Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

STUDI PENDAHULUAN BENTUK SIMBOL PENYATUAN DALAM

TRADISI INDIA KUNO YANG DITEMUKAN DI INDONESIA

Harriyadi

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Indonesia


Jalan Raya Condet, Pejaten No.4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia
Korespondensi terkait artikel ini: Harriyadi, [email protected]

Abstract. Preliminary Study Of Unification Symbols Form From Ancient India Tradition
Found In Indonesia. Humans and symbols have a bond that cannot be separated from each
other because they always appear in a community group. During the Hindu-Buddhist period
in Indonesia, various signs related to religion appeared. One of the religious practices that
developed is the worship of the union of life. This study aims to identify the form of symbols and
the meaning of the worship of the unification of life for the Hindu-Buddhist period. This study
was conducted by collecting data on the worship of the union of life from various secondary
sources in research reports, journals, and articles. Data collection is also focused on finding data
on artifacts in Indonesia associated with symbols of the unification of life. The data collection
results between mythology in India and artifacts in Indonesia are then synthesized to obtain a
form of embodiment of the unification of life during the Hindu-Buddhist period in Indonesia.
The study results show that the concept of the unification of life is symbolized in the linga-
yoni, mudrā bodhyagrimudrā, and shatkona. Depictions of the yoni phallus and shatkona can be
found in Indonesia. In Buddhism in Indonesia, the concept of the unification of life is symbolized
in the mudrā bodhyagrimudrā found in the Mahavairocana Buddha statue. The gesture of the
bodhyagrimudrā hand is a representation of the union of males and females. The depiction of the
unification of life is more aimed at fulfilling religious needs, namely to achieve release (moksha)
in Hinduism and achieve nirvana in Buddhism.
Keywords: liṅga yoni, bodhyagrimudrā, shatkona, life unification

Abstrak. Manusia dan simbol memiliki ikatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain karena selalu muncul dalam suatu kelompok masyarakat. Pada masa Hindu-Buddha di
Indonesia muncul berbagai simbol yang berkaitan dengan religi. Salah satu praktik religi yang
berkembang adalah pemujaan penyatuan kehidupan. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
bentuk simbol dan makna pemujaan penyatuan kehidupan bagi masyarakat pada masa Hindu-
Buddha. Kajian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data mengenai pemujaan terhadap
penyatuan kehidupan dari berbagai sumber sekunder berupa laporan penelitian, jurnal, dan
artikel. Pengumpulan data juga difokuskan untuk mencari data objek artefak di Indonesia yang
berhubungan dengan simbol penyatuan kehidupan. Hasil dari pengumpulan data antara mitologi
di India dan artefak di Indonesia kemudian disintesiskan untuk mendapatkan bentuk perwujudan
penyatuan kehidupan pada masa Hindu-Buddha di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa
konsep penyatuan kehidupan disimbolkan dalam lingga-yoni, mudrā bodhyagrimudrā, dan
shatkona. Penggambaran lingga yoni dan shatkona dapat ditemukan di Indonesia. Dalam agama
Buddha di Indonesia konsep penyatuan kehidupan disimbolkan dalam mudrā bodhyagrimudrā
yang dijumpai pada arca Buddha Mahavairocana. Sikap tangan bodhyagrimudrā merupakan
representasi penyatuan laki-laki dan perempuan. Penggambaran penyatuan kehidupan lebih
ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan religi, yaitu mencapai pelepasan (moksha) dalam agama
Hindu dan mencapai nirwana dalam agama Buddha.
Kata Kunci: liṅga yoni, bodhyagrimudrā, shatkona, penyatuan kehidupan
Naskah diterima tanggal 05 Oktober 2020, diperiksa tanggal 29 Januari 2021, dan disetujui tanggal 08 Juli 2021.

113
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 39 No. 2, Desember 2021 : 113-128

1. Pendahuluan Dalam sejarah kebudayaan Indonesia


Manusia dan simbol memiliki satu pengaruh agama Hindu dan Buddha dari India
kesatuan ikatan yang saling berhubungan. Pada memberikan dampak signifikan terhadap
dasarnya manusia merupakan homo symbolicum perkembangan kondisi sosial dan sistem
atau manusia sebagai makhluk yang memiliki religi masyarakat Nusantara (Nastiti 2014,
kecenderungan untuk merepresentasikan suatu 37). Perubahan sistem religi masyarakat di
hal dalam bentuk lambang atau objek tertentu Nusantara dari masa prasejarah ke masa Hindu-
(Rochman 2003, 97). Manusia mengungkapkan Buddha ditandai adanya pergeseran kepercayaan
gagasan pemikirannya menjadi karya seni dan masyarakat yang semula menganut animisme
berbagai macam bentuk artefak yang memiliki dan dinamisme berubah menjadi penganut
makna simbolis (Langer 1953, 5). Simbol tumbuh agama Hindu dan Buddha yang bercirikan
dan berkembang dalam kehidupan masyarakat banyak dewa. Hal tersebut juga berdampak pada
dari dulu hingga kini. tumbuh kembangnya berbagai objek/artefak
Peran simbol di masyarakat menjadi yang menjadi bagian dari proses komunikasi
semakin penting semenjak muncul sistem simbolik antara manusia dan zat yang tertinggi
religi. Semakin kompleksnya kehidupan sosial (Tuhan) (Afandi 2016, 2-3).
dan religi pada sebuah komunitas/masyarakat Simbol religi yang muncul pada masa
berimbas pada munculnya simbol tertentu pengaruh budaya India dapat dihubungkan
yang merepresentasikan akumulasi gagasan dengan beberapa hal. Pertama, dapat dikaitkan
pemikiran dari anggota komunitas masyarakat. dengan keberadaan dewa. Simbol religi ini
Simbol memiliki makna dan nilai-nilai tertentu biasanya berbentuk suatu benda, biasanya
bergantung pada kesepakatan atau kesatuan alam berupa senjata sebagai ciri khusus (laksana),
pemikiran komunitas masyarakat pendukung dan binatang yang dikendarainnya (wahana)
kebudayaannya. Penggambarannya diwujudkan (Maulana 2002, 2). Contoh simbol yang dapat
dalam bentuk artefak yang memiliki makna dikaitkan dengan keberadaan dewa dijumpai
yang sekaligus merupakan representasi hasil pada temuan artefak batu yang dikenal dengan
interaksi dan komunikasi antarwarga masyarakat sebutan Tuk Mas yang menggambarkan
(Indradjaja 2011, 5). beberapa senjata dewa, seperti trisula dan
Dalam sistem religi simbol menjadi cakra, (Nastiti 2014, 36). Kedua, dapat
media penghubung atau komunikasi antara dikaitkan dengan cerita mitologi yang dikenal,
manusia dan Tuhan. Proses komunikasi baik dalam agama Hindu maupun ajaran
diwujudkan oleh manusia dalam berbagai media Buddha. Contohnya adalah pahatan ular
dalam bentuk artefak sehingga simbol dapat dan kura-kura pada yoni di Tanjung Tirto
dipandang sebagai media komunikasi yang merupakan penggambaran peristiwa mitologi
bersifat simbolik. Komunikasi simbolik adalah yang dikaitkan dengan pengadukan samudra
proses penyampaian informasi melalui berbagai untuk mendapatkan air amerta (Rema 2013,
tanda/objek yang memiliki nilai dan makna 116). Ketiga, dapat dikaitkan dengan bentuk
tertentu yang disepakati oleh masyarakat. Hal pengharapan dari suatu kelompok masyarakat.
ini dapat diartikan bahwa tanda/objek dalam Salah satu contohnya adalah penggambaran
proses komunikasi simbolik telah oleh anggota ular pada arca di Jawa Timur yang sering
komunitas masyarakat sehingga maksud, dihubungkan dengan pengharapan atas
tujuan, serta maknanya dapat diintepretasikan, kesuburan (Santiko 2015, 92). Terakhir, dapat
diterjemahkan, dan dicerna oleh pancaindra dikaitkan dengan konsepsi keagamaan dalam
manusia (Puspa et al 2019, 22). memandang suatu bentuk kehidupan. Tataran

114
Studi Pendahuluan Bentuk Simbol Penyatuan dalam Tradisi India Kuno
yang Ditemukan Di Indonesia. Harriyadi

ini lebih menekankan hal yang abstrak, tetapi Permasalahan pada penelitian dipecahkan
dipercaya memiliki pengaruh dalam setiap melalui analisis semiotika atau disebut juga
peristiwa. Salah satu contoh adalah simbol semiologi yang digagas oleh Ferdinand de
lingga dan yoni, salah satu bentuk konsep Saussure. Semiotika adalah cabang ilmu yang
pembentukan kehidupan yang digambarkan berusaha mengungkap penafsiaran makna
oleh penyatuan dua aspek utama, lingga (Śiwa) pada sebuah tanda. Lebih lanjut, de Saussure
dan yoni (Parwati). (2011, 65-67) menyatakan bahwa simbol atau
Poin terakhir pada keterangan di atas tanda memiliki dua hal pokok, yaitu petanda
cukup banyak dijumpai di daratan India sebagai signified dan penanda signifier. Penanda
asal agama Hindu dan ajaran Buddha. Sebagai merupakan citra bunyi atau lambang bunyi
salah satu wilayah yang memiliki keterkaitan sehingga penanda dapat diartikan sebagai
dengan India, tentunya di Indonesia juga dapat objek material, sedangkan petanda adalah
dijumpai beberapa benda tersebut. Oleh karena pemahaman atau konsep makna dari penanda.
itu, rumusan masalah dalam kajian ini apa Kedua komponen pembentuk tanda memiliki
sajakah bentuk simbol penyatuan yang ada di hubungan dan disepakati secara bersamaan
Indonesia pada masa pengaruh budaya India? sehingga maknanya dapat dipahami. Proses
Tujuan kajian ini adalah untuk analisis ini difokuskan untuk mencari hubungan
mengetahui seberapa besar pengaruh budaya keterkaitan antara petanda atau dalam hal ini
India terhadap masyarakat Indonesia. Kajian ini artefak dengan penanda berupa konsepsi atau
juga bertujuan untuk menemukenali bentuk atau mitologi berkembang pada masa Hindu-Buddha.
manifestasi penggambaran simbol penyatuan Berdasarkan hubungan atau keterkaitan antara
yang dibuat oleh masyarakat pada masa Hindu- konsep mitologi dan artefak tersebut, beragam
Buddha. Topik kajian dibatasi hanya melakukan simbol dan artefak yang merepresentasikan
identifikasi perwujudan simbol penyatuan penggambaran penyatuan kehidupan pada masa
kehidupan pada tinggalan arkeologi masa Hindu Hindu-Buddha di Indonesia.
Buddha di Indonesia.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
2. Metode Dalam kepercayaan Hindu dan Buddha di
Kajian ini menggunakan penalaran Nusantara, konsep penyatuan kehidupan memiliki
induktif dengan pendekatan deskriptif- peran yang cukup penting karena mitologinya
analitik. Pendekatan deskriptif-analitik adalah sering berkaitan dengan asal mula alam semesta
suatu cara pemecahan masalah penelitian dan asal mula kehidupan. Konsep penyatuan
melalui proses deskripsi objek penelitian, kehidupan tersebut diwujudkan oleh manusia
analisis, dan penarikan kesimpulan (Sugiyono menjadi beberapa bentuk penggambaran yang
2009, 29). Data yang dikumpulkan berasal disimbolkan menjadi berbagai bentuk artefak.
dari sumber sekunder melalui kajian pustaka.
Sumber pustaka berupa jurnal, artikel, dan 3.1 Hasil Penelitian
laporan penelitian yang memuat materi 3.1.1 Penggambaran Simbol Penyatuan di India
mengenai konsep dan mitologi serta artefak a. Lingga dan Yoni
keagamaan yang merupakan representasi dari Lingga merupakan perwujudan
penyatuan kehidupan. Data dalam kajian ini penggambaran Dewa Śiwa, sedangkan
mencakup konsep penyatuan kehidupan dalam yoni merupakan representasi shakti-nya.
agama Hindu dan Buddha serta artefak yang Lingga disebut juga perlambang api serta
merepresentasikan penyatuan kehidupan. cahaya. Keberadaannya merepresentasikan

115
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 39 No. 2, Desember 2021 : 113-128

kehadiran unsur kekuatan serta kekuasaan. Dewa Śiwa yang muncul dari lingga sehingga
Yoni perlambang dari bumi. Pertemuan Mȃrkaṇḍa dapat hidup dari kematian dan
atau penyatuan kedua unsur tersebut Dewa Yama takluk di tangan Śiwa (Jouveau-
menggambarkan penyatuan antara laki-laki dan Dubreuil 1937, 16-18).
perempuan yang menghasilkan arus atau energi Lingga merupakan salah satu media
tertentu (Suta 2018, 273). yang digunakan untuk melakukan pemujaan
Pemujaan Dewa Śiwa dalam bentuk terhadap Dewa Śiwa, selain dalam bentuk
lingga dilatarbelakangi berbagai cerita anthropomorphic atau manusia. Penggambaran
mitologi, termasuk dua mitologi terkenal di ikon Śiwa dalam bentuk anthropomorphic
India, yaitu ”Kaṇṇappa” dan ”Mȃrkaṇḍa”. tidak terlalu banyak ditemukan di India.
Mitologi ”Kaṇṇapa Panȃyanȃr-Purȃṇam” Penggambaran Śiwa sebagai dewa utama pada
bercerita tentang seseorang bernama Tinnen beberapa kuil dari masa Pallava di India Selatan
yang mengabdi kepada Dewa Śiwa. Ia berusaha cenderung lebih banyak diwujudkan dalam
mengganti mata lingga yang mengeluarkan bentuk lingga (Rao 1916, 75).
darah dengan satu-satunya mata yang ia punya, Pemujaan terhadap lingga banyak ditemui
tetapi usahanya dihentikan oleh Dewa Śiwa di India Selatan. Pada masa Pallawa (abad
yang muncul dari lingga, lalu menahan kedua ke-7 M) beberapa lingga tidak digambarkan
lengannya. Mitologi ”Mȃrkaṇḍa–Môksham” dalam bentuk silinder, tetapi berbentuk prisma
bercerita tentang seorang anak muda bernama sebagaimana terdapat pada sebuah lingga di
Mȃrkaṇḍa yang melakukan pemujaan dengan Kailȃsanȃtha (abad ke-8 M) dan di Kaňchipuram
menggenggam 108 lingga di tangannya ketika yang digambarkan dalam bentuk prisma
ia hampir meninggal. Dewa Yama, sebagai dengan 12 facet. Pada masa Chōla (abad ke-9
dewa kematian, berhasil dikalahkan oleh M), dibuat sebuah lingga dengan ukuran yang

Gambar 1. (a) Chala-lingga koleksi Museum Nasional Indonesia No. Inv. 780/A8; (b) Achala-lingga, lingga dan yoni
Tanjung tirto Koleksi BPCB Jawa Tengah No. Inv. 1029 (Sumber: [a] (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017);
[b] (Kempers 1959))

116
Studi Pendahuluan Bentuk Simbol Penyatuan dalam Tradisi India Kuno
yang Ditemukan Di Indonesia. Harriyadi

cukup besar. Lingga itu ditemukan di Vimȃnas


daerah Tanjore, Gangaikondapuram (Jouveau-
Dubreuil, 1937, 13).
Secara umum lingga dapat dibagi atas
dua jenis, yaitu chala-lingga dan achala-lingga
(Gambar 1a dan 1b). Keduanya dibedakan atas
sifatnya yang dapat dipindahkan disebut chala-
lingga dan yang tidak dapat dipindahkan disebut
achala-lingga. Sesuai dengan sifatnya, achala-
lingga adalah lingga berukuran besar dan terbuat
Gambar 2. Pembagian bagian liṅga dan yoni
dari batu keras sehingga tidak mudah untuk (Sumber: Mercay, 2008)
dipindahkan. Achala-lingga pada umumnya
secara permanen ditempatkan pada inti atau pusat banyak ditemukan dalam kebudayaan di
pada candi yang digunakan untuk pemujaan India berasal dari kelas inferior dalam bentuk
Dewa Śiwa (Rao 1916, 76). mānusha-lingga (Rao 1916, 79-80).
Chala-lingga adalah lingga yang dapat Bagian - bagian mānusha-lingga
dengan mudah dipindahkan. Berdasarkan diklasifikasikan menjadi tiga jenis, bagian
sifatnya, chala-lingga terbuat dari bahan paling bawah dengan bentuk kotak adalah
mṛṇmaya (lingga yang bahan dasar brahma-bhāga, bagian tengah dengan bentuk
pembuatannya dari tanah liat), lōhaja (lingga oktagonal dikenal dengan istilah vishṇubhāga,
yang bahan dasar pembuatannya dari logam), dan bagian paling atas dengan bentuk melingkar
ratnaja (lingga yang bahan dasar pembuatannya dikenal dengan istilah rudrabhāga (Gambar
dari batu permata atau batu mulia), daruja 2) (Rao 1916, 86-87). Mānusha-lingga,
(lingga yang bahan dasar pembuatannya berdasarkan bentuknya, dapat dibagi atas lima
dari kayu), śailaja (lingga yang bahan dasar jenis, yaitu ashṭōttara-śata-lingga, sahasra-
pembuatannya dari batu), dan kshaṇika (lingga lingga, dhāra-lingga, śaivēshṭyaliṅga, dan
yang dibuat sesuai dengan kebutuhan tertentu mukha lingga (Rao 1916, 95). Penggambaran
sehingga bahan dasar pembuatannya tidak bentuk lingga di India yang cukup menonjol
permanen, misalnya beras, nasi, tanah liat dari adalah mukha lingga karena digambarkan
pinggir sungai, kotoran sapi, mentega, benih memiliki empat atau lima wajah manusia.
rudrāksha, rumput kūrcha, bunga, gula merah, Lingga di India didirikan pada sebuah
dan tepung) (Rao 1916, 76). pedestal yang disebut piṇḍikās atau pīṭhas.
Sebagian besar achala-lingga disebut Pada bagian paling atas pīṭha dibentuk saluran
dengan nama sthāvara-lingga. Berdasarkan air (cerat) untuk mengalirkan air keluar menuju
kitab Suprabhēdāgama, achala-lingga peziarah yang sedang beribadah. Lingga
diklasifikasikan atas sembilan jenis dan dibagi seharusnya dibuat dengan pum-śilā atau batu
menjadi tiga kelas tingkatan. Sembilan jenis yang merupakan lambang pria, sedangkan
lingga tersebut adalah svāyambhuva, pūrva piṇḍikā atau pīṭha dibuat dari batu strī-śilā yang
(atau purāṇa), daivata, gāṇaptya, asura, sura, merepresentasikan wanita atau disebut dengan
ārsha, rākshasa, mānsha, dan bāṇa liṅgas. nama yoni (Rao 1916, 102).
Tiga kelas tingkatan lingga adalah uttamōttama b. Sikap Tangan (Mudrā) Bodhyagrimudrā
(paling superior), uttamamadhyama (kelas Bodhyagrimudrā adalah bentuk
menengah), dan madhyamādhama (kelas sikap tangan atau mudrā arca Buddha yang
inferior). Penggambaran lingga yang cukup merupakan perlambang pencerahan tertinggi.

117
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 39 No. 2, Desember 2021 : 113-128

Gambar 3. Bodhyagrimudrā Gambar 4. Lima Buddha dipimpim Vairocana


(Sumber; Frederic, 1995, 47) (Sumber: Luczanits 2013, 15)

Mudrā ini disebut juga mudrā enam elemen dalam ajaran Buddha yang dipuja pada beberapa
karena lima jari kanan menggambarkan bangunan suci di Tibet. Bukti artefak berupa
representasi lima unsur (tanah, air, api, udara, arca yang memperkuat Vairocana Buddha
dan eter), sedangkan pikiran manusia atau sebagai tokoh sentral banyak ditemukan pada
pengetahuan disimbolkan oleh jari telunjuk abad ke-11-12 yang menyebar di Asia Tengah
tangan kiri. Sikap tangan Bodhyagrimudrā dan Asia Selatan. Vairocana menjadi ikon utama
merupakan bentuk perwujudan dari penyatuan dalam pañcatathāgata dengan sikap tangan
kehidupan. Representasi unsur laki-laki tampak bodhyagrimudrā. Empat Dewa Buddha lain dalam
dari penggambaran jari tangan kiri, sedangkan pañcatathāgata adalah Amoghasiddhi, Amitābha,
unsur perempuan dilambangkan dengan jari Ratnasambhava, dan Akshobhya. Salah satu
tangan kanan (Frederic 1995, 46). bentuk penggambaran komposisi pañcatathāgata
Sikap tangan pada bodhyagrimudrā ini dijumpai di Biara Shey, Ladakh, India.
digambarkan dalam bentuk kedua telapak Vairocana digambarkan menggunakan mahkota
tangan arca di depan dada. Sikap tangan kiri dan dikelilingi oleh Buddha yang menggunakan
digambarkan satu ruas jari, yaitu jari telunjuk jubah (Gambar 4) (Luczanits 2013, 15-16).
mengarah ke atas dan keempat jari lain, yaitu Penggambaran sikap tangan
jari tengah, ibu jari, jari manis, dan kelingking bodhyagrimudrā yang diaplikasikan pada arca
melingkar ke telapaknya. Telapak tangan serta Mahavairocana di India menyebar hingga
ruas jari tangan kanan digambarkan menutup jari Pakistan, Cina, dan Tibet pada abad ke-9
telunjuk kiri yang mengarah ke atas (Gambar 3) (Gambar 5a, 5b, dan 5c) (Luczanits 2013, 16-
(Frederic 1995, 46). Dalam tradisi India kuno 17). Sikap tangan bodhyagrimudrā pada arca
sikap tangan bodhyagrimudrā diaplikasikan Mahavairocana juga menyebar hingga Asia
pada arca Mahavairocana. Kebangkitan Timur dan dikenal dengan istilah chiken-in
Vairocana Buddha diduga berhubungan dengan untuk mudranya, sedangkan arca Mahavairocana
muncul dan berkembangnya Buddha Esoterik memiliki berbagai nama lokal yang berbeda-
(Luczanits 2013, 15-16). beda, seperti di China disebut sebagai Zhiquan
Dalam naskah mahāvairocanābhisaṃbodhi Yin, di Korea disebut Dainichi Nyorai, dan di
tantra dan sarvadurgatipariśodhanatantra Jepang disebut Kaukushō-in. Penggambaran
yang berasal dari awal abad ke-9, Vairocana sikap tangan bodhyagrimudrā merupakan
telah menjadi tokoh penting atau tokoh utama penyatuan sempurna antara Dewa Buddha dan

118
Studi Pendahuluan Bentuk Simbol Penyatuan dalam Tradisi India Kuno
yang Ditemukan Di Indonesia. Harriyadi

Gambar 5. (a) Vairocana dari Pakistan; (b) Royal Vairocana dari Cina ; dan (c) Royal Vairocana dari Tibet
(Sumber: Luczanits 2013, 12-17)

shakti-nya. Bentuk praktik penyatuan seksual kepercayaan Hindu merupakan personifikasi


ini sama dengan penggambaran Śiwa dalam sesuatu yang bersifat abadi, sedangkan dewi
bentuk lingga perlambang unsur laki-laki yang merupakan perlambang dari unsur wanita
melakukan penetrasi terhadap unsur perempuan, yang memiliki makna sebagai energi aktif dan
yoni (Frederic 1995, 46-47). dinamisme waktu. Meskipun terdapat perbedaan
c. Shatkona makna, keduanya memiliki esensi sebagai satu
Shatkona adalah salah satu simbol dalam kesatuan (Kabade 2012, 92-93).
agama Hindu di India. Shatkona merupakan Dalam kepercayaan agama Hindu,
simbol yang berwujud bintang dengan enam shatkona disimbolkan dalam objek berbentuk
kaki runcing (six-pointed star) dan digunakan heksagram. Bentuk heksagram dalam agama
dalam agama Hindu sebagai yantra. Shatkona Hindu merupakan penggambaran penyatuan
adalah representasi penyatuan unsur laki-laki Śiwa sebagai lambang laki-laki dan shakti-
dan perempuan. Makna dari shatkona tersebut nya sebagai lambang perempuan. Dalam
setara dengan konsep dalam agama Hindu yang penggambarannya, Śiwa atau laki-laki dalam
menyebutkan purusha (kekuatan supranatural) unsur heksagram digambarkan dengan bentuk
dan prakerti (kekuatan fisik). Konsep ini juga segitiga yang ujung runcingnya berada di
melambangkan Śiwa dan shakti-nya. Shatkona atas (Gambar 6b). Simbol unsur laki-laki
digambarkan dalam bentuk heksagram dan sangat juga merupakan representasi api dan organ
berasosiaasi dengan anak Śiwa dan shakti-nya, laki-laki. Unsur shakti atau wanita dalam
yaitu Dewa Murugan/Skanda/Kartikeya. Dewa heksagram digambarkan dalam bentuk
Kartikeya memiliki enam wajah serta merupakan segitiga yang ujung runcingnya menghadap
anak dari Śiwa dan shakti-nya (Gambar 6a) ke bawah. Simbol unsur wanita tersebut
(Kabade 2012, 92-93). sangat lekat dengan maknanya sebagai alam
Dewa dan dewi dalam agama Hindu serta air. Penggambarannya dalam heksagram
merupakan gambaran mutlak adanya perbedaan merupakan representasi dari rahim wanita
gender. Dewa adalah unsur laki-laki yang dalam (Sooraj 2015, 155-156).

119
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 39 No. 2, Desember 2021 : 113-128

Gambar 6. (a) Arca Skanda; (b) Shatkona pada Śiwa Nataraja (Sumber: Narayanaoracle 2015)

3.1.2 Penggambaran Simbol Penyatuan di sedangkan ragam hias yang ditemukan pada
Indonesia
yoni di sekitar Candi Borobudur adalah hiasan
a. Lingga-Yoni pola geometris, kepala kala/singa, tujuh ekor
Lingga-yoni merupakan salah satu bentuk kuda, garuda, naga, dan kura-kura.
objek pemujaan bagi para pemeluk agama Hindu Bentuk bulat dan bujur sangkar merupakan
yang jumlahnya cukup banyak ditemukan di lazim ditemukan di India, sedangkan bentuk
Indonesia (Hardiati 1994, 3-4). Penelusuran persegi panjang dengan tiga lubang jarang
tinggalan lingga-yoni pernah dilakukan oleh ditemukan. Ragam hias pada cerat yoni memiliki
Bambang Budi Utomo (1981) di daerah Kedu makna yang berbeda-beda. Penggambaran
yang areanya mencakup beberapa kecamatan ragam hias tujuh ekor kuda memiliki keterkaitan
di Kabupaten Temanggung dan Magelang. dengan Dewa Surya sehingga tidak menutup
Penelitian tersebut berhasil mengumpulkan 66 kemungkinan adanya sekte Sora di sekitar Candi
buah yoni, tetapi dua di antaranya sudah rusak Borobudur. Penggambaran kepala singa/kala
parah sehingga tidak dapat diklasifikasikan. memiliki keterkaitan untuk menjaga dari hal-
Hasil penelitian tersebut, 38 yoni berbentuk hal buruk sebagaimana fungsi arca/relief pada
bujur sangkar lengkap dengan cerat dan hiasan, bangunan candi. Penggambaran garuda, kura-
24 buah berdenah bujur sangkar, tetapi cerat kura, serta naga memiliki keterkaitan dengan
dan hiasan telah hilang, dan 2 buah berbentuk pencarian air suci amerta yang sesuai dengan
empat persegi panjang. fungsi cerat yoni untuk mengalirkan air setelah
Penelusuran lingga-yoni juga dilakukan dilakukan upacara (gambar 7a) (Indrajaya 2011,
oleh Agustijanto Indrajaya (2011) di sekitar 19). Ragam hias lain yang ditemukan pada yoni
Candi Borobudur. Penelitian tersebut adalah patung singa naik gajah yang disimpan
menghasilkan berbagai macam variasi bentuk di Museum Candi Prambanan. Penggambaran
dan hiasan pada yoni, yaitu yoni berbentuk singa pada yoni merupakan perlambang dari
bulat, bujur sangkar, dan persegi panjang, aspek baik, sedangkan gajah merupakan aspek

120
Studi Pendahuluan Bentuk Simbol Penyatuan dalam Tradisi India Kuno
yang Ditemukan Di Indonesia. Harriyadi

Gambar 7. (a) kiri: Ilustrasi Hiasan naga dan garuda pada yoni koleksi Museum Sonobudoyo; (b) Hiasan singa-gajah pada
yoni koleksi Museum Prambanan (Sumber: Harriyadi, 2012 dan 2014)

jahat. Keduanya merupakan sifat yang ada dalam Kalung (Rema dan Sunarya 2015, 81). Temuan
diri manusia sebagai pengingat bahwa kejahatan yang cukup menarik adalah Mukhalingga di Pura
akan hancur oleh sifat kejujuran serta kesucian Pagening, Desa Pejeng, Bali. Pada lingga di Pura
(gambar 7b) (Haryono 1980, 48-49). Pagening terdapat hiasan relief berupa delapan
Penggambaran lingga yang cukup dewa Siwa Mahadewa di atas bunga padma
menarik ditemukan di Candi Sukuh yang dalam sikap paryankāsana. Pemujaan terhadap
berasal dari masa akhir Majapahit. Lingga Mukhalingga di Bali ditujukan untuk memuja
diwujudkan dalam bentuk phallus berdiri tegak Dewa Siwa berserta sembilan aspeknya yang
dengan empat bola mendekati bagian kepala menguasai mata angin (Surasmi 1983, 340-341).
dan terdapat candrasengkala yang apabila Ragam hias lain yang ditemukan pada
diterjemahkan berarti angka tahun 1440 M yoni masa Hindu-Buddha di Jawa Timur adalah
(Gambar 8a). Pada bagian gerbang pertama padma. Motif padma sejatinya merupakan
Candi Sukuh juga ditemukan phallus dan vulva teratai berwarna merah sebagai lambang dari
naturalis yang merupakan perwujudan lingga- kesadaran/ilmu pengetahuan, filsafat untuk
yoni (Gambar 8b). Penggambaran lingga-yoni meraih kesucian, serta dekat dengan Tuhan.
secara naturalis tersebut diduga kuat disebabkan Padma digambarkan dalam bentuk teratai
oleh kondisi religi masyarakat pada masa berdaun delapan yang disebut padma astadala.
itu yang kembali mengadopsi unsur budaya Delapan daun tersebut merupakan lambang
prasejarah di Nusantara. depalan pancaran agung Sang Hyang Widi serta
Perwujudan dan pemujaan Dewa Śiwa berperan sebagai senjaga Bhatara Siwa pada
dalam bentuk lingga-yoni tidak hanya ditemukan simbol gambar senjata Nawasanga (Ginarsa
di Jawa, tetapi juga beberapa situs dengan 1984, 40; Fahruddin dan Pamungkas 2013,
latar belakang agama Hindu di Bali ditemukan 252). Menurut Fahruddin dan Pamungkas
lingga-yoni sebagai objek pemujaan. Beberapa (2013), ragam hias padma yang dipahatkan
situs yang terdapat lingga-yoni di Bali adalah pada yoni di Jawa Timur merupakan lambang
Pura Jambe Langu, Pura Puseh, dan Pura Besi kesucian, kekuatan sakti, dan tempat duduk

121
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 39 No. 2, Desember 2021 : 113-128

Gambar 8. (a) Liṅga berbentuk phallus Candi Sukuh (kebudayaan.kemdikbud.go.id); (b) Liṅga-yoni berbentuk phallus dan
vulva pada gerbang pertama Candi Sukuh (Sumber: Harriyadi, 2019)

Bhatara Sadasiva. Penggambaran padma Temuan arca Mahavairocana dengan


melingkar pada yoni menjadi pertanda kuat sikap tangan bodhyagrimudrā juga dapat
berkembangnya sekte Saiwa Siddhanta diamati pada koleksi Museum Sonobudoyo
yang pangkat pemujaannya adalah lingga- dengan nomor inventaris BG. 34 (Gambar
yoni. Sekte Siwa Siddhanta berpangkal pada 9b). Arca dengan tinggi 15,5 cm ditemukan
keyakinan bahwa Śiwa merupakan realitas di Kleben, Pendowoharjo, Sleman. Arca
tertinggi sehingga jiwa atau roh seseorang Mahavairocana digambarkan dalam posisi
identik dengan Śiwa, tetapi tidak sama. duduk sattvaparyankasana atau posisi kedua
Persatuan antara Śiwa dan shakti-nya yang kaki dilipat dengan kaki kanan berada di atas
tercermin dari bentuk lingga-yoni merupakan kaki kiri. Sikap tangan arca digambarkan dengan
simbol penciptaan alam, persatuan abadi antara bentuk bodhyagrimudrā yang merupakan
aspek statis dan dinamis (Sivananda 2006, 113- perlambang kebijaksanaan. Arca Mahavairocana
135; Rema dan Sunarya 2015). ini digambarkan mengenakan kiritamakuta
b. Sikap Tangan (Mudrā) Bodhyagrimudrā dengan perhiasan yang cukup lengkap (Balai
Penggambaran sikap tangan bodhyagrimudrā Pelestarian Cagar Budaya 2011, 37).
ditemukan pada beberapa arca logam di Indonesia. c. Shatkona
Bentuk sikap tangan bodhyagrimudrā dapat diamati Penggambaran shatkona pada masa
pada arca Vairocana yang disimpan di Rijk Museum Hindu-Buddha di Indonesia ini dibuktikan
dengan nomor registrasi AK-MAK-313 (Gambar dengan adanya temuan berupa batu berukir
9a). Arca Vairocana berasal dari Indonesia, tetapi shatkona yang dipahatkan pada sebuah prasasti
lokasi spesifik penemuannya tidak diketahui lagi. bagian dari bangunan Candi Tegowangi, Kediri,
Pertanggalan arca tersebut adalah 870--930 M atau Jawa Timur. Prasasti ini disimpan di selasar
diperkirakan berasal dari masa Mataram Kuno. utara Museum Nasional dengan nomor registrasi
Arca ini terbuat dari kombinasi antara perunggu tempat penyimpanan (inventarisasi) D.201/5616.
dan emas dengan ukuran tinggi 8,3 cm x lebar 5,0 Prasasti tersebut berangka tahun 1337 S (1415 M)
cm x tebal 3,8 cm. yang ditulis dengan menggunakan aksara bahasa

122
Studi Pendahuluan Bentuk Simbol Penyatuan dalam Tradisi India Kuno
yang Ditemukan Di Indonesia. Harriyadi

Gambar 9. (a) Arca Vairocana; (b) Arca Mahavairocana (Sumber: (a) Rijk Museum (2005); (b) Balai Pelestarian
Cagar Budaya (2011))

Gambar 10. Shatkona six pointed star Koleksi Museum Nasional No.Inv. 5616/D.201 (Sumber: Harriyadi, 2020)

Jawa Kuno. Prasasti ini menggunakan bahan 3.2 Pembahasan


batu andesit berwarna hitam dengan ukuran 3.2.1 Perspektif Agama Hindu dan Buddha
panjang maksimal 39 cm, lebar maksimal 20 cm, sebagai Terkait Simbol Penyatuan
dan tinggi maksimal 37 cm. Pada bagian tulisan Dalam agama Hindu proses penciptaan
tampak aus dan tidak terbaca lagi dan dijumpai dalam kosmologi Hindu disebutkan dalam
hiasan bintang persegi enam dan hiasan berupa kitab Rig Veda. Kitab tersebut menjelaskan
gambar kura-kura (Gambar 10). bahwa purusha menjadi konsep dasar proses

123
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 39 No. 2, Desember 2021 : 113-128

terbentuknya penciptaan alam. Sejalan (udara), teja (api), apah (air), dan prativi
dengan itu, menurut Chatterjee (1998), (tanah). Setelah terciptanya alam semesta ini,
proses penciptaan alam dalam tradisi Hindu Tuhan mewujudkan diri-Nya dalam bentuk
lekat dengan mitologi Aditi dan Daksha, ardhanereswari, yaitu dua hal yang berbeda,
Aditi merupakan ekspresi mitologis untuk tetapi sejatinya merupakan satu kesatuan
menggambarkan unsur perempuan dalam (Untara 2019, 20-21). Dua hal bebeda yang
proses penciptaan, sedangkan daksha sebagai dimaksud adalah purusha sebagai arus positif
unsur laki-lakinya. Konsep tersebut dikenal unsur laki-laki, sedangkan pradhana/prakerti
dengan istilah purusha. Filosofi sankhya arus negatif dilambangkan sebagai wanita.
membagi kosmogoni atas purusha sebagai Pertemuan atau penyatuan kedua arus tersebut
jiwa dan prakerti sebagai alam (natur). menghasilkan energi yang menimbulkan
Prakerti memiliki tiga elemen, yaitu tamas terciptanya kehidupan.
(kegelapan), rajas (aktivitas), dan sattva Dalam tradisi Buddha Tantra, konsep
(kebaikan). Pertemuan antara prakerti yang penyatuan atau hubungan antara unsur laki-
berinteraksi dengan purusha menghasilkan laki dan perempuan tampak pada konsep
buddhi (kecerdasan). Dari buddhi tersebut prajnā dan upāya. Prajnā merupakan lambang
lahir ahankara (ego) dan manas (pikiran). kebijaksanaan dan pengetahuan serta memiliki
Konsep kosmogoni tersebut dalam ajaran sifat feminin yang pengertiannya setara dengan
sankhya disebut kalpa. vama (kiri atau keindahan), sedangkan upāya
Prosesi penciptaan ini menjadi bagian merupakan gambaran yang bersifat maskulin
penting dalam kebudayaan di India. Hal atau laki-laki sebagai simbol dari kanan (Gosh
ini dibuktikan oleh salah satu seloka dalam 1992; Murdihastomo 2019, 76).
kitab Bhagavadgīta yang menyebutkan Prajnā bersifat pasif dan berkaitan
mengenai proses penciptaan, peleburan, dan dengan dharmakaya, sedangkan sambhogakāya
penciptaan kembali dari kehidupan di dunia. serta nirmānakāya berkaitan dengan upāya
Pada seloka tersebut disebutkan bahwa alam yang bersifat aktif. Lebih lanjut, dalam sistem
semesta dilahirkan dari dalam badan dan/atau Buddhisme di Nepal terdapat empat sistem,
kandungan Tuhan (hiranya garbha), kemudian yaitu svābhāvika, aisvarika, karnika, dan
alam semesta ini dikembalikan pada hiranya yatnika. Dalam subsistem svābhāvika, yaitu
garbha. Tuhan menciptakan alam semesta prajnika menjelaskan bahwa trinitas dalam
(asthaprakrti) yang terdiri atas unsur halus agama Buddha, yaitu dharma, Buddha, dan
(buddhi, manah, dan ahamkara) dan lima unsur sangha yang berasosiasi dengan prajnā, upāya,
kasar (akasa, bayu, teja, apah, dan pertiwi) dan dunia. Ketiganya memberikan gambaran
(Untara 2019, 20-21). berupa dharma yang merupakan asal muasal
Proses penciptaan yang disebutkan kekuatan, buddha merupakan kemampuan
dalam kitab Bhagavadgīta diawali dari wujud untuk mengeluarkan kekuatan, dan penyatuan
yang bersifat kasar, kemudian diisi dengan keduanya melahirkan sangha (O'Brien, 1988;
wujud yang berunsur halus. Proses penciptaan Murdihastomo 2018, 76).
ini diawali dengan bertumbuhnya kesadaran Penggambaran penciptaan alam semesta
(budhi), munculnya daya kreasi (pikiran), dan tidak dapat dilepaskan dari proses hadirnya
berdampak pada munculnya unsur keakuan unsur laki-laki dan perempuan. Hal ini
(ahamkara). Proses penciptaan tersebut tampaknya setara dengan proses pembentukan
diiringi dengan terbentuknya lima unsur kasar buana alit sebagaimana dijelaskan dalam
(panca maha butha), yaitu akasa (eter), bayu sankhya-yoga. Pada salah satu bab berjudul

124
Studi Pendahuluan Bentuk Simbol Penyatuan dalam Tradisi India Kuno
yang Ditemukan Di Indonesia. Harriyadi

“Bhāgavata Purāna”, proses penciptaan buana kesuburan. Simbolisasi tersebut dibuat dengan
alit bermula dari bertemunya unsur laki-laki maksud untuk mendapat kesuburan alam berupa
yang berasal dari air sperma beserta rohnya dan tanah, tanaman, dan binatang.
masuk ke dalam rahim wanita. Proses tersebut Konsep penyatuan kehidupan merupakan
melahirkan seorang manusia yang dalam hal ini bagian penting dalam ritual agama Hindu
disebut buana alit (Marselinawati 2018, 90). tampak pada pemujaan lingga-yoni. Menurut
Kesamaan tersebut menggambarkan adanya Pradnyawan (2009), Candi Śiwa di Jawa
kesetaraan antara pembentukan jagat raya dan merupakan kuil kesadaran yang lekat dengan
manusia dalam agama Hindu dan Buddha. filsafat ajaran Śiwa Sidhanta yang berpusat pada
Śiwa sebagai realitas tertinggi. Pemujaan Śiwa
3.2.2 Makna Bentuk Penggambaran Penyatuan meliputi seluruh alam semesta dengan energi
Kehidupan bagi Masyarakat Nusantara kreatifnya yang disebut dengan shakti. Pola candi
Konsepsi penyatuan kehidupan dalam di Jawa merupakan simbol dari Trimala, Nandi,
agama Hindu dan Buddha di India diwujudkan dan Satsang. Trimala merupakan tiga belenggu
dalam beberapa variasi media pemujaan pada (maya, karma, dan anawa) yang menyebabkan
masa Hindu-Buddha di Indonesia. Artefak bentuk manusia menderita dan mengalami reinkarnasi.
penyatuan kehidupan yang paling umum dan Arca Nandi pada Candi Śiwa merupakan simbol
mudah dijumpai pada candi-candi di Indonesia dari satsang atau guru yang akan membimbing
adalah lingga dan yoni yang ditempatkan pada murid (bhakta atau sadhaka) melakukan
bagian bilik (grbagrha) candi. Lingga dan yoni pradaksina. Ritual pradaksina dilakukan dengan
adalah media pemujaan terhadap kesuburan dan mengelilingi candi ketika melakukan pemujaan
upaya manusia untuk mencapai pelepasan. Awal kepada Agastya, Ganeśa, dan Dewi Durga
mula munculnya konsep pemujaan kesuburan sebelum akhirnya memasuki ruang inti pada
berkaitan dengan pemujaan terhadap Dewi Ibu pada candi yang berisi lingga-yoni dan memperoleh
masa prasejarah di Eropa Timur. Dasar konsep ini air amerta dengan Dewa Śiwa sebagai zat
adalah peran wanita dalam kelahiran seorang anak yang tertinggi. Pertemuan dengan Dewa Śiwa
yang kemudian menjadikan perempuan dipandang tersebut bermakna bersatu dengan Dewa Śiwa
sebagai lambang dari proses penciptaan kehidupan sebagai dewa pencipta. Rangkaian proses ritual
di dunia (Santiko 1977, 292). pada candi di Jawa sebagai perlambang dari
Dalam mitologi Hindu unsur laki-laki transformasi kesadaran manusia dari alam profan
disebut purusha dan unsur perempuan disebut menuju sakral untuk mencapai tujuan akhir, yaitu
prakerti yang apabila keduanya bertemu moksha atau bersatu dengan Dewa Śiwa.
akan menghasilkan kehidupan dan dipandang Penempatan lingga-yoni dalam bagian
sebagai kesuburan. Pemujaan terhadap grbagrha candi yang menjadi tujuan akhir ritual
kesuburan tersebut merupakan representasi perjalanan seorang bhakta untuk mencapai
penyatuan antara Śiwa dan shakti-nya yang mukti atau moksha. Ziarah tersebut memiliki
diwujudkan dalam bentuk lingga dan yoni. dua aspek, yaitu jalan yang mudah serta jalan
Lingga adalah simbol Dewa Śiwa yang yang panjang, keras, dan berat. Peziarahan
diwujudkan dalam bentuk phallus, sedangkan yang panjang ini dapat disejajarkan dengan
yoni adalah simbol dari shakti Dewa Śiwa pertapaan. Aspek peziarahan yang sulit dan
yang bentuknya menyerupai vulva. Menurut berat ini berkaitan dengan adanya perubahan
Cahyono (2012, 34), penggambaran phallus dan dari sakral dan profan, dari yang ilusi dan
vulva merupakan perwujudan perangkat dalam sementara ke dalam kenyataan dan keabadian,
ritus untuk melakukan pemujaan terhadap dari manusia dan kedewaan, dan dari kematian

125
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 39 No. 2, Desember 2021 : 113-128

menuju kehidupan. Makna dari perjalanan berat melakukan praktik ritual penyatuan kehidupan
ini adalah untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dalam rangka mencapai pelepasan (moksha
yaitu penyucian atau inisiasi dalam diri. atau mukti) dan mencapai nirwana.
Bentuk penyatuan kehidupan pada agama
Buddha di Nusantara ditemukan pada beberapa 4. Kesimpulan
arca Buddha Mahavairocana dengan sikap tangan Konsep penyatuan kehidupan menjadi
(mudrā) bodhyagrimudrā. Mudrā adalah simbol bagian penting dalam perkembangan agama
penyatuan antara laki-laki (upāya) dan perempuan Hindu dan Buddha. Dalam mitologi Hindu, alam
(prajnā). Sikap tangan bodhyagrimudrā adalah semesta lahir dari penyatuan antara dua unsur,
lambang pencerahan tertinggi, sekaligus yaitu laki-laki dan perempuan. Unsur laki-laki
merupakan bentuk perwujudan penyatuan disebut purusha, sedangkan unsur perempuan
unsur laki-laki dengan perempuan. Unsur laki- disebut prakriti. Pertemuan kedua unsur
laki disimbolkan satu ruas telunjuk tangan tersebut melahirkan penciptaan alam semesta
kiri, sedangkan lima ruas jari-jari tangan yang dan menjadi bagian penting dalam ritual agama
menutupinya merupakan simbol perempuan. Hindu serta Buddha. Penggambaran penyatuan
Berdasarkan data yang diperoleh, kehidupan itu diwujudkan dalam berbagai
pemujaan terhadap penyatuan kehidupan mitologi yang dimanifestasikan menjadi artefak
bertujuan untuk mencapai pelepasan dan sebagai objek pemujaan.
pencapaian manusia menuju nirwana. Upaya Representasi penyatuan kehidupan
untuk mencapai nirwana dan moksha dalam dalam agama Hindu dan Buddha dalam
agama Hindu dan Buddha di Nusantara berbagai simbol, yaitu lingga-yoni, shatkona,
dilakukan dengan cara pemujaan terhadap dan sikap tangan bodhyagrimudrā. Lingga-
simbol penyatuan yang disimbolkan dalam yoni merupakan perwujudan dari konsep
bentuk lingga-yoni. Penggambaran lingga- mitologi Dewa Śiwa dan shakti-nya yang juga
yoni merupakan manifestasi dari mitologi direpresentasikan dalam bentuk shatkona.
Śiwa sebagai laki-laki dan yoni sebagai Dalam agama Buddha aliran Tantrayana yang
shakti (perempuan) yang mengiringi Dewa berkembang di Tibet muncul juga penggambaran
Śiwa. Pengambaran penyatuan kehidupan penyatuan kehidupan dalam bentuk Dewa
(Śiwa dan shakti-nya) juga disimbolkan dan Dewi Buddha melakukan ritual berupa
dalam bentuk shatkona. Dalam agama hubungan seksual yang dikenal dengan istilah
Buddha penggambaran penyatuan kehidupan yab yum. Praktik ritual ini diwujudkan dalam
disimbolkan melalui penggambaran mudrā bentuk fisik berupa penggambaran dewa-dewi
bodhyagrimudrā Arca Mahavairocana. Buddha dalam posisi yab yum.
Berdasar kedua hal tersebut, pemujaan Perwujudan konsep penyatuan kehidupan
terhadap simbol penyatuan di Nusantara dalam agama Hindu dan Buddha di Nusantara
merupakan salah satu bentuk upaya manusia dapat diartikan sebagai bagian dari ritual tertinggi
yang menginginkan pelepasan atau mencapai untuk mencapai nirwana. Dalam agama Hindu
nirwana. Pada masa Hindu-Buddha di penempatan lingga-yoni pada bagian bilik candi
Nusantara diwujudkan dalam tiga bentuk yang disertai dengan ritual pradaksina merupakan
penggambaran, yaitu liṅga-yoni, sikap gambaran perjalanan seorang bhakta untuk
tangan bodhyagrimudrā, dan shatkona. mencapai keseimbangan dan pelepasan. Pemujaan
Penggambarannya lebih ditujukan untuk terhadap arca Mahavairocana dengan mudrā
pemenuhan kebutuhan spiritual, magis, dan bodhyagrimudrā dalam agama Buddha aliran
religius. Hal ini bermakna bahwa masyarakat Tantrayana merupakan praktik ritual tantra tertinggi.

126
Studi Pendahuluan Bentuk Simbol Penyatuan dalam Tradisi India Kuno
yang Ditemukan Di Indonesia. Harriyadi

Kedua hal itu menegaskan bahwa pemujaan terhadap dalam Amerta, Vol. 30 (1): 19–44.
penyatuan kehidupan berkaitan dengan kebutuhan Chatterjee, Gautam. 1998. “Concepts, Symbols,
religi masyarakat, yaitu mencapai pelepasan tertinggi and Beyod Hindu Cosmology”. in
(moksha) dan nirwana. Discover India, July 1998.
Berdasarkan hasil kajian pendahuluan Fahruddin, Ahmad dan Y. Hanan Pamungkas.
2013. “Saiwasiddhanta Penelusuran
terhadap beberapa bentuk simbol penyatuan dalam
Aliran Siwaisme di Jawa Timur Periode
tradisi India kuno di Indonesia, penggambaran Klasik”. dalam Avatara 2 (1): 241–54.
bentuk penyatuan antara pria dan wanita pada Frederic, Louis. 1995. Flammarion Iconographic
masa Hindu-Buddha di Indonesia tidak hanya Guides; Buddhism. Paris: Flammarion.
dimanifestasikan dalam wujud lingga-yoni. Ginarsa, Ketut. 1984. Gambar Lambang.
Bentuk simbol penyatuan juga diwujudkan dalam Denpasar: CV Kayumas.
sikap tangan (mudrā) bodhyagrimudrā dan Gosh, Bhajagovinda. 1992. “Concept of Prajna
penggambaran bentuk shatkona yang menjadi and Upaya”. in Bulletin of Tibetology 28:
bagian ornamen pada prasasti. 41–49.
Untuk mengungkap variasi bentuk dan Hardiati, Endang Sri. 1994. “Classical Period
makna penggambaran lingga-yoni, selanjunya of The Indonesian Culture”. in Aspects of
Indonesian Archaeology No.15: 1–23.
perlu dilakukan kajian ikonografis terhadap
Harriyadi. 2019. “Pertimbangan Pemilihan
arca dengan sikap tangan bodhyagrimudrā serta
Lokasi Kompleks Candi Dieng”. dalam
telaah berbagai ornamen yang merupakan bentuk Amerta, Vol. 37 (2): 123–38.
penyatuan. Selain itu, juga perlu dilakukan kajian Haryono, Timbul. 1980. “Singa dalam Kesenian
terhadap sebaran dan variasi bentuk artefak agar Hindu di Jawa Tengah”. dalam Berkala
diperoleh pola gaya dan aspek lainnya. Arkeologi 1 (Maret): 42–51.
Indrajaya, Agustijanto. 2011. “Karakteristik
Ucapan Terima Kasih Temuan Yoni di Sekitar Candi Borobudur”.
dalam Kalpataru 20 (1): 11–20.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Agustijanto Indradjaja, S.S., M.Hum. yang telah Jouveau-Dubreuil, G. 1937. Iconography
of Southern India. Paris: Librairie
memberikan saran, masukan, dan bimbingan Orientaliste Paul Geuthner.
secara langsung kepada penulis sehingga tulisan
Kabade, Rahul. 2012. Sri Muruga. Wembley:
ini dapat selesai. Muruga Publications.
Kempers, August Johan Bernet. 1959. Ancient
Daftar Pustaka Indonesian Art. Cambridge: Harvard
University Press.
Afandi, Ahmad. 2016. “Kepercayaan Animisme-
Dinamisme serta Adaptasi Kebudayaan Langer, Susanne K. 1953. Feeling and Form
Hindu-Buddha dengan Kebudayaan Asli A Theory of Art. New York: Charles
di Pulau Lombok-NTP”. dalam Historis Scribner’s Sons.
Vol. 1 (1) : 1–9. Luczanits, Christian. 2013. “The Many Face of
Agustianto A. 2011. “Makna Simbol dalam Buddha Vairocana”. In The All-Knowing
Kebudayaan Manusia”. dalam Jurnal Ilmu Buddha: A Secret Guide. University of
Budaya, Vol. 8 (1): 1--7. Washington Press: Rubin Museum of Art.
Balai Pelestarian Cagar Budaya. 2011. Katalog Marselinawati, Putu Sri. 2018. “Kosmologi
Koleksi Arca Perunggu. Cetakan II. Hindu dalam Sankhya-Yoga”. dalam
Yogyakarta: Balai Pelestarian Cagar Genta Hredaya, Vol. 2: 85–92.
Budaya Yogyakarta. Maulana, Ratnaesih. 2002. “Siva Mahadeva:
Cahyono, M. Dwi. 2012. “Makna dan Fungsi Simbol Suatu Analisis Ikonografi di Jawa Timur
Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit”. Masa Hindu-Buddha”. dalam Makara,

127
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 39 No. 2, Desember 2021 : 113-128

Sosial Humaniora, Vol. 6 (1): 1–6. Edited by Perry Meisel and Haun Saussy).
Mercay, Jessie J. 2008. Fabric of The New York: Columbia University Press.
Universe: The Origins, Implications, and Sivananda, Srwi Swami. 2006. Tuhan Siva Dan
Applications of Vastu Science. Third. Pemujaannya. Surabaya: Paramita.
Chennai: Daksina Publishing House. Sooraj, E.M. 2015. “Shatkona: Relationship
Murdihastomo, Ashar. 2018. “Dua Tipe between Sri Chakra and Star of David
Ornamentasi Candi Perwara di Kompleks A Study of Fractals, Patterns and Life
Candi Sewu”. dalam Kalpataru, Vol. 27 Sciences”. In A Synoptic Collation of
(2): 66–79. Research by SandHI Summer Interns
———. 2019. “Identifikasi Dewa-Dewi Agama of 2015, 151–58. Kharagpur: Indian
Hindu-Buddha sebagai Dewa Pelindung Institutete of Technology Kharagpur.
Pelayaran”. dalam Naditira Widya, Vol.13 Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif,
(2): 87–104. Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Nastiti, Titi Surti. 2014. “Jejak-Jejak Peradaban Suta, I Made. 2018. “Fungsi dan Makna Lingga
Hindu Buddha di Nusantara”. dalam dalam Ajaran Agama Hindu”. dalam
Kalpataru, Majalah Arkeologi. Vol. 23 Widya Duta, Vol. 13: 88–100.
(1): 35-49. Titib, I Made. 2003. Theologi dan Simbol-Simbol
Pradnyawan, Dwi. 2009. “Candi Siwa di Jawa”. dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
In Proceeding International Seminar: Untara, I Made Gami Sandi. 2019. “Kosmologi
Archaeology Art and Identity. Yogyakarta: Hindu dalam Bhagavadgīta”. dalam
Universitas Gadjah Mada. Jnanasiddhanta, Vol. 1 (1) : 19–27.
Puspa, Ida Ayu, Ni Putu Sinta Dewi, Ida Bagus Utomo, Bambang Budi. 1981. “Persebaran
Subrahmaniam Saitya. 2019. “Komunikasi Yoni di Kedu”. Skripsi Sarjana. Depok:
Simbolik dalam Penggunaan Upakara Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Yajña Pada Ritual Hindu”. dalam Widya
Duta, Vol. 14 (1): 20–28. Yuliati, Citha. 1998. “Unsur-Unsur Pemujaan
Kesuburan Masa Prasejarah dan
Rao, T.A. Gopinatha. 1916. Elements of Hindu Perkembangannya pada Budaya
Iconography, Vol. II. Madras: The Law Masyarakat Bali”. dalam Forum
Printing House Mount Road. Arkeologi, Vol.11 (2): 29–37.
Rema, Nyoman. 2013. “Makna Air bagi
Masyarakat Bali”. dalam Forum Arkeologi
Vol. 26 (2): 109–124. Sumber Online
Rema, Nyoman dan Nyoman Sunarya. 2015. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Lingga Berhias Padma Astadala”. dalam 2017. “Lingga dan Yoni Emas Koleksi
Forum Arkeologi, Vol. 28 (2): 79–88. Museum Nasional No.Inv.780/A8”.
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya.
Rochman, Ibnu. 2003. “Simbolisme Agama Diakses pada 1 Oktober 2020. https://
dalam Politik Islam”. dalam Jurnal cagarbudaya.kemdikbud.go.id/ Liṅga-
Filsafat, Jilid 13 (1): 95–102. d a n - Yo n i - E m a s - K o l e k s i - M u s e u m -
Santiko, Hariani. 1977. “Dewi Sri di Jawa”. In Nasional.
Pertemuan Ilmiah Arkeologi Cibulan, Narayanaoracle. 2015. “Exploring The
291–302. Jakarta: Pusat Penelitian Shatkona”. The Narayana Oracle. 2015.
Purbakala dan Peninggalan Nasional. https://narayanaoracle.com/?p=505.
———. 2011. “The Role of Bhima at Candi Rijk Museum. 2005. “Vairocana”. Collection.
Sukuh as Represented by a Number of Diakses pada 1 Oktober 2020. http://
Reliefs”. in Amerta 29 (2): 18–26. hdl.handle.net/10934/RM0001.
———. 2015. “Ragam Hias Ular-Naga di COLLECT.2005.
Tempat Sakral Periode Jawa Timur”. Watt, Jeff. 2017. “Buddhist Deity: Vajrasattva,
dalam Amerta, Vol. 33 (2): 85–96. Heruka”. Himalayan Art Resources.
Saussure, Ferdinand de. 2011. Course in General Diakses pada 1 Oktober 2020. https://
Linguistics (Translated by Wade Baskin www.himalayanart.org/items/2230.

128

You might also like