Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

Volume 1 Nomor 2 Nopember 2022

Tanggung Jawab Hukum Produsen Otomotif Terhadap Cacat Produk (Product


Liability) Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen

Nikma
[email protected]

Abstract
This study aims to determine the form of producer legal responsibility for product
defects according to the Consumer Protection Act, and to find out how to resolve
consumer disputes against product defects according to the Consumer Protection
Act. The type of research used is normative juridical research using statutory
approaches, conceptual approaches and case approaches. From the research it can be
concluded that the producer is responsible for the goods purchased from the
producer. The application of the principle of absolute responsibility is intended to
replace the system of responsibility based on Article 1365 of the Civil Code and the
system of proof in Article 1865 of the Civil Code for cases of consumer losses due to
using defective products. Settlement of consumer disputes either through the District
Court or alternative dispute resolution conducted through the Consumer Dispute
Resolution Agency according to Law No.8 of 1999 concerning Consumer Protection,
there are 3 (three) types of dispute resolution through BPSK, namely by mediation,
arbitration and conciliation. If the consumer is harmed in consuming goods or
services, he can sue the party causing the loss. Parties here mean
producers/factories, suppliers, wholesalers, retailers / sellers or parties who market
products, depending on who does or does not commit acts that cause harm to
consumers.

Keywords: Product Responsibility, Automotive Manufacturers, Consumer Protection

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk tanggung jawab hukum produsen
terhadap cacat produk menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta
untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa konsumen terhadap cacat
produk menurut UU Perlindungan Konsumen. Tipe penelitian yang digunakan adalah
penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-
undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Dari penelitian dapat
disimpulkan bahwa, produsen bertanggung jawab terhadap barang-barang yang
dibeli dari produsen. Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak dimaksudkan untuk
mengganti sistem tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dan sistem

297
Volume 1 Nomor 2 Nopember 2022

pembuktian dalam Pasal 1865 KUHPerdata untuk kasus-kasus kerugian konsumen


akibat menggunakan produk yang cacat. Penyelesaian sengketa konsumen baik
melalui Pengadilan Negeri atau alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menurut Undang-Undang No.8
Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen, terdapat 3 (tiga) macam cara
penyelesaian sengketa melalui BPSK yaitu dengan cara mediasi, arbitrase dan
konsiliasi. Apabila konsumen dirugikan di dalam mengkonsumsi barang atau jasa
dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini berarti
produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak
yang memasarkan produk, tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Kata Kunci: Tanggung Jawab Produk, Produsen Otomotif, Perlindungan Konsumen

A. Pendahuluan

Pesatnya perkembangan diberbagai aspek perekonomian telah menghasilkan


berbagai jenis produk barang dan/atau jasa. Nyatanya produk yang dihasilkan oleh
produsen terkadang masih banyak terdapat kecacatan yang mengakibatkan kerugian
bagi konsumen. Misalnya diindustri otomotif tidak jarang ditemukan kasus kecacatan
produk seperti fitur keselamatan mobil yakni airbag yang tidak mengembang pada
saat terjadinya kecelakaan dan sebagainya. Perilaku produsen yang mengakibatkan
kerugian bagi konsumen tersebut akan berdampak terhadap pembangunan
perekonomian secara umum.
Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yang diundangkan pada tanggal 20 April 1999.
Undang – Undang Perlindungan Konsumen tersebut memuat beberapa ketentuan
yang cukup signifikan demi menyetarakan kedudukan konsumen dan pelaku
usaha. Tujuan hukum perlindungan konsumen secara langsung yakni untuk
meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen. Sedang secara tidak langsung
hukum ini juga akan mendorong produsen untuk melakukan usaha dengan penuh
tanggung jawab.1

1Sri Redjeki Hartono, Makalah Aspek -Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Buku
Hukum Perlindungan Konsumen, Hlm. 36-37

298
Volume 1 Nomor 2 Nopember 2022

Istilah “product liability”(tanggung jawab produk) pertama kali muncul


dalam dunia peransurasian di Amerika Serikat. Apabila hendak mengajukan
tuntutan atau klaim mengenai tanggung jawab produk dari pelaku usaha,
dilakukan dengan berdasarkan pada hal-hal sebagai berikut: pelanggaran jaminan
(breach of warranty); kelalaian (negligence); tanggung jawab mutlak (strict
liability).” 2
Tanggung Jawab Produk (Product Liability) adalah suatu tanggung jawab
secara hokum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer,
manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk
menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan
yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut. 3
Secara umum, berdasarkan pada ketentuan hukum perdata yang berlaku
pihak konsumen yang mengalami kerugian atas produk atau barang yang cacat
dapat menuntut ganti kerugian secara langsung, tuntutan dapat diajukan
berdasarkan telah terjadinya perbuatan melawan hukum yang berdasar pada
Pasal 1365 KUHPerdata.
Namun apabila seorang konsumen yang mengalami kerugian akibat produk
cacat, apabila berdasarkan tuntutan perbuatan melanggar hukum atas kesalahan,
terdapat kelemahan dalam penerapan Pasal 1365 KUHPerdata dalam bidang
pembuktian kesalahan, sementara pada kenyataannya konsumen sebagai
penggugat tidak mudah untuk membuktikannya.
Keefektifan penerapan prinsip tanggung jawab produk masih jauh dari
harapan. Hambatan tersebut dilatar belakangi oleh sudut pandang pelaku usaha
dan juga pola pikir yang berkembang diantara konsumen. Terdapat dua faktor

2Andrew Carl Spacone, “The Emergency Of Strict Liability: A Historical Perspective And Other
Consideration Including Senate 100”, Journal Of Products Liability, Vol. 8, hlm. 273-274.

3Celine Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. 4, Sinar Grafika, Jakarta, 2014,
Hlm. 101.

299
Volume 1 Nomor 2 Nopember 2022

yang menyebabkan kurang efektifnya prinsip tanggung jawab produk, yaitu


antara lain:
1. Masih banyak konsumen yang tidak mengajukan gugatan atas tanggung
jawab produk;
2. Kedudukan pelaku usaha yang lebih kuat dibandingkan dengan konsumen
Menurut analisis penulis terdapat kekaburan norma dalam Pasal 28 UU
Perlindungan Konsumen yang hanya mengatur mengenai beban pembuktian atas
unsur kesalahan yang dibebankan pada pelaku usaha, namun tidak menentukan
hal-hal apa saja yang perlu dibuktikan oleh konsumen.

B. Pembahasan
1. Bentuk Tanggung Jawab Produsen Otomotif Terhadap Cacat Produk
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Tanggung jawab produk atau tanggung gugat produk merupakan istilah yang
diterjemahkan dari product liability. Tanggung jawab produk juga mengarah pada
tanggung jawab produsen, didalam bahasa jerman disebut produzenten hafting.
Menurut E.Saefullah tanggung jawab produk adalah “suatu tanggung jawab secara
hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer
manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk
menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan
yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut. 4
Inti dari product liability adalah pelaku usaha bertanggung jawab atas
kerusakan, kecacatan, penjelasan, ketidaknyarnanan dan penderitaan yang
dialami oleh konsumen karena pemakaian atau mengkonsumsi barang atau jasa
yang dihasilkannya. Umumnya product liability disebut juga dengan istilah
tanggung jawab produk, tanggung gugat produk, alau tanggung jawab produsen.

4 E. Saefullah, Tanggung gugat Produsen (product liability) dalam Era Perdagangan


Bebas, Mandar Maju, 2000, hlm.46

300
Volume 1 Nomor 2 Nopember 2022

Dalam UU Perlindungan Konsumen dasar hukum yang dipakai oleh


konsumen untuk mempertahankan haknya yaitu dengan menuntut ganti kerugian
atas dasar pasal 4 dan 5 mengenai hak dan kewajiban konsumen. Kemudian pada
pasal 6 sampai dengan pasal 13 mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha serta
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Sedangkan pasal yang khusus
mengenai tanggung jawab pelaku usaha/produsen terdapat pada pasal 19, 23, 24,
25, 27 dan 28 UUPK. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Pada pasal 19 UU Perlindungan Konsumen menjelaskan tentang tanggung
jawab produsen (pelaku usaha) yang merupakan tanggung jawab berdasarkan
kesalahan, sesuai dengan pasal 1365 KUHPerdata, hanya saja sepanjang pelaku
usaha benar-benar bersalah, dan memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut.
Namun jika produsen dapat membuktikan bahwa kesalahan bukan pada pihakuya
tetapi pada pihak konsumen, maka resiko di tanggung sendiri oleh konsumen.
Hal tersebut membebankan konsumen dalam hal pembuktian unsur
kesalahan, untuk mengatasi kesulitan tersebut maka dipandang perlu untuk turut
mencantumkan pasal-pasal didalam UU Perlindungan Konsumen yang mengatur
tentang prinsip tanggung jawab langsung (strict liability) kepada para pelaku
usaha atau produsen. Prinsip tanggung jawab langsung (strict liability) adalah
prinsip tanggung jawab bahwa pelaku usaha harus bertanggung jawab atas
kerngian konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada
dirinya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap
konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak
aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau
tidak adanya unsur Kesalahan. Penerapan prinsip strict liability mungkin menjadi
salah satu bentuk penyelesaian masalah pertanggungjawaban yang dapat
mempercepat proses ganti rugi atas kerugian yang dialami konsumen.

301
Volume 1 Nomor 2 Nopember 2022

Penggunaan prinsip strict liability ditujukan agar produsen benar-benar


bertanggung jawab terhadap kepentingan konsumen. Prinsip strict liability
diterapkan karena seharusnya yang menanggung beban kerugian antara
konsumen sebagai korban dan pelaku usaha adalah pihak yang memproduksi
barang dan jasa yang cacat atau berbahaya. Dengan mengedarkan atau
menempatkan barang-barang di pasar, hal ini berarti pelaku usaha telah
menjamin bahwa barang-barang tersebut aman untuk dikonsumsi atau
digunakan. Selain itu penerapan prinsip strict liability dapat menghilangkan
proses yang panjang dalam penuntutan. Secara ilmiah dan teknis pada saat
produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat. Bila pihak yang menderita
kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut.

2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Cacat Produk Menurut


Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Masalah penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha


diatur dalam UU Perlindungan Konsumen yaitu pada Pasal 45 sampai dengan
Pasal 48. Dalam Pasal 45 yang mengatakan bahwa penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan.
Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen menyatakan “bahwa setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum merujuk pada
ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 45”.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan hanya memungkinkan


apabila:

a. Para pihak memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar


pengadilan, atau

302
Volume 1 Nomor 2 Nopember 2022

b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak


berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Dari begitu banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui


pengadilan, yang banyak dikeluhkan para pencari keadilan adalah lamanya
penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak yang mengharapkan
penyelesaian yang cepat terhadap perkara mereka.
Untuk itu dilakukan upaya-upaya penyelesaian sengketa konsumen secara
cepat atas gugatan maupun tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap
produsen/pelaku usaha telah diatur didalam UU Perlindungan Konsumen yang
menganjurkan kepada setiap konsumen untuk menyelesaikan sengketanya diluar
pengadilan, yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang
mana didalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 54 ayat 3 (3) bahwa putusannya
dinyatakan bersifat final dan mengikat, sehingga tidak dikenal lagi upaya
penyelesaian hukum banding dan kasasi dalam BPSK tersebut.
Pasal 47 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan “penyelesaian sengketa
di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau jasa mengenai tindak tertentu untuk
“menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian
yang diderita konsumen”. Perlindungan Konsumen memberikan wewenang
kepada BPSK untuk mengatasi setiap sengketa konsumen (diluar pengadilan).
Setiap anggota BPSK dapat berperan sebagai mediator, arbitrase, maupun
konsiliator. Hal tersebut dikarenakan UU Perlindungan Konsumen tidak
menentukan adanya pemisahan tugas anggota BPSK.
Oleh sebab itu, maka penyelesaian sengketa konsumen hendaknya
diselesaikan secara berjenjang, dalam artian bahwa setiap sengketa diselesaikan
melalui mediasi, jika gagal ditingkatkan melalui konsiliasi dan jika masih gagal
juga barulah penyelesaian melalui cara peradilan arbitrase.

303
Volume 1 Nomor 2 Nopember 2022

C. Kesimpulan

Perlindungan hukum terhadap konsumen berdasar pada adanya saling


membutuhkan antar produsen dan konsumen dengan prinsip kesederajatan sama
hak-hak konsumen menimbulkan kewajiban produsen maka sebenarnya
produsen bertanggung jawab terhadap barang-barang yang dibeli dari produsen.
Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak dimaksudkan untuk mengganti system
tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dan sistem pembuktian
dalam Pasal 1865 KUHPerdata untuk kasus-kasus kerugian konsumen akibat
menggunakan produk yang cacat.
Penyelesaian sengketa konsumen baik melalui Pengadilan Negeri atau
alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 mengenai
Perlindungan Konsumen, terdapat 3 (tiga) macam cara penyelesaian sengketa
melalui BPSK yaitu dengan cara mediasi, arbitrase dan konsiliasi. Apabila
konsumen dirugikan di dalam mengkonsumsi barang atau jasa dapat menggugat
pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini berarti produsen/pabrik,
supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang
memasarkan produk, tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan
perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Daftar Pustaka

A. Artikel/Buku

E. Saefullah. “Tanggung gugat Produsen (product liability) dalam Era Perdagangan


Bebas”, Penerbit Mandar Maju, 2000.

Grady, Nathanael. “Tanggung Gugat Pelaku Usaha Otomotif Atas Kerugian


Konsumen Akibat Cacat Desain”, Jurist-Diction, Volume 3 Nomor 2, 2020.

Hartono, Sri Redjeki. “Makalah Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam


Buku Hukum Perlindungan Konsumen.”

304
Volume 1 Nomor 2 Nopember 2022

Kristiyanti, Celine Tri Siwi. “Hukum Perlindungan Konsumen”, Cet. 4, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 2014.

Nggeboe, Ferdricka. “Penyelesaian Hukum Bagi Konsumen Dari Produk Cacat


Menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999”, Volume VII Nomor 2,
Desember 2015.

Rusli, Tami. “ Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindunagn Konsumen”,


Jurnal Ilmu Hukum, Volume 7 Nomor 1, 2012.

Spacone, Andrew Carl. “The Emergency Of Strict Liability: A Historical Perspective


And Other Consideration Including Senate 100”, Journal Of Products Liability,
Volume 8.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

305

You might also like