of other bergantung kepada orang perilaku kekerasan sebagai hal yang biasa
lain. sehingga tetap bertahan dalam hubungan.
Dalam menjalin hubungan dengan Adanya sikap toleransi ini dapat
orang lain, individu dengan preoccupied dipengaruhi oleh pengalaman menjadi
attachment style menginginkan hubungan korban kekerasan pada masa kanak-kanak
emosional yang intim, namun memiliki (Edwards dkk., 2011).
kecemasan bahwa orang lain tidak ingin Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti
menjalin kedekatan dengan dirinya. tertarik untuk menelaah lebih jauh
Individu tersebut juga merasa tidak nyaman mengenai peran preoccupied attachment
jika tidak memiliki hubungan tetapi style dengan kecenderungan perempuan
khawatir orang lain tidak menghargai dewasa awal mengalami stockholm
dirinya seperti dirinya menghargai orang syndrome. Di Indonesia, belum banyak
lain. Kondisi ini tergambar pada keadaan penelitian yang membahas mengenai hal
korban yang mengalami stockholm ini, terutama pembahasan mengenai
syndrome. Kehadiran pasangan sebagai stockholm syndrome. Adapun penelitian
figur lekat menjadikan dirinya sebagai terdahulu yang telah dilakukan adalah
pribadi yang bergantung dengan pasangan melihat gambaran mengenai perempuan
(pelaku kekerasan) dan harapan terhadap dewasa awal yang bertahan dalam
kekerasan yang dialami akan segera hubungan yang penuh kekerasan (Sekarlina
berakhir (Herbert dkk., 1991, dalam Duley, dan Margaretha, 2013) dan pengaruh gaya
2012). Dengan demikian, ketika memasuki kelekatan ambivalen pada perempuan yang
honeymoon phase, korban merasa tidak mengalami kekerasan dalam pacaran
mampu meninggalkan pasangan karena ia (Nur’aini, 2012). Dari kedua penelitian
sangat menginginkan adanya hubungan tersebut, peneliti belum menemukan riset
intim. Perilaku pelaku yang menunjukkan yang menjelaskan khusus tentang peran
perasaan menyesal di fase ini dapat preoccupied attachment style terhadap
mereduksi kecemasannya akan ketidak- kecenderungan mengalami stockholm
inginan orang lain untuk menjalin syndrome pada perempuan dewasa awal.
hubungan dengannya. Pada kondisi ini Berdasarkan penelitian-penelitian ter-
korban dengan preoccupied attachment sebut, maka peneliti melihat adanya garis
style akan tetap menggantungkan merah yang menghubungkan antara
hubungannya dengan pasangan karena preoccupied attachment style dan

278
Peran Preoccupied Attachment Style terhadap Kecenderungan Mengalami Stockholm Syndrome pada Perempuan Dewasa Awal
(Arlin Yulian, Nurindah Fitria)

kecenderungan individu untuk mengalami good-bad treatment). Power imbalance


stockholm syndrome dalam hubungannya. memegang peran kelekatan dengan cara
Hubungan yang ada tampak positif, yang menjadikan salah satu pasangan berada di
mana semakin individu memiliki bawah kendali sehingga pasangan tersebut
preoccupied attachment style maka bergantung terhadap pasangannya. Pasang-
individu tersebut cenderung untuk an yang dominan menciptakan kekerasan
mengalami stockholm syndrome. Adanya fisik maupun emosional dalam hubungan
hubungan antara kedua variabel ini agar power imbalance tersebut tetap
membuat peneliti ingin mengetahui terpelihara. Keterikatan emosional ini
seberapa besar peran preoccupied merupakan hasil dari adanya penguatan
attachment style terhadap munculnya (reinforcement) berupa pujian dari pelaku,
stockholm syndrome. menunjukkan kebaikan pada korban dalam
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk bentuk apapun, dan hukuman (punishment)
menganalisis peran dari preoccupied seperti melarang korban untuk berhubung-
attachment style terhadap kecenderungan an dengan orang lain di sekitarnya,
seseorang mengalami stockholm syndrome membatasi kegiatan korban, sampai
pada wanita dewasa awal. Wanita dipilih berujung pada hukuman berupa kekerasan
karena berdasarkan data wanita lebih fisik.
banyak menjadi korban dalam hubungan Stockholm syndrome dapat ditemukan
yang penuh kekerasan. Kemudian rentang dalam lingkup keluarga, hubungan inter-
usia dewasa awal dipilih sebab pada personal, dan hubungan romantis. Tidak
rentang usia inilah hubungan romantis ada batasan untuk menjadi pelaku
biasanya dijalin, sebelum memasuki kekerasan. Pelaku kekerasan dapat dilaku-
pernikahan. kan oleh suami atau istri, pacar, ayah atau
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ibu atau siapapun yang berperan sebagai
terdapat peran yang signifikan dari pre- pelaku kekerasan (abuser) dan memiliki
occupied attachment style terhadap kecen- posisi otoriter dan mengendalikan situasi
derungan mengalami stockholm syndrome (controller).
pada wanita dewasa awal. Terdapat empat kondisi dalam hubung-
an yang penuh kekerasan dan distorsi
Stockholm Syndrome
kognitif yang muncul pada diri korbannya
Menurut Graham dkk. (1995)
untuk mengembangkan stockholm
stockholm syndrome didefinisikan sebagai
syndrome (Graham dkk., 1994). Kondisi
suatu kondisi emosional yang kompleks
pertama yaitu adanya ancaman terhadap
secara psikologis ketika timbul ikatan yang
keselamatan korban, baik secara fisik
kuat antara korban terhadap pelaku
maupun psikologis yang dilakukan oleh
kekerasan. Ikatan ini meliputi rasa cinta
pelaku. Kondisi kedua yaitu pelaku
korban terhadap pelaku, melindungi pelaku
mengancam korban untuk tidak melarikan
yang telah menganiayanya, menyalahkan
diri atau pergi dari pelaku. Kondisi ketiga
diri sendiri sebagai penyebab kekerasan,
yaitu pelaku melarang korban untuk
dan menyangkal atau meminimalisir
berhubungan dengan orang lain di
kekerasan yang terjadi.
sekitarnya. Kondisi terakhir yaitu pelaku
Kondisi ini dapat dijelaskan melalui
menunjukkan kebaikan-kebaikan pada
teori dari Duton dan Painter (1993, dalam
korbannya dalam bentuk apapun.
Graham dkk., 1995) yaitu traumatic
Keempat kondisi tersebut mendukung
bonding theory bahwa kelekatan emosional
berkembangnya stockholm syndrome dalam
yang kuat dalam suatu hubungan terbentuk
hubungan yang abusive. Nantinya hubung-
berdasarkan dua faktor yaitu ketidak-
an ini akan membentuk ikatan tidak sehat
seimbangan kekuatan (power imbalance)
antara korban dengan pelaku. Hal ini yang
dan perlakuan baik-buruk (intermittent

279
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol. 4, No. 2, Hal : 275 – 288

menjadi alasan mengapa korban sulit cenderung tinggi dalam pola cinta yang
melepaskan diri dari hubungan karena neurotis, individu yang sangat bergantung,
korban terus-menerus melihat sisi baik dari dan mendambakan hubungan yang ideal.
perilaku pelaku (Carver, 2009). Selain itu, dalam hubungan, individu
Dalam penelitian Graham dkk. (1995) dengan gaya kelekatan ini sangat berhati-
stockholm syndrome memiliki tiga dimensi. hati dalam masalah percintaan, persahabat-
Pertama, dimensi core stockholm syndome. an, dan pragma (melihat pasangan sebagai
Dimensi ini mengukur strategi penyelesaian daftar yang harus dipenuhi).
masalah dengan kekerasan interpersonal
yang dipengaruhi oleh interpersonal Metode Penelitian
trauma dan distorsi kognitif. Kedua, Desain
dimensi psychological damage. Dimensi ini Penelitian ini menggunakan pende-
mengukur kondisi psikologis korban katan kuantitatif dengan desain penelitian
apakah mengalami gangguan secara psikis non-eksperimental. Penelitian ini melibat-
seperti depresi, rendahnya percaya diri, kan angka sebagai hasil pengukurannya dan
kesulitan secara interpersonal dan gang- menggunakan teknik analisis statistik untuk
guan kepribadian borderline. Ketiga, dapat menjawab hipotesis yang diajukan.
dimensi love dependence, yaitu mengukur Peneliti tidak melakukan manipulasi
sikap kebergantungan hidup korban maupun kontrol apapun terhadap subjek
terhadap pasangannya. penelitian. Penelitian ini juga hanya
melakukan satu kali pengambilan data
Preoccupied Attachment Style
sehingga tergolong ke dalam penelitian
Interaksi antara model of others dan
cross-sectional.
model of self akan membentuk gaya
kelekatan yang berbeda-beda pada setiap Partisipan
individu. Menurut Bartholomew (dalam Partisipan dalam penelitian ini adalah
Hofstra dan Van Oudenhoven, 2004) perempuan dewasa awal yang berada di
terdapat 4 dimensi gaya kelekatan, salah daerah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-
satunya adalah preoccupied attachemnt Bekasi (Jabodetabek) yang sedang atau
style. Individu dengan preoccupied pernah menjalani hubungan romantis.
attachment style memiliki model of self Menurut Catatan Tahunan KOMNAS Anti
berupa gambaran diri yang negatif terhadap Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun
dirinya dan model of other berupa 2016 provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat
kebergantungan kepada orang lain. menempati posisi 3 besar dalam jumlah
Preoccupied attachment style kasus kekerasan terhadap perempuan.
dideskripsikan sebagai individu yang Karakteristik sampel dalam penelitian ini
menginginkan hubungan emosional yang yaitu: perempuan dewasa awal berusia 18-
intim dengan orang lain, namun memiliki 40 tahun, berdomisili di Jabodetabek dan
kecemasan bahwa orang lain tidak ingin minimal pernah/ sedang menjalin hubungan
menjalin kedekatan dengan dirinya. romantis dengan masa hubungan minimal 6
Individu ini merasa tidak nyaman jika tidak bulan. Teknik pengambilan sampel meng-
memiliki hubungan, tetapi khawatir orang gunakan accidental sampling karena tidak
lain tidak menghargai dirinya seperti ada data mengenai jumlah pasti populasi
dirinya menghargai orang lain. dengan karakteristik yang menjadi sasaran
Gaya dalam menjalin hubungan peneliti. Jumlah sampel yang didapatkan
dengan lawan jenis tergolong dalam tipe oleh peneliti adalah 232 orang sesuai
mania atau pola cinta yang posesif. Mereka dengan karakteristik yang telah disebutkan.
menginginkan pasangan hanya untuk
dirinya sendiri dan cenderung memaksa.
Individu dengan gaya kelekatan ini juga

280
Peran Preoccupied Attachment Style terhadap Kecenderungan Mengalami Stockholm Syndrome pada Perempuan Dewasa Awal
(Arlin Yulian, Nurindah Fitria)

Teknik Pengumpulan Data terdiri dari 49 item. Item-item pada alat


Data dalam penelitian ini dikumpul- ukur ini merepresentasikan 3 dimensi,
kan menggunakan kuesioner, yang terdiri yaitu: core stockholm syndrome,
dari tiga bagian, yaitu: psychological damage, dan love
1. Data demografi, terdiri dari usia, lokasi dependence. Setelah dilakukan proses
tempat tinggal, status tempat tinggal, adaptasi ke dalam bahasa Indonesia,
pekerjaan saat ini, tingkat pendidikan hasil uji reliabilitas dan validitas item
terakhir, dan status hubungan romantis alat ukur ini menunjukkan bahwa alat
saat ini. Kemudian, ditanyakan pula ukur ini dapat dinilai reliabel. Sedang-
mengenai banyaknya hubungan roman- kan untuk validitas itemnya menun-
tis yang pernah dijalani, keinginan jukkan semua item valid untuk
untuk memutuskan hubungan, pikiran digunakan (nilai corrected item total >
mengenai kemarahan pasangan, dan 0,2). Dengan hasil demikian, alat ukur
intensitas kemarahan yang dilakukan ini dapat digunakan dalam penelitian
partisipan selama hubungan. ini.
2. Alat ukur gaya kelekatan, khususnya
Teknik Analisis
dimensi preoccupied attachment style. Data dalam penelitian ini dianalisis
Alat ukur dimensi preoccupied dengan dua cara, yaitu statistik deskriptif
attachment style yang digunakan dalam dan statistik inferensial. Statistik deskriptif
penelitian ini merupakan salah satu digunakan untuk mendapatkan gambaran
dimensi yang direpresentasikan dari mengenai sampel penelitian. Statistik
alat ukur Attachment Styles Question- inferensial yang digunakan adalah uji
naire yang dibuat oleh Hofstra dan regresi sederhana untuk menganalisis peran
Van Oudenhoven (2004). Alat ukur preoccupied attachment style terhadap
penuh dari Attachment Styles Question- kecenderungan mengalami stockholm
naire ini terdiri dari 24 item, yang syndrome.
mana setiap dimensi memiliki 6 item.
Alat ukur ini telah diadaptasi ke dalam
Hasil Penelitian dan Pembahasan
bahasa Indonesia oleh Fitriana dan
Fitria (2015). Setelah dilakukan Gambaran Demografis
adaptasi, alat ukur ini terdiri dari 17 Jumlah partisipan yang mengikuti
item, sehingga hanya 5 item yang penelitian ini dan sesuai dengan karakteris-
merepresentasikan dimensi pre- tik sebanyak 232 orang, yaitu perempuan
occupied attachment style. Berdasar- dewasa awal dengan rata-rata usia 18-34
kan hasil uji reliabilitas dan validitas, tahun (mean=21,48). Mayoritas partisipan
alat ukur ini dapat dikatakan reliabel bertempat tinggal di Jakarta (55,6%)
karena memiliki koefisien α =0,658 dengan status tinggal masih bersama orang
(Fitriana dan Fitria, 2015). Sedangkan tua (82,3%) dan jarak tinggal antara
untuk validitas dari setiap itemnya, responden dengan pasangan masih dalam
kelima item yang ada memiliki nilai satu kota (62,9%). Sejumlah 167 orang
corrected item total > 0,2 sehingga (72%) partisipan berasal dari kalangan
dapat disimpulkan item-item ini valid mahasiswa dan tingkat pendidikan akhir
untuk digunakan. adalah SMA/ sederajat sebanyak 137 orang
3. Alat ukur stockholm syndrome. Peneliti (59,1%). Gambaran lengkap mengenai de-
menggunakan The Stockholm mografis sampel dapat dilihat pada tabel 1.
Syndrome Scale yang dikembangkan Terkait dengan status hubungan
oleh Graham dkk. (1995) untuk romantis yang sedang dijalani responden
mengukur apakah seseorang menga- saat ini adalah berpacaran dengan jumlah
lami stockholm syndrome. Alat ukur ini

281
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol. 4, No. 2, Hal : 275 – 288

Tabel 1
Gambaran Demografis Sampel Penelitian (N=232)

Variabel Frekuensi Persentase


Usia Mean = 21,48
Min =18
Max =34
Simpangan Baku = 1,938
Domisili Jakarta 129 55,6%
Bogor 17 7,3%
Depok 18 7,8%
Tangerang 22 9,5%
Bekasi 46 19,8%
Pekerjaan Mahasiswa 167 72%
Pegawai Swasta 47 20,3%
Pegawai Negeri 2 0,9%
Wiraswasta 4 1,7%
Lainnya 12 5,2%
Pendidikan Terakhir SMA/Sederajat 137 59,1%
D1-D3 14 6%
S1 80 34,5%
S2 1 0,4%
Jumlah Pengalaman Pacaran 0-4 150 64,7%
5-9 68 29,3%
10-14 11 4,7%
15-19 3 1,3%
Status Hubungan Pacaran 164 70,7%
Tunangan 21 9,1%
Berpisah 47 20,3%
Status Domisili dengan Pasangan Satu Kota 146 62,9%
Tidak Satu Kota 86 37,1%
Jumlah Putus Hubungan Pacaran 0 92 39,7%
dengan Pasangan yang Sama 1 54 23,3%
2 33 14,2%
3 14 6%
>4 39 16,8%
Berpikir Pasangan akan Marah Pernah Berpikir Pasangan akan Marah 137 59,1%
Saat Menyakiti Tidak Pernah Berpikir Pasangan akan Marah 95 40,9%
Rata-rata Jumlah Kemarahan Tidak Pernah 16 6,9%
Pasangan Selama Menjalin 1-2 Kali 97 41,8%
Hubungan Pacaran 3-5 Kali 59 25,4%
6-10 Kali 15 6,5%
> 10 Kali 45 19,4%

Tabel 2
Kategorisasi Skor Responden

Variabel Kategorisasi Rentang Skor Total Persentase

Tinggi 11 – 25 229 98,8%


Preoccupied
Attachment Style
Rendah 1 – 10 3 1,2%

Tinggi 99 – 196 196 84%


Stockholm
Syndrome
Rendah 0 – 98 36 16%

282
Peran Preoccupied Attachment Style terhadap Kecenderungan Mengalami Stockholm Syndrome pada Perempuan Dewasa Awal
(Arlin Yulian, Nurindah Fitria)

Tabel 3
Hasil Uji Regresi Sederhana
R-Square F p Persamaan Regresi
Preoccupied Attachment Style (X) &
0,019 4,566 0,034* Y=107,113 + (1,131X) + e
Stockholm Syndrome (Y)
Preoccupied Attachment Style (X) &
0,004 0,822 0,366* Y= 17,161 + (0,030X) + e
Love Dependence (Y)
Preoccupied Attachment Style (X) &
0,019 4,360 0,038* Y= 16,256 + (0,067X) + e
Psychological Damage (Y)
Preoccupied Attachment Style (X) &
0,021 4,856 0,029* Y= 16,553 + (0,028X) + e
Core Stockholm Syndrome (Y)
*p<0,05

150 orang (64,7%) dan jumlah pengalaman pada uji regresi sederhana untuk menguji
berpacaran yang dijalani responden hipotesis penelitian.
sebanyak 0-4 kali (63,8%). Dalam menja- Peneliti melakukan uji regresi sederha-
lani hubungan romantis sebanyak 141 na antara variabel preoccupied attachment
orang (60,8%) tidak pernah mengakhiri style dengan tiap dimensi dari stockholm
hubungan yang sedang dijalani dengan syndrome. Hasil uji regresi ini dapat dilihat
pasangan. Jika dilihat lebih lanjut mengenai pada tabel 3.
gambaran indikasi munculnya stockholm Berdasarkan tabel 3 tampak hasil uji
syndrome maka sebanyak 137 responden regresi antara preoccupied attachment style
(59,1%) pernah berpikir pasangan akan terhadap stockholm syndrome menunjukkan
marah saat pasangan menyakiti, dan hasil yang signifikan (F=4,566; p<0,05).
intensitas kemarahan yang dilakukan Artinya hipotesis dalam penelitian ini
pasangan terhadap partisipan sebanyak 1-2 diterima bahwa preoccupied attachment
kali (41,8%). style berpengaruh secara signifikan terha-
Peneliti melakukan kategorisasi terha- dap kecenderungan munculnya stockholm
dap skor yang didapatkan oleh responden. syndrome pada wanita dewasa muda.
Kategorisasi dilakukan berdasarkan skor Kebervariasian munculnya stockholm
ideal dari tiap alat ukur. Peneliti membagi syndrome ditentukan oleh preoccupied
skor ideal menjadi dua kategori, yaitu attachment style hanya sebesar 1,9%
tinggi dan rendah. sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa lain. Berdasarkan persamaan regresi yang
responden lebih banyak memiliki pre- didapatkan, maka tampak terlihat bahwa
occupied attachment style (98,8%) dan setiap kenaikan satu poin pada preoccupied
cenderung mengalami stockholm syndrome attachment style akan meningkatkan
(84%). stockholm syndrome sebesar 1,131 poin.
Hasil pengujian prasyarat untuk uji Sedangkan apabila dilihat lebih lanjut
regresi menunjukkan uji normalitas pada pada setiap dimensi dari stockholm
nilai residual dari hubungan antara variabel syndrome, maka preoccupied attachment
preoccupied attachment style dan style paling banyak berpengaruh pada
stockholm syndrome menunjukkan data dimensi core stockholm syndrome (2,1%)
dalam penelitian ini memenuhi syarat dibandingkan dimensi lainnya, love
sebagai data yang terdistribusi normal (p > dependence (4%) dan psychological
0,05). Kemudian, berdasarkan hasil uji damage (1,9%). Semua hasil menunjukkan
linieritas didapatkan variabel preoccupied pengaruh yang diberikan oleh preoccupied
attachment style membentuk hubungan attachment style tidaklah terlalu besar.
linier dengan stockholm syndrome (p< Dengan demikian, dapat disimpulkan bah-
0,05). Dengan terpenuhinya dua uji wa kebervariasian munculnya stockholm
prasyarat ini peneliti dapat melanjutkan syndrome lebih banyak dipengaruhi oleh

283
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol. 4, No. 2, Hal : 275 – 288

faktor-faktor lain selain preoccupied kekerasan yang dilakukan oleh pasangan-


attachment style. nya. Individu tersebut akan cenderung lebih
Hasil uji regresi pada penelitian ini menoleransi perlakuan kasar yang sering
menunjukkan preoccupied attachment style terjadi saat anak-anak (Edwards dkk.,
berperan signifikan (F = 4,556, p < 0,05) 2011) sehingga menganggap dirinya tidak
terhadap kecenderungan mengalami menjadi masalah apabila mengalami
stockholm syndrome. Hanya 1,9 % keber- kekerasan di masa selanjutnya.
variasian seseorang yang mengalami Selain trauma interpersonal, terdapat
stockholm syndrome ditentukan oleh distorsi kognitif pada dimensi core
preoccupied attachment style. 98,1% stockholm syndrome. Seorang wanita tetap
sisanya ditentukan oleh faktor lain. bertahan dalam hubungan yang penuh
Dengan demikian, dapat disimpulkan kekerasan karena tidak berdaya dan
memang preoccupied attachment style mengatribusikan kekerasan dengan
dapat menjadi salah satu faktor yang menyalahkan diri sendiri (Andrews dan
menentukan seseorang dapat mengalami Brewin, 1990, dalam Rhatigan dan
stockholm syndrome. Sayangnya, faktor ini Nathanshon, 2010). Perilaku menyalahkan
sangat sedikit memainkan peran dalam diri sendiri terhadap kekerasan yang terjadi
timbulnya stockholm syndrome pada termasuk salah satu distorsi kognitif.
individu yang berada dalam masa pacaran. Distorsi kognitif muncul dalam diri korban
Lebih banyak faktor-faktor lain yang karena terjadi tarik-menarik antara
memengaruhi munculnya stockholm ketidaksadaran dengan orientasi korban
syndrome pada individu yang menjalani terhadap pelaku kekerasan (Graham dkk.,
hubungan pacaran. Beberapa faktor lain 1994). Ketika pelaku melakukan kekerasan,
yang dapat memengaruhi munculnya teror, dan ancaman pada diri korban,
stockholm syndrome adalah asertivitas distorsi kognitif menimbulkan harapan
(Lewis dan Fremouw, 2001), self esteem, bahwa suatu saat kekerasan tersebut akan
coping stress (Edwards dkk., 2011) dan berakhir ketika pelaku diberikan cinta dan
hubungan interpersonal yang penuh dengan perhatian penuh oleh korban (Sekarlina dan
kekerasan (Graham dkk., 1995). Margaretha, 2013). Stockholm syndrome
Dimensi yang paling dipengaruhi oleh tidak dapat muncul tanpa adanya distorsi
preoccupied attachment style adalah core kognitif dalam diri korban (Graham dkk.,
stockholm syndrome. Menurut Graham dkk. 1994). Kondisi distorsi kognitif yang
(1995) dimensi core stockholm syndrome terjadi pada korban stockholm syndrome
berfokus pada kondisi trauma interpersonal dapat berkaitan dengan preoccupied
dan distorsi kognitif pada korban yang attachment style, yang mana individu
mengalami stockholm syndrome. Trauma dengan gaya kelekatan ini memiliki model
interpersonal merupakan kondisi saat of self negatif (Henderson, Bartolomeus
individu pernah mengalami kekerasan di dan Dutton, 1997, dalam Shurman dan
masa kecilnya. Saat seseorang mengalami Rodriguez, 2006). Ketika seseorang
kekerasan di masa kecilnya, maka besar memandang dirinya negatif maka dirinya
kemungkinan individu tersebut tidak akan cenderung melihat apapun yang
memiliki keyakinan yang kuat terhadap terjadi disebabkan oleh ketidak-mampuan
dirinya (model of self negatif) dan dirinya, sehingga yang muncul adalah
menganggap orang lain lebih baik darinya bentuk penyalahan terhadap diri sendiri.
sehingga mengembangkan model of other Gaya dalam menjalin hubungan
yang positif. Selain itu, dalam penelitian dengan lawan jenis pada preoccupied
Henderson dkk. (2005) individu dengan attachment style termasuk ke dalam tipe
preoccupied attachment style akan lebih mania atau pola cinta yang posesif, dimana
menerima dan menoleransi perilaku individu tersebut menginginkan pasangan

284
Peran Preoccupied Attachment Style terhadap Kecenderungan Mengalami Stockholm Syndrome pada Perempuan Dewasa Awal
(Arlin Yulian, Nurindah Fitria)

hanya untuk dirinya sendiri dan cenderung dilakukan korban terhadap pelaku tersebut
memaksa. Pada korban yang mengalami merupakan alasan untuk dapat memperta-
stockholm syndrome, kehadiran pasangan hankan hubungan yang telah dijalani. Jika
adalah tempat dimana dirinya dapat hubungan tersebut berakhir, korban yang
bergantung dan merasakan adanya cinta mengalami stockholm syndrome tidak
serta harapan bahwa kekerasan tersebut mudah dan perlu waktu yang lama untuk
dapat berakhir (Herbert dkk., 1991 dalam menjalin hubungan romantis dengan
Duley, 2012) dan percaya bahwa korban pasangan yang baru.
harus terlihat sempurna di mata pelaku agar Dengan tema penelitian yang sensitif
pasangan benar-benar mencintai dan seperti ini sebaiknya dapat dilakukan pula
menyayangi dirinya (Sekarlina dan penelitian secara kualitatif untuk menggali
Margaretha, 2013). dan memahami lebih dalam mengenai
Model of other dalam bentuk keber- stockholm syndrome. Penelitian kualitatif
gantungan pada orang lain yang dimiliki dinilai cocok digunakan untuk meneliti
individu dengan preoccupied attachment masalah yang belum jelas dilakukan pada
style membuatnya tidak berani untuk situasi sosial yang tidak luas, sehingga hasil
membuat keputusan sendiri. Karakteristik penelitian lebih mendalam dan bermakna.
seperti ini juga tergambar pada korban yang Selain itu, penelitian selanjutnya dapat
mengalami stockholm syndrome, dimana menambahkan variabel-variabel lain yang
salah satu pasangan sebagai pelaku keke- memiliki hubungan terhadap gaya
rasan memiliki kekuatan untuk menunjuk- kelekatan dan stockholm syndrome.
kan posisi pelaku mendominasi dalam Penelitian ini dilakukan pada wanita
hubungan tersebut. Power yang dimiliki dewasa awal yang menjalani hubungan
pelaku kekerasan terhadap korban menga- pacaran, yang mana dalam hubungan
kibatkan korban sulit untuk bersikap asertif pacaran biasanya hubungan cenderung
dalam hubungannya dan menimbulkan belum stabil sehingga masih memungkin-
perasaan tidak berdaya untuk meninggalkan kan untuk berganti pasangan. Sebaliknya,
hubungan (Filson, Ulloa, Runfola dan pada individu yang telah menikah dinamika
Hokoda, 2010). Hal ini juga yang dapat yang terjadi akan berbeda karena sulitnya
mendukung individu dengan gaya untuk berganti pasangan setelah menikah.
kelekatan preoccupied attachment style
tidak mudah dalam mengambil keputusan Simpulan dan Saran
baik untuk dirinya ataupun dalam Hasil uji regresi pada penelitian ini,
hubungan dengan kekerasan. menunjukkan bahwa preoccupied attach-
Responden dalam penelitian ini ment style berperan signifikan terhadap
memiliki kecenderungan mengalami kecenderungan mengalami stockholm
stockholm syndrome pada kategori tinggi. syndrome. Dimensi yang paling berperan
Tingginya angka ini disebabkan oleh dalam kecenderungan untuk mengalami
korban menutup rapat kekerasan yang stockholm syndrome adalah core stockholm
terjadi dalam hubungan tersebut dan tidak syndrome. Dimensi core stockholm
menginginkan orang lain mengetahui syndrome berfokus pada kondisi inter-
kekerasan yang terjadi dan berpikiran personal trauma dan distorsi kognitif pada
buruk terhadap pasangannya. Hal ini korban yang mengalami stockholm
sejalan dengan penelitian Sekarlina dan syndrome.
Margaretha (2013) yang menyebutkan Adapun beberapa saran yang dapat
bahwa korban yang mengalami stockholm diberikan berdasarkan hasil penelitian ini
syndrome akan menutupi perilaku adalah :
kekerasan yang terjadi terhadap dirinya. 1. Pada penelitian selanjutnya diharapkan
Adapun upaya perlindungan yang dapat melakukan penelitian secara

285
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol. 4, No. 2, Hal : 275 – 288

kualitatif untuk mendapat gambaran Lived Experiences of Women


yang lebih mendalam mengenai Remaining in Abusive Relationship,
stockholm syndrome, karena isu ini Dissertation, Northcentral Univer-
merupakan ranah yang bersifat sensitif. sity. PQDT Open, 201; 3497881.
2. Penelitian selanjutnya juga dapat Edwards, K.M., Gidyez, C.A., & Murphy,
mengembangkan sampel penelitian pa- M.J. (2011). College Woman’s
da individu dewasa yang telah menja- Stay/ Leave Decisions in Abusive
lani hubungan pernikahan karena di Dating Relationship: A Prospective
dalam pernikahan hubungan dianggap Analysis of an Expand Investment
relatif stabil sehingga menghasilkan Model, Journal of Interpersonal
dinamika yang berbeda dengan indivi- Violence, 26, 1446-1462.
du yang menjalani hubungan pacaran. Filson, J., Ulloa, e., Runfola, C., &
3. Mayoritas responden dalam penelitian Hokoda, A. (2010). Does
ini berasal dari kalangan mahasiswa. Powerlessness Explain the
Kegiatan psikoedukasi mengenai hu- Relationship between Intimate
bungan pacaran sehat dapat menjadi Partner Violence and Depression?,
tindakan preventif agar mereka dapat Journal of Interpersonal Violence,
menjalani hubungan pacaran yang 25(3), 400-415.
sehat tanpa ada kekerasan di dalamnya. Fitriana & Fitria. (2015). Validation of
4. Bagi praktisi kesehatan, seperti psiko- Attachment Style Questionnaire in
log, konselor dan lembaga yang terkait Indonesian Culture. Fakultas
dengan perlindungan perempuan dapat Psikologi Universitas YARSI.
memberikan tindakan yang preventif Dipublikasikan pada International
dalam meminimalisir tindakan keke- Conference on Health and Well
rasan khususnya pada perempuan dan Being di Solo (Mei, 2016)
memberikan wadah kepada para kor- Graham, D.L.R., Rawlings, E.I., & Rigsby,
ban kekerasan untuk bisa melaporkan R.K. (1994). Loving to Survive:
tindak kekerasan yang terjadi. Sexual Terror, Men’s Violence, and
Women’s Lives, New York: New
Daftar Pustaka York University Press.
Graham, D.L.R., Rawlings, E.I., Ihms, K.,
Ayu, W.S. (2013). Dampak Kekerasan
Latimer, D., Foliano, J., Thompson,
dalam Pacaran, Jurnal Ilmu
A., & Hacker, R. (1995). A Scale
Kesejahreraan Sosial, 1(1), 1-6.
for Identifying “Stockholm
Bartholomew, K. & Horowitz, L.M.
Syndrome” Reactions in Young
(1991). Attachment Style among
Dating Women: Factor Structure,
Young Adults: A Test of a Four-
Reliability, and Validity, Violence
Category Model, Journal of
and Victims, 10(1), 3-22.
Personality and Social Psychology,
Henderson, A.J.Z., Bartholomew, K.,
61(2), 226-244.
Trinke, S.J., & Kwong, M.J. (2005).
Carver, J.M. (2009). Female Victims of
When Loving Means Hurting: An
Violence, Bureau of Justice
Exploration of Attachment and
Satistics Selected Findings.
Intimate Abuse in a Community
Catalano, S., Smith, E., Snyder, H., &
Sample, Journal of Family
Rand, M. (2009). Female Victims of
Violence, 20(4), 219-230.
Violence, Bureau of Justice
Hofstra, J. & Van Oudenhoven, J.P. (2004).
Statistics Selected Findings.
Ontwikkeling en Evaluatic van de
Revised October 23, 2009.
Hechtingsstijlvragenlijst (HSL)
Duley, L.A. (2012). A Qualitative
(Development and Evaluation of the
Phenomenological Study of the

286
Peran Preoccupied Attachment Style terhadap Kecenderungan Mengalami Stockholm Syndrome pada Perempuan Dewasa Awal
(Arlin Yulian, Nurindah Fitria)

Attachment Styles Questionnaire Psikologi Kepribadian dan Sosial,


(ASQ), Nederlands Tijdschrift voor 01(02).
de Psychologic, 58, 95-102. Rhatigan, D.L. & Nathanson, A.M. (2010).
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap The Role of Female Behavior and
Perempuan. (2016). Kekerasan Attributions in Predicting
terhadap Perempuan Meluas: Behavioral Responses to
Negara Urgen Hadir Hentikan Hypothetical Male Aggression,
Kekerasan terhadap Perempuan di Violence Against Women, 16(6),
Ranah Domestik, Komunitas, dan 621-637.
Negara. Catatan Tahunan tentang Santrock, J.W. (2003). Life Span
Kekerasan terhadap Perempuan, 7 Development: Perkembangan Masa
Maret 2016. Hidup, Jakarta: Erlangga.
Lewis, S.F. & Fremouw, W. (2001). Dating Sekarlina & Margaretha. (2013).
Violence: A Critical Review of the Stockholm Syndrome pada
Literature, Clinical Psychology Wanita Dewasa Awal yang
Review, 21(1), 105-127. Bertahan dalam Hubungan yang
Mikulincer, M. & Horesh, N. (1999). Adult Penuh Kekerasan, Jurnal Psikologi
Attachment Style and the Perception Klinis dan Kesehatan Mental,
of Others: The Role of Projective 02(03).
Mechanisms, Journal of Personality Shurman, L.A. & Rodriguez, C.M. (2006).
& Social Psychology, 76(6), 1022- Cognitive-Affectie Predictors of
1034. Women’s Readiness to end
Mikulincer, M. & Shaver, P.R. (2007). Domestic Violence Relationships,
Attachment in Adulthood, New Journal of Interpersonal Violence,
York: The Guilford Press. 21(11), 1417-1439.
Miller, R.S. (2012). Intimate relationship Wekerle, C. & Wolfe, D.A. (1999). Dating
(7th Ed.), New York: McGraw-Hill Violence in Mid-Adolescence:
Education. Theory, Significance, and Emerging
Nur’aini, R. (2012). Gaya Kelekatan Prevention Initiative, Clinical
Ambivalen pada Perempuan yang Psychology Review, 19(4), 435-456.
Mengalami Kekerasan dalam Wolfe, D.A. & Feiring, C. (2000). Dating
Pacaran, Skripsi Tidak Violence through the Lens of
Dipublikasikan, Fakultas Psikologi Adolescent Romantic Relationship,
Universitas Negeri Malang. Child maltreatment, 5(4), 360-363.
Puteri, K. (2016). Hubungan antara
Identitas Stigma dengan Perilaku Sumber Internet
Help-Seeking pada Individu yang http://www.komnasperempuan.go.id/wp-
Mengalami Kekerasan dalam content/uploads/2016/03/KOMNAS
Pacaran serta tinjauannya dalam -PEREMPUAN-_-CATATAN-
Islam, Skripsi Tidak TAHUNAN-2016edisi-Launching-
Dipublikasikan, Jakarta: Universitas 7-Maret-2016.pdf diakses pada
YARSI. tanggal 20 Juni 2016
Ragil, N.T. & Margaretha. (2012). http://www.academia.edu diakses pada
Pengaruh Gaya Kelekatan Romantis tanggal 10 Agustus 2016
Dewasa (Adult Romantic http://kbbi.web.id diakses pada tanggal 10
Attachment Style) terhadap Agustus 2016
kecenderungan untuk melakukan https://baitijannati.wordpress.com diakses
kekerasan dalam pacaran, Jurnal pada tanggal 19 Agustus 2016

287
Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Desember 2017, Vol. 4, No. 2, Hal : 275 – 288

288

You might also like