666-Article Text-1710-1-10-20170112
666-Article Text-1710-1-10-20170112
Oleh :
Alvianto Wahyudi Utomo1
ABSTRACT
Rawa Pening is one of the 500 lakes in Indonesia, but has the condition of ecological
demage quite severe when compared with other lakes. This is because of the
uncontrollable weed water plants growth that covers most of the Lake Rawa Pening.
Previous research shows, in 2002 weed water plants population in Lake Rawa Pening has
reached 20% - 30% surface its waters – or area of 150 Ha, and growing each year. There
are efforts to control and eradicate the weed, but do not show significant result. On the
other hand, there are people who take advantages of weed water plants to adequate their
economic social life. They used with various patterns of utilization of giving substantial
economic value themselves in accordance with the pattern of the utilization of that done.
This research examines abaut the utilization of weed water plants or water plants or
water hyacinth, in the perspective of sustainable development concept, using qualitative
methods and types of research descriptive. The source of the data in this research is
societies that utilize water hyacinth as a source of their livelihood by doing observation
and interview, beside supported with data skunder.
The concept of sustainable development focus of the balance of economic aspects, social
and environment. The utilization of water hyacinth as craft products, and the utilization
of peat land as fertilizer or growing media fungus is expected to slightly resolve the
problem of ecological in Rawa Pening, besides give economic benefits and resolve social
issues, namely give jobs for the community.
Keywords: Lake Rawa Pening, weed water plants or water hyacinth, Patterns of
untilization of Water Hyancinth, Sustainable Development
1
Staf pengajar Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, UKSWniversitas
Kristen Satya Wacana Salatiga.
191
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
1. LATAR BELAKANG
Indonesia diperkirakan memiliki lebih dari 500 danau yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke dengan luas keseluruhan lebih dari 5000 Km2 atau
sekitar 0,25% luas daratan Indonesia. Dari sekitar 500 an danau yang tersebar
di seluruh Indonesia tersebut, sebagian besar kondisinya sudah sangat
memperhatinkan, karena mengalami penurunan fungsi akibat pendangkalan,
pencemaran dan kerusakan lingkungan disekitar danau seperti pengundulan
hutan, dan alih fungsi lahan di area sabuk hijau danau menjadi pemukiman.
Menurut data dari dinas PSDA Jateng tahun 2006 dan FDI 2004 dalam
Sutarwi (2008), keberadaan danau-danau di Indonesia seperti danau Toba di
Sumatra Utara, danau Tondano di Sulawesi Utara, danau Limboto di Gorontalo,
Danau Maninjau dan Danau Singkarak di Sumatra Barat, dan Danau Rawa
Pening di Semarang Jawa Tengah rata-rata mempunyai kesamaan fungsi yaitu
sebagai sumber pembangkit listirk (PLTA), irigasi, perikanan danau dan
pariwisata. Namun permasalahan yang dihadapinya pun juga mempunyai
kesamaan yaitu erosi, sedimentasi, penurunan kualitas air akibat pencemaran,
berkurangnya keragaman hayati, dan konflik antar penerima manfaat danau.
192
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
20162. Saat ini tumbuhan eceng gondok sudah menutupi 60% luas permukaan
danau dan menyumbang sedimentasi paling sedikit 150 ribu m3. Hasil
pengukuran terakhir tahun 2011 tercatat bahwa laju erosi di daerah tangkapan
air danau Rawapening mencapai 1.695,29 ton/ha/tahun sehingga
menyumbang potensi sedimentasi sebesar 743.456 ton/ha.
Tanaman air dengan kelopak bunga berwarna ungu yang indah ini
memiliki sifat perkembang biakannya sangat cepat, baik secara vegetatif
maupun secara generatif. Heyne dalam Sahwalita, (2008) menyatakan bahwa
dalam waktu 6 bulan, dalam areal 1 Ha perkembangan tanaman ini dapat
mencapai bobot basah sebesar 125 ton. Tanaman air yang aslinya berasal dari
Brazil dan dibawa oleh Belanda pada tahun 1894 untuk melengkapi koleksi di
2
Dr.rer.agr. Evi Irawan, SP., MSc.,2016, Tata Kelola Pemulihan Fungsi Danau Rawapening,
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
http://balitekdas.org/penelitian/kegiatan/tahun/2016/baca/96/Tata-Kelola-Pemulihan-
Fungsi-Danau-Rawapening, akses tgl 02/12/2016
3
Syahrul Munir, 2016, Tahun 1994 Kedalaman Rawapening 15 meter, Sekarang Tinggal 8
Meter,
http://regional.kompas.com/read/2016/05/01/16052161/Tahun.1994.Kedalaman.Rawape
ning.15.meter.Sekarang.Tinggal.8.Meter, akses tgl 05/12/2016.
193
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
kebun Raya Bogor sebagai tanaman hias, akhirnya menjadi tanaman gulma
atau tanaman pengganggu dibeberapa perairan di Indonesia, termasuk di
danau Rawa Pening yang kondisinya paling parah akibat tanaman ini.
194
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
telah ada berpuluh-puluh tahun yang lalu, dan terus bekelanjutan hingga
sekarang tanpa merasa khawatir akan kehabisan sumber bahan baku dari alam
danau Rawa Pening.
2. KERANGKA KONSEPTUAL
4
Silalahi, Daud, 2003, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan (Termasuk
Perlindungan) Sumber Daya Alam Yang Berbasis Pembangunan Sosial Dan Ekonomi,
Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Denpasar, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI.
195
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
196
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar
serabut.
3. METODOLOGI PENELITIAN
197
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
Unit amatan dalam penelitian ini adalah adalah : 1). Pencari batang eceng
gondok; 2). Para pengepul batang-batang eceng gondok; 3). Penjemur; 4).
Penganyam; 5). Pengrajin dan; 6). Penjual, sedangkan unit analisanya adalah
pola-pola pemanfaatan dan pengolahan eceng gondok dari gulma menjadi
komoditas ditinjau dalam perspektif pembangunan berkelanjutan.
198
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
dan 110o24’46” - 110o49’06” Bujur Timur (BT), dan berada pada ketinggian +
460 m di atas permukaan laut (dpl), serta dikelilingi oleh tiga Gunung, yaitu;
Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Letak Danau ini
sangat strategis karena berada di jalan raya Provinsi Semarang - Solo dan
Semarang – Yogyakarta, serta berada di jalan raya Kabupaten Semarang – Kota
Salatiga.
Peta 1
Administrasi Kawasan Danau Rawa Pening
199
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
Fungsi utama dari Danau Rawa Pening untuk menahan laju aliran air
permukaan dan menampung aliran permukaan yang kemudiaan dimanfaatkan
untuk berbagai kepentingan masyarakat seperti: supply air untuk PLTA
(Perusahaan Listrik Tenaga Air) Jelok dimana PLTA Jelok merupakan bagian
dari interkoneksi listrik Jawa Bali, Irigasi pertanian bagi kabupaten Semarang,
Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan, Pengendali banjir daerah hilir
terutama di Kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan, Kegiatan pariwisata
yaitu untuk Wisata Air maupun Agro Wisata, Kegiatan perikanan darat baik
perikanan alami maupun perikanan budidaya dan Penyedia air baku dan air
untuk industry; 7). Persawahan pasang surut; 8). Handicraft; 9). Penambang
gambut sebagai bahan dasar pupuk organik dan sarana jamur.
4.2 Pola – Pola Pemanfaatan Eceng Gondok di Sekitar danau Rawa Pening
200
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
Penjemur
Pembeli langsung
Pencari eceng Pengepul
gondok
Pengrajin
Hasil penjualan
langsung
Bagan 1:
Pola Pencari Enceng Gondok Langsung Ke Pembeli
Pada bagan diatas menunjukan bahwa, eceng gondok yang baru saja
didapat dari danau dalam kondisi basah, sudah mempunyai nilai ekonomis,
atau sudah laku untuk dijual. Para petani atau pencari eceng gondok, banyak
yang lansung menjual kepada pengepul, penjemur atau pembeli yang langsung
datang ketempat untuk membeli dalam kondisi basah dalam jumlah yang
banyak. Hal ini tentu saja sangat memudahkan dalam segi pemasaran bagi
masyarakat disana. Meskipun harga jual dalam kondisi basah yang langsung
201
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
didapat dari danau tersebut, lebih rendah bila dibandingkan dengan yang
sudah melalui proses pengolahan lebih lanjut. Namun hasil yang didapat lebih
cepat diterima untuk langsung dirasakan manfaatnya.
Bapak Suwandi (55 tahun), adalah salah satu dari puluhan pencari
bengok yang langsung menjual dalam kondisi basah. Ayah dari dua orang putra
ini telah menggeluti profesi sebagai petani bengok sudah sejak dari muda,
sembari ia juga berprofesi sebagai petani padi dan sayur mayur yang ia tanam
di tepian danau Rawa Pening. Setiap hari dirinya bersama teman-teman petani
bengok lainya, berangkat ke tengah danau sekitar pukul 5.30 pagi saat
matahari hendak terbit dari ufuk timur, dan kembali ketepian danau sekitar
pukul 11.30 dengan membawa sekitar 6 (enam) bongkok eceng gondok. Jika
kondisi fisik dan tenaga masih memungkinkan, setelah luhuran atau sekitar
jam 13.30 an, ia berangkat lagi dengan perahu kecilnya ketengah danau untuk
mencari eceng gondok. Jika ia dan teman-temanya berangkat dua kali, rata-rata
ia bisa mendapat 10 bongkok’an atau kadang-kadang maksimal bisa mendapat
12 bongkok per hari. Tapi rata-rata kebanyakan petani eceng gondok hanya
berangkat satu kali atau setengah hari saja, yaitu di pagi hari. Kemudian waktu
setelah luhuran, biasanya digunakan untuk kesawah atau aktivitas lainya.
“Kalo seperti saya ini mas, karena sudah agak tua jadi tenaganya
hanya mampu cari eceng gondok hanya sekali saja dalam sehari,
berangkat pagi-pagi setelah subuh, baru kemudian balik nimbang
eceng gondok menjelang siang seperti ini. Sekali pergi dapat sekitar
enam gulungan eceng gondok, jadi ya sudah lumayan lah. Setiap
gulungan eceng gondok, bobotnya kira-kira sekitar setengah kintal
atau 50 Kg, dan harganya saat ini perkilonya Rp. 200,- /Kg. jadi
kalo satu gulung ya dapat Rp. 10.000,- dan satu perahu bisa muat 6
gulung eceng gondok, jadi sekali pergi bisa dapat Rp.60.000,-. Lalu
kadang-kadang kalau tenaganya masih kuat, setelah luhuran
berangkat lagi bisa dapat rata-rata 4 gulung, jadi sehari bisa dapat
duit Rp. 100.000,- jadi kan lumayan daripada kerja jadi kuli
bangunan, lebih enak kerja di Rawa mas.”5
5
Transkrip wawancara dengan Bapak Suwandi (55 th), petani eceng gondok, tanggal 12
Januari 2015.
202
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
Dari yang dituturkan oleh Pak Suwandi ini, dapat diperoleh informasi
bahwa eceng gondok, ternyata lebih memberi lapangan pekerjaan yang lebih
menjanjikan jika dibandingkan hanya menjadi kuli bangunan. Menurut pak
Suwandi, yang penting ada kemauan saja untuk mengolah Rawa Pening dan
memanfaatkan apa yang ada didalamnya, sudah cukup untuk menghidupi anak
istrinya.
Setiap hari ada puluhan petani eceng gondok, seperti Pak Suwandi ini
yang menggunakan perahu membawa bongkokan atau bundalan-bundalan
eceng gondok basah ketepian. Mereka mengumpulkan hingga beberapa
bundelan di tepi danau, kemudian saat sore hari sebelum mereka mengakhiri
aktivitasnya pada hari itu, mereka menimbangkan tiap bundelan eceng gondok
tersebut kepada pengepul, yang tiap kintalnya dihargai antara Rp. 19.000,- s/d
Rp. 20.000,- an. Satu bundelan besar eceng gondok, rata-rata bisa berbobot
antara 50 – 60 Kg. Setiap perahu bisa membawa antara 5 – 6 bongkokan.
Sedangkan masyarakat yang ada disekitar kawasan TPI Bukit Cinta satu
harinya bisa mendapatkan antara 6 – 12 bongkok eceng gondok basah yang
siap langsung dijual.
Dengan sistem ini, para petani eceng gondok bisa langsung mendapatkan
hasil dengan cepat. Sistem pemasarannya pun cukup mudah karena banyaknya
permintaan khususnya dari para pengrajin yang ada di kota Yogyakarta, Solo
dan kota-kota lain yang memanfaatkan batang-batang eceng gondok untuk
produk-produk kerajinan. Namun permintaan eceng gondok basah terbesar
adalah datang dari kota Jogjakarta. Setiap hari ada beberapa truk yang
membawa bongkok’an-bongkok’an eceng gondok dalam jumlah yang banyak
untuk dibawa ke Jogja dan dilakukan penjemuran di daerah sekitar Pantai
Nglagah Jogjakarta. Suhu udara pantai yang panas dan kering, dipandang
menjadi lokasi ideal untuk menjemur batang-batang eceng gondok. Karena
selain lebih cepat kering, kadar air bisa mencapai titik 0 (nol), sehingga
kualitas eceng gondok jika digunakan untuk kerajinan pun akan lebih baik, dan
berkualitas tinggi bila dibandingkan dengan eceng gondok yang dijemur
203
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
wilayah dataran tinggi, seperti yang dilakukan oleh masyarakat yang ada
disekitar danau Rawa Pening
Selain pola jual dalam kondisi basah, ada juga beberapa masyarakat yang
pola pemanfaatannya sebelum dijual dijemur dahulu hingga kering, baru
kemudian di jual, atau dalam hal ini penulis sebut sebagai pola panen kering.
Pola ini dilakukan untuk menaikkan harga jual sedikit lebih lebih mahal,
dibandingkan dengan dijual langsung dalam kondisi basah. Aktivitas pola ini
banyak dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di desa Rowo Ganjar dan
sekitarnya. Setiap hari di halaman rumah warga dan ditepi-tepi jalan, banyak
berjejer rapi batang-batang eceng gondok yang didapat dari danau Rawa
Pening. Mereka menjemurnya antara 5 – 10 hari, tergantung dari cuaca. Jika
musim kemarau dengan dengan panas matahari yang terik, masyarakat yang
menggeluti pola ini bisa menjemur eceng gondok basah hingga menjadi kering
dan siap jual hanya membutuhkan waktu antara 3 – 5 hari saja. Namun jika
dimusim penghujan, lama waktu penjemuran bisa mencapai antara 8 – 10 hari.
Pola ini dilakukan masih dalam satu rangkaian, artinya bahwa pencari eceng
gongdok juga sekaligus penjemur. Jika digambarkan dalam bagan adalah
sebagai berikut.
Pencari
Penjemur Pengepul
Eceng Pengrajin
Kering
Gondok
Aktivitas yang dilakukan dalam satu
keluarga
Bagan 2
Pola Kering
204
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
kepala keluarga, biasanya berperan sebagai pencari eceng gondok dari tengah
danau, namun kadang kala pula juga dilakukan bersama anggota keluarga yang
lain, baik itu anak maupun istri. Kemudian istri atau anak perempuan,
berperan sebagai penjemur. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga bahwa,
aktivitas tersebut hanya dilakukan oleh satu orang saja, yaitu selain
mencarinya sendiri ditengah danau, kamudian ia menjemurnya sendiri.
Ibu Sarinah (38 thn)6 adalah salah satu warga dusun Rowoganjar, desa
Rowoboni kecamatan Banyu Biru yang kesehariannya adalah sebagai
penjemur bengok. Ia dan suaminya menggeluti profesi ini sudah cukup lama,
pekerjaan ini sudah bukan pekerjaan sampingan namun sudah menjadi
pekerjaan pokok. Jika dibandingkan dengan bertani padi di sawah, mungkin
hasilnya lebih menguntungkan pekerjaan ini. Karena jika bertani dengan
menggarap sawah, menurutnya biaya oprasionalnya cukup tinggi. Belum
ongkos tenaga kerja yang sekarang sudah cukup mahal, belum lagi membeli
pupuk dan lain-lain. Sedangkan jika mengambil eceng gondok, hanya butuh
tenaga menggayung perahu atau jika dengan stum (perahu kecil bermesin)
hanya butuh bensin satu liter bisa untuk dua hari bolak-balik mencari bengok.
Untuk seharinya, jika dimusim kemarau seperti saat ini rata-rata bisa dapat
dua kintal bengok basah. Satu kintalnya di hargai rata-rata untuk sekarang Rp.
19.000,-. /kintal. Namun ketika sudah kering, satu kilo gramnya bisa dihargai
antara Rp. 4000,-/Kg atau bahkan sampai Rp. 6000,-/Kg. Harganya sangat
fluktuatif tergantung permintaan pasar dan kondisi cuaca.
6
Informan dari Dusun Rowoganjar, Desa Rowoboni Kec. Banyu Biru yang diwawancarai
pada 12 September 2014.
205
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
mencari, menjemur dan menganyam hingga menjadi bahan baku setengah jadi
ini seperti yang dilakukan oleh ibu Sayeti (54 tahun) warga dusun Kebun
Bawang, Desa Kebun Dowo, Kec. Banyu Biru. Meskipun ia mengaku bahwa
pekerjaan ini dikerjakan hanya sebagai pekerjaan Samben atau pekerjaan
sampingan selain bertani, namun pada kenyataannya pekerjaan ini hampir
menjadi pekerjaan pokok yang ia kerjakan setiap hari dan menjadi sumber
utama penghasilan ekonominya, selain bertani.
Harga jual bengok kepangan juga sangat fluktuatif, saat penelitian ini
dilakukan harga pada saat itu adalah hanya dihargai Rp.5500,-/Kg. Jadi jika ia
tiap tiga hari menjual sekitar 7 Kg bengok kepangan ia bisa memperoleh
pendapatan sebesar Rp. 38.500/ tiga hari. Sehingga jika dirata-rata tiap
bulannya dengan harga bengok yang sekarang yaitu Rp.5500/Kg bu Sayeti
7
Kutipan wawancara dengan Ibu Sayeti (54 tahun) penganyam eceng gondok tanggal 16
September 2014.
206
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
8
Informan Pengrajin eceng gondok, warga dusun Kebun Dowo, Desa Kebun Dowo Kec.
Banyu Biru.
207
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
Harga yang ditawarkan pun cukup beragam, mulai dari Rp. 20.000,- an
per unit hingga Rp. 3 jutaan per unitnya. Tentunya dibandingkan dengan harga
barang mentah atau setengah jadi, harga hasil produk handycraf milik pak
Slamet ini tentunya memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi bila
dibandingkan dengan yang mengolahnya dengan cara pola basah, pola kering
maupun pola setengah jadi. Aspek menentukan nilai jual bisa ditentukan oleh
bentuk barang, baik besar atau kecilnya, sisi keindahan atau tingkat
kreatifitasnya maupun tingkat kesulitan dalam proses pengerjaannya.
Dari beberapa pola pengelolaan eceng gondok yang telah kita bahas
diatas menunjukan bahwa, nilai nol (0) dari eceng gondok yang merupakan
tanaman gulma, telah berubah menjadi nilai puluhan, ratusan bahkan jutaan
rupiah yang bisa didapat dari eceng gondok. Dalam hal ini penulis ingin
menunjukan perubahan nilai dari setiap proses pengolahan eceng gondok,
meskipun informasi yang penulis dapat masih sepotong-sepotong dari para
narasumber, namun dari beberapa narasumber dan hasil observasi dilapangan
yang telah penulis lakukan, maka dapat didiskripsikan sebagai berikut :
208
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
Tabel 1.
Perbandingan Nilai Harga / Kg Dalam Tiap Pola Pengelolaan Eceng
gondok
Pola Panen Rp.5000,- 5 hari Siap jual jika bobot Jika per 50 Kg baru
kering keringnya berkisar antara jual = Rp. 250.000
30Kg s/d 50 Kg
Pola Panen Rp. 7500 7 hari 1 hari mencari eceng Jika per 7 Kg baru
Anyam gondok, 5 hari menjemur, dijual maka
setengah jadi dan 2 hari mengkepang. penghasilannya
Siap jual jika bobotnya sekitar Rp. 52.500,-
berkisar 7 Kg
Pola barang Harga per 1 hari Bahan baku barang setengah Omset perbulan
jadi unit yg jadi sudah disiapkan mitra, bisa mencapai
termurah tinggal merangkai. Untuk Rp.20 jutaan
Rp.20.000,- produk sederhana per
harinya bisa menghasilkan
beberapa puluh buah
Keterangan : harga per Kg, diambil pada tataran harga tertinggi dipasaran. Kecuali pola
barang jadi, penentuan harga ditentukan oleh bentuk, keindahan, dan kesulitan dalam
pengerjaannya.
209
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
harus terus dikembangkan sebagai upaya untuk mendukung green bisnis atau
upaya pelestarian alam yang dilontarkan oleh para aktivis lingkungan dengan
slogannya back to nature.
Pembangunan berkelanjutan definisikan sebagai proses pembangunan
(lahan, kota, bisnis, masyarakat, dll) yang berprinsip memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan pada generasi yang
akan datang. Sehingga dapat diasumsikan dalam konteks pemanfaatan eceng
gondok ini adalah, pemanfaatan eceng gondok akan memberi kontribusi pada
upaya pengendalian perkembang biakan tanaman ini sehingga dapat
membantu upaya penyelamatan danau Rawa Pening, disisi lain kebutuhan
akan produk-produk hasil industri kerajinan yang semakin meningkat,
sehingga mampu mendongkrak ekonomi masyarakat tanpa harus merusak
lingkungan sekitar, karena menggunakan bahan baku alami yaitu eceng
gondok. Selain sebagai bahan baku kerajinan, saat ini eceng gondok juga
dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan biogas, yaitu energy alternatif
yang dikembangkan untuk mengganti bahan bakar elpigi. Dengan demikian,
keberlangsungan ekonomi akan tetap terus berjalan.
Bagan 3
Tiga pilar penopang konsep pembangunan berkelanjutan
210
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
Selain itu, endapan eceng gondok yang mati dan membusuk di dasar
danau dan membentuk tanah gambut membuat keberlanjutan pembangunan
ekonomi dan pembangunan sosial pada masyarakat disekitar. Karena tanah
gambut tersebut punya nilai ekonomi tersendiri, yang banyak ditambang dan
dijual untuk media budidaya jamur yang seperti yang banyak dikembangkan
211
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
didaerah Dieng Wonosobo dan di daerah Kota Malang Jawa Timur dan jumlah
tanah gambut di Rawa Pening hampir tak terbatas, karena selama areal
perairan tersebut masih banyak ditumbuhi oleh tanaman eceng gondok, maka
tanah gambut pun akan tetap selalu ada. Karena ia berasal dari sisa-sisa
pembusukan kandungan organik eceng gondok yang mati dan tenggelam
didasar danau. Sehingga sudah sejak dari jaman dahulu hingga sekarang, stok
tanah gambut yang ada di dasar danau tidak akan pernah habis, meskipun
setiap hari ada ratusan kubik yang diangkat didarat melalui perahu-perahu
tongkang penambang.
Kehadiran para penambang tanah gambut ini juga memberikan dampak
positif bagi keberlanjutan ekologi danau Rawa Pening, karena bisa membantu
memperlambat pendangkalan danau dengan cara mengambil tanah gambut
tersebut. Melalui penambangan tanah gambut tersebut juga memberikan
dampak pembangunan sosial bagi masyarakat sekitar. Yaitu dengan membuka
akses lapangan kerja, sehingga mengurangi masalah pengangguran dan
masalah-masalah sosial lainnya.
DIMUSNAHKAN
Terbaru
DIKENDALIKAN
OG
AS
BI
Energy
Bagan 4
212
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
213
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
*****
214
Alvianto Wahyudi Utomo MERAJUT HIDUP DARI BENGOK
DAFTAR PUSTAKA
Irawan, Evi, 2016, Tata Kelola Pemulihan Fungsi Danau Rawapening, Balai
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. http://balitekdas.org/penelitian/kegiatan/tahun/2016/baca/96/Tata-
Kelola-Pemulihan-Fungsi-Danau-Rawapening, akses tgl 02/12/2016
215
MERAJUT HIDUP DARI BENGOK Alvianto Wahyudi Utomo
Purnomo, Daru, 2000, Aspek Kependudukan dan Sosio Ekonomi Desa Sekitar
Danau Rawa Pening dan Daerah Tangkapan Hujan Rawa Pening, FIS Pers
dan Widyasari, Salatiga.
Sutarwi, 2008, Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air Danau dan Peran
Kelembagaan Informal, Menggugat Peran Negara atas Hilangnya Nilai
Ngepen dan Wening dalam Pengelolaan Danau Rawa Pening di Jawa
Tengah, Desertasi Program Pascasarjana – UKSW, Salatiga.
Siahainenia, Royke, 2009, “Profil Rawa Pening” BLH Propinsi Jawa Tengah
Bekerjasama Dengan Pusat Studi Kawasan Rawa Pening UKSW, Salatiga.
Tabloid TELAGA, edisi ke -11, 2002, Rawa Pening: Padamu Negeri Ia Berjanji,
Percik Pers, Salatiga.
216