Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

Journal of Islamic Law and Family Studies

Vol. XX, No. Y, TAHUN, h. XX-XX


ISSN (Print): 2622-3007, ISSN (Online): 2622-3015
DOI: http://dx.doi.org/10.18860/j-fsh.vXXiY.6614
Available online at http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/syariah

Tinjaun Urf Terhadap Tradisi Betamat Telok Idang Dalam


Adat Perkawinan Bangka
Ahmad Muhajir Salim Rambe
Pasca UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
[email protected]

Abstract:
In Paya Benua Village, Mendo Barat District, Bangka Regency, Bangka Belitung
Province, with the following considerations: 1) Paya Benua Village is one of the
oldest villages in the Bangka Belitung District. Besides that, its strategic location
is in the middle of Bangka Belitung Province to become a pilot village by other
developing villages. 2) The people in Paya Benua Village are predominantly
Muslim so that they are in harmony with the betamat telok idang tradition whose
object is betamat, namely reading the Qur'an. This research is empirical research,
namely the type of legal sociology research that examines legal conceptions at the
community level. This study uses a qualitative approach, which produces
descriptive data. [Sugiyono, Understanding Qualitative Research, (Bandung:
Alvabeta, 2016), 21] This is focused on the betamat telok idang tradition in
traditional marriages in Bangka. Then, the data is analyzed using the theory of
'urf. The selection of key informants was carried out using a sampling technique
that aims to describe research findings. [Lexy J. Moleong, Qualitative Research
Methodology, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2018), 165-166.] Specifically,
the informants consisted of 6 people from the religious leaders, village community
leaders and organizers. Data collection is done by observation, interviews, and
documentation. The collected data were analyzed through the stages of editing,
classification, verification, analysis and conclusion. The procedure for verifying
the data taken is by deepening the observation, optimizing interviews and using
the triangulation method.
Keywords: Telok Idang; marriage; ‘urf.
Abstrak:
Di Desa Paya Benua Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka Provensi
Bangka Belitung dengan pertimbangan: 1) Desa Paya Benua merupakan salah
satu desa tertua yang berada di Kecamatan Bangka Belitung. Disamping itu, letak
strategisnya berada ditengah-tengah Provinsi Bangka Belitung menjadi desa
percontohan oleh desa-desa pengembang lainnya. 2) Masyarakat di Desa Paya
Benua mayoritas beragama islam sehingga selaras dengan tradisi betamat telok
idang yang objeknya adalah betamat yaitu membaca Al Qur’an. Penelitian ini
adalah penelitian empiris, yakni jenis penelitian sosiologi hukum yang mengkaji
konsepsi hukum ditataran masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif.1 Hal ini difokuskan pada tradisi
betamat telok idang dalam perkawinan adat di Bangka. Kemudian, data tersebut
dianalisis dengan menggunakan teori ‘urf. Pemilihan informan kunci dilakukan
dengan teknik sampel yang bertujuan untuk mendeskripsikan temuan penelitian. 2
Secara spesifik, informan terdiri dari 6 orang dari aspek tokoh agama, tokoh
masyarakat desa dan para penyelenggara. Pengumpulan data dilakukan dengan
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis melalui
tahapan edit, klasifikasi, verifikasi, analisis dan kesimpulan. Adapun prosedur
verifikasi data yang ditempuh adalah dengan memperdalam observasi,
optimalisasi wawancara dan menggunakan metode triangulasi.
Kata Kunci: Telok Idang; Perkawinan; ‘Urf.
Gunakan 3-5 kata kunci/frasa kunci yang dipisahkan dengan tanda titik koma (;).
Gunakan kata kunci yang mencerminkan ide artikel Anda. Tanpa menyebut nama
Lembaga dan aturan, lokasi.
Pendahuluan
Pendahuluan berisi tentang latar belakang penulisan artikel yang berisi
kegelisahan aTradisi betamat telok idang adalah tradisi yang dilakukan setelah akad
nikah. Istilah betamat merupakan suatu bentuk pengharapan kepada Allah SWT
terkait perkawianan yang kedua mempelai lakukan sehingga diberikan keturunan
yang baik di masa yang akan datang. Sedangkan istilah telok idang adalah telor yang
dimasak, dihias, dan ditancapkan pada pohon pisang dengan ketan sebagai penguat
telor tersebut yang kemudian menjadi objek pelaksanaan betamat yang dilakukan
oleh para mempelai. Telok idang menjadi kebiasaan yang sudah dilakukan secara
turun-temurun oleh masyarakat Desa Paya Benua.

Menjadi suatu probelematika pada tradisi betamat telong idang ini ketika
salah satu mempelai tidak menghadiri pelaksanaan betamat, maka akan ada sanksi
sosial dari masyarakat baik itu kepada salah satu mempelai ataupun keduanya.
Adanya anggapan oleh masyarakat kepada kedua mempelai ataupun salah satunya
belum layak menikah, bahkan lemah dalam beragama. Kondisi ini tentu menjadi
masalah yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, mengenai sanksi sosial yang
diberikan oleh khalayak kepada mempelai padahal tradisi ini tidak disyariatkan
secara agama, tetapi pada faktanya ini dianggap sebagai sesuatu yang harus
dilakukan setiap peristiwa perkawinan. Ditinjau dari sudut pandang Islam, tradisi
tersebut dilakukan berulang-ulang serta diakui keberadaannya dimasyarakat di Desa
1
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alvabeta, 2016), 21
2
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2018), 165-166.
Paya Benua, oleh karena itu tradisi ini termasuk Al-Adah atau sesuatu
(perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia karna dapat
diterima oleh akal dan manusia serta mengulanginya secara terus menerus.

Masalah adat tradisi dan pernikahan adalah masalah yang sering dikaji
karena objek-objek tradisi yang berbeda-bada ataupun metode penelitian yang
banyak macamnya. Tri Bagindo Nusantara di tahun 2020 meneliti tradisi merangkat
di Desa Pegayaman Kecamatan Sukasada Kabupaten Bali.3 Walaupun dengan pisau
analisis yang sama yakni ‘Urf, namun metode ‘Urf yang dipakai berbeda dan tentu
juga hasil penelitian berbeda. Penelitian ini mempunyai kesimpulan bahwasanya
tradisi merangkat masuk kepada golongan‘UrfFasid dilihat dari segi keabsahannya,
dimana tradisi merangkat ini tidak sesuai dengan ketentuan Syara’ dan tidak
memenuhi kriteria sebagai sebuah ‘Urf, karna dalam proses pelaksanaan ritualnya
terdapat peristiwa dimana adanya pembatalan pernikahan, dikarnakan calon
mempelai laki-laki tertangkap oleh pihak perempuan.

Kemudian didalam penelitian Dwinando Abdillah di tahun 2019 meneliti


pernikahan adat yang dilaksanakan oleh pelaku zina di Desa Mapur Kecamatan Riau
Silip Kabupaten Bangka.4 Penelitian ini menjadikan hukum islam sebagai pisau
analisisnya. Adapun hasil dari penelitiannya menunjukan bahwa tradisi pernikahan
bagi pelaku zina, setelah melaksanakan saksi, adapun saksi yang dilakukan diarak
keliling kampung tampa menggunakan busana dengan didampingi oleh orang tua,
kemudian baru dibolehkan melaksanakan prosesi nikah dengan cara adat.

Dengan pisau analisis yang berbeda, Sri Suci Haryanti di tahun 2017 yang
meneliti tradisi Pisuke dalam adat pernikahan.Penelitian ini adalah empiris dengan
pendekatan yuridis sosiologis dengan pisau analisis maslahah mursalah.5Hasil
penelitian bahwa adat Pisuke tidak sesuai dengan tujuan syara’, karena dinilai sering
menimbulkan konflik antar keluarga laki-laki dan perempuan. Pada tahun yang

3
Tri Bagindo Nusantara, “Tradisi Merangkat Dalam Pernikahan Perspektif Urf, Skripsi: Universitas Islam
Negri Maulana Malik Ibrahim, 2020), http://etheses.uin-malang.ac.id/21363/6/15210038.pdf
4
Dwinando Abdillah, “Pernikahan Yang Dilakukan Setelah Menjalani Sanksi Adat Menurut Hukum
Islam, Skripsi: Universitas Islam Negri Sunan Ampel, 2019)
http://digilib.uinsby.ac.id/30603/1/Dwinando%20Abdillah_C01214004.pdf
5
Sri Suci Haryanti, “Tradisi Pisuke Dalam Pernikahan Perspektif Masalahah Mursalah, Skripsi:
Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim 2017), http://etheses.uin-
malang.ac.id/6920/1/13210072.pdf
sama, Mardiana meneliti tentang akulturasi budaya islam dengan budaya lokal
dalam tradisi pernikahan masyarakat di Desa Bontolempangan Kabupaten Gowa. 6
Penelitannya dengan metode deskriptif kualitaif dengan menggunakan tiga
pendekatan yakni pendekatan antropologi, religi dan sejarah.Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pesta pernikahan di Desa Bontolempangan ini dianggap
sebagai peningkatan status sosial, karena anggapan masyarakat semakin meriah
pesta pernikahan, semakin tinggi juga status sosialnya.

Banyaknya adat dan tradisi yang melekat pada setiap perkawinan, sehingga
menimbulkan banyak sekali tinjauan hukum yang harus di kaji. Oleh karena itu,
dalam kaidah hukum islam (fiqh) dikenal kaidah al-Âdah al-Muhakkamah (adat
kebiasaan dapat dijadikan sebagai dasar hukum). Dengan penelitian ini, menjadikan
masyarakat secara umum–khususnya Desa Paya Benua Kecamatan Mendo Barat
Kabupaten Bangka dapat mengetahui legitimasi hukum dalam tinjauan ‘urf dan
tidak hanya melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Desa Paya
Benua tanpa adanya dasar hokum yang pasti dan jelas.

Penelitian ini difokuskan di Desa Paya Benua Kecamatan Mendo Barat


Kabupaten Bangka Provensi Bangka Belitung dengan pertimbangan: 1) Desa Paya
Benua merupakan salah satu desa tertua yang berada di Kecamatan Bangka
Belitung. Disamping itu, letak strategisnya berada ditengah-tengah Provinsi Bangka
Belitung menjadi desa percontohan oleh desa-desa pengembang lainnya. 2)
Masyarakat di Desa Paya Benua mayoritas beragama islam sehingga selaras dengan
tradisi betamat telok idang yang objeknya adalah betamat yaitu membaca Al
Qur’an. Penelitian ini adalah penelitian empiris, yakni jenis penelitian sosiologi
hukum yang mengkaji konsepsi hukum ditataran masyarakat. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif.7 Hal ini
difokuskan pada tradisi betamat telok idang dalam perkawinan adat di Bangka.
Kemudian, data tersebut dianalisis dengan menggunakan teori ‘urf. Pemilihan
informan kunci dilakukan dengan teknik sampel yang bertujuan untuk
mendeskripsikan temuan penelitian.8 Secara spesifik, informan terdiri dari 6 orang
6
Mardiana, “ Akulturasi Budaya Islam, Jurnal: Universitas Islam Negri Alauddin Makassar, 2017),
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/view/creators/Mardiana=3AMardiana=3A=3A.html
7
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alvabeta, 2016), 21
8
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2018), 165-166.
dari aspek tokoh agama, tokoh masyarakat desa dan para penyelenggara.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data
yang terkumpul dianalisis melalui tahapan edit, klasifikasi, verifikasi, analisis dan
kesimpulan. Adapun prosedur verifikasi data yang ditempuh adalah dengan
memperdalam observasi, optimalisasi wawancara dan menggunakan metode
triangulasi.9

Pandangan Tokoh Masyarakat Terhadap Perkawinan Adat Bangka


Secara etimologi tradisi merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun-
temurun. Istilah tradisi secara kongrit untuk menunjukan kepada suatu nilai, norma
dan adat kebiasaan yang lama dan sampai sekarang masih diterima, diikuti bahkan
dipertahankan oleh kelompok tertentu.10 Berkaitan dengan makna tradisi, para
narasumber sepakat mengatakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang dilakukan
berulang-ulang dan keberadaannya sudah ada sejak zaman dahulu kemudian tetap
dilestarikan hingga pada zaman ini. Menurut Usman Nursidi, tradisi merupakan
suatu kebiasaan yang ada dan berkembang dimasyarakat. Kebiasaan ini kemudian
akan membentuk sebuah pola perilaku sosial yang berwujud etika maupun perilaku.
Tradisi juga memiliki fungsi dimasyarakat antara lain; pertama, sebagai aturan
sosial yang mengikat untuk mempertahankan ketentraman berkehidupan. Kedua,
sebagai wadah berekspresi untuk masyarakat yang bersifat baku dan tidak dapat
diubah-ubah. Ketiga, sebagai penahan terhadap budaya luar.11

Menurut Zumrowi salah satu tokoh masyarakat mendefinisikan tradisi


betamat telok idang yakni, Betamat identik dengan seorang yang sudah khatam Al-
Qur’an. Tetapi betamat juga dilakukan oleh setiap pengantin, ketika sudah
melakukan akad nikah. Bisa juga dikatakan memperingati pengajian semenjak masa
kecil kemudian ketika ia dewasa dan menikah diperingati oleh khataman atau
betamat. Hal ini dilakukan dengan dasar dan niat bahwa betamat sebagai ungkapan
rasa sukur orang tua kepada anaknya yang telah mengkhatamkan (membaca sampai

9
Mudjia Rahardjo, Triangulasi dalam Penelitian
Kualitatif,https://www.uin-malang.ac.id/r/101001/triangulasi-dalam-penelitian-kualitatif.html Diakses
Januari 11, 2021
10
Soenarto Timoer, Mitos Cura-Bhaya: Cerita rakyat Sebagai Sumber Penelitian Sejarah Surabaya (Balai
Pustaka, 1983) 11
11
Imam Bawni, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam: Studi Tentang Daya Tahan Pesantren
Tradisional (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), 34–35
selesai) Al-Qur’an ditambah prosesi membaca khol (Sholawat). Telok idang,
hidangan yang berupa telur di tancapkan di pohon pisang dibawahnya ada ketan,
yang nanti akan dibagikan kepada tamu yang hadir dalam acara tersebut.12

Definisi tersebut tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan Usman Nursidi,
betamat telok idang sebagai berikut: Betamat atau membaca Al Qur’an, tamat masa
remaja dengan khataman Al-Qur’an. Betamat juga dimaknai dengan “kunci”,
maksudnya masa perjaka seorang anak dikunci ketika sudah menikah.Tradisi
Betamat bukan hanya dilakukan pada pernikahan saja, tradisi ini sudah umum
dilakukan pada acara-acara pengajian-pengajian akhir tahun.Betamat yang
dilakukan untuk pernikahan dilakukan setelah akad oleh pengantin sebagai bentuk
pengharapan kepada Allah SWT.supaya pernikahan memperoleh berkah dengan
membaca Al Qur’an tadi. Untuk telok idang sendiri adalah ciri dari tradisi betamat
khusus kedaerahan.Maksudnya tradisi betamat telok idang ini hanya dilakukan oleh
masyarakat Desa Paya Benua. Dengan tambahan ketika ada acara betamat maka
akan diisi telok idang ditancapkan dipohon pisang. (ngantong telok dipohon pisang)
kemudian dibawahnya diisi buk polot atau ketan sebagai pondasi pohon agar tidak
jatuh.13

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Usman Nursidi dan Zumrowi


selaku tokoh masyarakat di Desa Paya Benua, dapat disimpulkan bahwa betamat
telok idang adalah tradisi membaca Al-Qur’an yang dilakukan setelah akad nikah
oleh pengantin, didepanya ada pohon, ditancapi telor-telor hias, dibawahnya diberi
pondasi ketan dan telah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat. sehingga tradisi
ini dianggap sakral dan jika tidak dilakukan maka akan mendapat sanksi sosial dari
masyarakat.

Fungsi sanksi sosial ini hadir sebagai pedoman hidup bermasyarakat, yang
hadir ketika norma-norma yang berlaku dan mengikat diciderai. Karena norma
mempunyai kekuatan mengikat dan masyarakat tidak berani melanggarnya. 14 Bagi
masyarakat Bangka melaksanakan tradisi betamat telok idang merupakan
pembelajaran tentang kehidupan, mulai dari belajar menghormati leluhur dengan
12
13
Usman Nursidi, Wawancara, (13 Desember 2021)
14
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media Group, 2007) 71
cara terus-menerus melestarikan budaya yang sesuai sampai saat ini dengan cara
yang patut.

Akan ada sanksi sosial dari masyarakat jika tradisi betamat telok idang ini
tidak dilaksanakan dalam pernikahan.Yakni, berupa anggapan lemah dalam
beragama, yang mengakibatkan belum pantas untuk menikah dan disuruh belajar
terlebih dahulu sebelum menikah.Sanksi sosial yang diberikan kepada mereka yang
sengaja dan berani melanggar tradisi tersebut.Hal inlah yang membuat tradisi
betamat telok idang dalam pernikahan di anggap sakral dan masih dilestarikan di
wilayah Kecamatan Mendo Barat kabupaten Bangka.Sanksi sosial yang dimaksud
merupakan mekanisme adat yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat di Desa
Paya Benua. Sanksi sosial itu bertujuan agar masyarakat mematuhi norma dan nilai
sosial yang ada dalam masyarakatnya. 15 Sebagaimana informasi yang disampaikan
oleh Mulkan: tradisi betamattelok idang akan terus kami lakukan dan sanksi sosial
itu murni dari masyarakat yang menjaga tradisi ini, sehingga tradisi Betamat Telok
Idang ini dianggap sesuai dengan syariat islam.

Pada dasarnya, tradisi dalam pernikahan yang serupa dengan betamat telok
Idang telah banyak ditemui di indonesia, namun pada prosesnya setiap tradisi pasti
berbeda-beda, bahkan setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Terkait
dengan tradisi betamat telok idang adapun proses pelaksanaannya, berikut paparan
dari Nur Aini sebagai berikut: Jadi yang kek (diperlukan) yaitu; ijer (lidi) diikat
kepada kertas gari, di ujungnya bisa diberi warna-warni. Kemudian di siapkan
pohon pisang, dimasukkan kedalam baskom. lalu telor di rebus, ketika sudah
matang dan sudah tidak panas kemudian diwarnai. Aslinya di isi oleh beras polot
atau beras ketan yang nanti ditaruh dibawah pohon pisang sebagai pondasi dari
pohon pisang tadi.Telur yang telah dihias tadi ditancapkan satu lidi untuk satu
telur.Prosesi penghiasan ini biasanya dilakukan dimalam hari ditempat mempelai
perempuan. Kemudian untuk ritual betamatnya dilakukan setelah akad nikah,
dimulai dari membaca Al Qur’an dari surat ad-Dhuha sampai an-Nâss, lalu ditutup
dengan doa khotmil Qur’an. Telok Idang tadi diletakkan tepat ditengah-tengah,

15
Nor Fadhilah, “Tradisi Maantar Jujuran Dalam Perkawinan Adat Banjar Perspektif Kontruksi Sosial,
Tesis: Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim, 2017),
http://etheses.uin-malang.ac.id/10239/1/15781012.pdf
kemudian setelah selasai betamat (membaca al-Qur’an) tadi, telur yang ada diatas
pohon pisang tersebut dibagi kepada masyarakat yang datang di pesta perkawinan
yang tidak kenal usia.

Tinjauan ‘Urf Terhadap Perkawinan Adat Bangka


Dalam kenyataan hidup bermasyarakat, terdapat sekian peraturan-peraturan
tidak tertulis yang dianggap sakral dan mempunyai nilai luhur didalamnya. Hal
demikian disebut sebagai hukum adat, terlebih kita hidup di negara Indonesia yang
mempunyai berbagai suku, ras, dan budaya. Hukum adat seakan-akan mengikat
dengan sendirinya karena memang dipercaya turun menurun. Demikian juga agama
islam memberi kelonggaran perihal adat, oleh karenanya ada kaidah Al-‘Adat al-
Muhakkamah (adat kebiasaan dapat dijadikan kebiasaan). Kaidah inilah yang
menjadi sandaran fiqh memberi legitimasi hukum adat kepada hukum Islam yang
dikenal dengan ‘Urf. Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul
Fiqih, dijelaskan bahwa ‘urf adalah apa yang dikenal manusia dan menjadi
tradisinya, baik ucapan, perbuatan dan pantang-pantangannya yang disebut adat.16

Menurut Amir Syarifudin, untuk dapat dikatakan ‘urf harus memiliki


Persyaratan antara lain:17 Pertama; ‘Urf atau tradisiyang bernilai Maslahat dan dapat
diterima dengan akal. Syarat ini menjadi begitu penting karna korelasinya pada
masyarakat secara langsung.diterima atau tidak, akan tetapi apabila sebaliknya ‘urf
mendatangkan kemudharatan tidak dapat diterima akal sehat, maka tidak dapat
dibenarkan didalam islam. Dalam konteks tradisi betamat telok idang, tradisi ini
diterima dengan baik dimasyarakat, bahkan dari beberapa indikator tidak
memberatkan masyarakat Desa Paya Benua. Pendapat ini selaras dengan peryataan
Barizi salah seorang tokoh agama di Desa tersebut yaitu: Tradisi ini adalah tradisi
baik yang memang akan kami jaga dan tidak bertentangan dengan syariat islam. 18
Fakta ini kemudian diperkuat ketika proses pelaksanaannya, mulai dari masyarakat
begitu antusias, anggapan sebagai pengingat/penanda terjadi pernikahan. Tetapi
antusias masyarakat sampai pada pembagian telok yang sudah ditamatkan, Karna

16
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih ( Jakarta, Ppustaka Amani, 2003) 117
17
Amir Syarifuddin, Usul Fiqih jilid 2 ( Jakarta, kencana 2011) 400
18
anggapannya pemberian itu bukan hanya sebagai hadiah, tetapi juga sebagai suatu
pemberian keberkahan juga menandai bahwa keikutsertaan dalam pelaksanaan.

Kedua; ‘Urf atau tradisi yang berlaku umum dan merata dilingkungan
masyarakat atau dikalangan sebagaian besar warganya.Dalam artian persyaratan
yang kedua ini, ‘urftersebut berlaku pada banyak orang, dan semua melakukan,
mengakui dan menggunakan tradisi tersebut dalam kehidupan sehari-
harinya.Dikalau ‘urf tersebut hanya berlaku pada sebagian kecil masyarakatnya
maka ‘urftersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum.Seperti tradisi betamat
telok idang dilakukan di Desa Paya Benua dan seluruh masyarakatnya
melaksanakan tradisi ini, tidak ada yang menolak baik itu dari kalangan mampu
ataupun tidak mampu. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat dari narasumber kami
Usman Nursidi yang mengatakan:Betamat adalah tradisi yang baik, masyarakat
menerimanya tidak ada satupun masyarakat yang menolak19

Ketiga; ‘Urf atau tradisi yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu
telah berlaku pada saat itu, bukan tradisi yang baru-baru muncul kemudian.Tradisi
harus ada dan mendahului sebelum adanya penetapan hukum.Kalau tradisiitu datang
setelah hukum, maka tradisi tidak diperhitungkan untuk dikatakan ‘urf.Tradisi
betamat telok idang sudah datang lebih dahulu sebelum penetapan hukum, artinya
tradisi itu sudah ada dan dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Paya
Benua kemudian datang ketetapan hukum untuk dijadikan sandaran. Pendapat ini
selaras dengan apa yang dikatakan Zumrowi salah satu tokoh masyarakat di desa
tersebut sebagai berikut: untuk waktu dimulainya tradisi betamat telok idang para
narasumber tidak berani menentukan karna sudah dimulai dari zaman dahulu.
Dengan demikian sandaran dalam penetapan hukum telah lama dan bukan hal baru
lagi.

Keempat; ‘Urf atau tradisi tidak bertentangan dan mengesampingkan dalil-


dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Syarat
ini kemudian sebenarnya untuk memperkuat terwujudnya ‘urf yang Shahih karna
bila tradisi bertentangan dengan nash atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
Islam maka akan termasuk kedalam ‘urf yang fasid.Tradisi yang dilakukan

19
masyarakat asalkan tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang wajib,
apabila bertentangan maka tidak dapat dijadikan sandaran hukum.

Maka dari itu tradisi betamat telok idang merupakan adat atau tradisi yang
di indikasikan oleh beberapa hal antara lain: Betamat telok idang telah diterima
masyarakat, dilakukan, diamalkan dan dilestarikan oleh masyarakat sampai saat ini.
Sehingga tepat jika dijadikan sandaran hukum.Karna suatu tradisi apabila hanya
dilakukan sekali maka tidak dapat dijadikan tradisi.Betamat telok idang telah
dikenal secara keseluruhan oleh masyarakat desa Paya Benua, mulai dari
pelaksanaannya, rentetan acara, sampai bagian terakhir yakni pembagian telur yang
sudah ditamatkan, maka dilihat dari bentuk kebiasaan yang dilakukan oleh
masyarakat berulang-ulang, dengan itu hal ini bisa dikatakan sebagai tradisi.

Ditinjau dari sudut pandang islam tradisi betamat telok idang adalah tradisi
baik dan bertujuan baik, berfungsi sebagai pengingat ketika ada salah seorang
warga yang menikah, juga sebagai hadiah bagi mempelai dan masyarakat. Adapun
kemaslahatan yang terkandung didalamnya antaralain; Menjunjung tinggi nilai
kebersamaan, melestarikan budaya nenek moyang, sarana mempererat tali silatur
rahmi, sebagai hadiah bagi masyarakat, dan awalan yang baik dalam memulai
kehidupan rumah tangga.

Tradisi dilakukan berulang-ulang serta diakui keberadaannya dimasyarakat


Desa Paya Benua, maka tradisi ini sebagaimana peryataan berikut: Al-Âdah ialah
sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena
dapat diterima oleh akal dan manusia mengulanginya secara terus
menerus.20Paradigma ini membuat masyarakat menganggap bahwa ketika tradisi ini
tidak dilakukan dalam sebuah prosesi pernikahan, maka masyarakat beranggapan
bahwa pada perosesi pernikahan itu ada sesuatu yang kurang. Karena sejauh tradisi
ini berlangsung, tradisi ini telah melekat kuat pada prosesi pernikahan. Kendati
salah seorang pengantin belum bisa mengaji, hal itu pun dapat diwakilkan kepada
orang yang dipercayakan untuk mengaji.
Masyarakat Bangka dikenal sangat menjunjung tinggi tradisi-tradisi yang

Ahmad Fahmi Abu Sunnah, Al-„Urf wa al-„Adah fi Ra‟y al-Fuqaha‟, (Kairo: Lembaga Penerbitan Al-
20

Azhar, 1947), 10
telah diwariskan oleh nenek moyang mereka, walaupun tak jarang terkadang
ditemui beberapa dari masyarakat Bangka tidak begitu paham dengan asal muasal
kebudayaannya. Maka dalam hal ini tokoh masyarakat berperan penting sebagai
pengayom masyarakat dan juga sebagai orang yang dianggap mengatahui asal
muasal adat dan realitas sosial yang terjadi dimasyarakat Bangka. Peranan yang
dimaksud meliputi sebagai pemimpin dan menuntun acara tersebut di setiap prosesi
pernikahan.
Didalam hukum Islam suatu kebiasaan atau adat boleh dijadikan sebagai
landasan hukum dengan syarat tidak melanggar syariat islam. Pendapat ini
diperkuat dengan kaidah, kebiasaan ‘urf dapat dijadikan hukum.21Dengan demikain
adat dan ‘urf adalah perkara yang memiliki arti yang sama, oleh sebab itu hukum
adat ialah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang kemudian jika tidak
dilakukan akan mendapat sanksi karna ia adalah adat kebiasaan. Peryataan ini
sesuai dengan kaidah: Adat kebiasaan dianggap sebagai patokan hukum ketika
sudah berlaku umum, jika menyimpang maka tidak bisa dijadikan sebagai salah
satu patokan hukum.22
Konsep ‘urf ini lah, kemudian meninjau tradisi betamat telok idang di desa
Paya Benua, mengarahkan kepada al-’urfal-Shohih adalah kebiasaan yang berlaku
dimasyarakat yang tidak bertentangan dengan ayat atau hadist. Tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa kemudhorotan.
Dalam konteks al ‘urf al shohih kebiasaan berlaku yang berupa Tradisi berlaku
dengan baik, tidak ada pertentangan dengan Al-Qur’an maupun Hadits juga tidak
menghilangkan kemaslahatan justru mendatangkan kemaslahatan.
Sedangkan al-’urfal-fasid adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat, dan
bertentangan dengan dalil-dalil syara’.Seperti kebiasaan yang dilakukan para
pedagang dalam menghalalkan riba. Dalam konteks al-‘urf al-fasid, tidak ada
persamaan, jika dilihat mulai dari acara pra nikah sampai acara pelaksanaan
pernikahan, karna justru tradisi ini selalu dijaga dan dilestariakan agar sesuai
dengan ajaran islam. Peryataan ini selaras dengan pendapat Barizi sebagai berikut:
bahwa tradisi (betamat telok idang) ini akan senantiasa berkembang dengan waktu,

Amir Syarifuddin, Usul Fiqih jilid 2 ( Jakarta, kencana 2011) 400


21

Az Zuhaili Wahbah, terjemah, fiqih islam, Al adillatuhu (Jakarta, Gema Insani 2007) 122
22
akan tetapi kami akan tetap menjaga agar tidak ada pertentangan dengan ajaran
Islam.23

Poin penting pada tinjaun ‘urf adalah terdapat pada rentetan pelaksanaan
acara diawali dengan pencarian pohon pisang oleh keluarga, kemudian telor dan
ketan yang digunakan adalah telor ayam biasa, dimasak oleh kerabat ataupun
keluarga. Dalam memasak telor, tidak ada ketentuan atau simbol-simbol khusus
yang terkandung.lalu penghiasan pohon pisang, telor dan tempat pelaksanaan
dilakukan oleh mempelai, kerabat dan teman-teman pengantian. Tidak ada
ketentuan secara pasti yang mengatur.Sehingga yang digunakan adalah benda-
benda baik.

Setelah memperhatikan tinjauan ‘urf maka dapat diasumsikan bahwa tradisi


betamat telok idang, merupakan salah satu tradisi yang harus ada dalam setiap
pernikahan adat Bangka.Asumsi tersebut diperkuat dengan adanya sanksi sosial
dari masyarakat berupa; pergunjingan masyarakat, belum layak menikah,
diperlukan belajar lagi, lemah dalam beragama dan anggapan tidak bisa mengaji.
Sebagaimana diapaparkan oleh Barizi dan Zumrowi selaku tokoh masyarakat
sebagai berikut: ketika tradisi itu tidak dilakukan maka akan ada sanksi sosial dari
masyarakat yang berupa anggapan belum layak menikah, tidak bisa mengaji, dan
lemah dalam beragama.24

Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, tradisi perkawinan adat Bangka atau
tradisi betamat telok idang adalah perkawinan adat bangka yang pelaksanaannya
dilakukan setelah akad nikah. Betamat dilakukan oleh kedua mempelai dan yang
ditamatkan adalah telor yang ditancapkan pada pohon pisang.Masyarakat menerima
dengan baik tradisi ini, bahkan tidak ada yang menolak.Jika ditinjau ‘urf
(adat/kebiasaan) tradisi betamat telok idang, masuk kedalam tradisi yang baik atau ‘urf
shohih.dilihat dari idikator dapat diterimanya ‘urf (keshohihanya) yakni; Pertama, tidak
bertentangan dengan dalil syara’. Kedua, berlaku dan diberlakukan secara
konsisten.Ketiga, tradisi tersebut terbentuk bersama dengan pelaksanaan.Keempat, tidak
23

24
terdapat ucapan dan perbuatan yang berlawanan dengan nilai subtansial yang
terkandung didalam tradisi.Kemudian indikator tersebuat diperkuat dengan adanya
sanksi sosial dari masyarakat, jika tidak dilakukan berupa pergunjingan, anggapan
lemah dalam beragama dan belum layak menikah.

Daftar Pustaka:
Al-Qur an Al-Kariim
Abdillah Dwinando, “Pernikahan Yang Dilakukan Setelah Menjalani Sanksi Adat
Menurut Hukum Islam, Skripsi: Universitas Islam Negri Sunan Ampel, 2019)
http://digilib.uinsby.ac.id/30603/1/Dwinando%20Abdillah_C01214004.pdf
Abu Sunnah, Ahmad Fahmi, Al-„Urf wa al-„Adah fi Ra‟y al-Fuqaha‟, (Kairo:
Lembaga Penerbitan Al-Azhar, 1947)
Ahmadi Abu, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: Bina Aksara, 1988)
Al-Ghozali, Abu Hamid. Ihyâ’ Ulûmu ad-Dîn, (kairo Dâr al-Hadits 2004)
Az Zuhaili Wahbah, terjemah, fiqih islam, Al adillatuhu (Jakarta, gema insani 2007)
Bagindo Tri Nusantara, “Tradisi Merangkat Dalam Pernikahan Perspektif Urf, Skripsi:
Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim, 2020), http://etheses.uin-
malang.ac.id/21363/6/15210038.pdf
Bawni Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam: Studi Tentang Daya Tahan
Pesantren Tradisional (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)
Data Profil Desa Paya Benua 2020, http://payabenua.bangka.go.id/ diakses 11
Desember 2021
Fadhilah Nor “Tradisi Maantar Jujuran Dalam Perkawinan Adat Banjar Perspektif
Kontruksi Sosial, Tesis: Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim, 2017),
http://etheses.uin-malang.ac.id/10239/1/15781012.pdf
Haq Abdul,dkk, formulasi nalar fiqih,(Surabaya, khalista 2006)
Haroen, Nasrun, Usul Fiqih 1. (Jakarta, PT Logos Wacana baru,2001)
Hukum Islam”, Jurnal USRATUNA, Vol. 1, No. 2 (2018): 140. https://ejournal.staida-
krempyang.ac.id/index.php/usratuna/article/view/140
Kholik, Kusul “Mitos-Mitos Penghalang Perkawinan Pada Adat Jawa Dalam Prespektif
Lexy J, Moleong,.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
2018.
Mardiana, “ Akulturasi Budaya Islam, Jurnal: Universitas Islam Negri Alauddin
Makassar,2017), http://repositori.uin-alauddin.ac.id/5371/

Purwadadi, Upacara Tradisi Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2005)
Rahardjo, Mudjia, Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif,
https://www.uinmalang.ac.id/r/101001/triangulasi-dalam-penelitian-
kualitatif.html diakses pada 11desember 2021.
Suci Sri Haryanti, “Tradisi Pisuke Dalam Pernikahan Perspektif Masalahah Mursalah,
Skripsi: Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim 2017), http://etheses.uin-
malang.ac.id/6920/1/13210072.pdf
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alvabeta, 2016)
Syarifuddin, Amir, Usul Fiqih jilid 2 ( Jakarta, kencana 2011)
Sztompka Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media Group, 2007)
Timoer Soenarto, Mitos Cura-Bhaya: Cerita rakyat Sebagai Sumber Penelitian Sejarah
Surabaya (Balai Pustaka, 1983)Sufiarina. “The Position and Authority of the Aceh
Shari’a Court on the Indonesian Justice System.” Indonesia Law Review 5, no. 2
(27 Juli 2015): 165. doi:10.15742/ilrev.v5n2.105.

You might also like