Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 27

Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an

Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu


Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

MAKNA WALI DAN AULIYĀ’ DALAM AL-QUR’AN


(Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu)

Oleh:
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun
[email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRACT

In Indonesia context, the term wali and Auliya 'only have two meanings, those
are wali as parents and wali as the close one with Allah and has peculiarity that other
people do not have or wali is defined according to tasawuf, such as wali songo.
However, in the holy Qur'an the word wali and auliya have different meaning depend
on the relation of sintagmatik that is used in a word. So that, the researcher analyze
the meaaning wali and Auliya.
The formulation of this research are 1) how is the meaning of wali and Auliya
'in the holy Qur’an? And 2) how is the basic meaning and word relational meaning of
wali and Auliya 'in the holy Qur'an?
The purpose of the research are: 1) to know the meaning of wali and Auliya in
the holy Qur'an and 2) to know the basic meaning and relational word meaning of
wali and Auliya'.
This research is qualitative and what kind of research is a library to discuss
the book, both in primary and secondary books that explain the semantic word
guardian and Auliya 'in the Qur'an. The approach of this research is the semantic
approach offered Toshihiko Izutsu. steps in the research is to determine the word that
will be studied the meaning and concepts contained in it, tracing the roots of the
word, transformation, and change the meaning, outlining categories of semantic
guardian and Auliya 'according to the condition of the wearer, and compose semantic
field to obtain an illustration or picture clearer about the meaning of a word.
The results of this study is the first meaning of the word meaning guardian
pick up close. The second is based on relational meaning, in the Qur'an the word
guardian and Saints have various meanings of which are helper, protector, friend,
leader, ruler, children, heirs, lover, coreligionists, and the close is righteous. In the
development of meaning, the word guardian at the time of the Pre-Qur'anic means
master, people who have power over something. At the time of Qur'anic word
guardian and Saints have meaning as disbutkan above.
The meaning of the word guardian and Auliya 'in the post-Qur'anic evolving in
the context Indonesiaan is the first guardian of Sufi pandangn corner meaningful
person who received special protection. because obedience to God. God has the
absolute right to choose his servant to be a trustee. Both from the standpoint of
jurisprudence family, guardian meaningful words the person who has the authority to
perform a contract, guardian of marriage. Third from a social standpoint in
meaningful parent / father or mother and meaningful leaders, such as mayors.
Key words: wali, auliyā’, semantic, Qur’an.

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 38


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

A. PENDAHULUAN
Salah satu sisi mukjizat dari al-Qur’an adalah sebuah kitab dengan sastra yang
indah. Para pakar bersepakat bahwa sisi keindahan bahasa dan susunan kata dalam
ayat-ayat al-Qur’an sangat mempesona. Aspek keistimewaan bahasa dalam al-Qur’an
terdapat dalam setiap surah, yang mencakup ketelitian dalam memilih dan menyusun
kosa kata, kemudahan pengucapannya serta kesesuaian nada kalimatnya ke telinga
pembaca dan pendengarnya dan tentu kedalaman pesan yang dikandungnya.
Pada masa turunnya al-Qur’an, sisi kebahasaan itulah yang dirasakan oleh
masyarakat Islam pertama. Namun, dari waktu ke waktu pengetahuan bahasa
tereduksi sehingga sisi itu tidak lagi memiliki kesan yang besar. Namun demikian,
tidak berarti bahwa keistimewaan al-Qur’an dalam aspek tersebut hilang atau
keistimewaan tersebut tidak lagi dapat menjadi bukti kebenaran. Al-Baqillani
mengatakan, al-Qur’an memiliki struktur yang sangat indah dan susunan yang
menakjubkan. Kualitas efisiensinya mencapai puncak tertinggi, hingga membuatnya
jelas tidak akan bisa dicapai oleh makhluk.
Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam tidak membicarakan satu
masalah secara sistematis sebagaimana buku-buku ilmiah lainnya yang disusun
manusia, al-Qur’an membicarakan satu masalah secara global, parsial dan
menampilkan suatu masalah dalam prinsip-prinsip dasar dan garis besar. Dalam
konteks itulah kemudian usaha untuk memahami makna al-Qur’an selalu ada dan
muncul seiring dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi. Atau yang lebih
dikenal dengan istilah tafsir. Begitu juga terhadap pemahaman makna kata wali dan
auliyā’ dalam al-Qur’an, setiap mufassir mempunyai pemahaman tersendiri yang
berbeda dengan mufassir lainnya, hal ini memungkinkan karena pemaknaan kata wali
dan auliyā’ akan berkembang selaras dengan perubahan masa atau zaman sejak
dahulu hingga sekarang.
Auliyā’ merupakan orang-orang mulia, disebutkan dalam al-Qur’an orang-
orang yang beriman dan bertakwa adalah orang-orang yang mendapat sebutan sebagai
wali-wali (auliyā’) Allah, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Yūnus 62-63:
‫ اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا و ﻛﺎﻧﻮا ﻳﺘﻘﻮن‬..‫أﻻ إن أوﻟﻴﺎء ﷲ ﻻ ﺧﻮف ﻋﻠﻴﻬﻢ وﻻ ﻫﻢ ﳛﺰﻧﻮن‬
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertakwa

Istilah kata wali mempunyai definisi yang berbeda-beda sesuai konteks kata
yang dipergunakan. Jika dikaitkan dengan masalah perkawinan, maka wali
mempunyai arti orang yang memiliki hak otoritas secara syar’i untuk menikahkan
orang yang berada di bawah perwaliannya, tanpa harus menunggu persetujuan orang
lain terlebih dahulu. Sementara jika dikaitkan dengan bidang tasawuf, maka wali
mempunyai arti seseorang yang telah mencapai maqam dan ahwal tertentu, sehingga
ia menjadi orang yang dekat dengan Allah dan mendapat karamah dari-Nya.
Pengertian wali dalam dunia tasawuf sering menekankan dimensi mistiknya,
dalam perspektif inilah yang mendapat pandangan masyarakat Indonesia. Apalagi
pemahaman tersebut didukung dengan tradisi mistik dan klenik yang masih melekat
pada sebagian masyarakat Indonesia. Dari sinilah, kata wali (auliyā’) mengalami
penyempitan makna di kalangan masyarakat Indonesia. Kebanyakan masyarakat
ketika mendengar kata wali yang terbayang di benak mereka adalah orang yang alim,
taqwa, istiqamah dalam berdzikir, beribadah, dan memiliki kelebihan yang tidak
dimiliki kebanyakan manusia. Seorang wali Allah adalah yang bisa terbang, bisa
Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 39
Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

berjalan di atas air, memiliki tenaga dalam, dan kekuatan lainnya yang bisa mereka
banggakan.
Kata wali (‫ )وﻟ ّﻲ‬dalam al-Qur’an disebutkan 44 kali, sedangkan bentuk
pluralnya auliyā’ (‫ )اوﻟﯾﺎء‬disebutkan sebanyak 42 kali. Penyebutan wali (dalam bentuk
mufrad) lebih banyak menunjuk pada Allah dan merupakan salah satu nama (asma)
dari asma’ al-husna yang berjumlah 99. Sedangkan wali dalam bentuk plural auliyā’
menunjukkan pada selain Allah Swt.
Berdasarkan hal ini, kata wali dan auliyā’ menjadi kata yang menarik untuk
dikaji lebih lanjut guna mengetahui makna wali dan auliyā’ yang disebutkan dalam al-
Qur’an. Pendekatan yang digunakan penulis untuk mengetahui makna wali dan
auliyā’ dalam al-Qur’an adalah pendekatan semantik yaitu menguraikan makna suatu
bahasa baik pada tataran mufradat (kosa kata), maupun pada tataran tarkib (struktur).
Secara struktural, data pokok untuk melakukan penelitian tafsir terdiri dari
sebuah atau serangkaian kalimat-kalimat sederhana atau kalimat-kalimat yang luas.
Pada tingkat lebih bawah, terdapat unsur frase dan kata. Yang terdiri dari induk
kalimat dan anak kalimat atau klausa. Dari hal tersebut ditemukan empat unsur yang
dapat membentuk sebuah ayat, yaitu: kalimat, klausa, frasa, dan kata. Setiap satuan
tersebut mengandung arti sebagai aspek semantiknya.
Sugeng Sugiyono mengungkapkan, semantik merupakan jalan masuk yang
mau tidak mau harus dilalui seseorang dalam rangka memahami kandungan al-
Qur’an. Dari sudut semantik, kata-kata dalam al-Qur’an dapat menjadi masalah serius
dan tidak jarang menimbulkan perbedaan pendapat yang akhirnya menyebabkan
terjadinya sekat-sekat dalam kehidupan sosial dan keagamaan. Perbedaan dalam
memahami makna kata seringkali dijadikan dalih untuk pembenaran sepihak,
penyerangan, penghujatan terhadap pihak lain, dan bahkan untuk tujuan pembunuhan
karakter orang atau kelompok yang berbeda pemahamannya.
Dalam hal ini, penulis akan menggunakan metode semantik Toshihiko Izutsu,
yakni teori yang dikembangkan dengan mencari makna dasar dan makna relasional
kata yang diteliti, dan mengungkap sinkronik dan diakronik kata wali dan auliyā’
sejak masa jahiliyah (pra Qur’anic), Qur’anic, dan pasca Qur’anic.
Wilayah kajian ini hanya merujuk pada karya-karya tulis ilmiah yang
membahas makna kata wali dan auliyā’ di dalam al-Qur’an dengan pendekatan
semantik. Di antara karya-karya yang telah membahas tema terkait penelitian ini
antara lain: buku Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-
Qur’an karya Tosihiku Izutsu. Buku ini membahas tentang pengertian semantik dan
kaitannya dengan al-Qur’an. Fokus buku ini lebih mengarah kepada analisis semantik,
hubungan personal antara manusia dan Tuhan. Dalam buku ini tidak ada penjelasan
khusus tentang analisis semantik kata wali dan auliyā’.
Buku Lisan dan Kalam: Kajian Semantik Al-Qur’an karya Sugeng Sugiyono.
Buku ini megungkapkan al-Qur’an dan fenomena linguistik yang mencakup al-Qur’an
sebagai wahyu ilahi, wahyu sebagai fenomena linguistik verbal, al-Qur’an dan
transformasi semantik, signifikansi semantik dalam studi al-Qur’an, dan kategori lisan
dan kalam dalam semantik linguistik.
Buku Orientasi Semantik Al-Zamakhsyari: Kajian Makna Ayat-ayat Kalam
karya Moh. Matsna. Buku ini membahas tentang seluk beluk makna bahasa atau
semantik dalam bahasa Arab yang dilakukan Al-Zamakhsyari dalam menafsirkan
ayat-ayat kalam, dijelaskan pula riwayat hidup Al-Zamakhsyari, dan kajian semantik
linguis Arab klasik.

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 40


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

Buku Al-Furqan antara Kekasih Allah dan Kekasih Syaitan karya Ibn
Taimiyah. Buku ini menjelaskan tentang perbedaan antara kekasih Allah dan kekasih
syaitan, selain itu juga dijelaskan sifat orang mukmin dan sifat orang munafiq, ciri-ciri
wali Allah, dan karamah para sahabatdan tabi’in.
Buku Tasawuf dan Gerakan tarekat editor Amsal Bakhtiar. Buku ini berisi
beberapa tema di antaranya asal-usul tasawuf serta perkembangannya di Indonesia,
masalah walayah dalam tasawuf pandangan Hakim al-Tirmidzi dan Ibnu Taimiyah,
tasawuf dan gerakan tarekat di Indonesia abad ke-19, spiritualisme sufi dan
permasalahan dewasa ini, dan beberapa tema lainnya yang berkaitan dengan tasawuf
dan pergerakan terekat.
Skripsi yang berjudul Konsep Makna ‘Ilm dan ‘Ulamā dalam al-Qur’an:
Kajian Semantik al-Qur’an karya Mudzakkir Amin. Skripsi ini menjelaskan tentang
kata ‘ilm dan ‘ulamā di dalam al-Qur’an, makna dasar dan relasional kata ‘ilm dan
‘ulamā di dalam al-Qur’an, dan menjelaskan tentang historisisme al-Qur’an tentang
makna ‘ilm dan ‘ulamā dan interdepedensi bahasa dan kultur.
Skripsi yang berjudul Polisemi Kata Wali dalam al-Qur’an: Studi Kasus
Terjemahan HAMKA dan Quraish Shihab karya Ismiyati Nur ‘Azizah. Skripsi ini
menjelaskan tentang makna kata wali dalam al-Qur’an dan perbedaan terjemahan kata
wali menurut HAMKA dan Quraish Shihab. Dari kajian pustaka di atas, penelitian ini
berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini menjelaskan tentang
konsep wali dan auliya’dalam al-Qur’an perspektif semantik Toshihiko Izutsu.

B. Metode Peneitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library
research). Peneltian ini mengumpulkan dan meneliti data-data yang bersumber dari
literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yakni terkait kata wali dan
auliya’ dalam al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan semantik Toshihiko Izutsu.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa sumber
yang berupa kitab-kitab tafsir, buku-buku tentang semantik, kamus-kamus al-Qur’an,
dan buku-buku dari pendapat para mufassir tentang makna kata wali dan auliya’ yang
terkandung dalam al-Qur’an. Sebagai sumber data primer adalah al-Qur’an dan
terjemahannya, kitab-kitab tafsir, serta buku-buku tentang semantik dan linguistik.
Dan sebagai sumber data sekunder adalah Kamus-kamus al-Qur’an, Lisān al-‘Arab,
al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’an al-Karim. Serta artikel-artikel dari
majalah atau internet yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini
dan dianggap penting untuk dikutip dan dijadikan informasi tambahan yang bisa
dipertanggung jawabkan kebenaran datanya.
Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan dan diproses
dengan analisis menggunakan pendekatan semantik. Analisa ini meliputi bentuk-
bentuk kata wali dan auliyā’ di dalam al-Qur’an, telaah makna kata, perkembangan,
dan perubahan yang terkandung dalam kata auliyā’ di dalam al-Qur’an melalui
metode yang telah dikembangkan oleh Tosihiko Izutsu, seorang ahli linguistik yang
tertarik mengkaji Islam khususnya pada studi Ilmu al-Qur’an.

C. Semantik kata wali dan auliyā’ dalam Al-Qur’an


1. Konsep dan Metodologi Semantik Toshihiko Izutsu
Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang dipandang sebagai
puncak dari studi bahasa. Semantik dalam bahasa Indonesia atau semantiks dalam
bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani sema (nomina) yang berarti tanda atau

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 41


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

lambang atau semaino dalam bentuk verbal yang berarti menandai atau
melambangkan. Dalam sumber lain, disebutkan kata semantik berasal dari bahasa
Yunani yang mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis,
semantik memiliki pengertian studi tentang makna. Makna adalah pertautan yang ada
di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Dan makna sebuah kata
dapat meluas dan menyempit serta mengalami pergeseran arti, tergantung cakrawala
dan sudut pandang seseorang.
Semantik menurut Izutsu adalah kajian tentang sifat dan struktur pandangan
dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya, dengan menganalisis
konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah terkonsep
pada kata-kata kunci yang terdapat dalam al-Qur’an. Analisis semantik al-Qur’an
akan memunculkan ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur’an dengan penelaahan
analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang
nampaknya memainkan peran menentukan dalam pembentukan visi Qur’ani terhadap
alam semesta.
Menurut Izutsu, semantik adalah susunan rumit yang sangat membingungkan,
kajian ini sangat sulit bagi seorang yang tidak memahami disiplin ilmu linguistik
untuk mendapatkan gambaran semantik secara umum. Hal ini karena secara
etimologis semantik adalah ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam
pengertian yang lebih luas dari kata, begitu luas sehingga hampir apa saja yang
mungkin dianggap memiliki makna merupakan objek semantik.
Izutsu berpendapat tidak ada seorangpun yang memiliki kesatuan bentuk ilmu
semantik yang rapi dan teratur, yang dimiliki oleh sebagian orang adalah sejumlah
teori tentang makna yang beragam. Setiap orang yang berbicara tentang semantik
cenderung menganggap dirinya paling berhak mendefinisikan dan memahami kata-
kata tersebut sebagaimana yang disukainya. Jadi, yang dimaksud semantik oleh
Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa
dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual atau
pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu tidak hanya sebagai alat
bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran
dunia yang melingkupinya. Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran
bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi dan sintaksis), dan semantik.
Izutsu menganggap bahasa sebagai satu sistem tanda tiruan yang dibuat untuk
membagi, mengkategori dan menyatakan realitas bukan-linguistik dan menjadikannya
bermakna dan boleh dikategorikan dalam sebuah konsep tertentu. Hal ini berarti
bahwa tidak ada kata dari sistem bahasa manapun yang sepenuhnya sama dengan
bahasa lain di dalam denotasi dan konotasi, karena masing-masing mempunyai medan
dan struktur semantik yang unik di dalam sistem bahasanya.
Dalam studi metodologi penafsiran al-Quran, kajian yang menggunakan
metode kebahasaan sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa mufassir klasik, di
antaranya adalah Al-Farrā’ dengan karya tafsirnya Ma’āni al-Qurˊan, Abu Ubaidah,
Al-Sijistani dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian dikembangkan oleh Amin Al-Khuli
yang kemudian teori-teorinya diaplikasikan oleh ‘Aisyah bint Al-Syati’ dalam
tafsirnya Al-Bayān Li Quran Al Karim. Gagasan Amin Al-Khuli kemudian
dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal dengan teori Semantik al-
Quran.
Menurut Nur Kholis Setiawan, sebagaimana dikutip oleh Mudzakir Amin
dalam skripsinya menyebutkan bahwa awal mula kesadaran semantik dalam
penafsiran al-Qur’an dimulai sejak era Muqātil ibn Sulaiman, dalam karyanya yang

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 42


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

berjudul Al-Asybah wa al-Nadzāir fi al-Qur’an al-Karim dan Tafsir Muqātil ibn


Sulaimān, Muqātil menegaskan bahwa setiap kata dalam al-Qurˊan di samping
memiliki makna definitif (makna dasar) juga memiliki makna alternatif lainnya.
Contohnya kata maut, yang mempunyai arti dasar mati. Menurut Muqātil dalam
konteks ayat, kata tersebut bisa memiliki empat makna alternatif, yaitu: tetes yang
belum dihidupkan, manusia yang salah beriman, tanah gersang dan tandus, serta ruh
yang hilang. Berkenaan dengan kemungkinan makna yang dimiliki oleh kosa kata al-
Qur’an, Muqatil menegaskan bahwa seseorang belum bisa dikatakan menguasai al-
Qur’an sebelum ia menyadari dan mengenal berbagai dimensi yang dimiliki al-
Qur’an tersebut.
Kemudian pada era kontemporer, metode semantik ini dikembangkan oleh
Izutsu. Analisis semantik Izutsu berbeda dengan lainnya, menurutnya semantik al-
Qur’an berusaha mengungkapkan pandangan dunia al-Qur’an melalui materi dalam
al-Qur’an sendiri, yakni kosakata atau istilah-istilah penting yang banyak digunakan
oleh al-Qur’an. Semantik ini bertujuan untuk memunculkan tipe ontologi hidup yang
dinamik dari al-Qur’an dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap konsep-
konsep yang tampaknya memainkan peranan penting dalam pembentukan visi qur’ani
terhadap alam semesta.
Izutsu berusaha membuat al-Qur’an menginterpretasikan konsep-konsepnya
sendiri dan bicara untuk dirinya sendiri dengan mengeksplorasi data-data yang berasal
dari al-Qur’an itu sendiri. Izutsu menyebutkan ruang lingkup penelitian semantik
adalah mencoba untuk menguraikan kategori semantik dari sebuah kata menurut
kondisi pemakainya.
Untuk mendapatkan konsep-konsep pokok yang terdapat di dalam al-Qur’an,
Izutsu menggunakan dua konsep metodologi, yaitu makna dasar dan makna
relasional. Makna dasar adalah makna yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu
terbawa dimanapun kata itu diletakkan. Sedangkan makna relasional adalah makna
konotatif yang diberikan atau ditambahkan pada makna yang sudah ada tergantung
pada kalimat di mana kata tersebut diletakkan. Dalam pengertian ini, makna dasar
disamakan dengan makna leksikal. Sedangkan makna relasional hampir mendekati
makna gramatikal.
Izutsu menggambarkan dua makna ini dengan mengambil contoh kata kitab.
Kata kitab memiliki makna dasar kitab. Dalam konteks al-Qur’an, kata kitab
mempunya makna yang luar biasa penting sebagai isyarat konsep religius yang sangat
khusus yang dilingkupi oleh cahaya kesucian, hal ini bisa dilihat dari kenyataan
bahwa kata kitab dalam konteks ini berdiri dalam hubungan yang sangat dekat dengan
wahyu Ilahi.
Makna kata sangat dipengaruhi oleh kata kata yang berada di sekitarnya,
dipengaruhi oleh keseluruhan sistem di mana kata tersebut berada. Dengan kata lain,
makna relasional sebuah kata lebih penting kedudukannya dibanding makna dasar.
Bahkan makna yang dibangun dari relasi makna antar kata itu dapat menghilangkan
makna dasarnya.
Makna dasar tidak akan mengalami perubahan, baik dalam sistem apapun kata
itu digunakan, selama makna tersebut tetap dianggap sebagai satu kata oleh
masyarakat penuturnya. Makna sebuah kata dapat meluas dan menyempit serta
mengalami pergeseran arti, tergantung sudut pandang masyarakat penuturnya.
Ada beberapa istilah yang digunakan Izutsu dalam analisisnya ini, yaitu kata
kunci, kata fokus, dan medan semantik. Kata kunci adalah kata-kata yang memainkan
peranan yang sangat menentukan dalam penyusunan struktur konseptual dasar

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 43


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

pandangan dunia al-Qur’an. Kata fokus adalah kata kunci yang secara khusus
menunjukkan dan membatasi suatu bidang konseptual yang relatif independen dan
berbeda dalam kosakata yang lebih besar dan ia merupakan pusat konseptual dari
sejumlah kata kunci tersebut. Dan medan semantik adalah wilayah atau kawasan yang
dibentuk oleh beragam hubungan di antara kata-kata dalam sebuah bahasa.
Izutsu dalam penelitian selanjutnya mengkaji tentang kajian historis kosa kata
atau kesejarahan kosa kata al-Qur’an. Menurut Izutsu, ada tiga alasan diperlukannya
kajian historis terhadap istilah-istilah kunci al-Qur’an. Pertama, pada umumnya kajian
terhadap persoalan tersebut berdasarkan dua sudut pandang yang berbeda atau lebih,
namun sangat berkaitan erat, biasanya berakhir dengan pandangan yang lebih dalam
dan lebih komprehensif terhadap persoalan tersebut. Kedua, dengan mengikuti
perkembangan semantik beberapa istilah kunci dalam al-Qur’an melalui sistem non-
al-Qur’an yang muncul dalam Islam karena perkembangan zaman, maka dapat
ditemukan keistimewaan makna kata-kata yang ada dalam al-Qur’an dengan sudut
pandang yang baru. Ketiga, telaah yang cermat terhadap persoalan kemungkinan dan
signifikansi semantik historis, sebaliknya akan memperjelas keuntungan dan
keterbatasan metode tersebut dan prinsip-prinsip khas semantik statis, sehingga
memungkinkan untuk menggabungkan kedua semantika tersebut dengan cara yang
sangat menguntungkan dalam menganalisis struktur kosakata al-Qur’an.
Izutsu mengungkapkan sejarah kata kunci al-Qur’an atau semantik historis
bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu diakronik dan sinkronik. Diakronik adalah
pandangan terhadap bahasa yang pada prinsipnya menitikberatkan pada unsur waktu.
Dengan kata lain, diakronik adalah menyelidiki perkembangan bahasa dari satu masa
ke masa lain serta menyelidiki perbandingan suatu bahasa dengan bahasa lain.
Dengan demikian, secara diakronik kosakata adalah sekumpulan kata yang masing-
masing tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas.
Pertumbuhan dan perubahan tersebut tergantung pada masyarakat yang menggunakan
kata-kata tersebut. Makna kata suatu bahasa bisa sudah berkembang, bisa statis, bisa
berubah, dan bisa hilang dari peredaran tergantung dari keadaan dan sikap pemakai
bahasa itu.
Izutsu menyederhanakan persoalan ini dengan membagi tiga periode waktu,
yaitu pra Qur’anik (jahiliyah), Qur’anik, dan pasca Qur’anik, terutama pada periode
Abbasiyah. Pada masa Arab pra-Islam, terdapat tiga sistem kata yang berbeda dalam
pandangan dunianya. Pertama, kosakata badui murni. Kedua, kosakata kelompok
pedagang yang memiliki karakteristik hampir sama dengan kosakata badui dan
memiliki pandangan dunia sendiri. Ketiga, kosakata yahudi-kristen yang memiliki
sistem religius yang juga hidup di tanah Arab.
Secara linguistik, kosakata al-Qur’an merupakan campuran dari tiga sistem
yang berbeda tersebut. Namun, hal ini tidak berarti kata-kata yang diambil dari tiga
sumber yang berbeda itu ada di dalam al-Qur’an sebagai unsur heterogen yang saling
berdampingan. Kosa kata al-Qur’an memiliki medan semantik yang sangat luas.
Menurut sistem al-Qur’an, semua medan semantik berkaitan dan diatur oleh
konsep sentral dan tertinggi, yaitu Allah. Pengaruhnya tidak saja terhadap konsep-
konsep yang berhubungan dengan agama dan keimanan, tetapi juga semua gagasan
moral dan konsep-konsep yang mewakili aspek-aspek keduniaan dalam kehidupan
manusia seperti misalnya perkawinan, perceraian, warisan, urusan perdagangan, dan
lain sebagainya.
Secara linguistik, al-Qur’an merupakan sebuah karya asli Arab, maka akan
segera terlihat bahwa semua kata-kata yang digunakan dalam kitab suci ini memiliki

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 44


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

latar belakang pra-Qur’an atau pra-Islam. Al-Qur’an juga berkaitan dengan ajaran
atau tradisi masyarakat pra-al-Qur’an. Bukti-bukti empirik tradisi masyarakat Arab
pra-al-Qur’an yang diikuti al-Qur’an sangat bervariasi, di antaranya: pertama, ritus-
ritus peribadatan, baik warisan yang berasal dari suku Arab maupun kelompok
Hanafiyyah seperti penghormatan terhadap ka’bah, menjalankan ibadah puasa; kedua,
ritus-ritus sosial politik, dan ketiga, ritus-ritus etika, baik etika sosial maupun etika
keagamaan, seperti kemurahan hati, keberanian, kesabaran, dan lain-lain.

2. Semantik kata wali dan auliyā’


Kata wali dan auliyā’ terdapat dalam al-Qur’an dengan berbagai bentuk
derivasinya berjumlah 233 kata, yang termuat dalam 234 ayat dari 55 surah. Kata
yang secara langsung menunjuk kata wali di dalam al-Qur’an disebutkan 44 kali yaitu
pada surat al-Baqarah (2): 107, 120, 257, 282; Ali Imrān (3): 68, 122; al-An’ām (6):
14, 51, 70, 127; al-Taubah (9): 74, 116; al-Ra’d (13): 37; al-Isrā’ (17): 33, 111; al-
Kahfi (18): 17, 26; al-Ankabūt (29): 22; al-Sajdah (32): 4; Fushshilat (41): 34; al-
Syūra (42): 8, 9, 28, 31, 44; al-Jātsiyah (45): 19; al-Nisā’ (4): 45, 75, 89, 119, 123,
173; Maryam (19): 5, 45; al-Ahzāb (33): 17, 65; al-Fath (48): 22; al-Māidah (5): 55;
al-A’rāf (7): 155, 196; Sabā’ (34): 41; al-Naml (27): 49; al-Nahl (16): 63; Yūsuf (12):
101.
Sedangkan bentuk pluralnya auliyā’ disebutkan 42 kali, yaitu: Ali Imrān (3):
28, 175; al-Nisā’ (4): 76, 89, 139, 144; al-Māidah (5): 51 (2x), 57, 81; al-A’rāf (7): 3,
27, 30; al-Anfāl (8): 34(2x), 72, 73; al-Taubah (9): 23, 71; Yūnus (10): 62; Hūd (11):
20, 113; al-Ra’d (13): 16; al-Isrā’ (17): 97; al-Kahfi (18): 50, 102; al-Furqān (25): 18;
al-Ankabūt (29): 41; al-Zumar (39): 3; al-Syūra (42): 6, 9, 46; al-Jātsiyah (45): 10, 19;
al-Ahqāf (46): 32; al-Mumtahanah (60): 1; al-Jumu’ah (62): 6; Fushshilat (41): 31; al-
Baqarah (2): 257; al-An’ām (6): 121, 128; al-Ahzab (33): 6.

a. Diakronik kata Wali dan Auliyā’


Diakronik adalah pendekatan yang digunakan untuk melakukan studi atas
fenomena kebahasaan sesuai dengan urutan sejarah. Kajian diakronik bahasa
berkaitan dengan variasi, ragam-ragam, atau dialek-dialek satu bahasa. Dalam
dikotomi sinkronik dan diakronik, yang menjadi dasar adalah linguistik yang
sinkronik. Hal ini disebabkan fakta bahwa ada dan berkembangnya linguistik
diakronik baru didasarkan pada ada dan berkembangnya linguistik sinkronik.
Objek penelitian ini adalah kosa kata al-Qur’an, sedangkan kosa kata al-
Qur’an sendiri berkaitan dengan kosa kata yang sebelumnya digunakan masyarakat
pra-Islam, maka penelusuran kosa kata di luar sistem al-Qur’an masih relevan,
sepanjang hal tersebut dapat memberi informasi yang berguna bagi pembentukan
konsep semantik al-Qur’an, terdapatnya signifikansi penggabungan semantik historis
dengan semantik sinkronis dalam menganalisis struktur kosa kata al-Qur’an, dan
kandungan unsur semantik dasar sebuah kata masih ada di manapun kata tersebut
diletakkan dan digunakan.
Dalam analisis semantik historis kosakata ini, Izutsu membagi periode waktu
penggunaannya dalam tiga periode, yaitu pra Qur’anik, Qur’anik, dan pasca Qur’anik.
1. Pra Qur’anik
Dalam memahami arti kosakata pada masa pra-Qur’anik syair-syair jahili
adalah salah satu media yang representatif untuk digunakan. Syair jahili adalah syair-
syair yang berkembang sebelum Islam. Syair jahili berkembang pesat sekitar abad ke

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 45


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

6 M. Para pemuka Arab menganggap bahwa membuat syair adalah sebuah kebaikan,
maka mereka berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan.
Menurut sebagian sastrawan, sastra Arab telah ada beberapa abad sebelum
Masehi. Akan tetapi karya sastra (syair) tersebut yang ada sampai sekarang adalah
karya sastra yang lahir dua abad sebelum Islam. Hal ini bukan berarti bahwa sebelum
itu orang Arab tidak mengenal sastra, tetapi yang dapat ditemukan hanya sampai pada
zaman Muhalhil saja. Oleh sebab itu ia dianggap sebagai perintis pertama sastra Arab
jahiliyah.
Dalam mencari makna wali dan auliyā’ pada masa ini, penulis hanya
menemukan penyebutan kata wali dan auliyā’ dalam syair-syair tersebut di bawah ini.
Di antara syair yang penulis temukan adalah sebagai berikut:
‫ﺐ‬
ٌ ِ‫ﱄ اﻟْﻌَ ْﻔ ِﻮ إِ ْذ ُﻫ َﻮ ُﻣ ْﺬﻧ‬
ِِّ‫ﺖ َو‬
َ ْ‫ َوأَﻧ‬... ‫ﺼﻠِ ِﻪ‬
ْ ‫ﻀﻲ ﺑَِﻔ‬
ِ ‫ﱄ اﳊَْ ِّﻖ ﺗَـ ْﻘ‬
ِِّ‫ﺖ َو‬
َ ْ‫أَﻧ‬
“Engkaulah yang memiliki kebenaran, engkau yang memutuskan, engkaulah yang
memiliki ampunan karena ia pendosa”
‫ﺎﺷٌﺮﻏَْﻴـُﺮَﻣﻄْﻠُ ْﻮٍل أَ ُﺧ ْﻮَﻫﺎ‬
ِ ‫ َﻣ َﻌ‬... ‫ﻟَ َﻘ ْﺪ َوﱃِﱞ أَﻟَْﻴـﺘُﻪُ َﺟ ٍﻮى‬
“Sungguh aku telah memastikan bahwa sumpah jawi dipegang oleh sekelompok
orang yang tidak menghilangkan darah saudaranya”

Dari kedua syair di atas mengisyaratkan bahwa kata wali dan auliyā’
bermakna menguasai, orang yang mempunyai kekuasaan atas sesuatu.

2. Qur’anik
Makna kata wali dan auliyā’ dalam al-Qur’an berbeda dengan dengan makna
kata wali dan auliyā’ pada masa pra-Qur’anik. Pada masa ini kata tersebut memiliki
kata fokus tertinggi yaitu Allah. Jadi, ada perbedaan antara wali yang ditunjukkan
sebagai Allah dan wali yang ditunjukkan untuk makhluk Allah atau manusia.
Ketika periode Qur’anik, makna wali dibedakan dengan auliyā’, Penggunaan
kata wali (dalam bentuk mufrad) lebih banyak menunjuk pada Allah, dan merupakan
bagian dari asma’ al-husna. Wali menjadi sifat Allah hanya ditujukan kepada orang-
orang yang beriman. Karena itu, kata wali bagi Allah diartikan dengan pembela,
pendukung, penolong, dan sejenisnya, tetapi pembelaan, pertolongan, dan dukungan
yang berakibat positif serta berkesudahan baik. Seperti disebutkan dalam QS. al-
Baqarah (2) ayat 257:
‫ﷲ وﱄ اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا ﳜﺮﺟﻬﻢ ﻣﻦ اﻟﻈﻠﻤﺎت اﱃ اﻟﻨﻮر و اﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮوا أوﻟﻴﺎؤﻫﻢ اﻟﻄﺎﻏﻮت ﳜﺮﺟﻮ ﻢ ﻣﻦ اﻟﻨﻮر‬
‫اﱃ اﻟﻈﻠﻤﺎت اوﻟﺌﻚ اﺻﺤﺎب اﻟﻨﺎر ﻫﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﺧﺎﻟﺪون‬
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”

Dukungan dan perlindungan positif dari siapapun yang dinikmati oleh


makhluk, kesemuanya bersumber dari Allah dan atas izin-Nya. Dan karena itu dapat
dimengerti pernyataan-Nya bahwa siapa yang tidak menjadikan Allah sebagai wali,
maka yang bersangkutan tidak lagi akan dapat menemukan wali yang lain yang
perlindungan dan pertolongannya berdampak baik dunia dan akhirat. Seperti dalam

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 46


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

ayat di atas, Allah akan menjadi wali bagi orang yang beriman, sedangkan orang yang
tidak beriman kepada Allah akan mendapat perlindungan (auliya) dari syaitan.
Penyebutan Allah sebagai wali diiringi dengan penafian wali-wali selain
Allah, karena Allah adalah wali yang hakiki, Dia yang menguasai dan mengatur langit
dan bumi serta segenap isinya, Dia yang menghidupkan dan mematikan, Dia yang
menetapkan hukum di dunia dan memberi keputusan di akhir, hal ini seperti
disebutkan dalam QS. al-An’ām (6) ayat 51:
‫وأﻧﺬر ﺑﻪ اﻟﺬﻳﻦ ﳜﺎﻓﻮن أن ﳛﺸﺮوا اﱃ ر ﻢ ﻟﻴﺲ ﳍﻢ ﻣﻦ دوﻧﻪ وﱃ وﻻ ﺷﻔﻴﻊ ﻟﻌﻠﻬﻢ ﻳﺘﻘﻮن‬
Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang
takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka
tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa´atpun selain daripada Allah, agar
mereka bertakwa”

Hal senada juga diungkapkan dalam QS. al-Syūrā (42) ayat 9:


‫ام اﲣﺬوا ﻣﻦ دوﻧﻪ أوﻟﻴﺎء ﻓﺎ ﻫﻮ اﻟﻮﱃ وﻫﻮ ﳛﻲ اﳌﻮﺗﻰ وﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﻲء ﻗﺪﻳﺮ‬
“Atau patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah? Maka Allah,
Dialah pelindung (yang sebenarnya) dan Dia menghidupkan orang-orang yang mati,
dan Dia adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Sedangkan kata wali dalam bentuk plural, yaitu auliyā’, menunjukkan arti
selain Allah, seperti manusia yang beriman dan bertakwa. Makna ini juga
menunjukkan kepada manusia yang kafir dan durhaka kepada Allah atau wali setan.
Terminologi kata wali dalam al-Qur’an juga dibagi menjadi dua, yaitu wali
Allah dan wali setan. Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa,
sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Yūnus (10) ayat 62-63:
‫ اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا و ﻛﺎﻧﻮا ﻳﺘﻘﻮن‬..‫أﻻ إن أوﻟﻴﺎء ﷲ ﻻ ﺧﻮف ﻋﻠﻴﻬﻢ وﻻ ﻫﻢ ﳛﺰﻧﻮن‬
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertakwa

Sedangkan terminologi wali setan dalam al-Qur’an salah satunya diterangkan


dalam Q.S. al-Nisā’ (4) ayat 76:

‫اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا ﻳﻘﺎﺗﻠﻮن ﰱ ﺳﺒﻴﻞ ﷲ واﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮوا ﻳﻘﺎﺗﻠﻮن ﰱ ﺳﺒﻴﻞ اﻟﻄﺎﻏﻮت ﻓﻘﺎﺗﻠﻮا اوﻟﻴﺎء‬
‫اﻟﺸﻴﻄﺎن إن ﻛﻴﺪ اﻟﺸﻴﻄﺎن ﻛﺎن ﺿﻌﻴﻔﺎ‬
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir
berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena
sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah”

Ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang yang mengikuti para thaghut


adalah orang-orang yang mengikuti wali setan, wali yang tidak seharusnya mereka
ikuti. Dalam QS. al-A’rāf (7) ayat 27, Allah berfirman:
‫ﻳﺒﲏ أدم ﻻ ﻳﻔﺘﻨﻨﻜﻢ اﻟﺸﻴﻄﺎن ﻛﻤﺎ أﺧﺮج أﺑﻮﻳﻜﻢ ﻣﻦ اﳉﻨﺔ ﻳﻨﺰغ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻟﺒﺎﺳﻬﻤﺎ ﻟﲑﻳﻬﻤﺎ ﺳﻮا ﻤﺎ‬
‫إﻧﻪ ﻳﺮﯨﻜﻢ ﻫﻮ وﻗﺒﻴﻠﻪ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻻ ﺗﺮو ﻢ إ ﺟﻌﻠﻨﺎ اﻟﺸﻴﺎﻃﲔ اوﻟﻴﺎء ﻟﻠﺬﻳﻦ ﻻ ﻳﺆﻣﻨﻮن‬

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 47


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana
ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat
mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-
pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman”.

Ayat ini menguraikan tentang dilarangnya menjadikan syaitan sebagai


pemimpin. Larangan ini berarti menciptakan mereka memiliki potensi menggoda dan
merayu manusia sehingga dapat memimpin dan membimbing orang-orang yang tidak
beriman ke arah kejahatan. Syaitan memiliki kodrat yang dianugerahi Allah sehingga
berpotensi untuk membimbing mereka yang tidak beriman. Jika potensi itu
dimanfaatkan syaitan dan bertemu dengan potensi negatife manusia, maka iblis dan
syaitan akan berhasil memperdaya manusia.
Dalam surat al-A’rāf (7) ayat 30 dijelaskan pula tentang dilarangnya
menjadikan syaitan sebagai pemimpin. Dalam ayat tersebut terdapat kata ْ‫ٱﺗﱠ َﺨﺬُوا‬, kata
tersebut terambil dari kata ُ‫ ٱ َﺧﺬ‬yang memiliki arti mengambil atau menjadikan.
Penambahan huruf “ta” pada kata tersebut menjadikan kata itu mengandung makna
keterpaksaan atau sesuatu yang tidak mudah dilaksanakan. Dengan demikian, kata
tersebut mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya fitrah manusia dan kesuciannya
enggan menjadikan syaitan sebagai pemimpin. Oleh karena itu, jika ada yang
menjadikan mereka pemimpin maka hal tersebut bertentangan dengan fitrah mereka
sendiri sehingga ia memaksakan diri.
Selain tentang wali setan, dalam al-Qur’an juga diterangkan bahwa tidak
diperbolehkannya mengangkat wali dari kalangan Yahudi dan Nasrani, seperti
diungkapkan dalam Q.S. al-Māidah (5) ayat 51:
‫ﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا ﻻ ﺗﺘﺨﺬوا اﻟﻴﻬﻮد و اﻟﻨﺼﺎرى اوﻟﻴﺎء ﺑﻌﻀﻬﻢ اوﻟﻴﺎء ﺑﻌﺾ وﻣﻦ ﻳﺘﻮﳍﻢ ﻣﻨﻜﻢ‬
‫ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻨﻬﻢ إن ﷲ ﻻ ﻳﻬﺪى اﻟﻘﻮم اﻟﻈﺎﳌﲔ‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”

Ayat ini mengisyaratkan bahwa keimanan bertingkat-tingkat. Ada di antara


orang-orang yang hidup bersama Rasul ketika itu yang keimanannya masih belum
mantap, masih diselubungi oleh keraguan. Mereka merupakan orang-orang munafik
yang menampakkan keimanan tapi menyembunyikan kekufuran, mereka tetap
dinamai orang-orang yang beriman. Kendati demikian, keraguan yang masih terdapat
dalam hati mereka, yang merupakan salah satu bentuk penyakit jiwa, itulah yang
mengantar mereka mengambil sikap bersahabat sangat erat dengan orang-orang
Yahudi dan Nasrani. Keraguan itulah yang menjadikan mereka khawatir mendapat
bencana, mereka adalah sebagian dari yang dimaksud ayat ini.
Kata wali dan auliyā’ (walāyah) di dalam al-Qur’an menunjukkan makna
kedekatan, kekerabatan, persahabatan, perlindungan, cinta, persekutuan, bantuan,
kasih sayang. Walayah dalam al-Qur’an menggambarkan adanya walāyah umum dari
Tuhan kepada seluruh alam, makhluk ciptaan-Nya dengan penciptaan dan pengaturan
alam ini sesuai sunnah Allah, dan adanya walāyah khusus dari Tuhan kepada mereka
Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 48
Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

yang beriman secara tulus kepada-Nya. Walāyah juga terdapat pada orang-orang yang
beriman kepada Allah, walāyah antara sesama orang beriman, walāyah setan kepada
orang kafir, walāyah orang kafir kepada setan, walāyah antara orang-orang kafir,
walāyah orang-orang kafir kepada hamba Tuhan yang saleh dan walāyah orang-orang
beriman kepada yang bukan Muslim.

3. Pasca Qur’anik
Pada periode pasca qur’an, Islam telah menghasilkan banyak sistem pemikiran
yang berbeda dengan pada masa Qur’an, seperti, teologi, hukum, teori politik, filsafat,
dan tasawuf. Izutsu mengungkapkan, pada masa ini, kita berhak sepenuhnya
membicarakan kosakata teologis Islam, kosakata hukum Islam, kosakata tasawuf, dan
lain-lain menurut pengertian teknis yang tepat sebagaimana didefinisikan dalam
bidangnya tersebut. Begitu juga dengan kata wali dan auliyā, kata tersebut pada masa
pasca al-Qur’an memiliki perkembangan makna sesuai dengan berkembangnya sistem
pemikiran pada masa ini.
Izutsu mengungkapkan bahwa pada periode pasca qur’an ini, tidak mungkin
dapat dijelaskan secara detail struktur semantik suatu kata kunci dalam al-Qur’an.
Ada tiga sistem di antara beberapa sistem yang menurutnya dapat memberikan
gambaran tentang kata kunci pada masa pasca qur’an, yakni teologi, filsafat, dan
tasawuf. Dari ketiga sistem tersebut, kata wali dan auliyā’ masuk ke dalam sistem
tasawuf. Secara semantik, para sufi menggunakan beberapa kata al-Qur’an sebagai
istilah kunci mereka. Pada umumnya, kata-kata yang dipakai oleh para sufi bersifat
bebas, para sufi cenderung mengartikan kata-kata al-Qur’an yang mereka anggap
menarik dengan makna relasional yang terlepas dari konteks aktualnya, karena
mereka memakai prinsip interpretasi simbolik sebagai acuannya.
Dalam Tasawuf, Kata wali dan auliyā’ sering diartikan dengan orang kudus,
orang yang berada di bawah perlindungan khusus. Dalam literatur orientalis disebut
sebagai saint. Teori perwalian dalam kalangan sufi baru muncul pada akhir abad
kesembilan, ketika sufi-sufi ahli tasawuf yakni al-Kharraj, Sahl al-Tustari, dan Hakim
al-Turmudzi menulis tentang teori tersebut dalam karya-karyanya.
Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi mengartikan wali dengan pengertian
aktif dan pasif, dalam pengertian aktif, beliau mengartikan sebagai orang yang
melakukan kepatuhan kepada Allah (wali dan auliyā’), sebagaimana yang diterangkan
dalam QS. Yunus (10) ayat 62-63. Dan wali dalam artian pasif diartikan sebagai
seseorang yang diurutkan urusannya (tuwulliya).
Fudhayl bin ‘Iyadh dan Ma’ruf al-Karkhī menyatakan bahwa walāyah
merupakan karunia Allah Swt. yang diberikan kepada sebagian hamba-Nya. Menurut
dua sufi generasi awal itu, karunia kewalian diberikan oleh Allah kepada seorang
hamba yang beriman berdasarkan pilihan mutlak-Nya secara murni. Tidak ada
seorang pun di antara hamba-hamba Allah yang dapat mempengaruhi kehendak
mutlak Allah dalam memberikan derajat kewalian. Namun, menurut keduanya
seorang hamba yang beriman berusaha dengan beramal secara sungguh-sungguh
untuk meraih derajat kewalian.
Pengertian wali dalam dunia sufi sering menekankan dimensi mistiknya, hal
lain yang perlu diperhatikan juga adalah maqām dan ahwāl seperti taubat, sabar,
wara’, tawakkal, ridlo, dan lainnya. Dalam dunia sufi dikenal pula hirarki kekuasaan
kerohanian. Tingkatan-tingkatan itu ditempati oleh para wali sesuai dengan tingkat
kesempurnaan kewalian yang dicapainya. Tingkatan kekuasaan rohani tertinggi
disebut qutub (poros, kutub) atau gauts (pertolongan), qutub atau gauts dikelilingi

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 49


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

oleh tiga nuqab (pengganti), empat autād (tiang), tujuh abrār (saleh), empat puluh
abdāl (para pengganti), tiga ratus akhyār (yang terpilih), dan empat ribu wali
tersembunyi.
Kewalian dalam ilmu tasawuf juga mengenal istilah karamah. Karamah adalah
kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada para wali. Karamah bisa terjadi tanpa
sebab dan tanpa ada tantangan dari orang lain. Karamah dalam hal ini tidak dituntut
untuk diperlihatkan kepada orang lain, lain halnya dengan mukjizat. Sebagaimana kita
ketahui mukjizat seorang Nabi adalah satu hal yang harus diketahui umatnya sebagai
bukti kenabian dan kerasulan mereka.
Seorang wali tidak memiliki sifat ma’shūm, karena yang mempunyai sifat
ma’shūm adalah para Nabi, tetapi para wali adalah seorang yang mahfuzh dari
melakukan dosa dan kesalahan, dalam arti seandainya ia melakukan maksiat segera ia
menyesal, bertaubat dengan sempurna, menyadari kelemahan dirinya, sehingga
disucikan kembali.
Menurut ibnu Taimiyah, al-walāyah merupakan lawan dari al-‘adāwah
(permusuhan). Adapun yang menjadi pangkal terjadinya al-walāyah adalah al-
mahabbah (cinta) dan al-qarb (hubungan yang dekat), sedangkan yang menjadi
pangkal terciptanya al-‘adāwah adalah al-bughdhu (kebencian) dan al-bu’du
(hubungan yang jauh). Sedangkan menurut Hakim al-Tirmidzi, walāyah melahirkan
relasi antara Allah dengan hamba dalam bentuk al-ri’āyah (pemeliharaan), al-
mawaddah (cinta kasih), dan al-‘ināyah (pertolongan).
Selain tasawuf, penggunaan kata wali juga berkaitan erat dengan hukum Islam
atau fiqih. Perwalian dalam fiqih memiliki arti kekuasaan atau kewenangan untuk
melakukan akad atau transaksi tanpa harus menunggu persetujuan orang lain.
Perwalian dalam hal ini dibagi menjadi tiga, yaitu perwalian jiwa, perwalian harta,
dan perwalian jiwa dan harta.
Perwalian jiwa meliputi kekuasaan seseorang atas dasar keturunan (orang tua
atas anaknya), atas dasar laku kebajikan (misalnya terhadap anak yatim piatu atau
anak terlantar), atau atas dasar kedudukan sebagai petugas negara misalnya hakim
atas seseorang yang tidak punya wali. Salah satu contoh perwalian jiwa adalah
perwalian dalam perkawinan. Kedudukan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu
yang harus dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali, karena
menurut kesepakatan ulama wali adalah salah satu rukun dalam perkawinan. Dalam
akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak
atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta
persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Secara nash, dalam al-Qur’an tidak disebutkan ayat yang secara jelas
menghendaki keberadaan wali dalam akad perawinan. Namun secara isyarat nash dari
beberapa ayat dalam al-Qur’an dapat dipahami menghendaki adanya wali. Di antara
ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan adanya wali adalah QS. al-Baqarah (2) ayat 232:
‫وإذا ﻃﻠﻘﺘﻢ اﻟﻨﺴﺎء ﻓﺒﻠﻐﻦ أﺟﻠﻬﻦ ﻓﻼ ﺗﻌﻀﻠﻮﻫﻦ أن ﻳﻨﻜﺤﻦ أزواﺟﻬﻦ إذا ﺗﺮاﺿﻮا ﺑﻴﻨﻬﻢ ﳌﻌﺮوف ذﻟﻚ‬
‫ﻳﻮﻋﻆ ﺑﻪ ﻣﻦ ﻛﺎن ﻳﺆﻣﻦ و اﻟﻴﻮم اﻷﺧﺮ ذﻟﻜﻢ أزﻛﻰ ﻟﻜﻢ و أﻃﻬﺮ و ﷲ ﻳﻌﻠﻢ و اﻧﺘﻢ ﻻ ﺗﻌﻠﻤﻮن‬
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah
kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila
telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma´ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan
hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui”.

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 50


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

Sedangkan yang dimaksud dengan perwalian harta adalah perwalian dalam


mengurus sendiri hartanya. Misalkan harta milik anak kecil atau perwalian orang yang
diberi kepercayaan oleh pemilik harta untuk mengurusnya. Kewajiban wali harta ini
adalah memelihara harta itu, mengeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nishab dan
haul. Seorang yang menjadi wali harta berhak mengambil sebagian dari keuntungan
harta tersebut sekedar yang wajar sebagai ongkos perawatan.

b. Sinkronik Wali dan Auliyā’


Sinkronik berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa yunani yaitu “syn”
dan “khronos”, “syn” memiliki arti “dengan” dan “khronos” berarti waktu, dengan
demikian sinkronik memiliki arti mempelajari suatu bahasa pada satu zaman. Dalam
kata lain, sinkronis adalah meneliti suatu kosakata dari perspektif tertentu yang
terbatas hanya pada satu waktu tertentu. Kajian sinkronik bisa dilakukan dengan
pengkajian terhadap sejarah kata-kata berdasarkan seluruh sistem statis atau ketika
kita membandingkan dua kata atau lebih dari bahasa yang sama maka akan
memunculkan tahap-tahap sejarah yang berbeda, yang satu sama lainnya dipisahkan
oleh interval waktu. Begitu juga dengan kosakata dalam al-Qur’an atau bahasa al-
Qur’an, bahasa al-Qur’an memiliki proses historis yang berlangsung selama 22 tahun
dengan dua periode yaitu periode makkah dan madinah. Maka kosakata al-Qur’an
secara keseluruhan terbentuk sebagai sistem yang statis sebagaimana objek kajian
sinkronik ini. Penelaahan makna wali dan auliyā’ dengan kajian sinkronik bisa
dilakukan dengan menelaah makna secara dasar dan relasional.
Kata wali dan auliyā’ dalam al-Qur’an, tidak pernah berdiri sendiri dan lepas
dari konteks, berbagai makna yang muncul adalah akibat dari berfungsinya kata
tersebut dalam ayat. Dalam kajian semantik dibedakan antara makna dasar yang
berupa kata-kata yang berdiri sendiri, baik dalam bentuk turunan maupun dalam
bentuk dasar atau disebut dengan makna leksikal. Dan makna relasional atau makna
gramatikal yang terbentuk dari pertautan antar unsur dalam suatu bahasa.
Makna dasar atau disebut juga makna leksikal adalah makna yang melekat
pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa dimana pun kata itu diletakkan. Untuk
mendapatkan makna dasar, dapat kita ketahui dengan mencari makna tersebut dalam
kamus-kamus.
Kata wali (‫ﻲ‬ّ ‫ )وﻟ‬berasal dari akar kata ‫( وﻟﻰ‬waw, lam, dan ya’) yang berarti
dekat. Bentuk jama’ dari waliy (‫ﻲ‬ ّ ‫ )وﻟ‬adalah auliyā’ ( ‫)اوﻟﯿﺎء‬. Dari akar kata inilah kata-
kata seperti ‫ ﯾﻠﻰ‬-‫(وﻟﻰ‬walā yalī ) yang berarti dekat dengan, mengikuti, ‫( وَ ﻟﱠﻰ‬walla)
memiliki arti menguasai, menolong, mencintai, ‫( أوﻟﻰ‬aulā) memiliki arti yang
menguasakan, mempercayakan, berbuat, ‫( وﻟّﻰ‬walan) berarti menolong, membantu,
bersahabat, ‫(ﺗﻮﻟّﻰ‬tawalla) berarti menetapi, mengurus, menguasai, ‫( إﺳﺘﻮﻟﻰ ﻋﻠﯿﮫ‬istaulā
‘alaih) berarti memiliki, menguasai, ‫( اﻷوﻟﻰ‬al-aulā) berarti yang paling berhak dan
paling layak, ‫( وﻻّء‬wallā’an) memiliki arti berpaling dari, meninggalkan, dan ‫أوﻟﻰ‬
(aulaa) berarti menunjukkan ancaman dan ultimatum, seperti pada ‫( أوﻟﻰ ﻟﻚ‬aula lak)
berarti kecelakaan bagimu atau kecelakaan akan mendekatimu maka berhati-hatilah.
Semua kata turunan dari ‫ وﻟﻰ‬menunjukkan makna kedekatan kecuali bila diiringi kata
depan ‫ ﻋﻦ‬secara tersurat dan tersirat seperti walla ‘an dan tawalla ‘an maka makna
yang ditunjukkan adalah menjauhi atau berpaling.
Bentuk masdar dari ‫ وﻟﻰ‬adalah ‫وﻻﯾﺔ‬, kata ini bisa dibaca dengan dua versi yaitu
dibaca kasrah huruf wawu dan dibaca fathah huruf wawu. Menurut Imam Syibawaih,
walāyah adalah bentuk mashdar dan wilāyah adalah nama untuk sebuah pemerintahan

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 51


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

atau kepemimpinan. Sementara Ibnu Barri berpendapat bahwa baik dibaca kasrah atau
fathah maknanya sama, yaitu pertolongan. Seperti pada QS. al-Anfāl (8) ayat 72:
‫إن اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا و ﻫﺎﺟﺮوا وﺟﺎﻫﺪوا ﻣﻮاﳍﻢ و اﻧﻔﺴﻬﻢ ﰱ ﺳﺒﻴﻞ ﷲ و اﻟﺬﻳﻦ أووا وﻧﺼﺮوا اوﻟﺌﻚ ﺑﻌﻀﻬﻢ اوﻟﻴﺎء ﺑﻌﺾ‬
‫واﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا وﱂ ﻳﻬﺎﺟﺮوا ﻣﺎﻟﻜﻢ ﻣﻦ وﻻﻳﺘﻬﻢ ﻣﻦ ﺷﻲء ﺣﱴ ﻳﻬﺎﺟﺮوا وان اﺳﺘﻨﺼﺮوﻛﻢ ﰱ اﻟﺪﻳﻦ ﻓﻌﻠﻴﻜﻢ اﻟﻨﺼﺮ اﻻ ﻋﻠﻰ ﻗﻮم‬
‫ﺑﻴﻨﻜﻢ وﺑﻴﻨﻬﻢ ﻣﻴﺜﺎق وﷲ ﲟﺎ ﺗﻌﻤﻠﻮن ﺑﺼﲑ‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan
harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat
kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama
lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum
berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum
mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam
(urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Pada ayat ini yang dimaksud melindungi ialah saling melindungi antara kaum
muhajirin dan anshar sehingga terjalin persaudaraan yang amat teguh, untuk
membentuk masyarakat yang baik. Demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan
mereka itu, sehingga pada permulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan
mereka bersaudara kandung.
Kedekatan Allah kepada makhluk-Nya dapat berarti pengetahuan-Nya yang
menyeluruh tentang mereka dan cinta pembelaan dan bantuan-Nya. Makna yang
pertama berlaku terhadap segala sesuatu, sedang makna yang kedua yang berarti
cinta, bantuan, perlindungan, dan rahmat-Nya adalah kepada hamba-hamba-Nya yang
taat lagi mendekat kepada-Nya.
Wali memiliki arti ganda (musytarak). Pertama, sebagai subyek (‫)اﻟﻔﺎﻋﻞ‬: orang
yang dengan penuh kesadaran dengan sendirinya melakukan taat tanpa melakukan
hal-hal yang dibenci atau hal-hal yang penuh kemaksiatan. Kedua, sebagai
obyek (‫)اﻟﻤﻔﻌﻮل‬: orang yang memperoleh karunia atau anugerah Allah. Orang khusus
yang dipilih oleh Allah.
Makna relasional adalah makna konotatif yang diberikan atau ditambahkan
pada makna yang sudah ada tergantung pada kalimat di mana kata tersebut diletakkan.
Wali dalam al-Qur’an memiliki banyak arti tergantung konteks kata tersebut
digunakan. Namun, makna dasar kata tersebut selalu terbawa di mana makna
relasional berkembang. Berikut beberapa makna Wali dan Auliyā’ dalam al-Qur’an:

1. Wali dan auliyā’ memiliki arti pelindung


Kata wali yang memiliki arti pelindung seperti terdapat di dalam beberapa
ayat, yaitu QS. Al-Baqarah: 107, 120, 257; QS. ‘Ali Imrān: 68; QS. Al-Nisā’: 45, 75,
119, 123, 173; QS. Al-An’ām: 14, 51, 70, 127; QS. Al-A’rāf: 30, 196; QS. Al-Anfāl:
72, 73; QS. At-Taubah: 23, 74, 116; QS. Yūsuf: 101; QS. Ar-Ra’d: 16, 37; QS. Al-
Kahfi: 26; QS. Al-Ankabūt: 22, 41; QS. Al-Furqān: 18; QS. Al-Ahzāb: 17, 65; QS.
Saba’: 41; QS. Az-Zumar: 3; QS. Fushshilat: 31; QS. Al-Syūrā: 6, 8, 9, 28, 31, 44, 46;
QS. Al-Jātsiyah: 10, 19; QS. Al-Ahqāf: 32; QS. Al-fath: 22.
a. QS. al-Baqarah (2): 257

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 52


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

‫ﷲ وﱄ اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا ﳜﺮﺟﻬﻢ ﻣﻦ اﻟﻈﻠﻤﺎت اﱃ اﻟﻨﻮر و اﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮوا أوﻟﻴﺎؤﻫﻢ اﻟﻄﺎﻏﻮت ﳜﺮﺟﻮ ﻢ ﻣﻦ اﻟﻨﻮر اﱃ اﻟﻈﻠﻤﺎت‬
‫اوﻟﺌﻚ اﺻﺤﺎب اﻟﻨﺎر ﻫﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﺧﺎﻟﺪون‬
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.
Ayat di atas menjelaskan bahwa kewalian Allah kepada orang-orang mukmin
antara lain berupa petunjuk dan anugerah-Nya kepada akal dan jiwa mereka, sehingga
tidak ada kekuasaan bagi seseorang atas orang lain menyangkut kepercayaannya,
karena Allah telah menganugerahkan kepada setiap manusia potensi untuk percaya,
dan berkat pertolongan Allahlah orang-orang mukmin meraih keimanan, bahkan
meningkatkan keimanannya. Kata Wali pada ayat di atas bersanding dengan kata
Allah, dengan begitu kata Wali dimaknai dengan pelindung yang berkonotasi positif
dan memiliki dampak yang baik.

b. QS. Ali Imrān (3): 28


‫ﻻ ﻳﺘﺨﺬ اﳌﺆﻣﻨﻮن اﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ اوﻟﻴﺎء ﻣﻦ دون اﳌﺆﻣﻨﲔ وﻣﻦ ﻳﻔﻌﻞ ذﻟﻚ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﻦ ﷲ ﰱ ﺷﻲء اﻻ‬
‫أن ﺗﺘﻘﻮا ﻣﻨﻬﻢ ﺗﻘﯩﻪ واﱃ ﷲ اﳌﺼﲑ‬
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).

Kata auliyā’ pada ayat di atas bersanding dengan kata dūni al-mu’minīn yang
memiliki makna selain Allah, ketika kedua kata tersebut berdampingan, maka kata
auliyā’ mengandung arti yang negative, yaitu mengambil pelindung selain Allah.
Ayat tersebut menerangkan larangan Allah untuk menjadikan kaum kafir
sebagai wali dari orang mukmin, sementara orang mukmin sendiri mereka abaikan.
Kecuali orang yang berada pada suatu daerah dalam suatu waktu, sedang dia merasa
takut terhadap kejahatan kaum kafir, maka dia boleh berlindung kepada mereka
melalui sikap lahir, namun tidak boleh dengan sikap batin dan niat, sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Abu Darda’, dia berkata: “sesungguhnya kami
memasang wajah cerah kepada kaum kafir, padahal hati kami mengutuk mereka.”

2. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai Penolong


Kata wali memiliki arti penolong terdapat pada beberapa ayat, yaitu QS. ‘Ali
Imrān: 122 ; QS. Al-Mā’idah : 55 ; QS. al-Taubah: 23, 71; QS. Hūd: 20, 113; QS. Al-
Isrā’: 97, 111; QS. Al-Kahfi: 17, 102; QS. Al-Sajdah: 4.

a. QS. al-Mā’idah (5): 55


‫إﳕﺎ وﻟﻴﻜﻢ ﷲ ورﺳﻮﻟﻪ واﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا اﻟﺬﻳﻦ ﻳﻘﻴﻤﻮن اﻟﺼﻠﻮة وﻳﺆﺗﻮن اﻟﺰﻛﻮةوﻫﻢ راﻛﻌﻮن‬
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah).

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 53


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

Pada ayat di atas, kata Allah bersanding dengan kata wali, makna yang muncul
ketika kedua kata tersebut bersanding adalah penolong dalam arti yang positif dan
memiliki dampak yang positif. Ayat ini menguraikan tentang siapa yang seharusnya
dijadikan wali bagi orang-orang beriman. Kata wali dalam ayat tersebut disebutkan
dalam bentuk mufrod, sedangkan yang dimaksud adalah Allah, Rasul, dan orang-
orang yang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa yang pokok sebagai sumber dari
segala perwalian hanya satu, yaitu Allah. Selanjutnya baru disebutkan Rasul dan
orang-orang yang beriman. Seandainya ayat ini menggunakan kata wali dalam bentuk
jama’ yaitu auliyā’, maka tidak jelas perbedaan antara Allah sebagai wali mutlak,
serta sumber dan pokok perwalian dengan perwalian yang lain.

b. QS. al-Jātsiyah (45): 19


‫إ ﻢ ﻟﻦ ﻳﻐﻨﻮا ﻋﻨﻚ ﻣﻦ ﷲ ﺷﻴﺌﺎ وإن اﻟﻈﺎﳌﲔ ﺑﻌﻀﻬﻢ أوﻟﻴﺎء ﺑﻌﺾ وﷲ وﱄ اﳌﺘﻘﲔ‬
“Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikit pun
dari siksaan Allah. Dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang
yang bertakwa”.

Di dalam ayat ini terdapat dua kata wali, yang pertama dalam bentuk jama’
dan yang kedua dalam bentuk mufrod. Kata wali dalam bentuk jama’ yaitu auliyā’
bersanding dengan kata al-zhalimīna, hal ini menunjukkan makna penolong yang
negatif. Sedangkan makna wali pada kata selanjutnya dalam bentuk mufrod adalah
menyatakan bahwa wali atau penolong orang-orang yang bertakwa adalah Allah.

c. QS al-Taubah (9): 71
‫واﳌﺆﻣﻨﻮن واﳌﺆﻣﻨﺎت ﺑﻌﻀﻬﻢ اوﻟﻴﺎء ﺑﻌﺾ ﻣﺮون ﳌﻌﺮوف وﻳﻨﻬﻮن ﻋﻦ اﳌﻨﻜﺮ وﻳﻘﻴﻤﻮن اﻟﺼﻠﻮة‬
‫وﻳﺆﺗﻮن اﻟﺰﻛﻮة وﻳﻄﻴﻌﻮن ﷲ ورﺳﻮﻟﻪ اوﻟﺌﻚ ﺳﲑﲪﻬﻢ ﷲ إن ﷲ ﻋﺰﻳﺰ ﺣﻜﻴﻢ‬
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Firman Allah ‫ﺾ‬ ۚ ٖ ۡ‫ﻀﮭُﻢۡ أ َۡو ِﻟﯿَﺎ ٓ ُء ﺑَﻌ‬


ُ ۡ‫( ﺑَﻌ‬sebagian mereka adalah penolong sebagian
yang lain), berbeda redakasinya dengan apa yang dilukiskan menyangkut orang
munafik pada QS. al-Taubah (9) ayat 67. Perbedaan ini menurut al-Biqa’i
mengisyaratkan bahwa kaum mukminin tidak saling menyempurnakan dalam
keimanannya, karena setiap orang di antara mereka telah mantap imannya atas dasar
dalil-dalil yang kuat, bukan sekedar taklid. Pendapat serupa dikemukakan oleh Thahir
Ibnu ‘Asyur yang menyatakan bahwa yang menghimpun orang-orang mukmin adalah
keimanan mantap yang melahirkan tolong menolong yang diajarkan Islam.

3. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai anak


Kata wali diartikan sebagai anak, seperti dalam QS. Maryam (19): 5
‫وإﱏ ﺧﻔﺖ اﳌﻮاﱄ ﻣﻦ وراءى وﻛﺎﻧﺖ اﻣﺮاﺗﻰ ﻋﺎﻗﺮا ﻓﻬﺐ ﱃ ﻣﻦ ﻟﺪﻧﻚ وﻟﻴﺎ‬

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 54


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal


isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari
disi-Mu”.

Ayat ini diturunkan sehubungan dengan permohonan nabi Zakaria kepada


Allah agar istrinya yang mandul dikaruniai seorang anak dan penerus risalahnya. Pada
ayat di atas, sebelum kata wali terdapat kata mawālī (kerabat), warā’ī (sepeninggal),
dan imro’ah (istri) ketiga kata tersebut memiliki hubungan makna dengan keluarga,
maka dari itu kata wali pada ayat ini diartikan sebagai anak.

4. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai ahli waris


Kata wali diartikan sebagai ahli waris seperti dalam QS. al-Isrā’ (17): 33, QS. al-
Naml (27): 49,
‫وﻻ ﺗﻘﺘﻠﻮا اﻟﻨﻔﺲ اﻟﱴ ﺣﺮم ﷲ اﻻ ﳊﻖ وﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﻣﻈﻠﻮﻣﺎ ﻓﻘﺪ ﺟﻌﻠﻨﺎ ﻟﻮﻟﻴﻪ ﺳﻠﻄﻨﺎ ﻓﻼ ﻳﺴﺮف ﰱ اﻟﻘﺘﻞ إﻧﻪ‬
‫ﻛﺎن ﻣﻨﺼﻮرا‬
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara
zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia
adalah orang yang mendapat pertolongan”.

Wali dalam ayat ini diartikan ahli waris perihal kekuasaannya untuk
melakukan apapun terhadap yang menjadi perwaliannya, dalam ayat ini menjelaskan
tentang kekuasaan ahli waris untuk menuntut qishāsh atau membayar diyat kepada
pembunuh perwaliannya. Hal ini bisa dilihat ketika kata wali bersanding dengan kata
sulthān.

5. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai kawan/ teman


Kata wali memiliki arti sebagai kawan/ teman sebagaimana terdapat dalam
QS. Ali Imrān:175; QS. Al-Māidah: 51, 81; QS. Al-An’ām: 121, 128; QS. Al-Nisā’:
89, 76; QS. Maryam: 45; QS. Fushshilat: 34.
a. QS. Maryam (19): 45
‫ﺑﺖ إﱏ أﺧﺎف أن ﳝﺴﻚ ﻋﺬاب ﻣﻦ اﻟﺮﲪﻦ ﻓﺘﻜﻮن ﻟﻠﺸﻴﻄﺎن وﻟﻴﺎ‬
“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari
Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan".

Ayat ini menceritakan tentang kisah Nabi Ibrahim yang mengingatkan


ayahnya untuk tidak menyekutukan Allah. Kata wali pada ayat ini bersanding dengan
kata syaithan, kata ini mempunyai makna teman namun teman yang negatif, teman
yang harus dihindari yaitu syetan.

b. QS. al-Māidah (5): 51


‫ﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا ﻻ ﺗﺘﺨﺬوا اﻟﻴﻬﻮد و اﻟﻨﺼﺎرى اوﻟﻴﺎء ﺑﻌﻀﻬﻢ اوﻟﻴﺎء ﺑﻌﺾ وﻣﻦ ﻳﺘﻮﳍﻢ ﻣﻨﻜﻢ‬
‫ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻨﻬﻢ إن ﷲ ﻻ ﻳﻬﺪى اﻟﻘﻮم اﻟﻈﺎﳌﲔ‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi.
Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 55
Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

Barangsiapa diantara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka


sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

Ath-Thabathaba’i sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab dalam tafsirnya


mengartikan auliya’ dalam ayat ini adalah cinta kasih yang mengantar kepada
meleburnya perbedaan-perbedaan dalam satu wadah, menyatukan jiwa yang tadinya
berselisih, saling terkaitnya akhlak dan miripnya tingkah laku, sehingga kita akan
melihat dua orang yang saling mencintai bagaikan seorang yang memiliki satu jiwa,
satu kehendak, dan satu perbuatan, yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain
dalam perjalanan hidup dan tingkat pergaulan. Quraish Shihab menambahkan
keterangan dengan mengutip sebuah peribahasa “Siapa yang mencintai satu
kelompok, maka ia termasuk kelompok itu.” maka dari itu, ayat ini menegaskan
“Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka auliya’ (teman setia), maka
sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka”

6. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai Pemimpin


Kata wali memiliki makna Pemimpin sebagaimana yang terdapat dalam QS.
Ali Imrān: 28; QS. An-Nisā’: 139, 144; QS. Al-Māidah: 51; QS. Al-A’rāf: 3, 27, 155;
QS. Al-Nahl: 63; QS. Al-Kahfi: 50.
a. QS. al-A’rāf (7): 3
‫اﺗﺒﻌﻮا ﻣﺎ اﻧﺰل اﻟﻴﻜﻢ ﻣﻦ رﺑﻜﻢ وﻻ ﺗﺘﺒﻌﻮا ﻣﻦ دوﻧﻪ اوﻟﻴﺎء ﻗﻠﻴﻼ ﻣﺎ ﺗﺬﻛﻮن‬
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (daripadanya)”.

Quraish Shihab mengartikan auliya’ dalam konteks ayat ini adalah tuhan-
tuhan atau siapapun yang ditaati ketentuan dan bimbingannya. Kata auliyā’ memiliki
arti demikian karena kata tersebut bersanding dengan kata dūnihī yang mengandung
makna negatif.

b. QS. al-Māidah (5): 57


‫ﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا ﻻ ﺗﺘﺨﺬوا اﻟﺬﻳﻦ اﲣﺬوا دﻳﻨﻜﻢ ﻫﺰوا وﻟﻌﺒﺎ ﻣﻦ اﻟﺬﻳﻦ اوﺗﻮا اﻟﻜﺘﺎب ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ و اﻟﻜﻔﺎر‬
‫اوﻟﻴﺎء و اﺗﻘﻮا ﷲ إن ﻛﻨﺘﻢ ﻣﺆﻣﻨﲔ‬
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu,
orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di
antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-
orang yang beriman".

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak diperbolehkannya mengangkat seorang


wali (pemimpin) selain umat Islam, baik orang-orang musyrik, Yahudi, Nashrani,
maupun orang-orang munafik. Kata auliyā’ bersanding dengan kata kuffār, maka dari
itu kata auliyā’ menunjukkan makna pemimpin namun yang mengandung unsur
negatif.

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 56


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

7. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai Penguasa


‫وﻣﺎﳍﻢ اﻻ ﻳﻌﺬ ﻢ ﷲ وﻫﻢ ﻳﺼﺪون ﻋﻦ اﳌﺴﺠﺪ اﳊﺮام وﻣﺎ ﻛﺎﻧﻮا اوﻟﻴﺎءﻩ إن اوﻟﻴﺎءﻩ اﻻ اﳌﺘﻘﻮن وﻟﻜﻦ اﻛﺜﺮﻫﻢ ﻻ ﻳﻌﻠﻤﻮن‬
Kenapa Allah tidak mengazab mereka padahal mereka menghalangi orang untuk
(mendatangi) Masjidil haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak
menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang
yang bertakwa. tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Kata auliyā’ disebutkan setelah kata masjid al-harām, diartikan penguasaan


terhadap masjid al-harām karena perihal mereka orang-orang kafir menghalangi
orang-orang yang beriman untuk melakukan shalat dan thawaf di Masjid al-harām,
padahal orang-orang mukmin adalah orang yang berhak menguasai dengan
melakukan ibadah di masjid al-harām.

8. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai orang yang dekat yaitu orang-orang yang beriman
dan bertakwa.
‫ اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا و ﻛﺎﻧﻮا ﻳﺘﻘﻮن‬..‫أﻻ إن أوﻟﻴﺎء ﷲ ﻻ ﺧﻮف ﻋﻠﻴﻬﻢ وﻻ ﻫﻢ ﳛﺰﻧﻮن‬
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertakwa.

Auliyā’ menurut ayat ini adalah orang-orang yang telah beriman yaitu yang
percaya secara berkesinambungan tanpa diselingi oleh keraguan dan mereka yang
sejak dahulu hingga kini selalu bertakwa yakni yang berbuah keimanan mereka
dengan amal-amal shaleh sehingga mereka terhindar dari ancaman siksa Allah Swt.
Kedekatan Allah kepada makhluk-Nya memiliki dua arti, yaitu pengetahuan-
Nya yang menyeluruh tentang mereka dan memiliki arti cinta, perlindungan, dan
bantuan-Nya. Arti yang pertama berlaku terhadap segala sesuatu, sedangkan arti yang
kedua adalah kepada hamba-hamba-Nya yang taat lagi mendekat kepada-Nya.
Menurut Ar-Razi, kedekatan yang berarti cinta, perlindungan, dan bantuan Allah
adalah kedekatan yang tidak terbayangkan. Seorang wali Allah yang dekat dan
mendekat kepada-Nya dengan menelusuri jalan-jalan kebenaran akan mendapatkan
hal-hal yang sulit. Pada ayat ini terlihat kata wali dimaknai dengan kecenderungan
sufi atau tasawuf.
Ayat ini menggunakan bentuk kata kerja masa lampau ketika menggambarkan
keimanan para auliyā’ yaitu āmanū dan bentuk kata kerja masa kini yang mengandung
makna kesinambungan untuk melukiskan ketakwaan mereka. Hal ini mengisyaratkan
bahwa keimanan mereka demikian mantap sehingga walau telah berlalu sedemikian
lama keimanan itu masih terus menghiasi jiwa mereka. Adapun penggunaan bentuk
kata kerja pada kata yattaqūn mengisyaratkan kesinambungan takwa dan amal-amal
kebajikan mereka.
9. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai kekasih
Kata auliyā’ diartikan sebagai kekasih dijelaskan dalam QS. al-Jumu’ah (62): 6;
‫ﻗﻞ ﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ ﻫﺎدوا ان زﻋﻤﺘﻢ أﻧﻜﻢ اوﻟﻴﺎء ﷲ ﻣﻦ دون اﻟﻨﺎس ﻓﺘﻤﻨﻮا اﳌﻮت إن ﻛﻨﺘﻢ ﺻﺪﻗﲔ‬
Katakanlah: "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu
mendakwakan bahwa Sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-
manusia yang lain, Maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang
yang benar".

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 57


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

Ayat di atas menceritakan tentang orang-orang Yahudi, mereka mengira


bahwa mereka adalah kekasih Allah padahal mereka menganggap Nabi Muhammad
saw. dan para sahabatnya sesat. Ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumnya yang
menjelaskan tentang orang-orang yahudi yang tidak mengamalkan ajaran kitabnya.

10. Wali dan auliyā’ diartikan saudara seagama


Kata auliyā’ memiliki arti saudara seagama disebutkan dalam QS. al-Ahzāb
(33): 6
‫اﻟﻨﱯ اوﱃ ﳌﺆﻣﻨﲔ ﻣﻦ اﻧﻔﺴﻬﻢ وازواﺟﻪ اﻣﻬﺎ ﻢ واوﻟﻮا اﻷرﺣﺎم ﺑﻌﻀﻬﻢ اوﱃ ﺑﺒﻌﺾ ﰱ ﻛﺘﺐ ﷲ ﻣﻦ اﳌﺆﻣﻨﲔ و اﳌﻬﺎﺟﺮﻳﻦ‬
‫إﻻ ان ﺗﻔﻌﻠﻮا اﱃ اوﻟﻴﺎﺋﻜﻢ ﻣﻌﺮوﻓﺎ‬
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri
dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai
hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah
daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu
berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah
tertulis di dalam kitab (Allah).
Diceritakan dalam ayat di atas adalah tentang hak waris antara saudara angkat
telah dihapus, yang ada hanyalah saling tolong menolong, saling membantu, saling
berbuat baik, dan saling mewasiatkan kebaikan kepada saudara seagama kalian.
Kata wali dan auliyā’ dalam al-Qur’an memiliki berbagai makna tergantung
konteks kata tersebut diletakkan, seperti penolong, pelindung, teman setia, pemimpin,
penguasa, anak, ahli waris, dan saudara satu agama, yang ke semuanya tidak lepas
dari makna dasarnya yaitu dekat. Itu sebabnya ayah adalah orang paling utama yang
menjadi wali anak perempuannya, karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang
yang amat taat dan tekun beribadah dinamai wali karena dia dekat kepada Allah.
Seorang yang bersahabat dengan orang lain sehingga mereka selalu bersama dan
saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka, juga dapat dinamai wali.
Demikian juga pemimpin, karena dia seharusnya dekat kepada yang dipimpinnya,
karena kedekatannya itu sehingga dialah yang pertama datang membantunya.
Dari sini maka dapat ditarik kesimpulan tentang konsep makna wali dan
auliyā’, di mana ia menjadi kata fokus yang menguasai seluruh medan semantik yang
tersusun dari kata-kata kunci yang masing-masing mewakili segi esensial pemikiran
al-Qur’an dengan caranya sendiri dari sudut pandang yang khusus. Medan semantik
dengan kata wali dan auliyā’ sebagai kata fokus, kata-kata lain yang mengitarinya
dalam diagram adalah kata-kata kunci yang menandai aspek-aspek khusus dan parsial
dari konsep wali dan auliyā’ itu sendiri atau kata kunci yang mewakili konsep–konsep
yang erat terkait dengan wali dan auliyā’ dalam konteks al-Qur’an. Lebih jelasnya
lihat diagram berikut:

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 58


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

Medan Semantik kata wali dan auliyā’

Nāshirun

Ro’īn Hāmī

Waladun Wali / Auliyā’ Hākimun

Habībun Qarābatun

Warītsun Shodīqun
Muttaqī

Penolong

Pemimpin Pelindung

Kekasih Wali / Auliyāˊ Penguasa

Anak Saudara seagama

Ahli Waris Sahabat


Taqwa

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 59


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

Diagram di atas memberikan gambaran sederhana kerangka structural. Konsep


yang beragam ini memiliki hubungan dengan konsep wali dan auliyā’, hal ini
menunjukkan bagaimana kata-kata kunci terkait satu sama lainnya dalam kelompok
kecil yang juga tergabung satu sama lain. Pada medan semantik wali dan auliyā’,
kata-kata kunci memiliki hubungan makna dengan wali dan auliyā’. Kata wali dan
auliyā’ memiliki makna yang lebih luas dibandingkan dengan kata-kata kunci lain
yang berada di sekitarnya yang mempunyai makna lebih sempit.
Di Indonesia kata wali dan auliyā cukup populer. Namun penggunaan kata
wali dan auliyā’ dalam konteks Indonesia, ada dalam tiga ranah, yaitu ranah sufistik,
fiqih keluarga, dan sosial. Ranah-ranah tersebut merupakan konstruksi masyarakat
yang melahirkan konsep wali pada penyempitan penggunaan dan maknanya.
Kata wali dan auliyā’ dalam pandangan sufistik diartikan sebagai orang yang
mendapatkan perlindungan khusus karena ketaatannya kepada Allah. Dalam arti orang
tersebut memiliki kekhususan karena menjadi kekasih Allah dan dianggap orang
memiliki pengetahuan keagamaan dalam menyebarkan agama Islam. Seperti istilah
wali songo atau istilah para auliya yang merupakan bentuk jamak untuk menyebutkan
para wali.
Kedua, ranah fiqh keluarga adalah konstruksi masyarakat dalam penggunaan
kata wali dalam konteks hukum keluarga dan konteks sosial pada wilayah privat.
Dalam konteks hukum keluarga, kata wali diartikan sebagai seseorang yang
mendapatkan wewenang untuk melakukan suatu akad pernikahan, seperti istilah wali
nikah atau wali hakim.
Ketiga, ranah sosial yang dimaksud di sini adalah konstruksi masyarakat
dalam menggunakan kata dalam wilayah publik. Kata wali yang bermakna orang tua
seperti istilah wali murid. Kata wali juga dapat bermakna pemimpin seperti istilah
wali kota. Istilah wali kota hanya digunakan pada konteks pemimpin Kota/
Kotamadya, sementara itu pemimpin di wilayah kabupaten disebut dengan Bupati

D. Kesimpulan dan Saran


Kata wali dan auliyā’ terdapat di dalam al-Qur’an dengan berbagai
derivasinya berjumlah 233 kata, yang termuat dalam 234 ayat dari 55 surah. Term
yang secara langsung menunjuk kata wali disebutkan 44 kali, sedangkan kata auliyā’
disebutkan 42 kali.
Kata wali dan auliyā’ memiliki makna dasar dekat, dan memiliki makna
relasional yang banyak tergantung konteks di mana kata tersebut digunakan, di
antaranya yaitu penolong, pelindung, teman setia, anak, pemimpin, penguasa, kekasih,
saudara seagama, ahli waris, orang yang bertakwa, yang semuanya tidak lepas dari
makna dasarnya yaitu dekat.
Pada masa pra Qur’anik kata wali dan auliyā’ memiliki makna yang masih
umum, pada masa ini kata tersebut tidak memiliki kata fokus tertinggi yaitu Allah.
Pada masa ini, makna wali dan auliyā’ adalah menguasai, orang yang mempunyai
kekuasaan atas sesuatu. Pada masa Qur’anik, kata wali dan auliyā’ bertransformasi
menjadi makna yang lebih khusus, penggunaan kata wali dan auliyā’ dibedakan, kata
wali (dalam bentuk mufrad) digunakan untuk menunjuk Allah, dan auliyā’ bentuk
plural dari kata wali digunakan untuk menunjuk makhluk. Kata wali dan auliyā’
dalam al-Qur’an menunjukkan makna kedekatan, kekerabatan, persahabatan,
perlindungan, cinta, persekutuan, bantuan, kasih sayang. Wali pada masa Qur’anik
diartikan sebagai seorang yang beriman lagi bertaqwa kepada Allah, tidak ada
persyaratan khusus untuk menjadi seorang wali kecuali beriman dan bertakwa. Pada
Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 60
Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

masa ini makna wali dan auliyā’ memiliki banyak makna tergantung konteksnya, di
antaranya pelindung, penolong, pemimpin, penguasa, anak, ahli waris, sahabat,
saudara seagama, kekasih, dan orang-orang yang dekat yaitu orang-orang yang
bertakwa.
Pada masa pasca Qur’anik, makna kata wali dan auliyā’ semakin berkembang
seiring berkembangnya ilmu-ilmu lain pada masa itu. Setidaknya ada dua konsep
makna kata wali dan auliyā’ pada masa ini yaitu, wali menurut ilmu tasawuf yang
diartikan sebagai orang yang mendapat perlindungan khusus. Karena telah melakukan
ketaatan pada Allah. Allah mempunyai hak mutlak untuk memilih hambanya untuk
menjadi wali. Sedangkan wali menurut ilmu fiqih adalah kewenangan untuk
melakukan suatu akad tanpa menunggu persetujuan orang lain. Begitu juga di
Indonesia, kata wali dan auliyā’ mengalami perkembangan makna. Setidaknya ada
tiga makna yang berkembang dalam konteks ke-Indonesiaan, pertama, kata wali dan
auliyā’ diartikan menurut sudut pandang sufistik atau tasawuf, seperti wali songo.
Kedua, kata wali dan auliyā’ diartikan dalam sudut pandang ilmu fiqh keluarga,
seperti wali nikah. Dan ketiga, kata wali dan auliyā’ diartikan menurut sudut pandang
sosial dalam kemasyarakatan seperti wali murid dan wali kota.
Melihat dari kesimpulan di atas, penulis menyadari bahwa penelitian tentang
makna kata wali dan auliya’ dalam al-Qur’an perspektif analisis semantik Toshihiko
Izutsu ini belum menghasilkan karya yang maksimal, penulis hanya sekedar
menganalisis kata wali dan auliya’. Sedangkan masih banyak kata-kata yang bisa
dijadikan objek penelitian selanjutnya dengan menggunakan analisis semantik atau
kata wali dan auliya’ diteliti dengan pendekatan yang berbeda.
Meskipun telah semaksimal mungkin dalam menyelesaikan penelitian ini,
penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan yang harus penulis perbaiki. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangatlah diperlukan penulis. Dan
penulis berharap ada yang dapat menyempurnakan penelitian selanjutnya yang dapat
mengembangkan penelitian yang ada.

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 61


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashfahani, Raghib. Mufradat li al-Fadz Al-Qur’an. Damaskus: Dar al-Qalam.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah. Shahih Bukhari.
Beirut: Dar al-fikr.
Alba, Cecep. 2012. Tasawuf dan Tarekat: Dimensi Esoteris Ajaran Islam, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Ali, Abu Ibrahim Muhammad. 2007. Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Ziarah
Wali Songo. Bekasi: Pustaka Al-Ummat.
al-Farra’, Abu Zakariya Yahya bin Ziyad. Tth. Ma’ānī al-Qur’an, (Kairo: Dar al-
Mishriyyah,), juz 3
Al-Jurjani, Al-Syarif Ali bin Muhammad. 2012 al-Ta’riifaat. Jakarta: Dar Al-Kutub
Al-Islamiyah.
Al-Marzuki al-Ashfahani, Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Hasan. Syarah Diwan
al-Hamasah. CD Room Maktabah Syamilah.
Al-Munawar, Said Agil Husin. 2002. Al-Qur’an membangun Tradisi Kesholehan
Hakiki. Jakarta: Ciputat press.
Amin, Mudzakkir. 2014. “Konsep makna ‘ilm dan ‘ulama dalam al-Qur’an (kajian
semantik al-Qur’an)” Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Aminuddin. 2011. Semantik: pengantar studi tentang makna, Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Al-Rifa’I, Muhammad Nasib. 2000. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir, terj. Drs. Syihabuddin, M.A. Jakarta: Gema Insani.
Al-Shobuni, Muhammad Ali. 2001. Rawa’I al-Bayan Tafsir ayat ahkam min al-
Qur’an. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah. jilid 1.
Al-Tamimi, Abu Faris Hammam bin Gholib. 1983. Syarah Diwan al-farazdaq,
Beirut: Dar al-Kitab al-Banaani.
Al-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa. 2009. Sunan Al-Tirmidzi. Beirut: Dar al-
Fikr. juz 4
al-Zamakhsyari, Abu al-Qāsim Mahmūd bin ‘Umar. 1407 H. Tafsir al-Kasysyāf.
Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, juz 2
Bakhtiar, Amsal. ed. 2003. Tasawuf dan Gerakan Tarekat. Bandung: Angkasa.
Baqi, M. Fu’ad Abdul. 2007. Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Qur’an. Kairo: Dar el-
Hadits.
Boullata, Issa J. 2008. Al-Qur’an yang Menakjubkan“bacaan terpilih dalam Tafsir
Klasik hingga Modern dari Seorang Ulama Katolik”. Jakarta: Lentera Hati.
Bull, Victoria, ed. 2008. Oxford: Learner’s Pocket Dictionary. China: Oxford
University Press.
Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa: Struktur Internal, Pemakaian, dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Agama RI. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahannya. (Jakarta: Maghfirah
Pustaka.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve. jilid 5.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna.
Bandung: Erasco.
El Saha, M. Ishom dan Saiful Hadi. 2005. Sketsa al-Qur’an, Jakarta: Lista Fariska
Putra. seri 2.

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 62


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

Fathurrahman, Al-Qur’an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, Thesis,


Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Hamid, Abdul. 1988. Studi Keabsahan Penggunaan Syair Jahiliyah dalam
Penafsiran al-Qur’an, Skripsi Jurusan Ilmu Syari’ah Fakultas Syariah IAIN Sunan
Ampel, Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Haris, Nini Kasvia. 2013. Linguistik Sinkronik dan Lingusitik Diakronik,
http://gantalajarang02.blogspot.co.id/2013/12/linguistik-sinkronik-dan-
linguistik.html, diunduh pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 23:54 WIB.
Hatsna, Mohammad. 2006. Orientasi Semantik Al-Zamakhsyari (Kajian Makna Ayat-
ayat Kalam). Jakarta: Anglo Media.
Ibnu Mandzur, Jamal ad-Din Abi Fadhl Muhammad bin Makram. 2009. Lisan al-
Arab. Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. jilid 15.
Ismail, Asep Usman. 2005. Apakah Wali itu Ada? : Menguak makna Kewalian dalam
Tasawuf Pandangan Hakim al-Tirmidzi dan Ibn Taimiyah,. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Izutsu, Toshihiko. 2003. Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap
Al-Qur’an, terj. Amiruddin, dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana.
_______________. 1993. Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an, terj. Agus
Fahri Husein, dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana.
_______________. 1994. Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis
Semantik Iman dan Islam, terj. Agus Fahri Husein, dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kholili, Fairuz. Ed. Al-Farra’ (ma’ānī al-Qur’an),
http://agamaislam7.blogspot.co.id/2012/01/al-farra-ma-quran.html, diunduh pada
tanggal 07 Mei 2016.
Mubarok, Ahmad Zaki. 2007. Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-
Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia). Surabaya:
Pustaka Progressif.
Mustamar, Marzuki. Tth. Kodifikasi Sastra Arab Periode Klasik (Jahilly), Malang:
UIN Maulana Malik Ibrahim.
Nasehuddien, Toto Syatori. 2011. Metodologi Penelitian: Sebuah Pengantar.
Cirebon: Nurjati Press.
Nur, Zunaidi. 2014. “konsep al-Jannah dalam al-Qur’an: Aplikasi Semantik
Toshihiko Izutsu”, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. PDF (digilib.uin-suka.ac.id diunduh pada tanggal 19 februari
2015 pukul 20:35).
Parera, J. D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga. edisi kedua.
Sa’adah, Ulis. Tafsir Semantik surat al-Kautsar,
http://www.academia.edu/7339385/TAFSIR_SEMANTIK, diunduh pada 23 januari
2015 pukul 11:45 WIB.
Sahabuddin, ed. 2007. Ensiklopedi al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati
Sahlan, Moh., Alfatih Suryadilaga, dkk. 2010. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta:
Teras.
Sahida, Ahmad. Toshihiko Izutsu dan sumbangan pemikiran keislaman jepang,
http://pps.iainuruljadid.ac.id/?p=126. Diunduh tgl 28 november 2015 pukul 08:49.
Saleh, Ahmad Syukri. 2007. Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer dalam
Pandangan Fazlur Rahman. Jambi: Sulthan Thaha Press.

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 63


Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an
Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu
Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun

Sean Ochan, Semantik al-Qur’an: Sebuah Metode Penafsiran,


https://seanochan.wordpress.com/2013/12/26/semantik-al-quran-sebuah-metode-
penafsiran/comment-page-1/, diunduh pada 18 november 2014 pukul 11.48 WIB.
Shihab, M. Quraish. 2004. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. Vol. 3.
Shihab, M. Quraish. 2004. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. Vol. 5.
Shihab, M. Quraish. 2004. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. Vol. 6.
Sugiyono, Sugeng. 2009. Lisan dan Kalam: Kajian Semantik al-Qur’an. Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press.
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media Group.
Taimiyah, Ibn. 1989. Al-Furqan antara Kekasih Allah dan Kekasih Syaitan, terj.
Abdurrahman Masykur. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Tim Penyusun Pedoman Penulisan Proposal/Skripsi, 2014. Pedoman Penulisan
Proposal/Skripsi. Cirebon: IAIN SEJATI PRESS (CV. Pangger).
Anonymous, Perkembangan Syair Masa Jahiliyah (Arab Klasik) dan Proses
Pengkodifikasiannya, http://www.rumahbangsa.net/2014/08/perkembangan-syair-
masa-jahiliyah-arab.html, diunduh pada 20 Januari 2016 pukul 20:39 WIB.
http://en.wikipedia.org/wiki/Toshihiko_Izutsu diakses pada 30 Mei 2015 pukul 08: 58.

Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016 | 64

You might also like