Jurnal HKI
Jurnal HKI
Abstract:
In Paya Benua Village, Mendo Barat District, Bangka Regency, Bangka Belitung
Province, with the following considerations: 1) Paya Benua Village is one of the
oldest villages in the Bangka Belitung District. Besides that, its strategic location
is in the middle of Bangka Belitung Province to become a pilot village by other
developing villages. 2) The people in Paya Benua Village are predominantly
Muslim so that they are in harmony with the betamat telok idang tradition whose
object is betamat, namely reading the Qur'an. This research is empirical research,
namely the type of legal sociology research that examines legal conceptions at the
community level. This study uses a qualitative approach, which produces
descriptive data. [Sugiyono, Understanding Qualitative Research, (Bandung:
Alvabeta, 2016), 21] This is focused on the betamat telok idang tradition in
traditional marriages in Bangka. Then, the data is analyzed using the theory of
'urf. The selection of key informants was carried out using a sampling technique
that aims to describe research findings. [Lexy J. Moleong, Qualitative Research
Methodology, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2018), 165-166.] Specifically,
the informants consisted of 6 people from the religious leaders, village community
leaders and organizers. Data collection is done by observation, interviews, and
documentation. The collected data were analyzed through the stages of editing,
classification, verification, analysis and conclusion. The procedure for verifying
the data taken is by deepening the observation, optimizing interviews and using
the triangulation method.
Keywords: Telok Idang; marriage; ‘urf.
Abstrak:
Di Desa Paya Benua Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka Provensi
Bangka Belitung dengan pertimbangan: 1) Desa Paya Benua merupakan salah
satu desa tertua yang berada di Kecamatan Bangka Belitung. Disamping itu, letak
strategisnya berada ditengah-tengah Provinsi Bangka Belitung menjadi desa
percontohan oleh desa-desa pengembang lainnya. 2) Masyarakat di Desa Paya
Benua mayoritas beragama islam sehingga selaras dengan tradisi betamat telok
idang yang objeknya adalah betamat yaitu membaca Al Qur’an. Penelitian ini
adalah penelitian empiris, yakni jenis penelitian sosiologi hukum yang mengkaji
konsepsi hukum ditataran masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif.1 Hal ini difokuskan pada tradisi
betamat telok idang dalam perkawinan adat di Bangka. Kemudian, data tersebut
dianalisis dengan menggunakan teori ‘urf. Pemilihan informan kunci dilakukan
dengan teknik sampel yang bertujuan untuk mendeskripsikan temuan penelitian. 2
Secara spesifik, informan terdiri dari 6 orang dari aspek tokoh agama, tokoh
masyarakat desa dan para penyelenggara. Pengumpulan data dilakukan dengan
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis melalui
tahapan edit, klasifikasi, verifikasi, analisis dan kesimpulan. Adapun prosedur
verifikasi data yang ditempuh adalah dengan memperdalam observasi,
optimalisasi wawancara dan menggunakan metode triangulasi.
Kata Kunci: Telok Idang; Perkawinan; ‘Urf.
Gunakan 3-5 kata kunci/frasa kunci yang dipisahkan dengan tanda titik koma (;).
Gunakan kata kunci yang mencerminkan ide artikel Anda. Tanpa menyebut nama
Lembaga dan aturan, lokasi.
Pendahuluan
Pendahuluan berisi tentang latar belakang penulisan artikel yang berisi
kegelisahan aTradisi betamat telok idang adalah tradisi yang dilakukan setelah akad
nikah. Istilah betamat merupakan suatu bentuk pengharapan kepada Allah SWT
terkait perkawianan yang kedua mempelai lakukan sehingga diberikan keturunan
yang baik di masa yang akan datang. Sedangkan istilah telok idang adalah telor yang
dimasak, dihias, dan ditancapkan pada pohon pisang dengan ketan sebagai penguat
telor tersebut yang kemudian menjadi objek pelaksanaan betamat yang dilakukan
oleh para mempelai. Telok idang menjadi kebiasaan yang sudah dilakukan secara
turun-temurun oleh masyarakat Desa Paya Benua.
Menjadi suatu probelematika pada tradisi betamat telong idang ini ketika
salah satu mempelai tidak menghadiri pelaksanaan betamat, maka akan ada sanksi
sosial dari masyarakat baik itu kepada salah satu mempelai ataupun keduanya.
Adanya anggapan oleh masyarakat kepada kedua mempelai ataupun salah satunya
belum layak menikah, bahkan lemah dalam beragama. Kondisi ini tentu menjadi
masalah yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, mengenai sanksi sosial yang
diberikan oleh khalayak kepada mempelai padahal tradisi ini tidak disyariatkan
secara agama, tetapi pada faktanya ini dianggap sebagai sesuatu yang harus
dilakukan setiap peristiwa perkawinan. Ditinjau dari sudut pandang Islam, tradisi
tersebut dilakukan berulang-ulang serta diakui keberadaannya dimasyarakat di Desa
1
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alvabeta, 2016), 21
2
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2018), 165-166.
Paya Benua, oleh karena itu tradisi ini termasuk Al-Adah atau sesuatu
(perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia karna dapat
diterima oleh akal dan manusia serta mengulanginya secara terus menerus.
Masalah adat tradisi dan pernikahan adalah masalah yang sering dikaji
karena objek-objek tradisi yang berbeda-bada ataupun metode penelitian yang
banyak macamnya. Tri Bagindo Nusantara di tahun 2020 meneliti tradisi merangkat
di Desa Pegayaman Kecamatan Sukasada Kabupaten Bali.3 Walaupun dengan pisau
analisis yang sama yakni ‘Urf, namun metode ‘Urf yang dipakai berbeda dan tentu
juga hasil penelitian berbeda. Penelitian ini mempunyai kesimpulan bahwasanya
tradisi merangkat masuk kepada golongan‘UrfFasid dilihat dari segi keabsahannya,
dimana tradisi merangkat ini tidak sesuai dengan ketentuan Syara’ dan tidak
memenuhi kriteria sebagai sebuah ‘Urf, karna dalam proses pelaksanaan ritualnya
terdapat peristiwa dimana adanya pembatalan pernikahan, dikarnakan calon
mempelai laki-laki tertangkap oleh pihak perempuan.
Dengan pisau analisis yang berbeda, Sri Suci Haryanti di tahun 2017 yang
meneliti tradisi Pisuke dalam adat pernikahan.Penelitian ini adalah empiris dengan
pendekatan yuridis sosiologis dengan pisau analisis maslahah mursalah.5Hasil
penelitian bahwa adat Pisuke tidak sesuai dengan tujuan syara’, karena dinilai sering
menimbulkan konflik antar keluarga laki-laki dan perempuan. Pada tahun yang
3
Tri Bagindo Nusantara, “Tradisi Merangkat Dalam Pernikahan Perspektif Urf, Skripsi: Universitas Islam
Negri Maulana Malik Ibrahim, 2020), http://etheses.uin-malang.ac.id/21363/6/15210038.pdf
4
Dwinando Abdillah, “Pernikahan Yang Dilakukan Setelah Menjalani Sanksi Adat Menurut Hukum
Islam, Skripsi: Universitas Islam Negri Sunan Ampel, 2019)
http://digilib.uinsby.ac.id/30603/1/Dwinando%20Abdillah_C01214004.pdf
5
Sri Suci Haryanti, “Tradisi Pisuke Dalam Pernikahan Perspektif Masalahah Mursalah, Skripsi:
Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim 2017), http://etheses.uin-
malang.ac.id/6920/1/13210072.pdf
sama, Mardiana meneliti tentang akulturasi budaya islam dengan budaya lokal
dalam tradisi pernikahan masyarakat di Desa Bontolempangan Kabupaten Gowa. 6
Penelitannya dengan metode deskriptif kualitaif dengan menggunakan tiga
pendekatan yakni pendekatan antropologi, religi dan sejarah.Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pesta pernikahan di Desa Bontolempangan ini dianggap
sebagai peningkatan status sosial, karena anggapan masyarakat semakin meriah
pesta pernikahan, semakin tinggi juga status sosialnya.
Banyaknya adat dan tradisi yang melekat pada setiap perkawinan, sehingga
menimbulkan banyak sekali tinjauan hukum yang harus di kaji. Oleh karena itu,
dalam kaidah hukum islam (fiqh) dikenal kaidah al-Âdah al-Muhakkamah (adat
kebiasaan dapat dijadikan sebagai dasar hukum). Dengan penelitian ini, menjadikan
masyarakat secara umum–khususnya Desa Paya Benua Kecamatan Mendo Barat
Kabupaten Bangka dapat mengetahui legitimasi hukum dalam tinjauan ‘urf dan
tidak hanya melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Desa Paya
Benua tanpa adanya dasar hokum yang pasti dan jelas.
9
Mudjia Rahardjo, Triangulasi dalam Penelitian
Kualitatif,https://www.uin-malang.ac.id/r/101001/triangulasi-dalam-penelitian-kualitatif.html Diakses
Januari 11, 2021
10
Soenarto Timoer, Mitos Cura-Bhaya: Cerita rakyat Sebagai Sumber Penelitian Sejarah Surabaya (Balai
Pustaka, 1983) 11
11
Imam Bawni, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam: Studi Tentang Daya Tahan Pesantren
Tradisional (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), 34–35
selesai) Al-Qur’an ditambah prosesi membaca khol (Sholawat). Telok idang,
hidangan yang berupa telur di tancapkan di pohon pisang dibawahnya ada ketan,
yang nanti akan dibagikan kepada tamu yang hadir dalam acara tersebut.12
Definisi tersebut tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan Usman Nursidi,
betamat telok idang sebagai berikut: Betamat atau membaca Al Qur’an, tamat masa
remaja dengan khataman Al-Qur’an. Betamat juga dimaknai dengan “kunci”,
maksudnya masa perjaka seorang anak dikunci ketika sudah menikah.Tradisi
Betamat bukan hanya dilakukan pada pernikahan saja, tradisi ini sudah umum
dilakukan pada acara-acara pengajian-pengajian akhir tahun.Betamat yang
dilakukan untuk pernikahan dilakukan setelah akad oleh pengantin sebagai bentuk
pengharapan kepada Allah SWT.supaya pernikahan memperoleh berkah dengan
membaca Al Qur’an tadi. Untuk telok idang sendiri adalah ciri dari tradisi betamat
khusus kedaerahan.Maksudnya tradisi betamat telok idang ini hanya dilakukan oleh
masyarakat Desa Paya Benua. Dengan tambahan ketika ada acara betamat maka
akan diisi telok idang ditancapkan dipohon pisang. (ngantong telok dipohon pisang)
kemudian dibawahnya diisi buk polot atau ketan sebagai pondasi pohon agar tidak
jatuh.13
Fungsi sanksi sosial ini hadir sebagai pedoman hidup bermasyarakat, yang
hadir ketika norma-norma yang berlaku dan mengikat diciderai. Karena norma
mempunyai kekuatan mengikat dan masyarakat tidak berani melanggarnya. 14 Bagi
masyarakat Bangka melaksanakan tradisi betamat telok idang merupakan
pembelajaran tentang kehidupan, mulai dari belajar menghormati leluhur dengan
12
13
Usman Nursidi, Wawancara, (13 Desember 2021)
14
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media Group, 2007) 71
cara terus-menerus melestarikan budaya yang sesuai sampai saat ini dengan cara
yang patut.
Akan ada sanksi sosial dari masyarakat jika tradisi betamat telok idang ini
tidak dilaksanakan dalam pernikahan.Yakni, berupa anggapan lemah dalam
beragama, yang mengakibatkan belum pantas untuk menikah dan disuruh belajar
terlebih dahulu sebelum menikah.Sanksi sosial yang diberikan kepada mereka yang
sengaja dan berani melanggar tradisi tersebut.Hal inlah yang membuat tradisi
betamat telok idang dalam pernikahan di anggap sakral dan masih dilestarikan di
wilayah Kecamatan Mendo Barat kabupaten Bangka.Sanksi sosial yang dimaksud
merupakan mekanisme adat yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat di Desa
Paya Benua. Sanksi sosial itu bertujuan agar masyarakat mematuhi norma dan nilai
sosial yang ada dalam masyarakatnya. 15 Sebagaimana informasi yang disampaikan
oleh Mulkan: tradisi betamattelok idang akan terus kami lakukan dan sanksi sosial
itu murni dari masyarakat yang menjaga tradisi ini, sehingga tradisi Betamat Telok
Idang ini dianggap sesuai dengan syariat islam.
Pada dasarnya, tradisi dalam pernikahan yang serupa dengan betamat telok
Idang telah banyak ditemui di indonesia, namun pada prosesnya setiap tradisi pasti
berbeda-beda, bahkan setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Terkait
dengan tradisi betamat telok idang adapun proses pelaksanaannya, berikut paparan
dari Nur Aini sebagai berikut: Jadi yang kek (diperlukan) yaitu; ijer (lidi) diikat
kepada kertas gari, di ujungnya bisa diberi warna-warni. Kemudian di siapkan
pohon pisang, dimasukkan kedalam baskom. lalu telor di rebus, ketika sudah
matang dan sudah tidak panas kemudian diwarnai. Aslinya di isi oleh beras polot
atau beras ketan yang nanti ditaruh dibawah pohon pisang sebagai pondasi dari
pohon pisang tadi.Telur yang telah dihias tadi ditancapkan satu lidi untuk satu
telur.Prosesi penghiasan ini biasanya dilakukan dimalam hari ditempat mempelai
perempuan. Kemudian untuk ritual betamatnya dilakukan setelah akad nikah,
dimulai dari membaca Al Qur’an dari surat ad-Dhuha sampai an-Nâss, lalu ditutup
dengan doa khotmil Qur’an. Telok Idang tadi diletakkan tepat ditengah-tengah,
15
Nor Fadhilah, “Tradisi Maantar Jujuran Dalam Perkawinan Adat Banjar Perspektif Kontruksi Sosial,
Tesis: Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim, 2017),
http://etheses.uin-malang.ac.id/10239/1/15781012.pdf
kemudian setelah selasai betamat (membaca al-Qur’an) tadi, telur yang ada diatas
pohon pisang tersebut dibagi kepada masyarakat yang datang di pesta perkawinan
yang tidak kenal usia.
16
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih ( Jakarta, Ppustaka Amani, 2003) 117
17
Amir Syarifuddin, Usul Fiqih jilid 2 ( Jakarta, kencana 2011) 400
18
anggapannya pemberian itu bukan hanya sebagai hadiah, tetapi juga sebagai suatu
pemberian keberkahan juga menandai bahwa keikutsertaan dalam pelaksanaan.
Kedua; ‘Urf atau tradisi yang berlaku umum dan merata dilingkungan
masyarakat atau dikalangan sebagaian besar warganya.Dalam artian persyaratan
yang kedua ini, ‘urftersebut berlaku pada banyak orang, dan semua melakukan,
mengakui dan menggunakan tradisi tersebut dalam kehidupan sehari-
harinya.Dikalau ‘urf tersebut hanya berlaku pada sebagian kecil masyarakatnya
maka ‘urftersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum.Seperti tradisi betamat
telok idang dilakukan di Desa Paya Benua dan seluruh masyarakatnya
melaksanakan tradisi ini, tidak ada yang menolak baik itu dari kalangan mampu
ataupun tidak mampu. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat dari narasumber kami
Usman Nursidi yang mengatakan:Betamat adalah tradisi yang baik, masyarakat
menerimanya tidak ada satupun masyarakat yang menolak19
Ketiga; ‘Urf atau tradisi yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu
telah berlaku pada saat itu, bukan tradisi yang baru-baru muncul kemudian.Tradisi
harus ada dan mendahului sebelum adanya penetapan hukum.Kalau tradisiitu datang
setelah hukum, maka tradisi tidak diperhitungkan untuk dikatakan ‘urf.Tradisi
betamat telok idang sudah datang lebih dahulu sebelum penetapan hukum, artinya
tradisi itu sudah ada dan dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Paya
Benua kemudian datang ketetapan hukum untuk dijadikan sandaran. Pendapat ini
selaras dengan apa yang dikatakan Zumrowi salah satu tokoh masyarakat di desa
tersebut sebagai berikut: untuk waktu dimulainya tradisi betamat telok idang para
narasumber tidak berani menentukan karna sudah dimulai dari zaman dahulu.
Dengan demikian sandaran dalam penetapan hukum telah lama dan bukan hal baru
lagi.
19
masyarakat asalkan tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang wajib,
apabila bertentangan maka tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
Maka dari itu tradisi betamat telok idang merupakan adat atau tradisi yang
di indikasikan oleh beberapa hal antara lain: Betamat telok idang telah diterima
masyarakat, dilakukan, diamalkan dan dilestarikan oleh masyarakat sampai saat ini.
Sehingga tepat jika dijadikan sandaran hukum.Karna suatu tradisi apabila hanya
dilakukan sekali maka tidak dapat dijadikan tradisi.Betamat telok idang telah
dikenal secara keseluruhan oleh masyarakat desa Paya Benua, mulai dari
pelaksanaannya, rentetan acara, sampai bagian terakhir yakni pembagian telur yang
sudah ditamatkan, maka dilihat dari bentuk kebiasaan yang dilakukan oleh
masyarakat berulang-ulang, dengan itu hal ini bisa dikatakan sebagai tradisi.
Ditinjau dari sudut pandang islam tradisi betamat telok idang adalah tradisi
baik dan bertujuan baik, berfungsi sebagai pengingat ketika ada salah seorang
warga yang menikah, juga sebagai hadiah bagi mempelai dan masyarakat. Adapun
kemaslahatan yang terkandung didalamnya antaralain; Menjunjung tinggi nilai
kebersamaan, melestarikan budaya nenek moyang, sarana mempererat tali silatur
rahmi, sebagai hadiah bagi masyarakat, dan awalan yang baik dalam memulai
kehidupan rumah tangga.
Ahmad Fahmi Abu Sunnah, Al-„Urf wa al-„Adah fi Ra‟y al-Fuqaha‟, (Kairo: Lembaga Penerbitan Al-
20
Azhar, 1947), 10
telah diwariskan oleh nenek moyang mereka, walaupun tak jarang terkadang
ditemui beberapa dari masyarakat Bangka tidak begitu paham dengan asal muasal
kebudayaannya. Maka dalam hal ini tokoh masyarakat berperan penting sebagai
pengayom masyarakat dan juga sebagai orang yang dianggap mengatahui asal
muasal adat dan realitas sosial yang terjadi dimasyarakat Bangka. Peranan yang
dimaksud meliputi sebagai pemimpin dan menuntun acara tersebut di setiap prosesi
pernikahan.
Didalam hukum Islam suatu kebiasaan atau adat boleh dijadikan sebagai
landasan hukum dengan syarat tidak melanggar syariat islam. Pendapat ini
diperkuat dengan kaidah, kebiasaan ‘urf dapat dijadikan hukum.21Dengan demikain
adat dan ‘urf adalah perkara yang memiliki arti yang sama, oleh sebab itu hukum
adat ialah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang kemudian jika tidak
dilakukan akan mendapat sanksi karna ia adalah adat kebiasaan. Peryataan ini
sesuai dengan kaidah: Adat kebiasaan dianggap sebagai patokan hukum ketika
sudah berlaku umum, jika menyimpang maka tidak bisa dijadikan sebagai salah
satu patokan hukum.22
Konsep ‘urf ini lah, kemudian meninjau tradisi betamat telok idang di desa
Paya Benua, mengarahkan kepada al-’urfal-Shohih adalah kebiasaan yang berlaku
dimasyarakat yang tidak bertentangan dengan ayat atau hadist. Tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa kemudhorotan.
Dalam konteks al ‘urf al shohih kebiasaan berlaku yang berupa Tradisi berlaku
dengan baik, tidak ada pertentangan dengan Al-Qur’an maupun Hadits juga tidak
menghilangkan kemaslahatan justru mendatangkan kemaslahatan.
Sedangkan al-’urfal-fasid adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat, dan
bertentangan dengan dalil-dalil syara’.Seperti kebiasaan yang dilakukan para
pedagang dalam menghalalkan riba. Dalam konteks al-‘urf al-fasid, tidak ada
persamaan, jika dilihat mulai dari acara pra nikah sampai acara pelaksanaan
pernikahan, karna justru tradisi ini selalu dijaga dan dilestariakan agar sesuai
dengan ajaran islam. Peryataan ini selaras dengan pendapat Barizi sebagai berikut:
bahwa tradisi (betamat telok idang) ini akan senantiasa berkembang dengan waktu,
Az Zuhaili Wahbah, terjemah, fiqih islam, Al adillatuhu (Jakarta, Gema Insani 2007) 122
22
akan tetapi kami akan tetap menjaga agar tidak ada pertentangan dengan ajaran
Islam.23
Poin penting pada tinjaun ‘urf adalah terdapat pada rentetan pelaksanaan
acara diawali dengan pencarian pohon pisang oleh keluarga, kemudian telor dan
ketan yang digunakan adalah telor ayam biasa, dimasak oleh kerabat ataupun
keluarga. Dalam memasak telor, tidak ada ketentuan atau simbol-simbol khusus
yang terkandung.lalu penghiasan pohon pisang, telor dan tempat pelaksanaan
dilakukan oleh mempelai, kerabat dan teman-teman pengantian. Tidak ada
ketentuan secara pasti yang mengatur.Sehingga yang digunakan adalah benda-
benda baik.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, tradisi perkawinan adat Bangka atau
tradisi betamat telok idang adalah perkawinan adat bangka yang pelaksanaannya
dilakukan setelah akad nikah. Betamat dilakukan oleh kedua mempelai dan yang
ditamatkan adalah telor yang ditancapkan pada pohon pisang.Masyarakat menerima
dengan baik tradisi ini, bahkan tidak ada yang menolak.Jika ditinjau ‘urf
(adat/kebiasaan) tradisi betamat telok idang, masuk kedalam tradisi yang baik atau ‘urf
shohih.dilihat dari idikator dapat diterimanya ‘urf (keshohihanya) yakni; Pertama, tidak
bertentangan dengan dalil syara’. Kedua, berlaku dan diberlakukan secara
konsisten.Ketiga, tradisi tersebut terbentuk bersama dengan pelaksanaan.Keempat, tidak
23
24
terdapat ucapan dan perbuatan yang berlawanan dengan nilai subtansial yang
terkandung didalam tradisi.Kemudian indikator tersebuat diperkuat dengan adanya
sanksi sosial dari masyarakat, jika tidak dilakukan berupa pergunjingan, anggapan
lemah dalam beragama dan belum layak menikah.
Daftar Pustaka:
Al-Qur an Al-Kariim
Abdillah Dwinando, “Pernikahan Yang Dilakukan Setelah Menjalani Sanksi Adat
Menurut Hukum Islam, Skripsi: Universitas Islam Negri Sunan Ampel, 2019)
http://digilib.uinsby.ac.id/30603/1/Dwinando%20Abdillah_C01214004.pdf
Abu Sunnah, Ahmad Fahmi, Al-„Urf wa al-„Adah fi Ra‟y al-Fuqaha‟, (Kairo:
Lembaga Penerbitan Al-Azhar, 1947)
Ahmadi Abu, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: Bina Aksara, 1988)
Al-Ghozali, Abu Hamid. Ihyâ’ Ulûmu ad-Dîn, (kairo Dâr al-Hadits 2004)
Az Zuhaili Wahbah, terjemah, fiqih islam, Al adillatuhu (Jakarta, gema insani 2007)
Bagindo Tri Nusantara, “Tradisi Merangkat Dalam Pernikahan Perspektif Urf, Skripsi:
Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim, 2020), http://etheses.uin-
malang.ac.id/21363/6/15210038.pdf
Bawni Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam: Studi Tentang Daya Tahan
Pesantren Tradisional (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)
Data Profil Desa Paya Benua 2020, http://payabenua.bangka.go.id/ diakses 11
Desember 2021
Fadhilah Nor “Tradisi Maantar Jujuran Dalam Perkawinan Adat Banjar Perspektif
Kontruksi Sosial, Tesis: Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim, 2017),
http://etheses.uin-malang.ac.id/10239/1/15781012.pdf
Haq Abdul,dkk, formulasi nalar fiqih,(Surabaya, khalista 2006)
Haroen, Nasrun, Usul Fiqih 1. (Jakarta, PT Logos Wacana baru,2001)
Hukum Islam”, Jurnal USRATUNA, Vol. 1, No. 2 (2018): 140. https://ejournal.staida-
krempyang.ac.id/index.php/usratuna/article/view/140
Kholik, Kusul “Mitos-Mitos Penghalang Perkawinan Pada Adat Jawa Dalam Prespektif
Lexy J, Moleong,.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
2018.
Mardiana, “ Akulturasi Budaya Islam, Jurnal: Universitas Islam Negri Alauddin
Makassar,2017), http://repositori.uin-alauddin.ac.id/5371/